Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

KRISIS LISTRIK DAN ENERGI DI INDONESIA

Oleh:

1. Sisca Andini Eka Putri


2. Syaniya Sekar Dewi (142180034)
3. Fitria Indri Kusumaningrum (142180166)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”


YOGYAKARTA

2019
Indonesia memiliki kurang lebih 17.000 pulau baik pulau besar maupun kecil. Garis pantai
Indonesia terpanjang di Asia Tenggara sejauh kurang lebih 810.000 km dengan luas daratan
sekitar 3.100.000 kilo meter persegi. Penduduk Indonesia kini mencapai lebih dari 250 juta
jiwa dan tersebar di lebih dari 65.000 desa. Namun dari besalan ribu pulau tersebut masih
kurang dari 50% yang telah
mendapat aliran listrik. Pada
tahun 2015 angka elektrifikasi
nasional masih berkisar pada
76%, hal ini menyebabkan
terjadinya krisis listrik di
pelosok-pelosok Kalimantan,
Sumatra, Papua, dan banyak
wilayah lainnya. Listrik adalah
sumber energi utama untuk
menopang berbagai operasional
industri dan perdagangan.
Sementara ini solusi untuk
menjamin jalannya operasional
tersebut bagi daerah yang belum teraliri listrik PLN yakni dengan menggunakan generator
bbm ataupun menggunakan accu.

Menurut Data Pusat Konservasi Energi Jepang pada tahun 2011, konsumsi listrik Indonesia
sebesar 2.251 kWh per kapita atau jika dinyatakan dalam PDB akan sebesar 572 USD per
kapita[3]. Sebagai perbandingannya negara Tiongkok angka konsumsi listrik disana sebesar
2.140 USD per kapita jika dalam PDB atau sebesar 3.441 kWh per kapita jika dalam satuan
daya. Nilai konsumsi listrik di Indonesia masih dibawah rata-rata konsumsi Asia Tenggara,
besarnya konsumsi listrik di Asia Tengggara mencapai 914 USD per kapita atau sebesar
2.655 kWh per kapita.

Saat ini permintaan listrik di Indonesia terus bertambah, maka dari itu harus dibarengi dengan
naiknya pertumbuhan generator di Indonesia. Dengan jumlah penduduk kurang lebih 250 juta
jiwa, Indonesia masih hanya mengandalkan pasokan listrik sebesar 35,33 GW. Sangat
timpang jika dibandingkan dengan Malaysia yang berpenduduk sekitar 29 juta jiwa namun
pasokan listriknya sebesar 28,4 GW. Pasokan listirk Singapura masih jauh memimpin lebih
tinggi rasionya dengan jumlah penduduk kurang lebih 5,3 juta jiwa dan pasokan listrik 10,49
GW. Pasokan listrik yang tidak seimbang dengan jumlah penduduk ini berdampak pada
belum sampainya akses listrik pada 40 juta penduduk dan 9,5 juta kepala keluarga di
Indonesia. Rasio elektrifikasi negara tetangga yang mencapai 96% sangat jauh jika
dibandingkan elektrifikasi Indonesia yang sebesar 76% pada tahun 2015, ya meskipun masih
lebih tinggi daripada India tapi kita masih kalah dengan Thailand, Malaysia, dan Singapura.

Rasio elektrifikasi sangat bergantung pada pembangunan pembangkiit listrik dan


infrastruktur distribusi listrik di Indonesia. Pembangunan ini berkendala pada kesulitan
biayaan, pembebasan lahan, dan perizinan yang belum mempunyai standar baku. Untuk
memenuhi permintaan rakyat dan meningkatkan elektrifikasi maka Dewan Energi Nasional
pada tahun 2014 melalui program percepatan tahap satu (Fast Track Program/FTP 1)
membangun pembangkit dengan total daya 10GW yang seluruhnya berbahan bakar
batubara[4]. Batubara masih dipilih sebagai solusi karena proses pembangkitannya yang
praktis dan kondisi supply bahan bakarnya relatif lebih stabil. Memang secara jangka pendek
mengejar elektrifikasi dan pemenuhan demand listrik rakyat mengunakan pembangkit
batubara akan lebih efisien karena energi dibutuhkan dalam waktu secepat mungkin.
Maraknya pembangunan pembangkit seperti proyek 35.000 MW jangan sampai lupa untuk
memacu juga semangat perkembangan teknologi energi alternatif. Energi alternatif masih
menyimpan potensi yang sangat besar jika dapst dikelola dengan baik. Potensi ini masih
besar karena Indonesia adalah kawasan dengan geothermal bbm di dunia, selain itu masih
banyak sumber-sumber lain seperti matahari, gelombang laut, mikrohidro, atau angin.

Perbaikan system distribusi listrik

Saat ini system distribusi listrik yang digunakan oleh PLN umumnya adalah system
sentralisasi listrik. System tersebut ternyata dapat membawa dampak buruk dalam distribusi
listrik di Indonesia. Diantaranya menyebabkan banyaknya wilayah yang sulit dicapai oleh
jaringan listrik dan faktor geologisnya buruk, tidak dapat menikmati listrik. Selain itu, dapat
juga menyebabkan terjadinya penyusutan tenaga listrik, tidak stabilnya tegangan listrik
hingga pada pemadaman aliran listrik yang berakibat seluruh wilayah yang bergantung pada
gardu tertentu akan mengalami black out.

Contoh kasus listrik terbesar yang terjadi adalah mati listrik Jawa-Bali pada 18
Agustus 2005 di Indonesia, di mana listrik di Jakarta dan Banten mati total selama tiga jam.
Mati listrik ini terjadi akibat kerusakan di jaringan transmisi Saluran Udara Tegangan Ekstra
Tinggi (SUTET) 500 KV Jawa-Bali. Dampak yang diakibatkan antara lain : Sebanyak 42
perjalanan kereta rel listrik (KRL) rute Jakarta-Bogor-Tanggerang-Bekasi dibatalkan.
Sebanyak 26 KRL yang sedang beroperasi tertahan di beberapa perlintasan. Potensi
kehilangan pendapatan mencapai Rp 200 juta. Di Bandara Soekarno-Hatta gangguan listrik
berlangsung sekitar empat jam dan menyebabkan 15 penerbangan tertunda. PLN
memperkirakan ada sekitar 3,2 juta pelanggan yang terkena pemadaman total, terutama di
daerah Jakarta dan Banten (Kompas,19/08/05)

Mati listrik bagi masyarakat pada umumnya bila dilihat sepintas memang merupakan
hal yang sepele, tapi bayangkan jika hal ini terjadi pada sebuah pabrik produksi skala besar
atau pusat perbelanjaan dan perkantoran yang tidak dapat ‘hidup’ tanpa pasokan listrik. Satu
menit aliran listrik sangat berarti bagi mereka. Gara-gara mati listrik, satu pekerjaan
terhambat akan membuat efek domino hingga pekerjaan lain pun terhambat. Bila hal ini
dibiarkan, kegiatan perekonomian, pendidikan, dan bidang vital lainnya akan terganggu.

Meninjau masalah di atas, sangatlah diperlukan suatu sistem baru yang dapat
menyokong penyediaan energi listrik saat ini. Suatu sistem yang dapat menjangkau seluruh
pelosok tanah air. Itulah sistem desentralisasi listrik. Sistem ini menggunakan pembangkit
listrik berskala kecil yang terdesentralisasi (tersebar) di seluruh daerah rawan listrik dan
membutuhkan pasokan listrik yang besar. Saat ini alat untuk mendukung sistem desentralisasi
listrik telah tersedia, misalnya turbin gas mikro, dan mikro hidro. Yang perlu dilakukan
sekarang adalah bagaimana PLN, para akademisi, dan investor melakukan kaji ulang dan
mengimplementasi sistem tersebut.

Kurangi Ketergantungan kepada BBM

BBM merupakan sumber daya yang tak dapat diperbarui yang semakin lama akan
semakin berkurang persediaannya. Oleh karena itu, ketergantungan terhadap BBM sebagai
bahan bakar pembangkit tenaga listrik harus dikurangi. Pemenuhan kebutuhan energi yang
tergantung pada BBM sering kali mengganggu pasokan energi nasional, apalagi jika terjadi
kelangkaan atau meningkatnya harga BBM di pasar internasional.

Selama 2-3 tahun terakhir ini harga minyak mentah di dunia meningkat. Pasokan
listrik akan berkurang dan subsidi listrik pun meningkat. Perlu diketahui bahwa cadangan
minyak bumi di tanah air hanya tinggal 1,2 % dari cadangan minyak bumi dunia. Kalau tidak
ada penemuan baru, maka cadangan kita tinggal hanya bertahan sampai 20 tahun. Gas tinggal
sekitar 60 tahun saja, kalau tidak ada penemuan baru. Batu bara lebih panjang dari itu, masih
150 tahun lagi. (Sambutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Peresmian PLTU
Tanjung Jati B Jepara, Jawa Tengah)

Upaya mengurangi pemanfaatan minyak bumi dan beralih pada sumber energi lain,
terutama sumber energi non fosil dan energi terbarukan perlu kita lakukan. Indonesia
memiliki cadangan sumber energi non fosil yang cukup melimpah, namun belum
dimanfaatkan secara optimal, misalnya bahan bakar nabati dari jarak, singkong, tebu, kelapa
sawit, dan sampah.

Salah satu perkembangan teknologi yang mendukung penyediaan energy saat ini
adalah pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa). Beberapa waktu lalu ITB telah membuat
PLTSa walaupun ada pro dan kontra.

Sebagai tambahan, saat ini sampah telah menjadi masalah besar terutama di kota-kota
besar di Indonesia. Hingga tahun 2020 mendatang, volume sampah perkotaan di Indonesia
diperkirakan akan meningkat lima kali lipat. Tahun 1995, menurut data yang dikeluarkan
Asisten Deputi Urusan Limbah Domestik, Deputi V Menteri Lingkungan Hidup, Chaerudin
Hasyim, di Jakarta baru-baru ini, setiap penduduk Indonesia menghasilkan sampah rata-rata
0,8 kilogram per kapita per hari, sedangkan pada tahun 2000 meningkat menjadi 1 kilogram
per kapita per hari. Pada tahun 2020 mendatang diperkirakan mencapai 2,1 kilogram per
kapita per hari. (kompas, 18/09/’03). Semoga dengan adanya PLTSa ini, persoalan sampah
dapat terselesaikan sekaligus krisis energi listrik dapat tertangani.

Internalisasi Hidup Hemat


Pemborosan merupakan salah satu penyebab terbesar krisis energy listrik yang terkadang
dirasakan kecil pengaruhnya. Padahal bila kita kalkulasikan secara kumulatif, energy yang
terbuang secara sia-sia akibat pemborosan listrik ini sungguh besar. Mengutip kata-kata bijak
dari Bapak H. Usep Romli dalam artikel Pikiran Rakyat 23 April 2006, bahwa perkara kecil
memang suka dianggap sepele dan tak penting. Justru yang kecil itulah, yang tak ditangani
serius, yang akan mengubah situasi dan kondisi secara fatal. Virus hanya sebentuk makhluk
kecil yang dikategorikan mikroskopis. Hanya dapat dilihat dengan mikroskop berkekuatan
lipat-ganda. Tetapi dari virus itulah muncul aneka macam penyakit. Terutama flu, baik flu
manusia maupun flu burung yang menghebohkan itu. Dalam sejarah Arab pra-Islam, pasukan
gajah Abrahah dikalahkan oleh burung-burung “ababil” yang kecil-kecil. Dalam sejarah
Mesir Kuno, seorang Firaun dikalahkan oleh serangan kutu-kutu kecil dan katak-katak kecil.
Oleh karena itu, janganlah menyepelekan yang hal kecil.

Saat ini, jumlah kerugian akibat pemborosan listrik mencapai triliunan rupiah.
Kondisi memiriskan ini, memaksa kita berhemat untuk memakai listrik. Sampai-sampai
ketika 2 tahun yang lalu para pejabat negara dan pihak-pihak dari instansi mencanangkan
gerakan hemat listrik di kantornya. Gerakan itu merupakan pengejawantahan dari Inpres No
10 Tahun 2005 tentang Penghematan Energi yang dikeluarkan Presiden, Susilo Bambang
Yudhoyono pada 10 Juli 2005.

Memang terjadi telah penghematan yang cukup signifikan, terutama pada instansi
pemerintah. Namun seiring dengan waktu, gerakan hemat listrik ini tinggal sejarah. Pola
konsumsi listrik berlebihan dan tidak berdaya guna, kembali menjadi kebiasaan di mana-
mana. Di gedung pemerintahan sekalipun, itu hanya tinggal sebatas imbauan di atas kertas
yang ditempel di dinding-dinding kantor. Di sana, lampu dibiarkan tetap menyala –bahkan
disengaja untuk dihidupkan– kendati cahaya mentari sudah cukup memberi terang pada tiap
ruang. Gerakan ini idealnya tetap dilaksanakan dan harus dilaksanakan. Tapi, perlu adanya
kerjasama antara pihak pemerintah, LSM, para pelajar, dan media untuk menyuarakan
gerakan hemat listrik secara berkelanjutan.

Untuk menghemat energi listrik masyarakat disarankan untuk mengurangi


penggunaan alat elektronik yang banyak menyedot daya listrik, seperti kulkas, mesin cuci,
AC dan mesin pompa air. Diharapkan juga untuk menggunakan lampu hemat energi (LHE).
Komparasi penggunaan LHE jauh berbeda dengan lampu pijar biasa. Bagi pengguna LHE,
misalnya dengan daya 900 watt bisa menghemat biaya 10.000 sampai 12.000 rupiah per
bulan. Rekening listrik yang dibayarkanpun akan semakin berkurang.

Perapihan dan Transparansi Internal Pengurus PLN

Dibandingkan dengan negara-negara lain, harga pokok listrik di Indonesia tergolong


tidak efisien. Harga pokok listrik di Indonesia mencapai 6,5 sen dollar AS per kWh, masih
lebih tinggi daripada negara-negara lain di sekitarnya. Seperti Malaysia dengan biaya
listriknya hanya 6,2 sen dollar AS per kWh, Thailand hanya 6,0 sen dollar AS per kWh,
Vietnam 5,2 sen dollar AS per kWh.

Jika dibandingkan dengan berbagai inovasi yang dilakukan swasta dalam mengatasi
energinya sendiri, tidak sedikit biaya produksi listrik swasta lebih rendah dari PLN, terutama
listrik untuk kebutuhan perusahaan sendiri. Namun, karena PLN masih bersifat monopoli,
tidak ada pembanding dan tidak ada tekanan terhadap PLN untuk melakukan efisiensi.

Yang terjadi selama ini dalam sejarah PLN tidak lain adalah rangkaian KKN, yang
memeras sumber daya perusahaan ini. Pembangkit swasta bernuansa KKN dipaksakan masuk
ke PLN dengan harga penjualan daya listrik lebih tinggi dari harga PLN, yang dijual kepada
masyarakat. Pengadaan mesin yang tidak efisien banyak terjadi di lingkungan PLN.

Hasil audit BPK yang telah menurunkan defisit yang diajukan PLN sebenarnya masih
bisa menemukan titik kritis lebih jauh lagi di dalam sistem tubuh PLN, terutama masalah
inefisiensi. Biaya yang diajukan PLN terlalu besar, yakni sebesar 93,2 triliun rupiah, tanpa
ada upaya efisiensi semaksimal mungkin

Dalam hal ini, PLN ditantang untuk bisa berlaku transparan terhadap besaran BPP
yang ditanggungnya. Hal ini diperlukan agar masyarakat bisa mengetahui seberapa besar
biaya pruduksi yang ditanggung PLN untuk memproduksi listrik. Dari situ dapat diketahui
pula apakah PLN sudah melakukun efisiensi dan efektivitas dalam manajemen. Di samping
perlu juga dilakukan evaluasi soal sejauh mana upaya PLN dalam mencegah pencurian
listrik.

Penutup

Beberapa langkah strategis yang dijelaskan di atas tidak akan bermakna manakala
tidak adanya kerjasama antara pihak pemerintah, masyarakat, dan instansi terkait dalam
menangani krisis energi listrik. Oleh karena itu, kerjasama antara pihak-pihak tersebut
amatlah penting. Mulai dari penanaman budaya hemat listrik, sampai masalah teknis
penanganan dan pengelolaan sistem distribusi listrik baik dalam hal pemakaian pembangkit
listrik maupun akuntabilitas finansialnya yang diharapkan lebih transparan. Semoga krisis
energi listrik tidak terjadi lagi di negara kita tercinta ini. (Aep Saepudin)

Mengatasi krisis listrik dengan proyek 35.000 MW


Hak atas foto RE Image caption Pemerintah Indonesia diminta transparan soal perhitungan
kebutuhan energi nasional yang sebenarnya.

Pemerintah Indonesia sudah menegaskan bahwa proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt
akan terus berjalan, namun pengamat mengatakan ada hal yang harus dicermati di balik
sekadar perdebatan soal angka.

Presiden Joko Widodo mengumumkan rencana membangun pembangkit listrik baru di


Indonesia dengan kapasitas 35.000 megawatt selama lima tahun ke depan.

Tetapi, pada Senin (07/09) lalu, Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli
mengatakan bahwa target program pembangkit listrik 35.000 MW akan turun menjadi 16.000
MW untuk lima tahun ke depan.

Kebijakan tersebut diambil Rizal usai rapat dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ferry Mursyidan Baldan dan Direktur Utama PT PLN
(Persero) Sofyan Basyir.

Rizal mengatakan, "35.000 MW itu tidak mungkin dicapai dalam lima tahun, 10 tahun bisa
lah. Kalau dibangun semuanya pun, dalam lima tahun, terjadi sampai 35.000 MW, PLN akan
mengalami kapasitas lebih."

Kapasitas lebih ini nantinya, menurut dia, akan membebani PLN karena sesuai perjanjian
dengan pihak swasta maka PLN harus membayar kelebihan beban tersebut.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said pada Rabu (09/09) malam bersama
Menteri BUMN Rini Soemarno menggelar pertemuan dengan para pengusaha energi untuk
meyakinkan bahwa pemerintah akan meneruskan proyek 35.000 megawatt tersebut.

Rencananya, PLN akan memasok sekitar 10.000 megawatt untuk proyek ini, dan sisanya,
25.000 akan dikerjakan oleh penyedia listrik independen atau pihak swasta.

Perhitungan

Energi listrik ini bukan dikendalikan oleh investasi, tapi pemerintah (yang) mengarahkan
investasi (agar) ke luar Pulau Jawa. Jangan investor berebut pasar di Pulau Jawa yang
sebenarnya sudah jenuh dan ekonomi yang mengalami perlambatan.Pius Ginting

Juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Hindun Mulaika pada BBC Indonesia
mengatakan bahwa mereka belum melihat bagaimana perhitungan angka 35.000 megawatt itu
keluar.

"Apakah kemudian 16.000 (megawatt) itu angka yang lebih pas? Ya harus dibuka ke publik
juga perhitungannya. Dan, baik itu 16.000 atau 35.000 (megawatt), harus dibuka juga, dengan
PLTU-kah, dengan PLTA-kah, atau dengan mendorong energi terbarukan," kata Hindun.
Hampir 63% dari 35.000 megawatt tersebut rencananya akan menggunakan pembangkit
listrik tenaga uap yang kebanyakan dibangun di Pulau Jawa.

Artinya, menurut Hindun, sebagian besar dari target tersebut adalah untuk memenuhi
kebutuhan listrik pulau Jawa dan Bali yang sebenarnya sudah hampir 90% mendapat listrik.

Dia melihat langkah ini sebagai upaya pemenuhan kebutuhan listrik untuk industri, tapi
bukan untuk masyarakat yang sebenarnya lebih membutuhkan aliran listrik.

Jika target pemenuhan kebutuhan listrik diturunkan jadi 16.000 megawatt, maka, Hindun
melihat, penurunan tersebut membuat angka lebih realistis dari sisi pencapaian proyek.

Meski begitu dia meminta pemerintah transparan soal keterbutuhan listrik sebenarnya yang
disesuaikan dengan pertumbuhan permintaan, dan apakah pemenuhan tersebut harus
menggunakan PLTU.

Luar Jawa

Image caption Presiden Jokowi meresmikan pembangunan PLTU Batang pada akhir Agustus
2015 lalu meski ada penolakan warga soal pembebasan lahan.

Menurut Pius Ginting, Kepala Unit Kajian Walhi, di tengah ekonomi Indonesia yang
sebenarnya mengalami perlambatan, maka permintaan listrik mungkin tak sebesar seperti
yang direncanakan sebelumnya sehingga revisi angka sebenarnya mungkin terjadi.

Namun yang terpenting, Pulau Jawa mengalami surplus listrik 31%, sementara wilayah
seperti Sumatera Utara dan Aceh sebenarnya mengalami minus listrik 9,3%.

Padahal, menurut penelitiannya, rencana PLTU yang akan dan tengah dibangun berlokasi di
Cilacap, Batang, Jepara, dan Cirebon, yang semuanya berada di Pulau Jawa. Sehingga Pius
belum melihat bagaimana rencana ini bisa memenuhi kebutuhan listrik warga di luar Pulau
Jawa.

"Kalau pemerintah mau melibatkan swasta, swasta harus didorong untuk masuk ke energi
terbarukan dan diprioritaskan untuk ke luar Pulau Jawa. Revisi angka itu masih cukup
penting. Tapi energi listrik ini bukan dikendalikan oleh investasi, tapi pemerintah (yang)
mengarahkan investasi (agar) ke luar Pulau Jawa. Jangan investor berebut pasar di Pulau
Jawa yang sebenarnya sudah jenuh dan ekonomi yang mengalami perlambatan."

Seorang warga Blangpidie, Aceh Barat Daya, Eva, mengatakan pada BBC Indonesia bahwa
dalam sebulan, dia bisa mengalami setidaknya lima belas kali mati listrik. "Dalam seminggu
ada tiga kali, empat kali, tapi kadang tidak juga," katanya.

Warga Banda Aceh, Bakhtiar, juga menggambarkan kondisi layanan listrik di kotanya.
"Kondisi normal tanpa gangguan, kayak mati digilir. Sebulan, bisa 10-15 kali. Paling sedikit
30 menit mati lampu, ada yang sampai 6 jam atau 8 jam. Kawan-kawan di Lhokseumawe,
malah lebih parah, bisa seharian mati lampunya, dari pagi sampai jam 8 malam baru hidup
lagi."

Anda mungkin juga menyukai