Anda di halaman 1dari 18

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi dan Taksonomi Udang Dogol (Metapenaeus monoceros Fab.)

Udang adalah komoditas andalan dari sektor perikanan yang umumnya

diekspor dalam bentuk beku (Prasetyo, 2004). Udang juga merupakan salah

satu produk perikanan yang istimewa, memiliki aroma spesifik dan

mempunyai nilai gizi cukup tinggi (Ilyas, 1993). Secara morfologi, udang

terdiri dari dua bagian, yaitu bagian kepala yang menyatu dengan dada

(cephalothorax) dan bagian badan (abdomen) yang terdapat ekor di

belakangnya (Gambar 1). Udang memiliki tubuh yang beruas-ruas dan

seluruh bagian tubuhnya tertutup kulit kitin yang tebal dan keras. Bagian

kepala beratnya lebih kurang 36-49% dari total keseluruhan berat badan,

daging 24-41% dan kulit 17-23% (Purwaningsih, 1995).

Gambar 1. Morfologi Udang


(Sumber: Anonim c, 2011)

9
10

Ordo Decapoda umumnya hidup di laut, beberapa di air tawar dan sedikit

di darat. Udang yang banyak terdapat di Indonesia yang memiliki nilai

ekonomis tinggi antara lain udang windu (Penaeus monodon), udang putih

(Penaeus marguiensis) dan udang dogol (Metapenaeus monoceros).

Sedangkan udang air tawar yang memiliki nilai ekonomis tinggi antara lain

udang galah (Macrobranchium rosenbergii), udang kipas (Panulirus sp) dan

udang karang (Lobster) (Permana, 2007).

Di Indonesia, Metapenaeus monoceros disebut juga udang api-api, udang

dogol, udang werus, udang kasap, udang kader, dan lain-lain. Dalam

perdagangan, dikenal sebagai endeavor prawn. Udang jenis ini memiliki kulit

yang kasat dan keras, berwarna coklat muda sedikit tembus cahaya, kadang

berwarna kemerah-merahan, berbintik-bintik merah. Ujung kaki dan ekor

berwarna kemerah-merahan, kecuali dua kaki pertama yang berwarna putih.

Panjang udang dogol dapat mencapai 18 cm (Mudjiman dan Suyanto, 1989

dalam Maemunah, 2001). Udang dogol merupakan salah satu organisme

pemakan plankton, baik fitoplankton maupun zooplankton dan merupakan

predator beberapa invertebrata (Nybakken, 1992).

Menurut Shigueno (1975), ciri morfologi udang dogol adalah mempunyai

rostrum panjang dan lurus yang ditumbuhi 7-9 duri dorsal sampai ke tepi

posterior karapas. Rostrum memiliki gigi dengan rumus 6-9/0, umurnya 8/0,

berbentuk lurus atau hampir lurus dan agak mengarah ke atas. Basipod satu

pada periopod ketiga terdapat sebuah duri. Duri ischiopod pada periopod satu.

Pada jantan, bagian pangkal meropod pada periopod kelima terdapat sebuah
11

bonggol yang bentuknya sama seperti pada ischiopod. Bagian telson tidak

memiliki duri lateral. Rostrum bergigi hanya pada sisi bagian atas, gurat pada

karapas tidak ada. Kaki jalan pertama dilengkapi dengan tonjolan duri yang

kelihatan sangan kecil. Eksopod pada kaki jalan kelima tidak ada. Abdomen

kasar dan berambut. Kedudukan taksonomi udang dogol, menurut Anonim

(2012) adalah sebagai berikut :

Kerajaan : Animalia
Filum : Arthropoda
Sub-filum : Crustaceae
Kelas : Malacostraca
Sub-kelas : Eumalacostraca
Bangsa : Decapoda
Sub-bangsa : Dendrobranchiata
Keluarga : Penaeidae
Genus : Metapenaeus
Spesies : Metapenaeus monoceros Fab.

Udang merupakan salah satu produk perikanan yang istimewa, memiliki

aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Komposisi kimia

udang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Udang


No Komposisi kimia Jumlah
1 Kadar air (%) 78
2 Kadar abu (%) 3,1
3 Lemak (%) 1,3
4 Karbohidrat (%) 0,4
5 Protein (%) 16,72
6 Kalsium (Mg) 161
7 Fosfor (Mg) 292
8 Besi (Mg) 2,2
9 Natrium (Mg) 418
Sumber: Anonim (2003)
12

B. Kandungan Kimia Pada Limbah Kulit Udang

Banyaknya produksi udang akan menghasilkan limbah yang merupakan

hasil samping produksi, berupa kepala, kulit, ekor dan kaki sebesar 35%-50%

dari berat awal. Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang,

pengalengan udang, dan pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30%-75%

dari berat udang (Swastawati dkk., 2008). Limbah kulit udang yang

dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan udang dan pengolahan

kerupuk udang sangat besar sehingga jumlah bagian yang terbuang dan

menjadi limbah dari usaha pengolahan udang tersebut sangat tinggi. Limbah

udang mengandung konstituen utama yang terdiri atas protein, kalsium

karbonat, kitin, pigmen dan abu. Kulit udang yang mengandung kitin dan

khitosan merupakan limbah yang mudah didapat dan tersedia dalam jumlah

yang banyak, yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal (Marganof,

2003).

Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala, dan ekornya.

Fungsi kulit udang tersebut pada hewan golongan invertebrata yaitu sebagai

pelindung (Neely dan Wiliam, 1969). Kulit udang mengandung protein (25-

40%), kalsium karbonat (45-50%), dan kitin (15-20%), tetapi besarnya

kandungan komponen tersebut juga tergantung dari jenis udang yang ada.

Adapun kulit kepiting mengandung protein (15,60-23,90%), kalsium karbonat

(53,70–78,40%), dan kitin (18,70-32,20%), hal ini juga tergantung pada jenis

kepiting dan tempat hidupnya. Kandungan kitin dalam kulit udang lebih

sedikit dari kandungan kulit kepiting, tetapi kulit udang lebih mudah didapat
13

dan tersedia dalam jumlah yang banyak sebagai limbah (Focher et al., 1992).

Komposisi kimia kulit udang dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Kimia Kulit Udang


Bahan Kimia Komposisi
Protein 25%
Kalsium Karbonat (CaCO3) 50%
Kitin 25%
Sumber: Suhartini dkk. (2009)

C. Pengertian dan Karakteristik Senyawa Kitin dan Kitosan

Kitin merupakan sebuah polisakarida yang tersusun dari unit N-asetil-D-

Glukosamin. Kitin merupakan biopolimer kedua yang jumlahnya melimpah

di dunia dan ditemukan terutama pada invertebrata, insekta, diatom laut,

algae, fungi, dan yeast. Secara tradisional, kitin diisolasi dari kulit krustasea

melalui demineralisasi dengan asam encer dan deproteinasi dalam larutan

basa. Selanjutnya, kitin diubah menjadi kitosan dengan deasetilasi dalam

larutan NaOH pekat (Synowiecki dan Al-Khateeb, 2003).

Kadungan kitin dalam krustasea biasanya berkisar antara 2%-12% dari

keseluruhan massa tubuh dan proporsi ini dinilai hanya dari sejumlah kecil

krustasea. Kandungan kitin, protein, mineral, dan karotenoid dalam limbah

kulit sangat bervariasi, tergantung pada kondisi proses pengupasan,

disamping spesies, bagian organisme, keadaan nutrisi, dan tahap siklus

reproduksinya. Kulit krustasea terutama mengandung protein (30—40%),

garam mineral (30—50%), dan kitin (13—42%) (Synowiecki dan Al-

Khateeb, 2003).
14

Menurut Mahatmanti, dkk. (2011), kitosan adalah polimer dari 2-amino-

2 Deoksi-D-glukosa. Untuk membedakan polimer kitin dan kitosan, adalah

berdasarkan kandungan nitrogennya. Polimer kitin mempunyai kandungan

nitrogen kurang dari 7%, sedangkan kitosan mempunyai kandungan nitrogen

lebih dari 7%. Menurut Kirk dan Othmer (1952) dalam Prasetyaningrum

(2007), secara umum kitosan mempunyai bentuk fisik berupa padatan amorf

berwarna putih, dengan struktur kristal yang tidak berubah dari bentuk kitin

mula-mula. Berdasarkan kondisi ekstrem pada proses deasetilasi, kitosan

memiliki panjang rantai yang lebih pendek dari kitin, yaitu sekitar 25—30

unit glucosamine. Struktur kitin dan kitosan dapat dilihat dalam Gambar 2.

Gambar 2. Struktur Kitin dan Kitosan


(Sumber: Mahatmanti dkk., 2011)

D. Proses Isolasi Kitin dan Kitosan

Pada proses isolasi kitin dan kitosan terdapat faktor-faktor yang

mempengaruhi proses isolasi kitin dan kitosan dari bahan baku rajungan

menggunakan metode enzimatik khususnya pada tahap deproteinisasi. Faktor-


15

faktor tersebut berupa konsentrasi enzim, pH dan suhu proses (Hartati dkk.,

2002). Adapun proses pembuatan kitin, menurut Prasetyaningrum dkk.

(2007), dimulai dengan menghaluskan kulit udang. Setelah itu dilakukan

proses penghilangan mineral dan protein serta pigmen-pigmen, seperti yang

uraian di bawah ini:

a. Proses deproteinasi : protein yang ada pada kulit udang adalah ± 35%,

dimana protein ini berikatan dengan kitin yang akan diisolasi. Adapun

yang dimaksud dengan proses deproteinasi adalah proses untuk

memisahkan ikatan antara kitin dengan protein.

b. Proses demineralisasi : mineral pada kulit udang berkisar antara 30—

40%. Penghilangan mineral biasanya dilakukan dengan melarutkannya

melalui penambahan asam klorida.

Gugus asetil yang masih berikatan dengan kitin menyebabkan

resistensi/inert terhadap berbagai pelarut, sehingga kitin sulit dilarutkan.

Kitosan merupakan turunan/derivatif dari kitin yang telah melepaskan gugus

asetilnya, dan aktivitas kitosan juga lebih besar dari pada kitin serta lebih

applicable dalam berbagai bidang (Firdaus dkk., 2008). Gambaran reaksi

pelepasan gugus asetil pada kitin sehingga menjadi kitosan dapat diamati

pada Gambar 3. Pelepasan gugus asetil, seperti yang ditampilkan pada

Gambar 3, lebih disebabkan oleh basa kuat yang dicampurkan dalam proses

deasetilasi atau sering disebut transformasi kitin menjadi kitosan.


16

Gambar 3. Transformasi Kitin Menjadi Kitosan


(Sumber: Hayashi dan Mikio, 2002)

Kitosan dapat diproduksi dari penghilangan gugus asetil yang terkandung

di dalam senyawa kitin. Banyaknya gugus asetil yang bisa terambil (Derajat

Deasetilasi (DD)) sangat berpengaruh terhadap daya pengawetan makanan.

Besarnya derajat deasetilasi dari kitosan juga sangat tergantung pada operasi

proses saat pembuatan kitosan (Prasetyaningrum dkk., 2007). Tsai dkk.

(1999) menyatakan bahwa semakin tinggi niai DD, semakin tinggi pula

aktivitas antimikrobia kitosan. Parameter mutu kitosan dapat dilihat pada

Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3. Parameter Mutu Kitosan


Parameter Ciri
Ukuran Pertikel Serpihan sampai bubuk
Kadar Air ≤ 10%
Kadar Abu ≤ 2%
Derajat Deasetilasi ≥ 70%
Warna Larutan Tidak berwarna
Viskositas (cps)
 Rendah < 200
 Medium 200-799
 Tinggi 800-2000
 Sangat Tinggi >2000
(Sumber: Jamaludin, 1994)
17

E. Manfaat Kitosan

Pemanfaatan kitosan sangat banyak diantaranya, untuk pengawet

makanan (pengganti formalin dan boraks), pengolahan limbah, obat

pelangsing, kosmetik, dan lain sebagainya. Kitosan mempunyai gugus aktif

yang akan berikatan dengan mikroba sehingga kitosan juga mampu

menghambat pertumbuhan mikroba. Satu hal yang sangat melegakan adalah

kitosan sama sekali tidak berefek buruk (Mahatmanti dkk., 2011). Faktor

yang paling berpengaruh terhadap kemampuan kitosan sebagai pengawet

makanan adalah banyaknya gugus amin (NH2) yang terkandung di dalamnya.

Banyaknya gugus amin tersebut tergantung pada gugus asetil yang terambil.

Dengan demikian semakin tinggi derajat deasetilasi maka kemampuan

kitosan sebagai pengawet makanan semakin bagus (Prasetyaningrum dkk.,

2007).

Salah satu mekanisme yang mungkin terjadi dalam pengawetan makanan

oleh kitosan yaitu molekul kitosan memiliki kemampuan untuk berinteraksi

dengan senyawa pada permukaan sel bakteri. Kemudian kitosan teradsorbsi

membentuk semacam lapisan yang menghambat saluran transportasi sel.

Selanjutnya sel mengalami kekurangan substansi untuk berkembang dan sel

akan mati (Wardaniati dan Setyaningsih, 2011).

F. Pengertian dan Manfaat Bahan Pengawet Pangan

Menurut Ihekoronye dan Ngoddy (1985), bahan pengawet kimia

merupakan salah satu kelompok senyawa kimia yang ditambahkan secara


18

sengaja ke dalam makanan, atau muncul dalam makanan sebagai hasil dari

penanganan sebelum pemrosesan, selama pemrosesan, dan penyimpanan.

Dalam kesesuaian dengan Good Manufacturing Practices (GMP),

penggunaan bahan pengawet:

a. Tidak boleh memberi efek merugikan bagi nilai nutrisi dari makanan.

b. Harus mampu mencegah pertumbuhan organisme yang beracun dapat

menyebabkan kerusakan makanan.

Secara umum, penambahan bahan pengawet bertujuan untuk

menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk; memperpanjang umur simpan

pangan; tidak menurunkan kualitas gizi, warna, cita rasa, dan bau bahan

pangan yang diawetkan; tidak untuk menyembunyikan keadaan bahan pangan

yang berkualitas rendah; dll. Penggunaan bahan pengawet untuk

mengawetkan bahan pangan ini diharapkan tidak menambah atau sangat

sedikit menambah biaya produksi dan tidak akan mempengaruhi harga bahan

pangan yang diawetkan (Cahyadi, 2009).

Menurut Cahyadi (2009), faktor yang mempengaruhi aktivitas mikroba

oleh bahan pengawet kimia meliputi beberapa hal antara lain: jenis bahan

kimia dan konsentrasinya, banyaknya mikroorganisme, komposisi bahan

pangan, keasaman bahan pangan dan suhu penyimpanan. Bahan pengawet

memiliki mekanisme kerja untuk menghambat pertumbuhan mikrobia bahkan

mematikannya, antara lain adalah gangguan sistem genetik, menghambat

sintesa dinding sel atau membran, penghambat enzim, dan peningkatan

nutrien esensial.
19

G. Jenis-Jenis Bahan Pengawet Pangan

Bahan pengawet, menurut Cahyadi (2009), dibagi menjadi dua jenis,

yaitu:

1) Zat Pengawet Organik

Zat pengawet organik yang masih sering dipakai adalah sulfit, hidrogen

peroksida, nitrat dan nitrit.

2) Zat Pengawet Anorganik

Zat pengawet organik lebih banyak dipakai dari pada yang anorganik

karena bahan ini lebih mudah dibuat. Bahan organik digunakan baik

dalam bentuk asam maupun dalam betuk garamnya. Contoh: asam sorbat,

asam propionat, asam benzoat, asam asetat, dan lain-lain.

Garam nitrat dan nitrit umumnya digunakan pada proses kyuring daging

untuk memperoleh warna yang baik dan mencegah pertumbuhan mikrobia

seperti Clostridium botulinum, suatu bakteri yang dapat memproduksi racun

yang mematikan. Penggunaan bahan ini menjadi semakin luas karena manfaat

nitrit dalam pengolahan daging (seperti sosis, kornet, ham, dan hamburger)

selain sebagai pembenuk warna dan bahan pengawet antimikrobia, juga

berfungsi sebagai pembentuk faktor sensori lain, yaitu aroma dan cita rasa.

Akan tetapi, penggunaan Na-nitrit dapat menimbulkan efek yang

membahayakan karena nitrit dapat berikatan dengan amino atau amida dan

membentuk turunan nitrosamin yang bersifat toksik (Cahyadi, 2009).

Menurut Cahyadi (2009), reaksi pembentukan nitrosamin dalam pengolahan

atau dalam perut bersuasana asam adalah sebagai berikut:


20

R2NH + N2O3  R2N.NO + HNO2

(amin sekunder)

R3N + N2O3  R2N.NO + RNO2

Nitrosoamina (karsinogenik)

Penggunaan nitrat sebagai pengawet memang terbukti mampu mencegah

perkembangan bakteri Clostiridium botulinum penyebab keracunan makanan.

Namun kajian lain juga menemukan bahwa bahan nitrat atau nitrit yang

digunakan sebagai pengawet daging dapat membentuk nitrosamin yang

bersifat toksik dan karsinogenik. Jika bahan ini seringkali masuk ke dalam

tubuh bersama makanan yang dimakan dalam rentang waktu yang lama,

dikhawatirkan dapat menimbulkan kanker (Anonim, 2010).

H. Pengertian dan Jenis-Jenis Sosis

Menurut SNI 01-3820-1995, sosis merupakan produk makanan yang

diperoleh dari campuran daging halus (mengandung daging tidak kurang dari

75%) dengan tepung atau pati dengan atau tanpa penambahan bumbu dan

bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dan dimasukkan ke dalam

selubung sosis (Anonim a, 2011).

Menurut Nakai dan Modler (2000), banyaknya variasi sosis dapat

diklasifikasikan menjadi 6 kelompok utama berdasarkan metode proses yang

digunakan, yaitu sosis segar (fresh sausages), uncooked smoked sausages,

cooked sausages, fermented sausages, luncheon meats, dan variasi campuran

sosis. Berdasarkan sistem United State Department of Agriculture (USDA),


21

sosis dapat dikategorikan menjadi sosis mentah, sosis asap belum masak,

sosis asap masak, sosis masak, sosis fermentasi dan meat loaf. Sosis mentah

dibuat dari daging segar atau beku yang belum mengalami pemasakan,

contohnya adalah bratwurst dan breakfast sausage. Sosis asap belum dimasak

pada dasarnya sama seperti sosis mentah tetapi dalam pembuatannya

diaplikasikan pengasapan untuk mengembangkan warna dan cita rasa,

contohnya kielbasa dan metwurst. Sosis asap masak contohnya frankfurters,

bologna dan cotto salami. Sosis fermentasi dibuat dari daging segar yang

difermentasi dengan penambahan starter bakteri, contohnya cervelat, salami

dan summer sausage. Meat loaf dibuat dari daging giling dan dibentuk ke

dalam wadah untuk diproses dengan oven (Claus dkk., 1994 diacu dalam

Firdaus, 2005).

I. Bahan Pembuatan Sosis

Bahan yang biasa digunakan dalam pembuatan sosis, menurut Nakai

dan Modler (2000), adalah:

a. Daging mentah: pemilihan daging yang tepat adalah penting untuk

produksi sosis berkualitas. Daging mentah yang digunakan harus segar,

dengan jumlah mikrobia yang sangat rendah.

b. Garam: bentuk utama garam yang biasa digunakan adalah natrium

klorida. Pada prinsipnya, kegunaan garam adalah untuk memecah dan

mengekstrak protein myofibril yang diperlukan untuk dapat membentuk

ikatan selama pemasakan.


22

c. Fosfat: digunakan untuk memperbaiki kapasitas pengikatan air dari

daging dengan meningkatkan pembengkakan serat, untuk memecah

protein, dan mengurangi oksidasi. Selain itu juga dapat membantu

melindungi dan menstabilkan rasa serta warna pada produk akhir.

d. Bahan pengawet: kebanyakan sosis diawetkan dengan nitrit dan bentuk

nitrit yang populer digunakan adalah natrium nitrit.

e. Extenders dan Filler: banyak produk sosis yang mengandung extenders

atau filler, seperti konsentrat whey protein, gluten gandum, dll.

Fungsinya adalah untuk meperbaiki tekstur dan rasa sosis.

f. Air

g. Penghambat mikrobia: contohnya adalah potassium sorbat, benzoat

(dengan pencelupan), dan natrium laktat (diformulasikan dalam sosis).

h. Bumbu: sosis merupakan produk yang sangat berbumbu jika

dibandingkan produk lain. Penambahan bumbu berfungsi untuk

memperbaiki rasa akhir produk.

i. Antioksidan: untuk mencegah terjadinya reaksi oksidasi.

Bahan-bahan tambahan yang sering digunakan dalam proses pembuatan

sosis diantaranya adalah garam, fosfat, bahan pengawet seperti nitrat, bahan

pewarna, asam askorbat, isolat protein, dan karbohidrat atau lemak.

Penambahan lemak terutama untuk mencegah pengerutan protein dan

menambah cita rasa. Garam dan fosfat digunakan agar daging lebih awet dan

untuk mengembangkan protein, serta meningkatkan pengikatan air.

Sedangkan asam askorbat digunakan agar daging terlihat lebih memerah dan
23

untuk mencegah pembusukan daging. Sedangkan untuk meningkatkan

kandungan sosis, tak jarang ditambahkan karbohidrat dan isolat protein agar

sosis lebih bergizi (Anonim, 2010).

J. Selongsong Sosis

Selongsong atau casing untuk sosis ada dua tipe yaitu selongsong alami

dan selongsong buatan. Selongsong alami terutama berasal dari saluran

pencernaan ternak, misalnya sapi, babi, domba dan kambing. Selongsong sapi

dapat berasal dari esofagus, usus kecil, usus besar bagian tengah, caecum dan

kandung kecil (Pearson dan Tauber, 1973). Pada dasarnya selongsong alami

adalah kolagen. Selama pengolahan sosis selongsong alami dalam keadaan

basah mudah ditembus oleh asap dan cairan. Selongsong alami akan menjadi

kurang permeabel karena pengeringan dan pemakaian asap, misalnya asidik.

Cairan dan panas akan menyebabkan selongsong menjadi lebih lunak dan

porus, sehingga proses pengasapan dan pemasakan harus dikendalikan

sehubungan dengan kelembaban (Bacus, 1984 diacu dalam Firdaus, 2005).

Selongsong buatan terdiri dari empat kelompok yaitu (1) sellulosa, (2)

kolagen dapat dimakan, (3) kolagen tidak layak dimakan dan, (4) plastik

(Bacus, 1984 diacu dalam Firdaus, 2005). Selongsong dari plastik tidak dapat

ditembus oleh asap dan cairan, dan dapat digunakan oleh sosis yang tidak

diasap misalnya sosis segar dan sosis hati atau sosis yang diproses dengan air

panas (Pearson dan Tauber,1973). Selongsong kolagen untuk produk asap

berdiameter kecil dirancang menjadi empuk selama proses pemanasan.


24

Selama proses pemanasan dan pengasapan, selongsong akan mengeras karena

proses tersebut. Selanjutnya pemasakan dengan kelembaban yang tinggi akan

melunakkan selongsong dan meningkatkan keempukan (Bacus, 1984 yang

diacu dalam Firdaus, 2005).

K. Proses Pembuatan dan Umur Simpan Sosis

Walaupun banyak terdapat tipe-tipe produk sosis, terdapat beberapa

proses dasar dalam pembuatannya. Produksi sosis memiliki lima langkah

yang umum, yaitu proses perubahan, pencampuran, pengisian, penggabungan,

dan pengemasan (Nakai dan Modler, 2000). Adapun proses pembuatan sosis

daging sapi, menurut Sutaryo dan Mulyani (2004), meliputi penggilingan

daging, pencampuran adonan sosis (daging, lemak, tepung, garam, gula,

bumbu dan es), pengisian selongsong sosis, pengukusan selama 30 menit, dan

pendinginan.

Sosis mempunyai umur simpan yang berbeda-beda, tergantung dari cara

pengolahannya. Sosis mentah harus disimpan dalam refrigerator dengan

kemasan utuh, dapat disimpan dalam waktu tiga hari atau simpan beku, dan

masak sempurna sebelum dikonsumsi. Sosis masak dapat disimpan dalam

refrigerator selama tujuh hari setelah kemasan dibuka, atau simpan beku.

Sosis kering dapat disimpan pada suhu ruang sampai tiga minggu. Sosis semi

kering dapat bertahan hingga tiga minggu (kemasan utuh) dengan

penyimpanan dalam refrigerator. Jika kemasan sudah terbuka, simpan dalam

refrigerator dan habiskan dalam waktu tiga hari atau simpan beku (Syamsir,
25

2009). Syarat mutu sosis daging yang baik menurut SNI 01-3820-1995 dapat

dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Syarat Mutu Sosis Daging Menurut SNI 01-3820-1995


No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
Keadaan:
1.1 Bau - Normal
1 1.2 Warna - Normal
1.3 Rasa - Normal
1.4 Tekstur - Bulat panjang
2 Air %b/b Maks. 67,0
3 Abu %b/b Maks. 3,0
4 Protein %b/b Min. 13,0
5 Lemak %b/b Maks. 25,0
6 Karbohidrat %b/b Maks. 8
Bahan tambahan makanan:
7 7.1 Pewarna Sesuai SNI 01-0222-1995
7.2 Pengawet
Cemaran logam:
8.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 2,0
8.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 20,0
8
8.3 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40,0
8.4 Timah (Sn) mg/kg Maks. 40,0 (250,0*)
8.5 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,03
9 Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 0,1
Cemaran mikrobia:
10.1 Angka lempeng total Koloni/gr Maks. 105
10.2 Bakteri bentuk koli APM/gr Maks 10
10.3 Escherichia coli APM/gr <3
10
10.4 Enterococci Koloni/gr 102
10.5 Clostridium perfringens - Negatif
10.6 Salmonella - Negatif
10.7 Staphilococcus aureus Koloni/gr Maks. 102
*)
Kemasan kaleng

(Anonim a, 2011).

L. Hipotesis

1. Terdapat pengaruh variasi konsentrasi pemberian kitosan (0%, 1%, 1,5%,

dan 2%) pada perendaman selama 60 menit terhadap daya simpan sosis

daging sapi.
26

2. Konsentrasi kitosan yang optimal untuk menghasilkan sosis daging sapi

yang berumur simpan lebih lama dari sosis daging sapi yang tidak

direndam kitosan adalah 1,5%.

Anda mungkin juga menyukai