Anda di halaman 1dari 6

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Dampak Masif Korupsi

Sebelum kami mengurai tentang dampak masif korupsi,terlebih dahulu kami


menjelaskan makna dan pengertian mengenai dampak masif korupsi .
Dampak : akibat yang timbul / yang terjadi
Masif : sesuatu yang terjadi secara besar besaran atau yang terjadi dalam
skala luas
Korupsi : menyalahgunakan atau menyimpang .
Dampak masif korupsi maksudnya adalah akibat yang ditimbulkan dari
perbuatan korupsi yang dilakukan dalam skala luas yang terjadi di semua lembaga
dari tingkat atas sampai tingkat bawah serta besarnya nilai korupsi yang di
lakukan hingga dapat merusak atau bahkan menghancurkan sendi- sendi
kehidupan di berbagai bidang baik ekonomi, sosial, pendidikan,budaya ,hankam
dll.
Ada dua faktor yang menyebabkan timbulnya perbuatan korupsi yaitu :
faktor internal dan faktor external
1. Faktor internal disebabkan oleh diri manusia sendir
Faktor internal di sebabkan karena:
a. Sifat tamak atau rakus manusia.
b. moral yang kurang kuat .
c. gaya hidup konsumtif, serta bisa juga di dorong oleh keinginan
keluaraga.
d. Dll

2. Faktor external adalah disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang di hadapi


manusia
Faktor external di sebabkan karena :
a. Aspek sikap masyarakat yang pasif terhadap korupsi.
b. Kebutuhan ekonomi yang mendesak untuk dipenuhi.
c. Kepentingan politik dalam rangka meraih dan atau mempertahankan
kekuasaan.
d. Dll

3.2 Dampak Korupsi Teradap Birokrasi Pemerintahan

Korupsi, tidak diragukan, menciptakan dampak negatif terhadap kinerja suatu


sistem politik atau pemerintahan.
a. Pertama, korupsi mengganggu kinerja sistem politik yang berlaku. Pada
dasarnya, isu korupsi lebih sering bersifat personal. Namun, dalam
manifestasinya yang lebih luas, dampak korupsi tidak saja bersifat
personal, melainkan juga dapat mencoreng kredibilitas organisasi tempat
si koruptor bekerja. Pada tataran tertentu, imbasnya dapat bersifat sosial.
Korupsi yang berdampak sosial sering bersifat samar, dibandingkan
dengan dampak korupsi terhadap organisasi yang lebih nyata.
b. Kedua, publik cenderung meragukan citra dan kredibilitas suatu lembaga
yang diduga terkait dengan tindak korupsi.
c. Ketiga, lembaga politik diperalat untuk menopang terwujudnya berbagai
kepentingan pribadi dan kelompok. Ini mengandung arti bahwa lembaga
politik telah dikorupsi untuk kepentingan yang sempit (vested interest).
Sering terdengar tuduhan umum dari kalangan anti-neoliberalis bahwa
lembaga multinasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), IF, dan
Bank Dunia adalah perpanjangan kepentingan kaum kapitalis dan para
hegemoni global yang ingin mencaplok politik dunia di satu tangan
raksasa. Tuduhan seperti ini sangat mungkin menimpa pejabat publik yang
memperalat suatu lembaga politik untuk kepentingan pribadi dan
kelompoknya. Dalam kasus seperti ini, kehadiran masyarkat sipil yang
berdaya dan supremasi hukum yang kuat dapat meminimalisir terjadinya
praktik korupsi yang merajalela di masyarakat.
Sementara itu, dampak korupsi yang menghambat berjalannya
fungsi pemerintah, sebagai pengampu kebijakan negara, dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1. Korupsi menghambat peran negara dalam pengaturan alokasi,
2. Korupsi menghambat negara melakukan pemerataan akses dan
aset,
3. Korupsi juga memperlemah peran pemerintah dalam menjaga
stabilitas ekonomi dan politik.
Dengan demikian, suatu pemerintahan yang terlanda wabah korupsi akan
mengabaikan tuntutan pemerintahan yang layak. Menurut Wang An Shih,
koruptor sering mengabaikan kewajibannya oleh karena perhatiannya
tergerus untuk kegiatan korupsi semata-mata. Hal ini dapat mencapai titik
yang membuat orang tersebut kehilangan sensitifitasnya dan akhirnya
menimbulkan bencana bagi rakyat.

Dampak lainnya seperti :


1. Matinya Etika Sosial Politik
Korupsi bukan suatu tindak pidana biasa karena ia merusak sendi-
sendi kehidupan yang paling dasar yaitu etika sosial bahkan
kemanusiaan.Kejujuran sudah tidak ditegakkan lagi,Kejujuran yang
dihadapi dengan kekuatan politik adalah sesutu yang tidak mendidik dan
justru bertentangan dengan etika dan moralitas.
Melindungi seorang koruptor dengan kekuatan politik adalah salah satu
indikasi besar runtuhnya etika sosial politik.

2. Tidak efektifnya peraturan dan perundang – undangan


Dewasa ini banyak sekali seseorang yang memiliki perkara atau
permasalahan tetapi ingin diposisikan sebagai pihak yang benar. Oleh
sebab itu banyak upaya yang dilakukan oleh seseorang dalam
memenangkan perkaranya seperti menyuap hakim, memberi iming –
iming gratifikasi bahkan sampai kepada ancaman nyawa. Disisi aparat
hukum,semestinya menyelesaikan masalah haruslah secara fair dan tanpa
ada unsur pemihakan , seringkali para pejabat mengalahkan integritasnya
dengan menerima suap,iming-iming ,gratifikasi atau apapun untuk
memberikan kemenangan pada kelompok tertentu sehingga peraturan dan
perundang – undangan yang berlaku menjadi mandul karena setiap
perkara selalu di selesaikan dengan korupsi.

3. Birokrasi Tidak Efisien


Menurut survey Oleh PERC menunjukan bahwa Indonesia
menempati peringkat kedua dengan birokrasi terburuk di Asia . Banyak
investor yang tertarik menanamkan modalnya di Indonesia ,namun untuk
mendapatkan perizinan usaha dan investasi harus melalui birokrasi yang
berbelit – belit. Pada akhirnya suap adalah jalan yang banyak di tempuh
oleh para pengusaha untuk memudahkan izin usaha mereka,maka
sebaiknya birokrasi di Indonesia harus dibenahi.

Birokrasi, baik sipil maupun militer, memang merupakan kelompok yang


paling rawan terhadap korupsi. Sebab, di tangan mereka terdapat kekuasaan
penyelenggaraan pemerintahan, yang menjadi kebutuhan semua warga negara.
Oleh karena itu, Transparency International, lembaga internasional yang bergerak
dalam upaya anti korupsi, secara sederhana mendefinisikan korupsi sebagai
penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi.
Lebih jauh lagi, TI membagi kegiatan korupsi di sektor publik ini dalam
dua jenis, yaitu korupsi administratif dan korupsi politik. Secara administratif,
korupsi bisa dilakukan ‘sesuai dengan hukum’, yaitu meminta imbalan atas
pekerjaan yang seharusnya memang dilakukan, serta korupsi yang ‘bertentangan
dengan hukum’ yaitu meminta imbalan uang untuk melakukan pekerjaan yang
sebenarnya dilarang untuk dilakukan.
Pada kasus Indonesia, jenis korupsi pertama terwujud antara lain dalam
bentuk uang pelicin dalam mengurus berbagai surat-surat, seperti Kartu Tanda
Penduduk, Surat Izin Mengemudi, Akta Lahir atau Paspor agar prosesnya lebih
cepat. Padahal seharusnya, tanpa uang pelicin surat-surat ini memang harus
diproses dengan cepat. Sementara jenis korupsi yang kedua, muncul antara lain
dalam bentuk ‘uang damai’ dalam kasus pelanggaran lalu lintas, agar si pelanggar
terhindar dari jerat hukum.
Sementara pada birokrasi militer, peluang korupsi, baik uang maupun
kekuasaan, muncul akibat tidak adanya transparansi dalam pengambilan
keputusan di tubuh angkatan bersenjata serta nyaris tidak berdayanya hukum saat
harus berhadapan dengan oknum militer yang seringkali berlindung di balik
institusi militer.
Tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dipimpin oleh Dr.
Indria Samego mencatat empat kerusakan yang terjadi di tubuh ABRI akibat
korupsi:
Ø Secara formal material anggaran pemerintah untuk menopang kebutuhan angkatan
bersenjata amatlah kecil karena ABRI lebih mementingkan pembangunan
ekonomi nasional. Ini untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat bahwa
ABRI memang sangat peduli pada pembangunan ekonomi. Padahal, pada
kenyataannya ABRI memiliki sumber dana lain di luar APBN.
Ø Perilaku bisnis perwira militer dan kolusi yang mereka lakukan dengan para
pengusaha keturunan Cina dan asing ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang
lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat dan
prajurit secara keseluruhan.
Ø Orientasi komersial pada sebagian perwira militer ini pada gilirannya juga
menimbulkan rasa iri hati perwira militer lain yang tidak memiliki kesempatan
yang sama. Karena itu, demi menjaga hubungan kesetiakawanan di kalangan
militer, mereka yang mendapatkan jabatan di perusahaan negara atau milik ABRI
memberikan sumbangsihnya pada mereka yang ada di lapangan.
Ø Suka atau tidak suka, orientasi komersial akan semakin melunturkan semangat
profesionalisme militer pada sebagaian perwira militer yang mengenyam
kenikmatan berbisnis baik atas nama angkatan bersenjata maupun atas nama
pribadi. Selain itu, sifat dan nasionalisme dan janji ABRI, khususnya Angkatan
Darat, sebagai pengawal kepentingan nasional dan untuk mengadakan
pembangunan ekonomi bagi seluruh bangsa Indonesia lambat laun akan luntur
dan ABRI dinilai masyarakat telah beralih menjadi pengawal bagi kepentingan
golongan elite birokrat sipil, perwira menengah ke atas, dan kelompok bisnis
besar (baca: keturunan Cina). Bila ini terjadi, akan terjadi pula dikotomi, tidak
saja antara masyarakat sipil dan militer, tetapi juga antara perwira yang
profesional dan Saptamargais dengan para perwira yang berorientasi komersial.

Anda mungkin juga menyukai