Anda di halaman 1dari 33

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN UROLITIASIS

Nama Mahasiswa :
1. Davitson
2. Elly daziah
3. Nurbaeti

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jayakarta


Jln. Raya PKP Kelapa Dua Wetan
Kelurahan Kelapa Dua Kecamatan Ciracas Jakarta Timur 13730
Telp. & Fax 021 22852216
e-mail :stikesjayakarta1@gmail.com
KATA PENGANTAR

Hanya oleh karunia Tuhan Yang Maha Esa, kami bisa menyelesaikan pembuatan
makalah ini, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat-Nya.

Makalah ini kami susun untuk menyelesaikan tugas dari dosen bidang studi
Komprehensif II dengan judul makalah “Asuhan Keperawatan Pasien dengan Urolitiasis”.
Sistematika makalah ini dimulai dari pengantar yang merupakan apersepsi atas materi yang
telah dan akan dibahas dalam Bab tersebut yang dirangkai dengan peta konsep. Selanjutnya,
pembaca akan masuk pada inti pembahasan dan diakhiri dengan penutup berupa kesimpulan
dan saran. Dengan makalah ini, diharapkan pembaca dapat mengkaji berbagai fenomena dan
permasalahan yang mereka temui sehari-hari dalam hidup bermasyarakat.

Kami juga berterima kasih atas dukungan dosen pembimbing dan teman, sehingga
makalah ini dapat kami buat berdasarkan pembelajaran yang sudah kami lewati. Semoga
makalah ini dapat disimpan dengan baik, agar dapat terus dipelajari, dan dapat memberikan
wawasan baru bagi yang membacanya.

Kami mengharapkan saran dan kritik atau penilaian tentang cara kami menyusun dan
membuat makalah ini. Kebenaran dan kesempurnaan hanya Allah-lah yang punya dan Maha
Kuasa. Kami juga berterima kasih pada pihak yang membantu pembuatan dan penyusunan
makalah ini. Termasuk yang membantu mencetak makalah ini.

Jakarta, 31 Mei 2018

i|Page
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ i


DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................................... 2
C. Tujuan ........................................................................................................................................ 3
D. Manfaat Penulisan .................................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN TEORI ................................................................................................................. 4
A. Definisi ....................................................................................................................................... 4
B. Jenis-Jenis Batu ......................................................................................................................... 4
C. Etiologi ....................................................................................................................................... 5
D. Manifestasi Klinis...................................................................................................................... 5
E. Patofisiologi ............................................................................................................................... 7
F. Faktor Resiko ............................................................................................................................ 9
G. Komplikasi ............................................................................................................................... 10
H. Pemeriksaan Diagnostik ......................................................................................................... 10
I. Penatalaksanaan ..................................................................................................................... 11
J. Pengkajian ............................................................................................................................... 11
K. Diagnosa keperawatan ............................................................................................................ 13
L. Intervensi ................................................................................................................................. 15
BAB III KASUS .................................................................................................................................. 21
A. Kasus ........................................................................................................................................ 21
B. Pengkajian ............................................................................................................................... 21
C. Analisa Data ............................................................................................................................ 22
D. Diagnosa Keperawatan ........................................................................................................... 23
E. Intervensi Keperawatan ......................................................................................................... 23
BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................................................... 25
BAB V PENUTUP............................................................................................................................... 29
A. Kesimpulan .............................................................................................................................. 29
B. Saran ........................................................................................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 30

ii | P a g e
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Urolitiasis merupakan salah satu penyakit utama pada traktus urinarius (Wijaya,
2013). Menurut Hanley (2012) urolitiasis merupakan penyakit umum yang masih
menimbulkan beban kesehatan yang signifikan pada populasi usia kerja dan
merupakan tiga penyakit terbanyak di bidang urologi disamping infeksi saluran
kemih dan pembesaran prostat benigna.

Penyakit urolitiasis di dunia termasuk dalam tiga penyakit terbanyak di bidang


urologi dengan rata-rata prevalensi 1-12%. Prevalensi di Amerika Serikat dan
Eropa relatif sama dengan 5-10% sedangkan 20% terjadi di beberapa negara timur
tengah seperti Arab Saudi (Purnomo, 2011). Rumah sakit di Amerika Serikat,
kejadian urolitiasis dilaporkan sekitar 7-10 pasien setiap 1000 pasien rumah sakit
dam 7-21 pasien untuk setiap 10.000 orang dalam sethun (Martha, 2012).

Berdasarkan hasil penelitian yang didapat dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia


(Pernefri) 2013, angka kejadian urolitiasis di Indonesia adalah 37.636 kasus baru
dengan jumlah kunjungan 58.959 orang. Sebanyak 10% masyarakat di negara
Indonesia memiliki resiko untuk menderita urolitiasis dan 50% pada mereka yang
pernah menderita, urolitiasis akan timbul kembali di kemudian hari. Menurut
Buntaram (2014) angka kejadian urolitiasis di Indonesia sesungguhnya masih
belum dapat diketahui namun diperkirakan terdapat 170.000 kasus setiap tahunnya,
di negara-negara berkembang banyak di jumpai pasien batu buli-buli sedangkan di
negara maju lebih banyak di jumpai penyakit batu saluran kemih bagian atas karena
adanya pengaruh status gizi dan aktivitas sehari-hari. Hal ini bahwa penyakit
urolitiasis adalah penyakit yang tersering di sistem perkemihan.

Urolitiasis dapat terjadi pada pelvis ginjal, ureter, kandung kemih, prostat dan
uretra yang menimbulkan atau memperlihatkan gejala yang sedikit berbeda, serta
juga dapat mengakibatkan kelainan patologik yang menunjukkan gejala atau
kerusakan ginjal yang bermakna, hal ini terutama terjadi pada batu besar yang

1|Page
tersangkut di pelvis ginjal. Makna klinisnya batu terletak pada kapasitasnya
menghambat aliran urin, obstruksi aliran urin, atau menimbulkan dampak trauma
yang menyebabkan ulserasi dan perdarahan, pada kasus ini terjadi peningkatan
predisposisi infeksi bakteri. Jika disertai dengan infeksi dapat menimbulkan
pionefrosis, urosepsis, abses ginjal, abses perinefrik, abses paranefrik, ataupun
pielonefritis. Pada keadaan lanjut dapat terjadi kerusakan ginjal dan jika mengenai
kedua sisi mengakibatkan gagal ginjal permanen (Purnomo, 2011). Menurut Pahira
& Razack (2001) salah satu komplikasi urolitiasis yaitu terjadinya gangguan fungsi
ginjal yang ditandai kenaikan kadar ureum dan kreatinin darah, gangguan tersebut
bervariasi dari stadium ringan sampai timbulnya sindroma uremia dan gagal ginjal,
bila keadaan sudah stadium lanjut bahkan bisa mengakibatkan kematian. Penyakit
ginjal dan saluran kemih telah menyumbang 850.000 kematian setiap tahunnya, hal
ini berarti menduduki peringkat ke 12 tertinggi angka kematian.

Kualitas hidup pasien urolitiasis umumnya sangat rendah (Arafah & Rabah, 2010).
Kualitas hidup yang baik setelah pasien mengalami urolitiasis sangat tergantung
pada kualitas pelaksanaan dan asuhan keperawatan yang diberikan sehingga
dibutuhkan peran perawat dan tim kesehatan lain. Peran seorang perawat salah
satunya adalah memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien, dimana
pendidikan kesehatan merupakan salah satu tindakan preventif mandiri yang
dilakukan untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan pasien (Potter &
Perry, 2009). Menurut Colella (2005) perawat sebagai penyedia layanan kesehatan
sangat penting mengetahui penyebab terbentuknya batu ginjal sehingga hal ini
perlu dilakukan pengkajian dan memberikan intervensi kepada pasien serta
mengevaluasi kondisi kesehatan pasien guna mencegah kejadian urolitiasis
berulang yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal permanen.

B. Rumusan Masalah

Melihat tingginya angka kejadian urolitiasis di Indonesia serta kualitas hidup


pasien urolitiasis yang umumnya masih sangat rendah maka penulis merumuskan
masalah bagaimana asuhan keperawatan pasien dengan urolitiasis secara
komprehensif ?

2|Page
C. Tujuan

1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami konsep dan asuhan keperawatan pasien dengan
urolitiasis secara komprehensif.
2. Tujuan Khusus
Setelah pembelajaran ini, diharapkan mahasiswa dapat :
a. Mengetahui pengertian urolitiasis
b. Mengetahui jenis-jenis batu
c. Mengetahui etiologi urolitiasis
d. Mengetahui manifestasi klinis urolitiasis
e. Mengetahui patofisiologi urolitiasis
f. Mengetahui faktor resiko urolitiasis
g. Mengetahui komplikasi urolitiasis
h. Mengetahui pemeriksaan diagnostik urolitiasis
i. Mengetahui penatalaksanaan urolitiasis
j. Memahami asuhan keperawatan pasien dengan urolitiasis

D. Manfaat Penulisan

Berdasarkan penulisan diatas maka diharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi:

1. Bagi mahasiswa dapat dijadikan rujukan untuk makalah lebih lanjut.


2. Bagi pembaca dapat memberikan informasi tentang asuhan keperawatan pasien
dengan urolitiasis secara komprehensif.
3. Bagi penulis dapat menambah wawasan tentang asuhan keperawatan pasien
dengan urolitiasis secara komprehensif.

3|Page
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Urolitiasis adalah suatu kondisi dimana dalam saluran kemih individu terbentuk batu
berupa kristal yang mengendap dari urin (Mehmed & Ender, 2015). Menurut Pharos
(2012) urolitiasis adalah batu yang terbentuk dari berbagai macam proses kimia di
dalam tubuh manusia dan terletak di dalam ginjal serta saluran kemih pada manusia
seperti ureter.

B. Jenis-Jenis Batu
Batu ginjal mempunyai banyak jenis nama dan kandungan zat penyusunnya yang
berbeda-beda. Menurut Arimurti (2007) ada empat jenis utama dari batu ginjal yang
masing-masing cenderung memiliki penyebab yang berbeda, diantaranya:

1. Batu kalsium
Sekitar 75 sampai 85 persen dari batu ginjal adalah batu kalsium. Batu ini biasanya
kombinasi dari kalsium dan oksalat, timbul jika kandungan zat itu terlalu banyak di
dalam urin, selain itu jumlah berlebihan vitamin D, menyebabkan tubuh terlalu
banyak menyerap kalsium.
2. Batu asam urat
Batu ini terbentuk dari asam urat, produk sampingan dari metabolisme protein.
3. Batu struvite
Mayoritas ditemukan pada wanita, batu struvit biasanya diakibatkan infeksi saluran
kencing kronis, disebabkan bakteri. Batu ini jika membesar akan menyebabkan
kerusakan serius pada ginjal.
4. Batu cystine
Batu ini mewakili sekitar 1 persen dari batu ginjal. Ditemukan pada orang dengan
kelainan genetik, sehingga ginjal kelebihan jumlah asam amino.

4|Page
C. Etiologi
Penyebab terjadinya urolitiasis secara teoritis dapat terjadi atau terbentuk diseluruh
saluran kemih terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran
urin (statis urin) antara lain yaitu sistem kaliks ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan
bawaan pada pelvikalis (stenosis uretro-pelvis), divertikel, obstruksi kronik, seperti
Benign Prostate Hyperplasia (BPH), striktur dan buli-buli neurogenik merupakan
keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu (Prabowo &Pranata,
2014).

Menurut Purnomo (2011) terbentuknya urolitiasis diduga karena ada hubungannya


gangguan cairan urin, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidasi dan keadaan
lain yang masih belu terungkap (idiopatk).

D. Manifestasi Klinis
Urolitiasis dapat menimbulkan berbagai gejala tergantung pada letak batu, tingkat
infeksi dan ada tidaknya obstruksi saluran kemih (Brooker, 2009)

Berbagai gambaran klinis yang dapat muncul pada pasien urolitiasis :


1. Nyeri
Nyeri pada ginjal dapat menimbulkan dua jenis nyeri yaitu nyeri kolik dan non
kolik. Nyeri kolik terjadi karena adanya stagnansi batu pada saluran kemih sehingga
terjadi resistensi dan iritabilitas pada jaringan sekitar (Brooker, 2009). Nyeri kolik
juga karena adanya aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises ataupun ureter
meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu pada saluran kemih. Peningkatan
peristaltik itu menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat sehingga terjadi
peregangan pada terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri (Purnomo, 2011).
Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena terjadi hidronefrosis
atau infeksi pada ginjal (Purnomo, 2011). Rasa nyeri akan bertambah berat apabila
batu bergerak turun dan menyebabkan obstruksi. Pada ureter bagian distal (bawah)
akan menyebabkan rasa nyeri di sekitar testis pada pria dan labia mayora pada
wanita. Nyeri kostovertebral menjadi ciri khas dari orulitiasis, khususnya
nefrolitiasis (Brunner & Suddarth, 2015).

5|Page
2. Gangguan miksi
Adanya obstruksi pada saluran kemih, maka aliran urin mengalami penurunan
sehingga sulit sekali untuk miksi secara spontan. Pada pasien nefrolitiasis, obstruksi
saluran kemih terjadi di ginjal sehingga urin yang masuk ke vesika urinaria
mengalami penurunan. Sedangkan pada pasien uretrolitiasis, obstruksi urin terjadi
di saluran paling akhir sehingga kekuatan untuk mengeluarkan urin ada namun
hambatan pada saluran menyebabkan urin stagnansi (Brooker, 2009). Batu dengan
ukuran kecil mungkin dapat keluar secara spontan setelah melalui hambatan pada
perbatasan ureteropelvik, saat ureter menyilang vasa iliaka dan saat ureter masuk
ke dalam buli-buli (Purnomo, 2011)
3. Hematuria
Batu yang terperangkap di dalam ureter (kolik ureter) sering mengalami desakan
berkemih, tetapi hanya sedikit urin yang keluar. Keadaan ini akan menimbulkan
gesekan yang disebabkan oleh batu sehingga urin yang dikeluarkan bercampur
dengan darah (hematuria) (Brunner & Suddarth, 2015).
4. Mual dan muntah
Kondisi ini merupakan efek samping dari kondsi ketidaknyamanan pada pasien
karena nyeri yang sangat hebat sehingga pasien mengalami stress yang tinggi dan
memacu sekresi HCl pada lambung (Brooker, 2009).
5. Demam
Demam terjadi karena adanya kuman yang menyebar ke tempat lain. Tanda demam
yang disertai dengan hipotensi , palpitasi, vasodilatasi pembuluh darah di kulit
merupakan tanda terjadinya urosepsis. Urosepsis merupakan kedaruratan di bidang
urologi, dalam hal ini harus secepatnya ditentukan letak kelainan anatomik pada
saluran kemih yang mendasari timbulnya urosepsis dan segera dilakukan terapi
berupa drainase dan pemberian antibiotik (Purnomo, 2011).
6. Distensi vesika urinaria
Akumulasi urin yang tinggi melebihi kemampuan vesika urinaria akan
menyebabkan vasodilatasi maksimal pada vesika. Oleh karena itu, akan teraba
bendungan (distensi) pada waktu dilakukan palpasi pada regio vesika (Brooker,
2009).

6|Page
E. Patofisiologi
Menurut Purnomo (2011) urolitiasis disebabkan karena faktor etiologi dan faktor
predisposisi. Urolitiasis dapat terjadi pada ureter, blader, terapi, dan pelvik renal.
Biasanya batu yang terletak pada ureter dapat menyebabkan iritasi lumen uretra
sehingga dapat terjadi hematuri dan akan menimbulkan rasa nyeri. Selain membuat
iritasi lumen uretra, batu tersebut akan menyebabkan obstruksi pada uretra sehingga
terjadi oliguria bahkan dapat terjadi anuria sehingga pada pasien urolitiasis dapat
menyebabkan perubahan pola eliminasi serta menyebablan regugitasi urin ke pelvik
renal yang akan berakibat hidronefrosis sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler
renal menyebabkan menurunnya GFR serta aktivitas renal angotensin yang akan
berakibat tekanan darah tinggi.

Batu yang terletak pada blader biasanya akan mengalami hambatan saluran urin yang
akan mengakibatkan perubahan pola eliminasi, iritasi mukosa blader yang akan
mengakibatkan kerusakan pembuluh darah dan terjadi hematuri yang akan berpotensi
komplikasi anemia, discontinuitas jaringan lokal yang akan menyebabkan infeksi.
Infeksi tersebut dibagi menjadi 2 bagian yaitu tidak terkompensasi dan terkompensasi.
Infeksi yang tidak terkompensasi dapat menyebabkan potensial komplikasi sepsis,
sedangkan infeksi yang terkompensasi dapat meningkatkan aktifitas pertahanan yang
akan menimbulkan pyrogen yang dapat menyebabkan hipereksia.

Batu yang disebabkan karena terapi dapat menyebabkan resiko tinggi pengulangan
episode urolitiasis dan terjadi defisit pengetahuan. Sedangkan batu yang berada pada
pelvik renal dapat meningkatkan tekanan darah hidrostatik serta meningkatkan
akumulasi cairan interstisiil. Peningkatan tersebut menyebabkan distensi serta
menimbulkan rasa nyeri. Distensi juga dapat menimbulkan refleks renointestinal dan
proximili anatomik yang merangsang mual dan muntah sehingga dapat menyebabkan
resiko tinggi perubahan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Peningkatan
tekanan darah hidrostatik juga dapat menyebabkan iskemia yang dapat menurunkan
fungsi ginjal sehingga dapat menyebabkan gagal ginjal.

7|Page
Pathway (Purnomo, 2011)

Faktor eliologi
Faktor predisposisi

Ureter Blader Therapi Pervic renal

Iritasi Obstruksi Hambatan Iritasi Discoationitas Resti Meningkatk


lumen saluran mukosa jaringan lokal pengulangan an tekanan
uretra urine blader episode darah
Oluguria urolitis hidrostatik
Hematuria /anuria
Kerusakan Infeksi
perubahan darah Defisit
Perubahan pengetahuan
pola uncomp compen
Nyeri eliminasi Hematuria ensated sated
Meningkatkan Iskemia
Regurgitasi PK PK Meningkatnya akumulasi
urine ke sepsis aktifitas cairan interistial
Anemi
pelvic renal pertahanan
Gagal
Distensi ginjal
hidronefrosis pyrogen

Refleks renointestinal +
Peningkatan Hipereksia promiximili anatomik
premiabilitas
kapiler renal
Mual,
Nyeri muntah
GFR
menurun Resiko tinggi perubahan
Diare pemenuhan nutrisi
kurang dari kebutuhan
Aktifitas
RA
Resiko
kekurangan
Tekanan volume cairan
darah tinggi

8|Page
F. Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya urolitiasis adalah sebagai berikut :
1. Jenis kelamin
Pasien dengan urolitiasis umumnya terjadi pada laki-laki 70-81% dibandingkan
dengan perempuan 47-60%, salah satu penyebabnya adalah adanya peningkatan
kadar hormon testosteron dan penurunan kadar hormon estrogen pada laki-laki
dalam pembentukan batu (Wijaya, et al., 2013).
2. Umur
Urolitiasis banyak terjadi pada usia dewasa dibandingkan usia tua, namun bila
dibandingkan dengan usia anak-anak, maka usia tua lebih sering terjadi (Portis
&Sundaram, 2001).
3. Riwayat keluarga
Pasien yang memiliki riwayat keluarga dengan urolitiasis ada kemungkinan
membantu dalam proses pembentukan batu salluran kemih pada pasien (25%) hal
ini mungkin disebabkan karena adanya peningkatan produksi jumlah mucoprotein
pada ginjal atau kandung kemih yang dapat membentuk kristal dan membentuk
menjadi batu atau kalkuli (Colella, et al., 2005).
4. Kebiasaan diet dan obesitas
Intake makanan yang tinggi sodium, oksalat yang dapat ditemukan pada teh, kopi
instan, minuman soft drink, kokoa, arbei, jeruk sitrun, dan sayuran berwarna hijau
terutama bayam dapat menjadi penyebab terjadinya batu (Brunner & Suddarth,
2015).
5. Faktor lingkungan
Faktor yang berhubungan dengan lingkungan seperti letak geografis dan iklim.
Beberapa daerah menunjukkan angka kejadian urolitiasis lebih tinggi dari pada
daerah lain (Purnomo, 2011).
6. Pekerjaan
Pekerjaan yang menuntut untuk bekerja di lingkungan yang bersuhu tinggi serta
intake cairan yang dibatasi atau terbatas dapat memacu kehilangan banyak cairan
dan merupakan resiko terbesar dalam proses pembentukan batu karena adanya
penurunan umlah volume urin (Colella, et al., 2005).
7. Cairan

9|Page
Asupan cairan dikatakan kurang apabila < 1 liter/hari, kurangnya intake cairan
inilah yang menjadi penyebab utama terjadinya urolitiasis karena hal ini dapat
menyebabkan berkurangnya aliran urin/volume urin (Domingos & Serra, 2011).

G. Komplikasi
Menurut Purnomo (2011) batu mungkin dapat memenuhi seluruh pelvis renalis
sehingga dapat menyebabkan obstruksi total pada ginjal, pasien yang berada pada tahap
ini dapat mengalami retensi urin sehingga pada fase lanjut ini dapat menyebabkan
hidronefrosis dan akhirnya jika terus berlanjut maka dapat menyebabkan gagal ginjal
yang akan menunjukkan gejala-gejala gagal ginjal seperti sesak, hipertensi, dan anemia.
Menurut Prabowo & Pranata (2014) batu saluran kemih juga dapat menyebabkan
infeksi ginjal yang akan berlanjut menjadi urosepsis dan merupakan kedaruratan
urologi, keseimbangan asam basa, bahkan mempengaruhi beban kerja jantung dalam
memompa darah ke seluruh tubuh.

H. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Muttaqin (2012) pemeriksaan diagnostik pada pasien urolitiasis adalah :

1. Urine
a. pH lebih dari 7,6 biasanya ditemukan kuman area splitting, organisme dapat
berbentuk batu magnesium amonium fosfat, pH yang rendah menyebabkan
pengendapan batu asam urat.
b. Sedimen : sel darah meningkat (90%) ditemukan pada penderita dengan batu,
bila terjadi infeksi maka sel darah putih akan meningkat.
c. Biakan urin : untuk mengetahui adanya bakteri yang berkontribusi dalam proses
pembentukan batu saluran kemih.
d. Ekskresi kalsium, fosfat, asam urat dalam 24 jam untuk melihat apakah terjadi
hiperekskresi.
2. Darah
a. Hb akan terjadi anemia pada gangguan fungsi ginjal kronis.
b. Leukosit terjadi karena infeksi.
c. Ureum kreatinin melihat fungsi ginjal.
d. Kalsium, fosfat dan asam urat.

10 | P a g e
3. Radiologi
a. Foto BNO/IVP untuk melihat posisi batu, besar batu, apakah terjadi bendungan
atau tidak.
b. Pada gangguan fungsi ginjal maka IVP tidak dapat dilakukan, pada keadaan ini
dapat dilakukan retrogad pielografi atau dilanjutkan dengan antegrad
pielografi tidak memberikan informasi yang memadai.
4. USG (Ultrasonografi)
Untuk mengetahui sejauh mana terjadi kerusakan pada jaringan ginjal.

I. Penatalaksanaan
Menurut Brunner & Suddarth (2015) penatalaksanaan medis pada urolitiasis adalah
untuk menyingkirkan batu, menentukan jenis batu, mencegah penghancuran nefron,
mengontrol infeksi, dan mengatasi obstruksi yang mungkin terjadi. Batu yang sudah
menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya harus dikeluarkan agar tidak
menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi untuk melakukan tindakan atau terapi
pada batu saluran kemih adalah jika batu telah menimbulkan obstruksi dan infeksi.
Beberapa tindakan untuk mengatasi penyakit urolitiasis adalah dengan melakukan:
1. Observasi konservatif (batu ureter yang kecil dapat melewati saluran kemih tanpa
intervensi)
2. Agen disolusi (larutan atau bahan untuk memecahkan batu)
3. Mengurangi obstruksi (DJ stent dan nefrostomi)
4. Terapi non invasif Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
5. Terapi invasif minimal: ureterorenoscopy (URS), Percutaneous Nephrolithotomy,
Cystolithotripsi/Cystolothopalaxy, terapi bedah seperti nefrolithotomi, nefrektomi,
pyelolithotomi, uretrolithotomi, sistolithotomi.

J. Pengkajian
Menurut Brunner & Suddarth (2003) pengkajian pada pasien urolitiasis adalah sebagai
berikut:
1. Aktivitas/istirahat
Gejala :

11 | P a g e
 Pekerjaan monoton, pekerjaan dimana pasien terpajan pada lingkungan
bersuhu tinggi
 Keterbatasan aktivitas/mobilisasi sehubungan dengan kondisi sebelumnya
(contoh: penyakit tidak sembuh, cedera medulla spinalis)
2. Sirkulasi
Tanda :
 Peningkatan TD atau nadi (nyeri, ansietas, gagal ginjal)
 Kulit kemerahan dan hangat; pucat
3. Eliminasi
Gejala :
 Riwayat adanya ISK kronis, obstruksi sebelumnya
 Penurunan haluaran urin, kandung kemih penuh
 Rasa terbakar, dorongan berkemih
 Diare
Tanda :
 Oliuria, hematuria, piuria
 Perubahan pola berkemih
4. Makanan/cairan
Gejala :
 Mual/muntah, nyeri tekan abdomen
 Diet tinggi purin, kalsium oksalat, dan/atau fosfat
 Ketidakcukupan pemasukan cairan
Tanda :
 Distensi abdominal, penurunan/ tidak adanya bising usus
 Muntah
5. Nyeri/kenyamanan
Gejala :
 Episode akut nyeri berat, nyeri kolik. Lokasi tergantung pada lokasi batu,
contoh pada panggul di region sudut kostovertebral, dapat menyebar
kepunggung, abdomen, dan turun ke lipat paha/genetalia. Nyeri dongkal
konstan menunjukkan kalkulus ada di pelvis atau kalkulus ginjal.
 Nyeri dapat digambarkan sebagai akut, hebat tidak hilang dengan posisi atau
tindakan lain

12 | P a g e
Tanda :
 Melindungi, perilaku distraksi
 Nyeri tekan pada area ginjal pada palpasi
6. Keamanan
Gejala :
 Penggunaan alkohol
 Demam, menggigil
7. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala :
 Riwayat kalkulus dalam keluarga, penyakit ginjal, hipertensi, ISK kronis
 Riwayat penyakit usus halus, bedah abdomen sebelumnya,
hiperparatinoklisme
 Penggunaan antibiotik, antihipertensi, natrium bikarbonat, alupurinol,
fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan kalsium atau vitamin

K. Diagnosa keperawatan
Menurut Prabowo & Pranata (2014) diagnosa keperawatan yang sering muncul pada
pasien urolitiasis adalah sebagai berikut :
1. Nyeri akut
Defisini : pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang mucul
akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal
kerusakan sedemikian rupa.
Batasan karakteristik :
a. Perubahan selera makan
b. Perubahan tekanan darah
c. Perubahan frekuensi jantung
d. Perubahan frekuensi pernafasan
e. Diaphoresis
f. Perilaku distraksi
g. Sikap melindungi area nyeri
h. Gangguan tidur

Faktor yang berhubungan :

13 | P a g e
Agen cedera (misalnya biologis, fisik, dan psikologi) ditandai dengan

a. Keluhan nyeri, colik billiary (frekuensi nyeri)


b. Ekspresi wajah saat nyeri, perilaku yang hati-hati
c. Respon autonomik (perubahan pada tekanan darah, nadi)
d. Fokus terhadap diri yang terbatas
2. Gangguan eliminasi urin
Definisi : disfungsi pada eleminasi urin
Batasan karakteristik
a. Disuria
b. Sering berkemih
c. Inkontinensia
d. Nokturia
e. Retensi
f. Dorongan

Faktor yang berhubungan :

a. Obstopsi anatomik
b. Penyebab multiple
3. Retensi urin
Definisi : pengosongan kandung kemih tidak komplit
Batasan karakteristik
a. Tidak ada haluaran urin
b. Distensi kandung kemih
c. Menetes
d. Disuria
e. Sering berkemih
f. Inkontinensia aliran berlebih
g. Residu urin
h. Sensasi kandung kemih penuh
i. Berkemih sedikit

Faktor yang berhubungan :

a. Sumbatan
b. Tekanan ureter tinggi

14 | P a g e
L. Intervensi
Intervensi menurut Nursing Intervention Classification (NIC) (2015) adalah sebagai
berikut :
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera (biologis, fisik, psikologis)
Tujuan :
a. Memperlihatkan pengendalian nyeri yang dibuktikan oleh indikator sebagai
berikut (1-5; tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, atau selalu):
1) Mengenali awitan nyeri
2) Menggunakan tindakan pencegahan
3) Melaporkan nyeri dapat dilakukan
b. Menunjukkan tingkat nyeri yang dibuktikan oleh indikator sebagai indikator
berikut (1-5; sangat berat, berat, sedang, ringan, atau tidak ada):
1) Ekspresi nyeri pada wajah
2) Gelisah aau ketegangan otot
3) Durasi episode nyeri
4) Merintih dan menangis
5) Gelisah

Kriteria Hasil NOC :

a. Tingkat kenyamanan: tingkat persepsi positif terhadap kemudahan fisik dan


psikologi
b. Pengendalian nyeri: tindakan individu untuk mengendalikan nyeri
c. Tingkat nyeri keparahan yang dapat diamati atau dilaporkan

Intervensi NIC :

a. Pemberian analgesik
b. Manajemen medikasi
c. Manajemen nyeri
d. Bantuan analgesik yang di kendalikan oleh pasien
e. Manajemen sedasi

Aktivitas keperawatan

a. Pengkajian

15 | P a g e
1) Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan pertama untuk
mengumpulkan informasi pengkajian
2) Minta pasien untuk menilai nyeri atau ketidaknyamanan pada skala 0 sampai
10 (0 = tidak ada nyeri atau ketidaknyamanan, 10 = nyeri hebat)
3) Gunakan bagan alir nyeri untuk memantau peredaran nyeri oleh analgesik dan
kemungkinan efek sampingnya
4) Kaji dampak agama, budaya, kepercaaan, dan lingkugan terhadap nyeri dan
respon pasien
5) Dalam mengkaji nyeri pasien, gunakan kata-kata sesuai usia dan tingkat
perkembangan pasien
6) Manajemen nyeri NIC :
a) Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif meliputi lokasi, karateristik,
awitan dan durasi, frekuensi dan kualitas dan ntensitas atau keparahan
nyeri, dan faktor presipitasinya
b) Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, khususnya pada mereka
yang tidak mampu berkomunikasi efektif
b. Penyuluhan untuk pasien/keluarga
1) Sertakan dalam instruksi pemulangan pasien obat khusus yang harus di
minum, frekuensi pemberian, kemungkinan efek samping, kemungkinan
interaksi obat, kewaspadaan khusus saat mengkonsumsi obat tersebut
(misalnya pembatasan aktivitas fisik, pembatasan diet), dan nama orang yang
harus dihubungi bila mengalami nyeri membandel
2) Instruksikan pasien untuk menginformasikan kepada perawat jika perbedaan
nyeri tidak dapat dicapai
3) Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat meningkatkan nyeri
dan tawarkan strategi koping yang disarankan
4) Perbaiki kesalahan persepsi tentang analgesik narkotik atau opiod (misalnya
resiko ketergantungan atau overdosis)
5) Manajemen nyeri (NIC): berikan onformasi tentang nyeri, seperti penyebab
nyeri, berapa lama akan berlangsung, dan antisipasi ketidaknyamanan akibat
prosedur
6) Manajemen nyeri (NIC): ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis
(misalnya umpan balik biologis, TENS, hipnosis relaksasi, imajinasi
terbimbing, akupresur, kompres hangat atau dingin, dan masase sebelum atau

16 | P a g e
setelah, dan jika memungkinkan selama aktivitas yang menimulkan nyeri;
sebelum nyeri terjadi atau meningkat; dan bersama penggunaan tindakan
peredaran nyeri yang lain
c. Aktivitas kolaboratif
1) Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian opiat yang terjadwal
(misalnya setiap 4 jam selama 36 jam) atau PCA
2) Manajemen nyeri (NIC):
a) Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum nyeri menjadi lebih berat
b) Laporkan kepada dokter jika tindakan berhasil
c) Laporkan kepada dokter jika tidak berhasil atau jika keluhan saat ini
merupakan perubahan yang bermakna dari pengalaman nyeri pasien di
masa lalu
d. Aktivitas lain
1) Sesuaikan frekuensi dosis sesuai indikasi melalui pengkajian nyeri dan efek
samping
2) Bantu pasien mengidentifikasi tindakan kenyamanan yang efektif di masa lalu,
seperti distraksi, relaksasi, atau kompres hangat dingin
3) Hadir di dekat pasien untuk memenuhi kebutuhan rasa nyaman
2. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan obstruksi anatomic, dan penyebab
multiple
Tujuan :
a. Menunjukkan kontinensia urin yang dibuktikan oleh indikator berikut (1-5:
selalu, sering, kadang-kadang, jarang, atau tidak pernah):
1) Infeksi saluran kemih (sel darah putih <100.000)
2) Kebocoran urin diantara berkemih
b. Menunjukkan kontinensia urin yang dibuktikan oleh indikator berikut (1-5:
tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, atau selalu)
1) Eliminasi secara mandiri
2) Mempertahankan pola berkemih yang dapat diduga

Kriteria Hasil NOC :

a. Kontinensia urin: pengendalian eliminasi urin dari kandung kemih


b. Eliminasi urin : pengumpulan dan pengeluaran urin

17 | P a g e
Intervensi NIC :

a. Pelatihan kandung kemih: meningkatkan fungsi kandung kemih pada individu


yang mengalami inkontinensia urin dengan meningkatkan kemampuan
kandung kemih untuk menahan urin dan kemampuan pasien untuk menekan
urinasi
b. Manajemen eliminasi urin: mempertahankan pola eliminasi urin yang optimum

Aktivitas perawatan

a. Pengkajian
Manajemen eliminasi urin (NIC):
1) Pantau eliminasi urin, meliputi frekuensi, konsisten, bau, volume, dan
warna, jika perlu
2) Kumpulkan spesimen urin porsi tengah untuk urinalis
b. Penyuluhan untuk pasien/keluarga
Manajemen eliminasi NIC:
1) Ajarkan pasien tentang tanda dan gejala infeksi saluran kemih
2) Instruksikan pasien dan keluarga untuk mencatat haluaran urin, bila
diperlukan
3) Instruksikan pasien untuk berespons segera terhadap kebutuhan eliminasi
4) Ajarkan pasien untuk minum 200 ml cairan pada saat makan, diantara
waktu makan, dan awal petang
c. Aktivitas kolaboratif
Manajemen eliminasi urin (NIC): rujuk ke dokter jika terdapat tanda dan gejala
infeksi saluran kemih
3. Retensi urin berhubungan dengan sumbatan dan tekanan ureter tinggi
Tujuan :
Menunjukkan kontinensia urin yang dibuktikan oleh indikator berikut (1-5: selalu,
sering, kadang-kadang, jarang, atau tidak pernah):
a. Kebocoran urin diantara berkemih
b. Urin residu pasca berkemih > 100-200 cc

Kriteria Hasil NOC:

a. Kontinensia urin: pengendalian eliminasi urin dari kandung kemih


b. Eliminasi urin: pengumpulan dan pengeluaran urin

18 | P a g e
Intervensi NIC:

a. Kateterisasi urin
b. Manajemen eliminasi urin
c. Perawatan retensi urin

Aktivitas keperawatan

a. Pengkajian
1) Indentifikasi dan dokumentasikan pola pengosongan kandung kemih
2) Perawatan retensi urin (NIC):
a) Pantau penggunaan agens non resep dengan antikolinergik atau
agonisalfa
b) Pantau efek obat resep, seperti penyekat saluran kalsium dan
antikolinergik
c) Pantau asupan dan haluaran
d) Pantau distensi kandung kemih melalui palpasi dan perkusi
b. Penyuluhan untuk pasien/keluarga
1) Ajarkan pasien tentang tanda dan gejala infeksi saluran kemih yang di
laporkan misalnya: demam, menggigil, nyeri pinggang, hematuria, serta
perubahan konsistensi dan bau urin
2) Perawatan retensi urin (NIC) : instruksikan pasien dan keluarga untuk
mencatat haluaran urin
c. Aktivitas kolaboratif
1) Rujuk ke perawat terapi enterostoma untuk instruksi kateterisasi intermiten
mandiri penggunaan prosedur bersih setiap 4-6 jam pada saat terjaga
2) Perawatan retensi urin (NIC): rujuk pada spesialis kontinensia urin
d. Aktivitas lain
1) Lakukan program pelatihan pengosongan kandung kemih
2) Bagi cairan dalam sehari untuk menjamin asupan yang adekuat yanpa
menyebabkan kandung kemih over-distensi
3) Anjurkan pasien mengkonsumsi cairan peroral: _____ cc untuk sore hari,
dan _____ cc untuk malam hari
4) Perawatan retensi urin (NIC):
a) Berikan privasi untuk eliminasi

19 | P a g e
b) Gunakan kekuatan sugesti dengan mengalirkan air atau membilas toilet
c) Stimulasi reflek kandung kemih dengan menempelkan es ke abdomen
menekan ke bagian dalam paha atau mengalirkan air
d) Berikan cukup waktu untuk pengosongan kandung kemih (10 menit)

20 | P a g e
BAB III
KASUS

A. Kasus
Klien Tn. B usia 40 tahun mengeluh nyeri pada pinggang sebelah kiri dan nyeri terasa
hilang timbul. Pancaran urin klien normal dan dari hasil palpasi ginjal didapatkan hasil
ginjal tidak teraba, palpasi buli tidak ada masa. TTV : TD 120/70 mmHg, suhu 36,9ºC,
RR 20x/menit, Nadi 80x/menit. Hasil pemeriksaan lab : Hb 13,7, LED 7, leukosit 6.230,
ureum 32,5, kreatinin 1,04, warna urin kuning keruh, Ph 6,0. Hasil pemeriksaan BNO
tampak bayangan nephrolitiasis di pvl 1-2 kiri, ukuran 10x60 mm, 7x8 mm, 7x6 mm.
IVP kesan hidroneprosis grade 1 pada ginjal kiri. Klien mendapat terapi pronalges 2x1
k/p, ceftriaxone 1x1 gr. Data tambahan : skala nyeri 3

B. Pengkajian
1. Identitas klien
Nama : Tn.B
Umur : 40 tahun
Alamat : Jl. Raya Sesat 10
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Status Perkawinan : Kawin
Tanggal masuk RS : 25 April 2012
Diagnosa medis : Urolithiasis
2. Keluhan utama
Klien mengeluh nyeri pada pinggang sebelah kiri dan nyeri terasa hilang timbul
3. Riwayat penyakit dahulu
Klien mengatakan tidak memiliki penyakit hipertensi, diabetes mellitus, kencing
batu
4. Status kesehatan umum
Kesadaran compos mentis, TTV : TD 120/70 mmHg, suhu 36,9ºC, RR 20x/menit,
Nadi 80x/menit

21 | P a g e
5. Status urologi
Nyeri : nyeri pada pinggang sebelah kiri dan nyeri terasa hilang timbul
Keluhan miksi : Pancaran urin klien normal
Palpasi ginjal : ginjal tidak teraba, palpasi buli : tidak ada masa
6. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Hb 13,7, LED 7, leukosit 6.230, ureum 32,5, kreatinin 1,04, warna urin kuning
keruh, Ph 6,0
b. Pemeriksaan radiologi
Hasil pemeriksaan BNO tampak bayangan nephrolitiasis di pvl 1-2 kiri, ukuran
10x60 mm, 7x8 mm, 7x6 mm. IVP kesan hidroneprosis grade 1 pada ginjal kiri
7. Terapi
Pronalges 2x1 k/p dan ceftriaxone 1x1 gr

C. Analisa Data
Analisa Data Problem Etiologi
DS : Nyeri akut Agen cedera
 Klien mengeluh nyeri biologis
pinggang sebelah kiri dan
nyeri terasa hilang timbul
DO :
 P : batu pada ginjal
Q : nyeri seperti ditusuk-
tusuk
R : pinggang sebelah kiri
S : skala 3
T : hilang timbul
DS : Resiko gangguan Obstruksi anatomik
DO : eliminasi urin
 Hasil pemeriksaan BNO
tampak bayangan
nephrolitiasis di pvl 1-2 kiri,

22 | P a g e
ukuran 10x6 mm, 7x8 mm,
7x6 mm
 IVP kesan hidroneprosis
grade 1 pada ginjal kiri

D. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen cedera biologis
2. Resiko gangguan eliminasi urin b.d obstruksi anatomik

E. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan & kriteria Intervensi
keperawatan hasil
Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan Manajemen nyeri
cedera biologis asuhan keperawatan Definisi : pengurangan atau reduksi
3x24 jam nyeri sampai pada tingkat
diharapkan klien kenyamanan yang dapat diterima
menunjukkan : oleh pasien
1. Nyeri yang di 1. Lakukan pengkajian nyeri
laporkan komprehensif yang meliputi
ditingkatkan ke lokasi, karakteristik, durasi,
skala 4 frekuensi, kualitas, intensitas
2. Ekspresi nyeri atau beratnya nyeri dan faktor
wajah pencetus
ditingkatkan ke 2. Pilih dan implementasikan
skala 4 tindakan yang beragam
(misalnya farmakologi,
nonfarmakologi, interpersonal)
untuk memfasilitasi penurunan
nyeri, sesuai dengan kebutuhan
3. Ajarkan prinsip-prinsip
manajemen nyeri

23 | P a g e
4. Dorong pasien untuk memonitor
nyeri dan menangani nyerinya
dengan tepat
5. Ajarkan penggunaan teknik non
farmakologi relaksasi nafas
dalam
6. Gali penggunaan metode
farmakologi yang di pakai pasien
saat ini untuk menurunkan nyeri
7. Kolaborasi dengan pasien, orang
terdekat, dan tim kesehatan
8. Kolaborasi pemberian pronalges
2x1 k/p
Resiko gangguan Setelah dilakukan Manajemen eliminasi perkemihan
eliminasi urin b.d asuhan keperawatan Definisi : pemeliharaan pola
obstruksi anatomik 3x24 jam eliminasi urin yang optimal
diharapkan klien 1. Monitor eliminasi urin termasuk
menunjukkan : frekuensi, konsistensi, bau,
1. Pola eleminasi volume, dan warna
dipertahankan 2. Pantau tanda dan gejala retensi
pada skala 5 urin
2. Jumlah urin 3. Ajarkan pasien mengenai tanda
dipertahankan dan gejala infeksi saluran kemih
pada skala 5 4. Anjurkan pasien/keluarga untuk
3. Warna urin mencatat output urin, yang
ditingkatkan ke sesuai
skala 5 5. Ajarkan pasien untuk minum 8
4. Retensi urin gelas per hari pada saat makan,
dipertahankan diantara jam makan dan di sore
pada skala 5 hari

24 | P a g e
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Pengkajian
Dari data identitas klien yang mengalami urolitiasis adalah berjenis kelamin laki-
laki. Menurut penelitian Tondok (2013) menunjukkan bahwa jumlah penderita
urolitiasis laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan (laki-laki : 60%
dan perempuan : 40%). Hal ini karena kadar kalsium air kemih sebagai bahan utama
pembentukan batu lebih rendah pada perempuan dari pada laki-laki, dan kadar sitrat
air kemih sebagai bahan penghambat terjadinya batu pada perempuan lebih tinggi
dari pada laki-laki (Lina, 2008 dalam jurnal Tondok, 2013). Hormon estrogen pada
perempuan mampu mencegah agregasi garam kalsium, sedangkan hormon
testosteron yang tinggi pada laki-laki menyebabkan peningkatan oksalat endogen
oleh hati yang selanjutnya memudahkan terjadinya kristalisasi (Syafrina, 2008
dalam jurnal Tondok, 2013).

Dari data identitas klien yang mengalami urolitiasis adalah berusia 40 tahun.
Menurut penelitian Tondok (2013) juga menunjukkan bahwa umur yang paling
banyak menderita urolitiasis adalah kelompok umur 36-50 tahun (48,6%). Menurut
Lina (2008) dalam jurnal Tondok (2013) dengan bertambahnya umur menyebabkan
gangguan peredaran darah seperti hipertensi dan kolesterol tinggi. Hipertensi dapat
menyebabkan pengapuran ginjal yang dapat berubah menjadi batu, sedangkan
kolesterol tinggi merangsang agregasi dengan kristal kalsium oksalat dan kalsium
fosfat sehingga mempermudah terbentuknya batu.

Keluhan utama yang dirasakan oleh klien yaitu nyeri pada pinggang sebelah kiri
dan nyeri terasa hilang timbul. Menurut teori Brooker (2009) disebutkan bahwa
gambaran klinis yang dapat muncul pada pasien urolithiasis adalah nyeri, gangguan
miksi, hematuri, mual dan mutah, demam, dan distensi vesika urinaria. Nyeri pada
ginjal dapat menimbulkan dua jenis nyeri yaitu nyeri kolik dan non kolik. Nyeri
kolik terjadi karena adanya stagnansi batu pada saluran kemih sehingga terjadi
resistensi dan iritabilitas pada jaringan sekitar. Menurut Purnomo (2011Use the
"Insert Citation" button to add citations to this document.

25 | P a g e
), nyeri kolik juga karena adanya aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises
ataupun ureter meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu pada saluran
kemih. Peningkatan peristaltik itu menyebabkan tekanan intraluminalnya
meningkat sehingga terjadi peregangan pada terminal saraf yang memberikan
sensasi nyeri.

Gambaran klinis yang lainnya seperti gangguan miksi, hematuri, mual dan mutah,
demam, dan distensi vesika urinaria tidak di temukan dalam kasus karena dalam
pemeriksaan IVP kesan hidroneprosis grade 1 pada ginjal kiri. Pada tingkat ini
biasanya gejala belum terlihat. Terjadi pembesaran kantung pada rongga ginjal
namun tidak terjadi perubahan ukuran pada pembuluh darah ginjal.

Pemeriksaan diagnostik pada Tn.B didapatkan pH 6,0 yaitu bersifat asam. Menurut
Gustiani (2010) mengatakan bahwa ginjal mempertahankan pH plasma darah pada
kisaran 7,4 melalui pertukaran ion hidronium dan hidroksil, akibatnya urine yang
dihasilkan dapat bersifat asam pada pH 5 atau alkalis pada pH 8. perubahan pH urin
ke arah lebih asam atau lebih basa akan mendorong terbentuknya jenis batu itu tidak
sama.

Hambatan yang ditemukan penulis dalam pengkajian tersebut adalah belum adanya
pengkajian mengenai penyebab dari urolitiasis untuk menentukan jenis batu yang
dialami oleh pasien agar dapat menentukan diet yang tepat untuk pasien dan belum
adanya skala nyeri pasien untuk menentukan nyeri yang dirasakan masuk kedalam
kategori ringan, sedang, atau berat agar tepat dalam pemberian intervensi untuk
mengurangi nyeri.

B. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon manusia trhadap
gangguan kesehatan/proses kehidupan, atau kerentanan respon dari seorang
individu, kelompok, atau komunitas (NANDA, 2016).
Diagnosa yang disebutkan dalam teori dan ditemukan dalam kasus Tn.B adalah
sebagai berikut :
1. Nyeri akut b.d agen cedera biologis

26 | P a g e
Nyeri akut adalah pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan yang
muncul akibat kerusakan jaringan aktual atau potensial atau yang digambarkan
sebagai kerusakan (International Association for the Study of Pain); awitan
yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang
dapat diantisipasi atau diprediksi (NANDA, 2015-2017).
Kelompok menegakkan diagnosa ini karena didukung data subjektif klien
mengeluh nyeri pinggang sebelah kiri dan nyeri terasa hilang timbul.
2. Resiko gangguan eliminasi urin b.d obstruksi anatomik
Gangguan eliminasi urin adalah disfungsi eliminasi urin (NANDA, 2015-2017).
Kelompok menegakkan diagnosa ini karena didukung data objektif klien dari
hasil pemeriksaan BNO tampak bayangan nephrolitiasis di pvl 1-2 kiri, ukuran
10x6 mm, 7x8 mm, 7x6 mm, IVP kesan hidroneprosis grade 1 pada ginjal kiri.

Diagnosa keperawatan yang ada dalam teori dan tidak ditemukan dalam kasus Tn.
A adalah:

1. Retensi urin b.d sumbatan saluran kemih


Retensi urin adalah pengosongan kandung kemih tidak tuntas (NANDA, 2015-
2017).
Diagnosa keperawatan ini tidak ditegakan karena saat pengkajian pancaran urin
klien normal dan dari hasil palpasi ginjal didapatkan hasil ginjal tidak teraba,
palpasi buli tidak ada masa.

Hambatan penulis dalam menegakkan diagnosa pada Tn.B adalah belum adanya
data yang spesifik mengenai diagnosa resiko gangguan eliminasi urin seperti
keluhan saat miksi (retensi urin dan disuria). Penulis juga hanya menegakkan 2
diagnosa yang ditemukan dalam Tn.B dikarenakan data yang ditemukan tidak
lengkap. Penulis juga tidak menemukan data kepada Tn.B apakah Tn.B mengalami
masalah yang berulang untuk menegakkan diagnosa kurang pengetahuan.

C. Intervensi keperawatan
Perencanaan ini merupakan langkah ketiga dalam membuat dalam membuat suatu
proses keperawatan. Intervensi keperawatan adalah suatu proses penyusunan
berbagai rencana tindakan keperawatan yang dibutuhthkan untuk mencegah,
menurunkan atau mengurangi masalah-masalah pasien (Carpenito, 2007).

27 | P a g e
Pada bagian ini penulis akan membahas tentang intervensi keperawatan yang telah
disusun dari masing-masing diagnosa. Setelah dilakukan asuhan keperawatan pada
diagnosa pertama dan kedua diharapkan dapat mencapai outcome yang telah
ditentukan sesuai dengan Nursing Outcome Classification (NOC). Intervensi dari
masing-masing diagnosa ditentukan menggunakan Nursing Intervention
Classification (NIC) yang sesuai dengan kondisi pasien.
Intervensi yang disusun oleh penulis sebagai berikut:
1. Diagnosa yang pertama adalah nyeri akut b.d agen cedera biologis.
Intervensi pada diagnosa ini menggunakan manajemen nyeri yaitu dengan
penggunaan teknik non farmakologi relaksasi nafas dalam untuk mengurangi
nyeri. Menurut penelitian Agung, dkk (2013) menunjukkan bahwa teknik
relaksasi nafas dalam ini mampu dilakukan oleh seluruh responden (100%),
sebagian besar tingkat nyeri yang dirasakan responden sebelum diberikan
teknik relaksasi nafas dalam adalah skala 6 atau nyeri sedang dan setelah
diberikan teknik relaksasi nafas dalam menjadi skala 3 atau nyeri ringan.
2. Resiko gangguan eliminasi urin b.d obstruksi anatomik
Intervensi pada diagnosa ini menggunakan intervensi ajarkan pasien untuk
minum 8 gelas per hari pada saat makan, diantara jam makan dan di sore hari.
Menurut Haryanti (2006) penatalaksanaan untuk mencegah terbentuknya batu
ginjal dapat dilakukan dengan minum air putih yang cukup, kurang lebih 8 gelas
tiap hari. Tujuannya agar menghasilkan air seni yang cukup untuk membilas
zat-zat kimia yang mungkin akan mengendap di batu ginjal.

Hambatan penulis dalam penulisan intervensi yaitu adanya terapi ceftriaxone


1x1 gr pada Tn.B, padahal dalam pengkajian Tn.B tidak ditemukan data untuk
diagnosa infeksi atau resiko infeksi.

28 | P a g e
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengkajian yang ditemukan dalam kasus dan sesuai dengan teori yaitu manifestasi
klinis dan pemeriksaan diagnostik. Manifestasi klinis yang ditemukan pada Tn.B
yaitu adanya rasa nyeri dan pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada Tn.B
yaitu foto BNO/IVP. Namun terdapat manifestasi klinis yang tidak sesuai dengan
teori yaitu adanya gangguan miksi dan hematuria.

Diagnosa yang ditemukan dalam kasus dan sesuai dengan teori yaitu diagnosa
nyeri dan gangguan eliminasi urin namun masih dalam kategori resiko. Diagnosa
yang ditemukan dalam kasus dan tidak sesuai dengan teori yaitu diagnosa retensi
urin.

Interveensi secara keseluruhan yang terdapat pada kasus dan teori yaitu merujuk
kepada Nursing Outcome Classification (NOC) dan Nursing Intervention
Classification (NIC).

B. Saran
Pengkajian yang dilakukan pada Tn.B harus dilengkapi secara komprehensif
seperti data untuk adanya gangguan eliminasi urin dikarenakan penulis sulit untuk
menegakkan diagnosa keperawatan serta intervensi yang akan ditentukan oleh
penulis. Penulis menyarankan agar data pada Tn.B lebih jelas dan spesifik untuk
menentukan gangguan eliminasi urin apa yang dialami oleh Tn.B.

29 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Arafa, M., & Rabah, D. (2010). Study of Quality of Life and its Determinants in Patients
After Urinary Stone Fragmentation. Health and Quality of Life Outcomes, 119-124.
Brooker, C. (2009). Ensiklopedia Keperawatan . Jakarta: EGC.
Gustiani, N., & dkk. (2010). Hubungan pH, Kristal Urin Dan Hasil Analisis Batu Saluran
Kemih Pada Penderita Urolithiasis Di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun
2009. Unpad Repository.
Hanley, J. (2012). Prevalences of Kidney Stone in the United States. Journal European
Association of Urology.
Martha. (2012). Angka Kejadian Batu Ginjal di RSUP Prof.dr. R. D. Kandou Manado
Periode Januari 2010-Desember 2012. Skripsi.
Mehmed , M., & Ender, O. (2015). Effect of Urinary Stone Disease and it's Treatment on
Renal Function. World J Nephrol, 271-276.
Muttaqin, A. (2012). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba
Medika.
NANDA. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10 editor
T Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC.
PERNEFRI. (2013). Naskah Lengkap : Simposium Peningkatan Pelayanan Hemodialisis,
Penyakit Ginjal dan Aplikasi Indonesian Renal Registry Joglosemar 2012.
Yogyakarta.
Perry, P. &. (2009). Fundamental of Nursing, Buku 1, Edisi : 7. Jakarta: Salemba Medika.
Purnomo, B. B. (2011). Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: CV. Sagung Seto.
Suddarth, B. &. (2003). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Suddarth, B. &. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 volume 2. Jakarta:
EGC.
Tondok, M. E. (2013). Angka Kejadian Batu Ginjal di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
Periode Januari 2010 – Desember 2012. Fakultas Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi Manado.
Wijaya, A., & Putri, Y. (2013). Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan Dewasa Teori
dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika.

30 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai