RMK 1 PDF

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 16

RANGKUMAN MATERI KULIAH

MANAJEMEN RITEL

RPS 1

DOSEN PENGAMPU : Ni Made Rastini, S.E., M.M.

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 5

DESAK PUTU ARIESI (1707522027)

KADEK SITA ARTHA HAPSARI (1707522122)

PUTU RATIH ARGITA DEWI (1707522128)

NI MADE AYU SUTARININGSIH (1707522130)

MAYTRI KIARA SARASWATHI (1707522132)

PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN REGULER DENPASAR

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2020
PEMBAHASAN

1.1 Pengertian Bisnis Ritel

Kata ritel yang berasal dari bahasa Perancis, ritellier, yang berarti memotong atau memecah
sesuatu. Maka, ritel menunjukkan upaya untuk memecah barang atau produk yang dihasilkan dan
didistribusikan oleh manufaktur atau perusahaan dalam jumlah besar dan massal untuk dapat
dikonsumsi oleh konsumen akhir dalam jumlah kecil sesuai dengan kebutuhannya. Bisnis ritel
dapat dipahami sebagai semua kegiatan yang terlibat dalam penjualan barang atau jasa secara
langsung kepada konsumen akhir untuk penggunaan pribadi dan bukan penggunaan bisnis dan
barang atau jasa dapat diberikan nilai lebih untuk di konsumsi oleh konsumen akhir. Ritel juga
menyediakan pasar bagi para produsen utnuk menjual produk – produk mereka. Jadi, ritel
merupakan kegiatan terkakhir dalam jalur distribusi yang menghubungkan produsen dengan
konsumen.

Perusahaan Pedagang Besar Ritel Konsumen akhir

Ritel merupakan mitra dari agen atau distributor yang memiliki nama lain wholesaler (pedagang
partai besar). Gambar diatas merupakan saluran penjualan tradisional, karena masing – masing
pihak memiliki tugas yang terpisah.

Saluran penjualan tradisional telah berubah menjadi saluran vertical, di mana dalam beberapa jalur
ditribusi barang dagangan, produsen atau manufaktur, pedagang besar dan ritel di tangani oleh
perusahaan – perusahaan indepensen yang bukan merupakan anggota saluran distribu tersebut.
Saluran vertical merupakan suatu slauran distribusi yang melibatkan sekumpulan perusahaan
anggota saluran.

1.2 Paradigma dan Fungsi Ritel


1.2.1 Paradigma ritel

Paradigma ritel tradisional merupakan pandangan yang menekankan pengelolaan ritel dengan
menggunakan pendekatan konvensional dan tradisional. Melalui pendekatan paradigma
konvensional dan tradisional, bisnis ritel dikelola dengan cara-cara yang lebih menekankan pada
“hal yang bisa disiapkan oleh pengusaha tetapi kurang berfokus pada bagaimana kebutuhan dan
keinginan konsumen dipahami dan bahkan dipenuhi. Ciri-ciri dari paradigma pengelolaan ritel
tradisional :

1. Kurang memilih lokasi


Lokasi merupakan faktor yang sangat penting untuk dipertimbangkan dalam pengelolaan ritel.
Pengelola ritel tradisional sering memutuskan untuk memilih lokasi yang saat itu telah dimiliki
atau kebetulan telah tersedia, misalnya lokasi rumah yang telah dimiliki dan digunakan
sekaligus sebagai tempat usaha ritelnya.
2. Tidak memperhitungkan potensi pembeli
Pengukuran dan prediksi potensi pembeli merupakan faktor yang tidak kalah pentingnya,
bahkan sangat saling berkaitan. Potensi pembeli seharusnya juga dipahami sebagai banyaknya
jumlah pembeli potensial yang sekaligus memiliki daya beli atau kemampuan membeli.
Namun dalam konteks pengelolaan ritel tradisional, sering kali hal ini diabaikan.
3. Jenis barang dagangan yang tidak terarah
Salah satu aspek daya tarik bisnis ritel bagi pelanggan adalah keragaman barang dagangan,
baik dari sisi banyaknya jenis klasifikasi barang dagangan, maupun variasi merek untuk setiap
kategori barang dagangan. Dalam konteks ritel tradisional, hal ini sering kali diabaikan.
Pengelolaan barang dagangan (merchandising) yang terarah sesuai dengan segmen pasar yang
dilayani sering kali dikorbankan dalam pengelolaan ritel tradisional karena terkendala
kurangnya kemampuan dan posisi tawar (bargaining) peritel dalam membangun relasi bisnis
dengan para pemasok.
4. Tidak ada seleksi merek
Ritel tradisional terkendala dalam melakukan seleksi merek barang dagangan mereka untuk
menyediakan merek-merek favorit pelanggan karena mereka tidak mempunyai penawaran
yang kuat dalam hal penyeleksian merek barang dagangan yang akan ditawarkan bagi
pelanggan.
5. Kurang memperhatikan pemasok
Dalam konteks ritel tradisional, seleksi atas tiga hal yang telah disebutkan untuk menyeleksi
pemasok kurang mendapat perhatian, khususnya dalam hal jaminan kualitas dan ketersediaan
barang dagangan. Sering kali ritel tradisional lebih mementingkan faktor lunaknya mekanisme
pembayaran barang dagangan dalam melakukan seleksi terhadap pemasok.
6. Melakukan pencatatan penjualan sederhana
Sebagian besar ritel tradisional melakukan pencatatan penjualan secara sederhana, bahkan
banyak peritel tradisional yang tidak melakukan pencatatan penjualan sama sekali. Pencatatan
penjualan penting dilakukan sebagai upaya untuk melakukan kendali dan evaluasi terhadap
penjualan. Namun peritel tradisional sering kali terkendala oleh kurangnya pengetahuan teknik
pencatatan penjualan, maupun kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang pentingnya
untuk melakukan pencatatan penjualan secara kontinu dan berkesinambungan.
7. Tidak melakukan evaluasi terhadap keuntungan per produk
Sebagai implikasi lanjutan dari tidak terarahnya barang dagangan dan tidak dilakukannya
pencatatan penjualan, maka ritel tradisional dihadapkan pada kendala untuk melakukan
evaluasi terhadap keuntungan per produk. Padahal evaluasi terhadap keuntungan per produk
barang dagangan yang ditawarkan pada pelanggan merupakan dasar untuk dapat menetapkan
strategi pengelolaan ritel dengan lebih komprehensif.
8. Arus kas tidak terencana
Kesuksesan ritel akan sangat tergantung pada ketersediaan dan keragaman barang dagangan,
apabila aliran dana tunai tidak terencana dengan baik maka peritel tidak akan mampu
menjamin ketersediaan barang dagangan bagi pelanggannya.
9. Pengembangan bisnis tidak terencana
Kondisi ritel tradisional yang terkendala karena rendahnya kontrol dan mekanisme untuk
melakukan evaluasi usaha mengakibatkan peritel tradisional sering kali tidak mampu
melakukan perencanaan yang matang dalam melakukan pengembangan bisnisnya.

Paradigma Ritel Modern merupakan pandangan yang menekankan pengelolaan ritel dengan
menggunakan pendekatan modern di mana konsep pengelolaan peritel lebih ditekankan dari sisi
pandang pemenuhan kebutuhan konsumen yang menjadi pasar sasarannya. Beberapa ciri dari
paradigma pengelolaan ritel modern t:

1) Lokasi strategis merupakan faktor penting dalam bisnis ritel


Lokasi merupakan faktor yang sangat penting dipertimbangkan dalam pengelolaan ritel,
mengingat sekali keputusan pilihan lokasi ditetapkan maka akan diikuti oleh konsekuensi
investasi maupun strategi yang kompleks. Pilihan lokasi dalam suatu area perdagangan seperti
mal dan plaza, banyak dipertimbangkan dalam paradigma ritel modern dewasa ini karena
beberapa aspek, antara lain kemudahan akses oleh pelanggan; keamanan dan fasilitas yang
lebih terjamin baik bagi peritel, pelanggan; maupun pemenuhan terhadap kebutuhan pelanggan
yang menginginkan one stop shopping.
2) Prediksi cermat terhadap potensi pembeli
Pengukuran dan prediksi potensi pembeli merupakan faktor yang sangat penting dalam
pengelolaan ritel modern. Potensi pembeli dapat dievaluasi sekaligus terkait dengan daya beli
atau kemampuan belanja.
3) Pengelolaan jenis barang dagangan terarah
Pengelolaan barang dagangan yang terarah harus disesuaikan dengan segmen pasar yang
dilayani dan hal ini aka berimplikasi terhadap strategi bauran ritel yang akan ditetapkan oleh
peritel van memiliki paradigma pengelolaan ritel modern.
4) Seleksi merek yang sangat ketat
Ritel modern sering kali mematok untuk menyiapkan merek-merek produk barang
dagangannya yang mempunyai pangsa pasar yang cukup besar (biasanya merek-merek yang
mempunyai peringkat lima teratas dalam hal penguasaan pangsa pasar).
5) Seleksi ketat terhadap pemasok
Seleksi terhadap pemasok merupakan hal yang sangat penting dilakukan dalam bisnis ritel.
Pemasok yang baik akan memperhatikan: kualitas barang dagangan, kesinambungan
pengiriman untuk menjaga ketersediaan barang dagangan di toko, maupun mekanisme
pembayaran barang dagangan.
6) Melakukan pencatatan penjualan dengan cermat
Sebagian besar ritel yang memiliki paradigma ritel modern melakukan pencatatan penjualan
dengan cermat bahkan dengan bantuan peranti lunak (software) yang memungkinkan
melakukan pencatatan ribuan transaksi penjualan setiap harinya. Kondisi ini mutlak dilakukan
oleh peritel mengingat jumlah unit produk yang mencapai jumlah puluhan ribu pada ritel
modern tidak memungkinkan lagi ditangani dengan mekanisme pencatatan penjualan secara
manual.
7) Melakukan evaluasi terhadap keuntungan per produk
Evaluasi terhadap keuntungan per produk barang dagangan yang ditawarkan pada pelanggan
merupakan dasar untuk dapat menetapkan strategi pengelolaan ritel dengan lebih
komprehensif. Melalui evaluasi keuntungan per produk, peritel dapat mengklasifikasikan
mana produk-produk yang tergolong sebagai produk cepat laku (fast moving product) dan
mana yang dikelompokkan sebagai produk yang kurang laku (slow moving product).
8) Arus kas terencana
Pengelolaan aliran dana tunai merupakan hal yang sangat penting dalam bisnis ritel.
Kesuksesan ritel akan sangat tergantung pada ketersediaan dan keragaman barang dagangan.
Apabila aliran dana tunai tidak terencana dengan baik maka peritel tidak akan mampu
menjamin ketersediaan barang dagangan bagi pelanggannya.
9) Pengembangan bisnis terencana
Arah pengembangan bisnis ritel modern direncanakan dengan baik dan berkesinambungan
dalam jangka panjang. Hal ini terkait dengan investasi besar yang harus disiapkan dalam bisnis
ritel modern maupun dukungan sistem informasi dan pengelolaan yang andal dan
memungkinkan untuk melakukan pengembangan bisnis ritel dengan terencana.

1.2.2 Fungsi Ritel


1) Menyediakan Berbagai Macam Produk dan Jasa
Dalam fungsinya sebagai ritel maka pelaku bisnis ritel berusaha menyediakan berbagai macam
kebutuhan konsumen yaitu beraneka ragam produk dan jasa (providing assortments) baik dari
sisi keanekaragaman jenis, merek, dan ukuran dari barang dagangan. Contohnya, supermarket
menyediakan produk-produk makanan, kesehatan, perawatan kecantikan, dan produk rumah
tangga, sedangkan departement store menyediakan berbagai macam kain, aksesori, produk
pakaian, dan lain-lain.
2) Memecah
Memecah (breaking bulk) di sini berarti memecah beberapa ukuran produk menjadi lebih kecil,
yang akhirnya menguntungkan produsen dan konsumen. Jika produsen memproduksi barang
dan jasa dalam ukuran besat, maka harga barang atau jasa tersebut menjadi tinggi. Sedangkan
konsumen juga membutuhkan barang atau jasa tersebut tidak dalam ukuran besar dan mereka
menghendaki harga yang lebih rendah.
3) Perusahaan Penyimpan Persediaan
Fungsi utama ritel adalah mempertahankan inventaris yang sudah ada, sehingga produk akan
tersedia saat para konsumen menginginkannya. Jadi para konsumen bisa mempertahankan
inventaris kecil produk di rumah karena mereka tahu ritel akan menyediakan produk- produk
tersebut bila mereka menginginkan produk tersebut.
4) Penghasil Jasa
Dengan adanya ritel, maka konsumen akan mendapat kemudahan dalam mengonsumsi
produk-produk yang dihasilkan produsen. Selain itu, ritel juga dapat mengantar produk hingga
dekat ke tempat konsumen. Ritel menyediakan jasa (providing service) yang membuatnya
mudah bagi konsumen dalam membeli dan menggunakan produk. Mereka menawarkan kredit
sehingga konsumen bisa memiliki produknya sekarang dan membayarnya nanti.
5) Meningkatkan Nilai Produk dan Jasa
Dengan adanya beberapa jenis barang atau jasa, maka untuk suatu aktivitas pelanggan yang
memerlukan beberapa barang, pelanggan akan membutuhkan ritel karena tidak semua barang
dijual dalam keadaan lengkap. Pembelian salah satu barang ke ritel tersebut akan menambah
nilai barang tersebur terhadap kebutuhan konsumen.

1.3 Karakteristik Dasar Ritel

Karakteristik dasar ritel dapat digunakan sebagai dasar dalam mengelompokkan jenis ritel.
Terdapat tiga karakteristik dasar yaitu :

1. Pengelompokan berdasarkan unsur- unsur yang digunakan ritel untuk memuaskan kebutuhan
konsumen
2. Pengelompokan berdasarkan sarana atau media yang digunakan
3. Pengelompokan berdasarkan kepemilikan

A. Pengelompokan Berdasarkan Unsur-unsur yang Digunakan Ritel untuk Memuaskan


Kebutuhan Konsumen

Terdapat empat unsur yang dapat digunakan ritel untuk memuaskan kebutuhan pelanggan yang
berguna untuk menggolongkan ritel, yaitu:

1. Jenis barang yang dijual


2. Perbedaan dan keanekaragaman barang yang dijual
3. Tingkat layanan konsumen

Berdasarkan unsur-unsur diatas, ritel dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a) Supermarket Tradisional
Supermarket ini melayani penjualan makanan, daging, serta produk produk makanan lainnya,
serta melakukan pembatasan penjualan terhadap produk- produk non makanan.
b) Big Box Retailler
Pada format big-box retailer, terdapat beberapa jenis supermarket, yaitu supercenter,
hypermarket, warehouse.
c) Convenience Store
Convenience store memiliki variasi dan jenis produk yang terbatas
d) General Merchandise Retail
Jenis ritel ini meliputi took diskon, took khusus, took kategori, department store, off price
retailing, dan value retailing.

B. Pengelompokan Berdasarkan Sarana yang Digunakan

Pada bisnis ritel, terdapat dua bentuk utama dalam penggunaan sarana atau media yang digunakan.
Dua bentuk utama bisnis ritel tersebut adalah ritel dengan sistem penjualan melalui took dan ritel
dengan sistem penjualan tidak melalui toko.

a) Penjualan Melalui Toko


Pada ritel yang menggunakan toko untuk pemasaran produk, jelas bahwa terdapat aktivitas
perindustrian produk dari produsen kepada konsumen melalui peritel dan pedagang grosir.
b) Penjualan Tidak Melalui Toko
Jenis- jenis penjualan ritel yang tidak melalui toko antara lain :
• Ritel elektronik
• Katalog dan pemasaran surat langsung
• Penjualan langsung
• Television home shopping
• Vending machine retailing
C. Pengelompokan Berdasarkan Kepemilikan

Ritel dapat diklasifikasikan pula secara luas menurut bentuk kepemilikan. Berikut adalah
klasifikasi utama dari kepemilikan ritel

1. Pendirian toko tunggal atau mandiri


Ritel tunggal atau mandiri adalah ritel yang dimiliki oleh seseorang atau kemitraan dan tidak
dioperasikan sebagai bagian dari Lembaga ritel yang lebih besar.
2. Jaringan perusahaan
Ritel yang dimiliki dan dioperasikan sebagai satu kelompok oleh sebuah organisasi
3. Waralaba
Merupakan ritel yang dimiliki dan dioperasikan oleh individu tetapi memperoleh lisensi dari
organisasi pendukung yang lebih besar

1.4 Peluang Bisnis Ritel di Indonesia

Bisnis ritel di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat pada beberapa tahun terakhir
ini, dengan berbagai macam format serta jenisnya. Hal ini, diakibatkan oleh adanya perkembangan
usaha manufaktur dan peluang pasar yang cukup terbuka, maupun upaya pemerintah untuk
mendorong perkembangan bisnis ritel. Pemerintah berperan dalam melakukan perlindungan
terhadap ritel nasional yaitu, melalui peraturan pemerintah dan undang-undang. Investasi
perusahaan ritel asing ke Indonesia dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu: (1) kemitraan sistem
waralaba seperti Body shop, JC Penny, Mark and Spencer, (2) kerja sama operasi (technical
assistance atau KSO) seperti Sogo dan Seibu, dan (3) kemitraan bersama pengusaha kecil (joint
venture). Hal ini memungkinkan ritel asing untuk berinvestasi di Indonesia.

Secara makro, perkembangan industri ritel tidak terlepas dari pengaruh tiga faktor utama yaitu :

(1) Faktor Ekonomi


Faktor ekonomi yang menunjang pertumbuhan industri ritel terutama adalah pendapatan
per kapita penduduk Indonesia. Penjualan Ritel Dilihat dari Persentase Gross Domestic
Product (GDP) dan Pengeluaran Konsumen
Persentase penjualan barang berdasarkan GDP telah membaik sejak krisis ekonomi 1998.
Dari 22,1%, penjualan ritel meningkat menjadi 22,5% dan 22,9% untuk tahun 2002 dan 2003.
Peningkatan ini disebabkan dengan pertumbuhan GDP yang lambat yaitu hanya 11,1% dan
20,1% pada tahun 2002 dan 2003. Meski penjualan ritel telah meningkat di tahun 2002, para
peritel masih berpikir bahwa kenaikan tersebut dapat lebih ditingkatkan pada tahun 2003.
Meski pengeluaran masyarakat semakin meningkat karena kenaikan tarif dasar listrik dan
bahan bakar, para peritel tetap yakin bahwa kondisi tersebut akan membaik. Penjualan ritel
berdasarkan pengeluaran konsumen mencapai 32,7% pada tahun 2002. Meski masyarakat
menjadi lebih berhati-hati dan fokus dalam memilih produk makanan, tetapi pengeluaran
masyarakat tetap meningkat pada tahun 2002. Penjualan ritel diyakini akan terus meningkat
pada tahun 2004, terutama didukung dengan kinerja yang diberikan oleh para peritel.
Nilai penjualan ritel diprediksikan hampir mencapai Rp412 triliun pada tahun 2003,
meningkat 13% dari tahun sebelumnya. Masyarakat kelas bawah mendapat tambahan
pemasukan meskipun sedikit. Situasi ini tampak buruk bagi mereka yang tinggal di desa dan
mereka masih hidup di garis kemiskinan. Pada tiga bulan pertama tahun 2003, industri ritel
bertumbuh lebih rendah bila dibandingkan pada periode yang sama di tahun 2002.
Pertumbuhan ekonomi pada triwulan I tahun 2008 mengalami perlambatan hampir di
seluruh wilayah Indonesia, kecuali Sumatra. Hał ini disebabkan karena turunnya kegiatan
konsumsi masyarakat maupun kegiatan ekspor. Menurunnya konsumsi masyarakat ini
disebabkan karena meningkatnya beberapa harga kebutuhan masyarakat, terutama kebutuhan
pokok masyarakat. Sedangkan kegiatan ekspor juga mengalami penurunan karena permintaan
luar negeri menurun yang disebabkan lambatnya pertumbuhan ekonomi secara global. Secara
sektoral, perlambatan pertumbuhan ekonomi disebabkan karena lambatnya sektor
perdagangan dan pengolahan, yang disebabkan karena meningkatnya biaya produksi akibat
kenaikan harga bahan baku maupun BBM (Bahan Bakar Minyak).
Pada triwulan II tahun 2008, perekonomian diperkirakan akan membaik dibandingkan
dengan triwulan I tahun 2008. Hal ini didorong oleh membaiknya investasi dan ekspor di
seluruh wilayah. Sementara itu, peningkatan konsumsi akan terbatas akibat adanya tekanan
daya beli masyarakat seiring kenaikan inflasi. Di sisi sektoral, sumber kenaikan pertumbuhan
ekonomi daerah terutama berasal dari meningkatnya pertumbuhan sektor industri pengolahan
dan sektor pertambangan dan penggalian.
Harga berbagai jenis barang dan jasa tahunan dari tahun 2006 hingga bulan April tahun
2008, hampir seluruh sektor mengalami peningkatan. Sektor bahan makanan pada tahun 2006
mengalami inflasi, khususnya pada bulan Januari, Juni, Juli, Oktober, dan Desember. Pada
bulan-bulan ini, anak-anak sekolah berada di rumah karena dalam masa liburan, sehingga
mereka menghabiskan jatah bahan makanan lebih banyak. Selain itu, pada bulan-bulan tersebut
juga terdapat perayaan hari keagamaan seperti Hari Raya Idul Fitri, sehingga tingkat konsumsi
makanan menjadi bertambah banyak, Sedangkan pada tahun 2007, mengalami deviasi, tetapi
tingkat inflasi pada tahun tersebut tetap pada bulan-bulan Januari, Juli, September, Oktober,
dan Desember. Sedangkan data hingga April 2008, pada sektor makanan ini mengalami
peningkatan pesat menjadi 1,62%. Inflasi tertinggi terjadi pada kelompok telur maupun susu,
serta hasil olahannya, Sedangkan deflasi pada sektor makanan terjadi pada kelompok padi-
padian, umbi, dan kacang-kacangan.
Sektor makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau mengalami inflasi dari tahun 2006
hingga bulan April tahun 2008. Tingkat inflasi tertinggi berada di bulan Januari dan Desember
untuk masing-masing tahun, hal ini dikarenakan pada masa-masa ini banyak keluarga yang
berlibur sehingga mereka membeli produk pada sektor ini dalam jumlah besar. Selain itu,
biasanya pada bulan-bulan ini para peritel juga melakukan diskon besar- besaran sehingga
mengalami inflasi. Pada bulan April tahun 2008 terjadi inflasi sebesar 0,86%, di mana sektor
makanan jadi memberikan inflasi yang paling tinggi. Sedangkan sektor tembakau dan
minuman beralkohol memberikan inflasi paling rendah.
Sektor perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar juga mengalami inflasi, terutama pada
bulan Januari tahun 2008 di mana saat itu terjadi kelangkaan gas elpiji dan minyak tanah, serta
pada bulan April tahun 2008. Terlebih lagi pada bulan Mei 2008 terjadi peningkatan harga
BBM, yang akan semakin meningkatkan inflasi terhadap sektor ini.
Beberapa komoditas yang mengalami kenaikan harga selama bulan April tahun 2008
adalah telur ayam ras, daging ayam ras, bawang merah, tomat, cabe rawit, kelapa, nangka
muda, daging sapi, sawi hijau, jeruk, pepaya, tomat, harga sewa dan kontrak rumah, mie kering
instant, ayam goreng, tarif dasar air PDAM, tarif rumah sakit dan biaya kesehatan, sabun
mandi, kue basah dan kering, roti dan sejenisnya, minuman ringan, rokok dan tembakau, bahan
bangunan, gas elpiji, UMR maupun upah pembantu rumah tạngga, surat kabar, angkutan udara,
maupun harga BBM. Sedangkan yang mengalami deflasi adalah tarif pulsa komunikasi, beras,
ikan segar, cabe merah, buncis, kangkung, dan bawang putih.
Gross Domestic Product (GDP) pada triwulan I tahun 2008 mengalami peningkatan
sebesar 2.1% bila dibandingkan dengan triwulan IV tahun 2007. Peningkatan ini terjadi di
sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan; listrik, gas, dan air bersih;
pengangkutan dan komunikasi; serta keuangan, real estat maupun jasa. Peningkatan di bidang
pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan cukup tinggi (18%) karena pada triwulan
pertama merupakan masa panen, sedangkan pada triwulan keempat merupakan masa tanam.
Sehingga GDP meningkat dengan pesat di sektor ini.

(2) Demografi
Faktor kedua adalah demografi yaitu peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Berdasarkan
data BPS (Badan Pusat Statistik) laju pertumbuhan penduduk di Indonesia dari tahun 1980
sampai tahun 1990 adalah 1,98% per tahun. Jumlah penduduk tahun 2000 tercatat kurang lebih
211 juta jiwa dan di prediksi akan berjumlah 242 juta jiwa pada tahun 2010. Data prediksi
jumlah penduduk Indonesia berdasarkan data BPS dapat diamati pada Tabel 1.3. Sedangkan
elemen penting dari faktor yang mendorong pertumbuhan industri ritel adalah meningkatnya
jumlah penduduk golongan menengah, yang merupakan pasar potensial bagi industri ritel.
Melihat prediksi jumlah penduduk Indonesia, terlibat bahwa kapasitas industri ritel Indonesia
cukup besar. Sebagai gambaran, saat ini untuk format departement store dan supermarket
terdapat kurang lebih 527 supermarket di Indonesia di mana lokasinya sebagian besar berada
di sekitar area Jakarta dan Surabaya. Perbandingan dengan total populasi penduduk Indonesia
yang lebih dari 220 juta jiwa adalah satu supermarket melayani sekitar 500.000 jiwa.

(3) Sosial Budaya


Faktor ketiga adalah faktor sosial budaya seperti terjadinya perubahan gaya hidup dan
kebiasaan berbelanja. Konsumen saat ini menginginkan tempat berbelanja yang aman,
lokasinya mudah dicapai, ragam barang yang bervariasi, dan sekaligus dapat digunakan
sebagai tempat rekreasi.
Menurut hasil sigi konsumen yang dilakukan oleh AC Nielsen dan dikutip pada Pilar Bisnis,
terjadi peralihan pola belanja, di mana sekitar 24% konsumen kini cenderung untuk berbelanja
di pasar modern (di perkotaan jumlahnya mencapai 41%). Pada 12 kota besar di Indonesia,
konsumen memilih pasar modern melebihi pasar tradisional yaitu sebesar 53%. Lebih lanjut,
masih berdasarkan hasil penelitian AC Nielsen dan dikutip dalam Tempo, menunjukkan bahwa
kontribusi pasar tradisional terhadap penjualan barang konsumsi menurun dari 84,1% pada
tahun 1999 menjadi 74,4% di tahun 2002. Sebaliknya, supermarket mengalami kenaikan dari
3% pada tahun 1999 menjadi 20,1% pada tahun 2002. Di sini terlihat bahwa pasar tradisional
akan perlahan-lahan tergeser oleh industri ritel modern.

(4) Indikator Sektor Ritel


Nilai penjualan ritel diprediksikan hampir mencapai Rp412 triliun pada tahun 2003. meningkat
13% dari tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan karena meningkatnya gaji tenaga kerja.
Masyarakat kelas bawah mendapat tambahan pemasukan meskipun sedikit. Situasi ini tampak
buruk bagi mereka yang tinggal di desa dan mereka yang masih hidun di garis kemiskinan.
Pada triwulan pertama tahun 2003, industri ritel bertumbuh lebih rendah bila dibandingkan
pada periode yang sama di tahun 2002.
Berdasarkan data konsumsi protein berdasarkan jenis komoditas sejak tahun 1999 hingga tahun
2006, diketahui bahwa komoditas sereal menempati posisi tertinggi di bidang pangan selama
bertahun-tahun, karena selain mengandung banyak kalori juga mengandung protein. Termasuk
dalam komoditas sereal adalah padi, gandum, jagung. sorgum, dan sebagainya. Posisi kedua
ditempati oleh ikan, di mana ikan banyak dikonsumsi karena kandungan terbesar ikan adalah
protein, serta harganya yang murah sehingga dapat dijangkau oleh masyarakat kelas menengah
ke bawah hingga masyarakat kelas menengah ke atas. Posisi ketiga ditempati oleh kacang-
kacangan, sebagai protein nabati, yang disukai karena harganya yang cukup murah. Posisi
berikutnya ditempati oleh makanan siap saji, sayur, telur, dan susu, kemudian daging. Daging,
telur, serta susu merupakan sumber protein yang sama baiknya dengan ikan, tetapi karena
harganya yang tergolong mahal sehingga yang mengonsumsi kebanyakan adalah masyarakat
kelas menengah ke atas saja.
Beberapa peluang yang dapat diwujudkan dalam pengembangan bisnis ritel secara umum
adalah peluang manajemen, peluang kewirausahaan dan peluang terhadap pengembangan
karier. Berikut ulasan mengenai berbagai peluang dalam bisnis ritel tersebut.
(1) Peluang-peluang manajemen
Untuk mengatasi persaingan yang semakin tinggi dan adanya lingkungan yang semakin
menantang, para ritel mulai merekrut dan mempromosikan beberapa orang dengan
berbagai keterampilan dan perhatian dalam hal manajemen. Banyak pelajar yang
menganggap bisnis ritel sebagai bagian dari pemasaran sebab manajemen dari saluran
distribusi merupakan bagian dari fungsi-fungsi pemasaran perusahaan manufaktur. Tetapi,
para pebisnis ritel lebih memilih untuk menjalankan aktivitas bisnis tradisional. Ritel
meningkatkan modal dari institusi keuangan, pembelian barang dan jasa, pembentukan
sistem informasi manajemen dan keuangan untuk mengendalikan operasi, mengatur
gudang atau persediaan dan sistem distribusi, dan mendesain serta membangun produk-
produk baru seperti yang dijalankan aktivitas-aktivitas pemasaran, seperti periklanan,
promosi, manajemen tenaga penjualan, dan penelitian pasar. Sehingga, ritel mengerjakan
berbagai orang dengan keahlian dan perhatian yang bagus dalam keuangan, persediaan,
dan sistem komputer seperti halnya dalam pemasaran atau pemasaran.
Dari hal ini dapat terlihat bahwa bisnis ritel dapat digunakan sebagai peluang manajemen
untuk mempekerjakan berbagai orang yang memiliki keterampilan dan keahlian dalam
pemasaran.
(2) Peluang-peluang kewirausahaan
Bisnis ritel juga menghasilkan peluang-peluang terhadap orang-orang yang berkeinginan
memulai usaha. Beberapa orang terkaya di dunia merupakan wirausahawan dalam jasa
ritel. Beberapa produsen dari produk-produk kenamaan, seperti Giorgio Armani, United
Colors of Benetton, Cerruti, dan sebagainya memanfaatkan jasa ritel dalam memasarkan
produk-produknya. Hal ini disebabkan karena dengan adanya penggunaan jasa ritel dari
luar, maka perusahaan akan menimbulkan efisiensi biaya pemasaran, Pada Amazon.com,
juga terdapat beberapa peluang berwirausaha, yaitu sebagai ritel dari produk-produk buku
dan CD melalui Internet.
(3) Peluang-peluang terhadap pengembangan karier
Pada perusahaan ritel, peluang berkarier timbul pada pembelian, produk-produk,
manajemen toko, dan fungsi-fungsi staf perusahaan. Posisi-posisi perusahaan dapat
dibangun pada beberapa area, seperti akunting, finansial, promosi, dan periklanan, sistem
komputerisasi dan distribusi, serta sumber daya manusia.
a) Manajer toko
Manajer toko adalah orang yang bertanggung jawab terhadap operasional toko.
Keberhasilan manajer toko harus didukung oleh kemampuan untuk memimpin dan
memotivasi pekerjanya. Mereka juga harus sensitif terhadap beberapa hal yang
berkaitan dengan konsumen. Dengan demikian, pengelolaan toko dapat
mengembangkan karier seorang manajer toko untuk semakin meningkat
kemampuannya dalam mengorganisasi karyawan dan menyikapi konsumen.
b) Manajer produk
Pengaturan produk-produk yang dijual pada jasa ritel membutuhkan kemampuan atau
kapabilitas seseorang, kemampuan untuk memprediksi produk-produk yang sesuai
dengan pasar, dan keahlian dalam bernegosiasi para penjual langsung seperti yang
dilakukan manajer toko. Dengan adanya kemampuan memprediksi dan kapabilitas
untuk menganalisis pasar dan konsumen membuat seseorang yang bertanggung jawab
terhadap manajemen barang dagangan akan semakin memiliki kemampuan dan
kapabilitas yang lebih baik.
c) Staf perusahaan
Bisnis ritel memerlukan berbagai keterampilan dalam penguasaan sistem manajemen.
Dalam suatu perusahaan ritel, terdapat beberapa staf yang bertugas pada masing-
masing bagian, seperti bagian sistem komputer, operasi, dan distribusi, promosi, dan
periklanan, keuangan, dan sebagainya yang pada masing-masing bagian memerlukan
keterampilan individu. Dengan adanya bisnis Fitel mi, maka staf pada masing-masing
bagian memiliki peluang untuk semakin meningkatkan kemampuan mereka.
Referensi

Christina Widhya Utami. 2008. Manajemen Ritel. Jakarta: Salemba Empat.

Kotler, Philip dan Kevin Lane Keller. 2008. Manajemen Pemasaran, Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai