tertentu Maka pemprograman jenis kelamin anak merupakan salah satu alternative dalam rangka
Indonesia yang sangat erat. Dan rekayasa pemilihan jenis kelamin anak mempunyai ruang yang
cukup luas dalam memenuhi hajat manusia, dan merupakan salah satu cara menjaga kebahagiaan
keluarga.
Beragam anggapan muncul di masyarakat, bahwa terdapat beberapa hal yang dapat
mempengaruhi jenis kelamin bayi, seperti makanan yang biasa dimakan, waktu berhubungan seks,
waktu ovulasi, atau hal-hal lainnya. Mungkin ingin memiliki bayi laki-laki, tetapi pasangan
menginginkan perempuan. Sayangnya, tidak ada bukti medis kuat yang membuktikan bahwa ada
cara pasti yang dapat membuat bisa ikut menentukan jenis kelamin bayi seperti yang Anda
inginkan.
Perkembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kedokteran
ini merupakan revolusi yang berpengaruh pada tatanan kehidupan manusia. Semua hal yang
mempengaruhi suatu keadaan dari individu yang berkaitan dengan jenis kelamin baik itu
hanya bersifat sementara atau permanen disebut dengan faktor penentu jenis kelamin. Faktor-
faktor penentu jenis kelamin ini ada yang berasal dari luar yang disebut dengan faktor
lingkungan dan ada yang berasal dari dalam yag disebut dengan faktor genetic.
Dalam proses penelitian pemprograman jenis kelamin anak, para ahli biologi menemukan
bahwa jenis kelamin anak ditentukan oleh 4 faktor yakni : 1). Posisi pada waktu berhubungan
intim, 2). waktu coitus. 3).jenis makanan, 4). Tingkat keasaman dan kebasaan vagina.
Dalam penelitian berikutnya ditemukan pula, diiungkapkan oleh dr.Prita
Kusumaningsih,Sp.OG proses perekayasaan jenis kelamin ini sangat dimungkinkan jika dilakukan
sebelum terjadinya konsepsi (pertemuan sel telur dan sperma) Karena setelah konsepsi berarti telah
terjadi penyatuan dan sudah tidak dapat lagi dilakukan rekayasa apapun untuk merubah jenis
kelamin”
yaitu suatu struktur yang terdapat dalam inti sel yang ditempati gen sebagai pembawa sifat
keturunan. Pada umumnya, laki-laki dan perempuan mempunyai dua buah kromosom yang bisa
menentukan jenis kelamin. Kromosom ini terdapat pada tiap sel orang bersama 44 kromosom
lainnya (autosom).4 Pada wanita, kedua belah kromosom seksnya adalah kromosom X, sementara
pada laki-laki kromosom seksnya terdiri atas belahan X dan belahan Y. Dengan demikian, susunan
normal kromosom seks pada wanita adalah XX dan pada pria XY. Kromosom X merupakan
pembawa sifat perempuan sekaligus penentu jenis kelamin perempuan, dan kromosom Y
merupakan kromosom pembawa sifat laki-laki dan sekaligus penentu jenis kelamin laki-laki.
Apabila sperma yang membuahi sel telur mengandung kromosom X, maka hasilnya ialah embrio
perempuan (XX). Tetapi apabila sperma tersebut mengandung kromosom Y maka hasilnya adalah
embrio laki-laki (XY). Oleh karena itu, jika pembuahan dilaksanakan secara normal maka peluang
Waktu berhubungan seksual dapat mempengaruhi jenis kelamin bayi. Konsepsi atau
pembuahan merupakan bertemunya sel sperma dan sel telur. Terdapat teori yang mengatakan
bahwa sperma yang membawa kromosom Y dapat berenang lebih cepat dan cepat mati sebelum
pembuahan terjadi, sedangkan sperma yang membawa kromosom X berenang lebih lambat tetapi
lebih kuat. Sehingga berhubungan seksual dalam waktu dekat ovulasi dapat menghasilkan bayi
laki-laki, sedangkan berhubungan seksual beberapa hari sebelum ovulasi dapat menghasilkan bayi
perempuan. Namun, teori ini masih diperdebatkan. Sebuah penelitian yang diterbitkan oleh The
New England Journal of Medicine tahun 1995 menemukan tidak ada hubungan antara waktu
berhubungan seksual dengan jenis kelamin bayi. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk
Dalam metode alamiah, waktu coitus (senggama) sangat mempengaruhi penentuan jenis
kelamin anak. Waktu senggama ini terkait dengan masa subur wanita. Masa subur adalah masa
pelepasan sel telur (ovulasi). Umumnya terjadi pada hari ke 14 sebelum haid. Untuk mengetahui
masa subur maka dapat dilakukan pencatatan atau dapat juga dengan mengukur suhu basa tubuh.
Jika menginginkan anak laki-laki maka senggama dilakukan pada masa ovulasi, karena rata-rata
sel sperma dapat bertahan 24 jam dan sperma y sebagai penentu jenis kelamin laki-laki mempunyai
kecepatan yang lebih dibandingkan dengan sperma x sehingga mampu mencapai tuba fallopi lebih
dahulu. Jika menginginkan anak perempuan maka senggama dilakukan jauh-jauh hari sebelum
masa subur. Metode ini merupakan metode yang pertama kali dikemukakan oleh Hazel Phillips,
pengalamannya sebagai putri seorang dokter dari Amerika ketika itu memberikan pengetahuan
terhadap perkembangan teknologi pemrograman jenis kelamin. Ketika itu ia mengiginkan anak
berhubungan dengan suaminya dan menghubungkannya dengan anak yang dilahirkannya, ternyata
setelah beberapa kali melahirkan ia dapat menyimpulkan bahwa siklus haid sangat mempengaruhi
jenis kelamin anak yang akan lahir. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa jika ingin anak laki-
laki maka hendaknya berhubungan pada masa ovulasi atau kira-kira dua minggu setelah haid dan
jika ingin anak perempuan maka berhubungan pada masa satu minggu sebelum haid dan satu
minggu setelah haid. Oleh karena itu metode dengan menggunakan waktu senggama disebut juga
metode Hazel.
Orang juga percaya bahwa posisi saat berhubungan seksual dapat mempengaruhi jenis
kelamin bayi. Kepercayaan ini menyebutkan bahwa jika menginginkan bayi laki-laki sebaiknya
menggunakan posisi berdiri saat berhubungan seksual dan jika menginginkan bayi perempuan
sebaiknya dalam posisi misionaris. Namun, hal ini hanyalah mitos yang belum dapat dibuktikan
kebenarannya. Mitos lain yang berkembang, yaitu membuat vagina dalam suasana asam untuk
mendapatkan bayi berjenis kelamin perempuan dan membuat vagina dalam suasana basa untuk
mendapatkan bayi berjenis kelamin laki-laki. Dan hal ini juga belum dapat dibuktikan
kebenarannya.
Beberapa penelitian mengaitkan antara jumlah kalori yang dimakan dan jenis kelamin bayi,
seperti pada penelitian yang diterbitkan oleh Proceedings of the Royal Society B tahun
2008. Penelitian ini menemukan bahwa wanita yang mengonsumsi lebih banyak kalori pada satu
tahun sebelum konsepsi, terutama yang makan sereal saat sarapan dan makan makanan tinggi
kalium, memiliki kemungkinan untuk mendapatkan bayi laki-laki lebih tinggi daripada wanita
yang melewatkan sarapan dan mengonsumsi lebih sedikit kalori. Namun, penelitian pada tahun
2009 pada jurnal yang sama membantah hal itu dan menganggapnya hanya sebuah kebetulan.
Banyak kepercayaan yang berkembang di masyarakat yang mengatakan bahwa makanan yang ibu
makan dapat mempengaruhi jenis kelamin bayi. Tetapi, sekali lagi ini hanya mitos yang belum
Beberapa peneliti berasumsi bahwa sperma pembawa kromosom Y rentan terhadap tingkat
stres psikologis yang tinggi, sehingga ibu atau ayah yang mengalami stres akan lebih mungkin
memiliki bayi perempuan. Namun, hal ini masih berupa spekulasi dan belum terbukti memiliki
Berdasarkan sebuah penelitian dari University of New South Wales di Australia tahun
2010, jenis kelamin bayi laki-laki atau perempuan mungkin tergantung pada teknik fertilisasi in
fitro (bayi tabung) yang digunakan. Peneliti menemukan bahwa persentase bayi laki-laki menjadi
sekitar 49% ketika pasangan memilih untuk injeksi sperma intracytoplasmic, di mana sperma
disuntikkan langsung ke dalam telur, dan sel telur yang telah dibuahi dipindahkan ke dalam rahim
pada tahap pembelahan, yaitu sekitar dua atau tiga hari setelah sperma disuntikkan.
Pada teknik lain, persentase bayi laki-laki naik menjadi 56%. Hal ini terjadi ketika standar
fertilisasi in vitro dilakukan. Sel telur dan sperma dicampur dalam sebuah piring (bukan
disuntikkan) dan embrio (sel telur yang sudah dibuahi oleh sperma) dipindahkan ke dalam rahim
pada tahap blastokista, yaitu sekitar empat hari setelah sel sperma membuahi sel telur. Alasan yang
mendasari hal ini tidak diketahui secara pasti, tetapi kemungkinan berhubungan dengan lamanya
waktu embrio dikultur di laboratorium. Bayi laki-laki mungkin lebih kuat, sehingga
Begitu pula dengan hasil penelitian yang baru saja dirilis oleh Swiss National Science
Foundation ini. Para peneliti menemukan, perempuan yang memiliki pekerjaan dengan tingkat
stres tinggi cenderung melahirkan bayi perempuan ketimbang laki-laki. Pasalnya, keadaan stres
akan mempengaruhi pembentukan kelamin bayi. Hal tersebut juga banyak terjadi di kawanan
hewan yang menjadi contoh penelitian. Sebuah teori yang dikenal dengan hipotesa Trivers-Willard
juga berisi tentang pendapat yang sama. Dikatakan bahwa kondisi kesehatan tubuh ibu bisa
menentukan jenis kelamin anaknya. Sebagai contoh, seorang ibu yang memiliki tubuh sehat,
cenderung melahirkan anak laki-laki. Karena anak laki-laki dipercaya bisa menghasilkan lebih
banyak keturunan ketimbang perempuan, maka tubuh sang ibu harus benar-benar dalam kondisi
sehat untuk bisa “membuat” anak laki-laki. Sebaliknya, ibu dengan kondisi tubuh yang kurang
sehat dan cenderung stres, lebih mungkin memiliki bayi perempuan. Peter Neuhaus, seorang
biologis dari University of Calgary, Kanada menilai bahwa pembentukan jenis kelamin bayi tak
sesederhana itu. Walau keadaan stres bisa berpengaruh terhadap pembentukan jenis kelamin bayi,
namun masih ada faktor lain yang turut mempengaruhi, mulai dari genetik, makanan, maupun
lingkungan. Meski tak ada jawaban yang mutlak, para peneliti cukup yakin bahwa jenis pekerjaan
yang berkaitan dengan tingkat stres maupun kesehatan ibu hamil, sedikit banyak akan
memengaruhi jenis kelamin bayi kelak. Sehingga, untuk para ibu yang mendamba memiliki anak
laki-laki misalnya, disarankan untuk lebih sehat sejak awal masa kehamilan.
HASIL DISKUSI