Anda di halaman 1dari 11

Budaya Kerja

Menurut Koentjaraningrat yang dikutip oleh Gering (2003), budaya adalah keseluruhan sistem gagasan
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan cara belajar.

Depdiknas (2002), mendefinisikan budaya sebagai pikiran, akal budi, adat istiadat,.

Sedangkan menurut Bower yang dikutip oleh Pegg Mike (1994) budaya kerja adalah cara kita
melakukan sesuatu, kegiatan melakukan sesuatu, sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah, mata
pencaharian.

Dengan demikian budaya kerja adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh karyawan berdasarkan
pikiran, adat istiadat dan kebiasaan yang sudah berkembang.

Budaya kerja adalah suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagi nilai-nilai yang menjadi
sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat
atau organisasi kemudian tercermin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan
tindakan yang terwujud sebagai kerja atau bekerja (Supriyadi,2003).

Budaya kerja adalah suatu komponen kualitas manusia yang sangat melekat dengan identitas bangsa
dan menjadi tolak ukur dasar dalam pembangunan.

Budaya kerja dapat ikut menentukan integritas bangsa dan menjadi penyumbang utama dalam
menjamin kesinambungan kehidupan bangsa.

Budaya kerja sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai yang dimilikinya, terutama falsafah bangsa yang
mampu mendorong prestasi kerja setinggi-tingginya.

Warna budaya kerja adalah produktivitas, yang berupa prilaku kerja yang tercermian antara lain :

1. Kerja keras
2. Ulet
3. Disiplin
4. Produktif,
5. Tanggung jawab,
6. Motivasi,
7. Kreatif,
8. Dinamik,
9. Konsekuen,
10. Konsisten,
11. Responsif,
12. Makin lebih baik

Menurut Budhi Paramita dalam Supriyadi (2003), budaya kerja dapat dibagi menjadi:

1. Sikap terhadap pekerjaan, yakni kesukaan akan kerja dibandingkan dengan kegiatan lain, seperti
bersantai, atau semata-mata memperoleh kepuasan dari kesibukan pekerjaannya sendiri, atau
merasa terpaksa melakukan sesuatu hanya untuk kelangsungan hidupnya.
2. Perilaku pada waktu bekerja, seperti rajin, berdedikasi, bertanggung jawab, berhati-hati, teliti,
cermat, kemauan yang kuat untuk mempelajari tugas dan kewajibannya, suka membantu sesama
karyawan atau sebaliknya.

Budaya kerja yang sehat didasarkan pada tiga E, yaitu :

1. Encouragement (dorongan),
2. Enterprise (keberanian berusaha),
3. Exellence (keunggulan).
Dorongan haruslah menjadi dasar pertama, bila sudah diberi dukungan yang dibutuhkan orang
akan berusaha melakukan yang terbaik.
Budaya kerja yang sehat adalah budaya budaya dimana sebagian besar orang merasa sebagai
pemenang (Pegg Mike,1994).

Tujuan dan Manfaat Budaya Kerja

Melaksanakan budaya kerja mempunyai arti yang sangat dalam karena akan merubah sikap dan
perilaku sumber daya manusia untuk mencapai produktivitas kerja yang lebih tinggi dalam menghadapi
tantangan masa depan. Manfaat yang didapat antara lain:

1. Menjamin hasil kerja dengan kualitas yang lebih baik.


2. Membuka seluruh jaringan komunikasi.
3. Keterbukaan, kebersamaan, kegotong-royongan dan kekeluargaan.
4. Menemukan kesalahan dan cepat memperbaiki.

Cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan dari luar (faktor external seperti; pelanggan,
tekhnologi, sosial, ekonomi dan lain sebagainya).

1. Kepuasan kerja yang meningkat .


2. Disiplin meningkat dan pengawasan fungsional berkurang.
3. Pemborosan dan tingkat absensi turun.

Motivasi kerja meningkat (ingin belajar terus menerus, ingin memberikan yang terbaik bagi organisasi,
dan sebagainya).

Hal- hal yang telah disebutkan diatas sangat penting bagi pengembangan sumber daya manusia agar
mampu memberikan sumbangan kerja yang terbaik atau optimal bagi manajemen, dengan masuknya
nilai-nilai budaya dalam manajemen diharapkan akan terjadi peningkatan kualitas sumber daya
manusia, kualitas cara kerja dan kualitas produknya.

Terbentuknya Budaya Kerja

Budaya kerja terbentuk begitu satuan kerja atau organisasi itu berdiri. “being developed as they learn to
cope with problems of external adaption and internal integration” artinya pembentukan budaya kerja
terjadi pada saat lingkungan kerja atau organisasi belajar menghadapi masalah, baik yang menyangkut
perubahan-perubahan ekternal maupun internal yang menyangkut persatuan dan keutuhan organisasi
(Sithi-Amnuai dalam Ndraha, 2003:76). Perlu waktu bertahun bahkan puluhan dan ratusan tahun untuk
membentuk budaya kerja.
Pembentukan budaya di awali oleh (para) pendiri (founders) atau pimpinan paling atas (top
management) atau pejabat yang ditunjuk, dimana besarnya pengaruh yang dimilikinya akan
menentukan suatu cara tersendiri apa yang dijalankan dalam satuan kerja atau organisasi yang
dipimpinnya.

Nilai- Nilai dalam Budaya Kerja

Menurut Terry dalam Supriyadi (2003), Nilai adalah merupakan inti dari pilihan moral yang berkaitan
dengan etika dalam administrasi / manajemen, juga merupakan sesuatu yang dianggap ”baik,
menyenangkan, penting dan manfaat”. Secara luas nilai- nilai merupakan semua yang dianggap baik,
kebijakan, keindahan, kebenaran dan luhur.

Menurut SK Menpan tahun 2002, yang dikutip oleh Supriyadi (2003), Terdapat 34 unsur nilai atau 17
pasang nilai yang diharapkan dapat dikembangkan oleh setiap aparatur negara, sehingga antara nilai-
nilai yang diyakini akan menumbuhkan motivasi dan tanggung jawab terhadap peningkatan
produktivitas dan kinerja.

Adapun 17 pasang nilai-nilai dasar dimaksud, adalah sebagai berikut ;

1) Komitmen dan konsisten (terhadap visi, misi tujuan organisasi, kebijakan negara serta peraturan
perundangan yang berlaku);

2) Wewenang dan tanggung jawab;

3) Keikhlasan dan kejujura;

4) Integritas dan profesionalisme;

5) Kreativitas dan kepekaan (terhadap lingkungan tugas);

6). Kepemimpinan dan keteladanan;

7) Kerjasama dan dinamika kelompok kerja;

8) Ketepatan dan kecepatan;

9)Rasionalitas dan kecerdasan emosi;

10) Keteguhan dan ketegasan;

11) Disiplin dan keteraturan kerja;

12) Keberanian dan kearifan;

13) Dedikasi dan loyalitas;

14) Semangat dan motivasi;

15) Ketekunan dan kesabaran;

16) Keadilan dan keterbukaan;

17) Penguasaan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.


Budaya kerja merupakan suatu komitmen yang luas dalam upaya membangun SDM, proses kerja dan
hasil kerja yang lebih baik. Untuk mencapai tingkat kualitas yang lebih baik diharapkan bersumber dari
setiap individu yang terkait dalam organisasi kerja itu sendiri. Setiap fungsi atau proses kerja
mempunyai perbedaan cara kerja yang mengakibatkan berbeda nilai-nilai yang cocok untuk diambil
dalam kerangka kerja organisasi, seperti nilai-nilai apa yang sepatutnya dimiliki seseorang yang akan
mempengaruhi kerja mereka. Oleh karena itu falsafah yang dianutnya seperti ”budaya kerja”
merupakan suatu proses tanpa akhir atau terus menerus.

Model Teori Budaya Kerja

Pada praktek manajemen yang efektif menghendaki agar perbedaan perilaku individual diakui dan jika
mungkin dipertimbangkan ketika bertugas menangani perilaku individu dalam organisasi, yang tampak
dalam bentuk kinerja sehingga dalam organisasi variabel individu (kemampuan, keterampilan, latar
belakang dan demografis), variabel organisasi (sumber daya, kepemimpinan, imbalan dan struktur), dan
variabel psikologis (persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi) tidak hanya mempengaruhi
perilaku tetapi mempengaruhi budaya kerja & hasil kerja seseorang

Penilaian Budaya Kerja

Menurut Ilyas (2002), terdapat beberapa faktor yang dapat dinilai dalam penilaian budaya kerja, yaitu
faktor kejujuran, disiplin, inisiatif, kerjasama, hubungan dengan rekan sekerja. Berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan oleh Prayitno WY tahun 2004, budaya kerja dapat dinilai dari aspek kejujuran,
ketekunan, kreativitas, disiplin, Ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Melalui penilaian budaya kerja dapat
diketahui apakah proses pelaksanaan kerja itu sudah sesuai atau belum dengan tujuan uraian pekerjaan
yang telah disusun sebelumnya.

Indikator Penilaian Budaya Kerja

Indikator adalah variabel yang mengindikasikan atau menunjukkan suatu kecendrungan situasi, yang
dapat dipergunakan utuk mengukur perubahan (Green, 1997), sedangkan menurut WHO (2000),
indikator adalah variabel untuk mengukur suatu perubahan baik langsung maupun tidak langsung.
Adapun indikator untuk menilai budaya kerja perawat yang dikembangkan dari nilai-nilai budaya kerja
menurut Ilyas (2002) dan Prayitno (2004) adalah sebagai berikut:

Budaya kejujuran menunjukkan sikap mental yang keluar dari dalam diri seorang perawat yang
merupakan ketulusan hati dalam melaksanakan tugas dan mampu untuk tidak menyalahgunakan
wewenang dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya, dengan indikator yaitu;

1. Ketulusan hati dalam melaksanakan tugas.


2. Sikap berpihak pada kebenaran.
3. Ikhlas dalam bertugas.
4. Tidak menyalahgunakan wewenang.
5. Melaporkan hasil kerja pada atasan menurut apa adanya.

Budaya Inisiatif menunjukkan kemampuan dari seorang perawat untuk mengambil keputusan,
langkah-langkah serta melaksanakan tindakan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas pokok tanpa
menunggu perintah dan berusaha untuk memberi saran yang baik kepada atasan untuk melakukan
pelaksanaan tugas, indikatornya adalah;
1. Mempunyai kemauan untuk melakukan tugas tanpamenunggu perintah.
2. Berusaha mencari tatakerja yang berdaya guna dan berhasil guna.
3. Berusaha memberi saran yang baik pada atasan untuk melaksanakan tugas

Budaya tanggung jawab menunjukkan kesanggupan seorang perawat dalam menyelesaikan pekerjaan
yang diserahkan kepadanya dengan baik, tepat waktu dan bertanggung jawab terhadap resiko untuk
keputusan yang dibuat atau dilakukan, indikatornya adalah;

1. Dapat menyelesaikan tugas dengan baik dan


2. Mengutamakan kepentingan dinas.
3. Tidak melimpahkan kesalahannya pada orang lain.
4. Berani menanggung resiko dari keputusan yang dibuatnya.

Budaya kerjasama menunjukkan sikap mental dari seorang perawat dalam hal melaksanakan tugas
dengan teman sekerja dan atasan dalam melaksanakan tugas, indikatornya yaitu;

1. Kerjasama dengan rekan sekerja dan atasan.


2. Berusaha mengetahui bidang tugas orang lain yang berhubungan dengan tugasnya.
3. Menghargai pendapat orang lain.
4. Bersedia menerima keputusan yang diambil secara sah, walaupun berbeda opendapat.

Budaya disiplin menunjukkan sikap dan perilaku perawat terhadapkedisiplinan di tempat kerja,
dengan indikator yaitu;

1. Kehadiran tepat waktu saat pergantian shift dinas

2. Mematuhi peraturan dan norma yang berlaku di Institusi dan ruangan.

3. Penegakan hukum dan sangsi yang tegas

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, A 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta: Binarupa Aksara.

Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Gibson.J.L. 1997. Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Erlangga.

Martoyo, S. 2004. Manajemen Sumber daya Manusia. Yogyakarta: BPFE

Ndraha, T. 2003. Budaya Organisasi. Jakarta Rineka Cipta

Robbin, SP. 1996. Perilaku Organisasi, Konsep, Kontroversi, Aplikasi. Jakarta: PT. Prenhallindo.

Sedarmayanti. 2004 Pengembangan Kepribadian Pegawai. Yogyakarta: BPFE


E-Edukasi di Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit
Perawat perannya di dalam lingkup kesehatan selain sebagai pembari layanan keperawatan dan advokat
adalah sebagai edukator bagi klien dan keluarga klien (Rahmawati, 2017).

Memberikan informasi mengenai kesehatan klien termasuk menyediakan fasilitas edukasi bagi klien juga
merupakan tugas sebagai perawat. Kurang pengetahuan atau deficient knowledge adalah kekurangan
atas informasi kognitif yang berhubungan dengan masalah/penyakit yang sering kali dialami oleh pasien
dan keluarga pasien dan perlu untuk diselesaikan oleh perawat.

Masalah kurang pengetahuan ini merupakan masalah yang kerap muncul pada pasien yang dirawat di
rumah sakit. Oleh karena itu, untuk meningkatkan pengetahuan dan keselamatan pasien, rumah sakit
berkewajiban memberikan edukasi baik kepada pasien maupun keluarga pasien.

Selain memberikan edukasi, rumah sakit juga bertanggung jawab dalam penyediaan fasilitas untuk akses
informasi kepada pasien.

Penyuluhan ini penting dilakukan pada pasien utamanya dengan penyakit-penyakit kronis. Penyakit
kronis merupakan penyakit menahun yang lama diderita oleh pasien, lamanya lebih dai 6 bulan.

Penyakit kronis yang sering di alami oleh masyarakat adalah seperti diabetes mellitus, stroke, gagal
ginjal, hipertensi dan lain-lainnya. Dengan penyakit yang menahun dan waktu yang lama ini pasien
harus beradapatasi dengan penyakit yang dialaminya agar penyakit tidak semakin parah dan tidak
mengganggu aktifitas pasien.

Dengan kata lain, dengan adanya edukasi tentang kesehatan pasien diharapkan bisa living harmony with
disease. Mampu melakukan tindakan pencegahan dan mengetahui kondisi tubuhnya jika sewaktu terjadi
perubahan sehingga mampu melakukan tindakan yang tepat.
Perkembangan jaman sekarang ini semakin mengarah kepada zaman serba tekhnologi. Segala macam
aktivitas, baik aktivitas umum maupun aktivitas di lingkup kesehatan. Masyarakat pun sekarang juga
semakin modern dengan terbukti mayoritas masyarakat menggunakan gadget-gadet pintar yang
memiliki kemampuan teknologi yang canggih.

Mengikuti perkembangan tersebut pelayanan kesehatan dan perawat dituntut untuk memanfaat dari
kecanggihan teknologi tersebut dalam kesiapan e-Edukasi dalam mengimplementasikan penyuluhan
kesehatan dengan sistem IT klinis.

Sebagai edukasi kepada pasien, media penyuluhan haruslah mempunyai tampilan yang menarik,
memakai bahasa yang mudah dipahami masyarakat dan dengan menambah gambar yang interaktif,
sehingga membaca lebih nyaman dan mudah memahami maksud tujuan penyampaian. Selain itu,
penyuluhan kesehatan harus mudah diakses.

Edukasi menggunakan kemajuan teknologi (e-Edukasi) ini diharapkan mampu memberikan dampak
efektifitas dan meringkankan beben kerja perawat melakukan perannya dalam memberikan edukasi
kepada pasien yang juga akan berdampak pada peningkatan pengetahuan pasien dan proses
penatalaksanaan masalah penyakit yang dialami pasien serta menyediakan informasi kesehatan yang
terpercaya bagi pasien.

Peran Kepemimpinan dalam Tindakan Edukasi Perawat Terhadap Pasien


Manajemen merupakan sebuah rangkaian proses yang terdiri planning, organizing, actuating dan
controlling. Manajemen dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan yang ditentukan George dalam
Herujito (8).

Sedangkan Manajer adalah seorang yang diberi wewenang serta tanggung jawab demi mencapai tujuan-
tujuan yang sebelumnya sudah ditetapkan dalam sebuah organisasi.

Sementara itu, individu masuk ke dalam bagian organisasi yang bersama-sama berupaya mencapai
tujuan tersebut melalui usaha yang dilakukan oleh orang lain.

Seorang Manajer yakni individu yang memiliki kemampuan teknis, kemampuan berinteraksi atau
hubungan antara manusia, serta memiliki kemampuan konseptual (visioning dan strategi).

Seorang Manajer yakni individu yang memiliki kemampuan teknis, kemampuan berinteraksi atau
hubungan antara manusia, serta memiliki kemampuan konseptual (visioning dan strategi).

Di dalam organisasi, manajer berperan penting dalam menentukan arah tujuan organisasi tersebut. Dia
memiliki peran penting merumuskan sebuah strategi yang tepat dalam sebuah organisasi. Tetapi, peran
manajer tidak terlepas dari peran seorang pemimpin.

Kepemimpinan yakni proses mempengaruhi orang agar dapat memahami serta setuju terhadap apa
yang perlu dikerjakan serta bagaimana tugas tersebut dapat dilakukan dengan efektif. Dengan kata lain,
dalam kepemimpinan, seorang pemimpin berupaya memfasilitasi usaha individu serta kelompok agar
mencapai tujuan bersama. Seorang pemimpin dapat berwujud dalam berbagi jabatan, baik manager
maupun anggota.
Manajemen dan kepemimpinan merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dalam
membawa suatu perubahan ke arah yang baik. Perubahan akan terus terjadi secara berkala, oleh
karenanya setiap organisasi harus melakukan perubahan agar organisasi tersebut dapat terus
berkembang.

Tidak sedikit organisasi yang kurang berani melakukan perubahan, sehingga berakibat pada gagalnya
perkembangan organisasi tersebut. Kegagalan sebuah organisasi perusahaan akan memberi
kesempatan pada pesaingnya. Padahal, perubahan menjadi hal yang harus dihadapi di era globalisasi
ini. Salah satu perubahan yang dapat terjadi yakni perubahan dalam pelayanan kesehatan.

Perawat manajer memiliki peranan sebagai penentu kebijakan yang dapat dijalankan oleh kepala
bidang, koordinasi kebijakan dengan pelaksanaan lapangan yang dapat dilakukan oleh kepala ruang.
Sedangkan perawat pelaksana memiliki peranan penting dalam pemberian asuhan perawatan ke pada
pasien.

Beberapa peran perawat yakni sebagai pendidik, advokasi, koordinator, kolabolator, konsultan,
pembaharu (CHS dalam Zaidin 2002). Salah satu peran penting yang dimiliki perawat yakni sebagai
edukator. Hal tersebut disebabkan karena hampir di seluruh pelayanan yang dilakukan perawat
berkaitan dengan edukasi baik kepada pasien, keluarga, maupun pengunjung. Seperti diungkapkan oleh
Potter & Perry (2009), pasien dan keluarga berhak mendapat informasi tentang pelayanan yang akan
diterima sesuai bahasa yang diinginkan dan diharapkan pasien dapat didengar dan dihormati.

Perilaku edukasi adalah standar profesi perawat yang merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan
berkualitas dengan tujuan meningkatkan kesehatan pasien, mempertahankan keperawatan diri pasien
dan mengembangkan pola hidup sehat.

Edukasi penting dilakukan perawat karena merupakan tanggung jawab dan fungsi penting bagi profesi
perawat dalam pemenuhan kebutuhan pasien. Tanggung jawab ini sekaligus sebagai jembatan
kesenjangan yang dapat terjadi antara pengetahuan dan kebutuhan perawatan pasien dan kesehatan
yang optimal dapat tercapai.

Pentingnya tindakan mengedukasi kepada pasien untuk meningkatkan derajat kesehatan terkadang
belum disertai upaya optimal baik dari perawat pelaksana maupun perawat manajer. Seperti yang
diungkapkan oleh Yilmaz dalam penelitiannya dari 187 pasien yang memiliki sakit jantung koroner di 3
rumah sakit di Ankara City didapatkan bahwa 93,6% pasien yang akan melakukan rawat jalan
mengungkapkan kurang mendapat informasi selama dilakukan perawatan (Yilmaz, 2005). Selain itu,
kurang dilakukannya edukasi dapat mempengaruhi rehospitalisasi.

Wolinsky dalam Widiastuti (2012) menjelaskan bahwa 1,5 juta penduduk Amerika dengan myokard
infark, memiliki 2,1 juta episode dirawat di rumah sakit dengan sakit yang sama. Berdasarkan kondisi
tersebut, maka perlu dilakukannya tindakan edukasi lebih optimal lagi.

Kondisi di atas mendorong dunia keperawaatan untuk membawa perubahan dalam pelayanan
kesehatan khususnya asuhan keperawatan mengedukasi pasien. Di dalam sebuah pelayanan kesehatan,
perkembangan dan perubahan akan terus terjadi seiring berkembangnya keilmuan dan kebijakan. Maka
dari itu, seorang manajer atau kepala ruang tidak dapat mengandalkan pengalaman saja untuk
memimpin sebuah organisasi. Sikap kepemimpinan perlu diterapkan untuk membawa perubahan ke
arah yang lebih baik.
Manajer memiliki kemampuan memimpin perubahan tindakan edukasi kepada pasien. Kemampuan
tersebut meliputi kemampuan teknis, kemampuan berinteraksi dengan banyak orang.

Kepala ruang merupakan individu yang bertanggung jawab untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan
dan pengawasan edukasi terstruktur. Di dalam melaksanankan sistem edukasi terstruktur maka seorang
manajer atau kepala ruang dituntut untuk memiliki kemampuan teknis. Melalui pemahaman terhadap
pelaksanaan edukasi kepada pasien maka akan memudahkan kepala ruang memberikan contoh terbaik.

Seorang manajer atau kepala ruang mengatur keseluruhan seperti sumber daya manusia, logistik,
keuangan dan lain. Sebagai kepala ruang, fungsi manajer berperan penting untuk mengarahkan strategi
tindakan edukasi yang tepat yang diterapkan perawat kepada pasien. Oleh karenanya kepala ruang
harus dapat mengkomunikaskan sistem edukasi terstruktur kepada perawat pelaksana. Hubungan
interaksi manajer atau kepala ruang kepada perawat pelaksana akan mempengaruhi seberapa baik
perubahan tindakan edukasi terstruktur dapat diterapkan.

Ruky (2002) mengungkapkan bahwa manajer atau kepala ruang harus memiliki pemikiran kritis dalam
menjalankan menajemen keperawatan termasuk berfikir kritis bagaimana tindakan edukasi dapat
dilakukan lebih optimal di ruangannya. Manajer atau kepala ruang sebagai koordinator utama bertugas
mengkoordinir perawat pelaksana di dalam sebuah ruang rawat inap untuk membuat rancangan tujuan
yang jelas berkaitan sistem edukasi terstruktur.

Manajer atau kepala ruang dituntut untuk memiliki strategi yang jelas, baik dan tepat sebagai pengarah
perubahan sistem edukasi menjadi lebih terstruktur sehingga akan lebih optimal dalam pemberian
pelayanan kepada pasien.

Seorang pemimpin harus mampu mengelola perubahan tindakan edukasi kepada pasien. Oleh karena
itu, pemimpin harus mau selalu belajar terus menerus, mampu membuka pikiran dan hati terhadap
perkembangan yang terjadi.

Pemimpin selalu memiliki keinginan kuat untuk belajar dan mengetahui hal baru termasuk bagaimana
tindakan edukasi perawat dapat dilakukan secara optimal yakni salah satunya melalui edukasi
keperawatan terstruktur.

Seorang pemimpin juga harus berorientasi pada pelayanan, yakni bagaimana memberikan pelayanan
terbaik kepada pasien. Ketika teradapat hal baru yang akan mengubah sistem lama untuk memperbaiki
pelayanan, seorang pemimpin akan menerima perubahan tersebut.

Seperti ketika pemimpin mengetahui perubahan terkait sistem edukasi keperwatan terstruktur untuk
pelayanan yang lebih baik, maka ia akan membuka diri terhadap perubahan tersebut.

Seorang pempin yang baik selalu memanfaatkan energi positif. Contohnya, setelah visi ditetapkan di
ruangan rawat inap, selanjutnya perubahan dapat dilakukan oleh setiap perawat pelaksana yang
bertugas di ruangan tersebut.

Tindakan-tindakan kepemimpinan yang baik akan memotivasi perawat pelaksana lain untuk melakukan
perubahan segera dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Individu yang memiliki jiwa
pemimpin, biasanya mudah mempercayai orang lain. Individu tersebut akan percaya bahwa rekan
sejawatnya mampu melaksanakan visi pelayanan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik melalui
edukasi terstruktur.
Pada prinsipnya, setiap individu merupakan pemimpin. Seorang pemimpin akan merasa hidupnya
seimbang, yakni dapat menyesuaikan terhadap hal-hal baru. Penyesuaian terhadap hal-hal baru akan
menyeimbangkan keinginan dan tanggung jawab yang dimilikinya dan tidak merasa terbebani untuk
menjalaninya.

Seorang pemimpin harus memiliki keyakinan untuk mencapai cita-cita yang diinginkan. Ketika terjadi
perubahan di dalam manajemen keperawatan di ruangannya seperti perubahan sistem edukasi
keperawatan yang ada, maka seorang pemimpin memiliki keyakinan yang kuat bahwa dirinya bisa
melakukan perubahan dengan baik.

Garl Yuki di dalam Susanto menjelaskan bahwa kepemimpinan merupakan perilaku individu dan
aktivitas kelompok ke sebuah tujuan yang ingin dicapai. Hemhil & Coons di dalam Susanto juga
menjelaskan bahwa Kepemimpinan merupakan pengaruh antar individu yang dapat dijalankan suatu
situasi tertentu dan dapat diarahkan dari proses komunikasi untuk mencapai tujuan bersama.

Terhadap dinamisasi dalam hal keperawatan ini, seorang pemimpin harus selalu mau berlatih demi
memperbaharui diri agar mampu mencapai prestasi yang tinggi.

Untuk meraih cita-cita tersebut, seorang pemimpin yang baik tidak bisa berdiam diri melainkan harus
melakukan sesuatu perubahan, minimal untuk dirinya sendiri. Pemimpin harus menjadi role model bagi
perawat pelaksana lainnya. Melalui dedikasinya yang tinggi, maka akan memotivasi perawat pelaksana
lain untuk meningkatkan dedikasi dirinya melakukan tindakan terbaik yang mendukung cita-cita
bersama.

Individu manusia pasti pernah melakukan kegiatan memimpin, paling tidak memimpin dirinya sendiri.
Oleh karenanya, antar satu individu dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Alangkah baiknya
apabila di dalam sebuah ruangan, setiap perawat dapat memimpin dirinya sendiri dengan baik. Jika
setiap perawat dapat memimpin diri dengan baik maka perubahan baik yang diharapkan oleh seorang
manajer atau kepala ruang akan mudah terwujud. Perubahan sistem edukasi keperawatan terstruktur
akan optimal apabila ada proses saling mempengaruhi antar individu perawat untuk mencapai ke arah
lebih baik

Di dalam melakukan sebuah perubahan, tidak akan selamanya mudah dilakukan. Berbagai rintangan
akan muncul silih berganti. Oleh karenanya, memerlukan strategi tepat dan terbaik untuk mengelolanya.
Strategi perubahan yang telah ditetapkan kemudian dilaksanakan oleh setiap individu perawat.
Selanjutnya tugas seorang pemimpin adalah menyusun rencana kerja dan mengatur menjadi kesatuan
kerja yang efektif.

Akan tetapi, jika ternyata rencana kerja yang dilakukan dalam rangka pengelolaan perubahan yang
dilakukan kesulitan diterapkan dikarenakan kurangnya keyakinan dalam diri perawat, maka tugas
pemimpin yakni menanamkan di dalam hati serta pikiran untuk menyadarkan perawat pelaksana
bersama-sama mencapai tujuan yang diinginkan. Manajer atau kepala ruang yang memiliki jiwa
kepemimpinan yang efektif akan membawa perubahan ke arah yang baik dengan mudah. Seorang
manajer atau kepala ruang yang memiliki perawat pelaksana yang memiliki kepemimpinan yang tinggi
untuk dirinya sendiri, maka juga akan memudahkan tercapainya visi misi ruangan tersebut. *****

Anda mungkin juga menyukai