Anda di halaman 1dari 2

“Qanun Jinayat di Aceh Melanggar HAM Menuai Pro dan Kontra”

28/10/2016
by VOA Indonesia
JAKARTA — Ratusan orang, mulai anak-anak hingga dewasa, berkumpul di halaman Masjid
Baiturahim di Bandar Aceh, akhir Desember tahun lalu, bukan untuk mengikuti acara keagamaan
atau menyaksikan hiburan.

Mereka menonton pelaksanaan hukuman cambuk, yang diberlakukan di seantero Aceh


sejak Oktober 2015. Ada enam orang mesti menjalani hukuman cambuk yang dilakukan di atas
panggung, ditonton orang banyak, dan wajah terhukum tidak ditutup. Namun yang
menggemparkan karena salah seorang yang dihukum cambuk, NE, mahasiswi berusia 20 tahun,
ambruk setelah dicemeti. Dia dihukum cambuk karena terbukti berbuat mesum dengan
pasangannya.

Setahun sudah qanun jinayat berlaku di tanah Serambi Makkah itu. Setahun berlalu tapi
kontroversi serta pro dan kontra masih menyelimuti isu pelaksanaan qanun jinayat. Data dari
Institute for Criminal Justice Reform menyebutkan sudah 180 orang dieksekusi menggunakan
hukuman cambuk.

Ayu Ezra Tiara dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia kepada VOA, Jumat
(28/10) menilai pelaksanaan qanun jinayat di Aceh membuktikan kegagalan negara dalam
menegakkan konstitusi sekaligus melindungi hak asasi manusia warga Aceh.

Ayu menambahkan qanun jinayat merupakan peraturan yang tidak manusiawi dan lebih
diskriminatif terhadap perempuan. Dalam pelaksanannya pun, Ayu mencontohkan, dari 300
perkara hanya 60 perkara yang pelakunya bisa didampingi oleh pengacara.

"Dengan diberlakukan qanun jinayah mengakibatkan kemunduran hukum pidana di


Indonesia. Di hukum pidana Indonesia tidak mengenal cambuk. Selain itu, qanun jinayat itu
melanggar banyak aturan-aturan hukum nasional, seperti undang-undang HAM, undang-undang
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, undang-undang pengesahan
kovenan anti-penyiksaan, undang-undang perlindungan anak, undang-undang hukum pidana
sendiri," kata Ayu. Ayu mencontohkan, membiarkan anak-anak menonton pelaksanaan hukuman
cambuk seperti terjadi setahun ini sama saja melanggar undang-undang perlindungan anak.

Koordinator Program Solidaritas PerempuanNisa Yuramenjelaskan secara substansi,


qanun jinayat diskriminatif terhadap kaum hawa. Dia mencontohkan kalau ada perempuan
melapor diperkosa tapi tidak mampu membuktikan, lelaki terlapor berpotensi menggugat balik,
bisa dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Contoh lainnya, menurut Nisa, lelaki dituduh memperkosa bila bersumpah lima kali bisa
bebas, dengan syarat tidak ada saksi dalam kasus pemerkosaan itu.

"Model hukuman seperti itu tidak hanya berdampak pada fisik tapi juga secara
psikologis. Ketika dilakukan di depan publik dengan wajah tidak ditutup dan dilihat banyak
orang, itu akan berdampak lebih lanjut ke pengucilan atau diskriminasi pasca dilakukannya
hukuman. Dua-duanya memang terkena tapi dampak perempuan lebih berlapis karena selama ini
perempuan dianggap sebagai penjaga moral," lanjutnya. Dengan segala kelemahan dalam qanun
jinayat, Nisa meminta pemerintah pusat melakukan peninjauan kembali tentang qanun itu.

Kepala Biro Humas Setda Aceh Frans Dellian mengatakan tidak ada permintaan kepada
pemerintah Aceh untuk meninjau kembali pelaksanaan qanun jinayat. Dia membantah terjadi
pelanggaran hak asasi manusia dan hukuman cambuk dilakukan tidak sekejam bayangan orang.

"Tidak pernah ada kejadian orang setelah selesai dihukum cambuk masuk ICU, masuk
rumah sakit. Setelah dihukum cambuk, satu menit dua menit dia sudah bisa seperti biasa
kembali.Hukuman cambuk penekannya pada unsur malunya," kata Frans Dellian.

Frans menyatakan pelaksanaan qanun jinayat sudah sesuai dengan aturan yang ada.

Anda mungkin juga menyukai