Anda di halaman 1dari 30

PENDAHULUAN

Rinosinusitis adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasalis yang terjadi
akibat perluasan atau penyebaran suatu rhinitis. Kelainan anatomi hidung dan sinus
paranasalis merupakan penyebab terbanyak dari rinosinusitis.Istilah rinosinusitis akhir-
akhir ini sering digunakan untuk mengganti istilah sinusitis karena jarang peradangan
mukosa sinus yang berdiri sendiri. 1
1. Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European position paper on rhinosinusitis
and nasal polyps. Rhinology, 2007; 45(suppl 20): 1-139.

Salah satu penyebab utama pada rinosinusitis adalah gangguan drainase


terhadap patensi kompleks ostiomeatal. Variasi anatomi hidung dan sinus paranasalis
seperti: sel frontal, sel agger nasi, bula etmoid, prosessus unsinatus, concha bullosa, sel
haller dan deviasi septi merupakan salah satu faktor penyebab gangguan drainase
hidung dan sinus paranasalis dan diduga menjadi factor predisposisi terhadap kejadian
rinosinusitis kronik. Variasi anatomi tersebut dapat menyebabkan ostruksi terhadap
kompleks ostiomeatal (KOM) dan mengganggu pembersihan mukosilia sehingga
memungkinkan terjadinya rinosinusitis kronik.1,2,3
Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European position paper on rhinosinusitis
and nasal polyps. Rhinology, 2007; 45(suppl 20): 1-139.
Busquets JM, Hwang PH. Nonpolypoid rhinosinusitis: Classification, diagnosis
and treatment. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head & Neck
Surgery – Otolaryngology. 4th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 2006; 406-416.
Soepriady,E. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Ilmu Telinga Hidung
Tenggorokan. Edisi keenam. FKUI. Jakarta.

Rhinosinusitis radang mukosa hidung dan sinus paranasal baik karena infeksi
maupun bukan infeksi.Sesuai anatomi sinus yang terkena, dapat dibagi menjadi
sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid. Yang paling
sering ditemukan adalah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan
sinusitis sfenoid lebih jarang. Sinus maksila merupakan sinus yang sering terinfeksi
karena merupakan sinus paranasal yang terbesar dengan letak ostiumnya lebih tinggi
dari dasar cavum nasi, sehingga aliran sekret dari sinus maksila hanya tergantung dari
aliran silia. Selain itu, ostium sinus maksila terletak di meatus medius, di sekitar hiatus
semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.3,4

1
Soepriady,E. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Ilmu Telinga Hidung
Tenggorokan. Edisi keenam. FKUI. Jakarta.
Adam GL, Boies LR. 1997. Buku Ajat Ilmu Penyakit THT. Edisi keenam.
EGC:Jakarta.

Mukosa hidung sering ikut meradang pada kasus-kasus sinusitis sehingga


penyakit ini kadang disebut rhinosinusitis.Secara klinis sinusitis dapat dikategorikan
sebagai sinusitis akut bila gejalanya berlangsung dari beberapa hari sampai 4 minggu;
sinusitis subakut bila berlangsung dari 4 minggu sampai 3 bulan dan sinusitis kronis
bila berlangsung lebih dari 3 bulan
2. Soepriady,E. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Ilmu Telinga Hidung
Tenggorokan. Edisi keenam. FKUI. Jakarta.
3. Adam GL, Boies LR. 1997. Buku Ajat Ilmu Penyakit THT. Edisi keenam.
EGC:Jakarta.

Diagnosis rinosinusitis pada anak sering menimbulkan masalah, karena


anamnesis yang sulit dilakukan, pemeriksaan fisik yang kurang akurat karena anak pada
umumnya kurang kooperatif. Serta gejala klinis yang mirip dengan umumnya kurang
kooperatif. Serta gejala klinis yang mirip dengan infeksi saluran napas umum.
4. Soepriady,E. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Ilmu Telinga Hidung

Pada sinusitis kronik, sumber infeksi berulang cenderung berupa stenotik.


Inflamasi menyebabkan saling menempelnya mukosa yang berhadapan dalam ruang
yang sempit, akibatnya terjadi gangguan transport mukosiliar, menyebabkan retensi
mukus dan mempertinggi pertumbuhan bakteri dan virus. Infeksi kemudian menyebar
ke sinus yang berdekatan. Dewasa ini teknik operasi bedah sinus endoskopi fungsional
(BSEF) merupakan kemajuan ilmu yang sangat berarti dalam tatalaksana penyakit
rinosinusitis kronik. Gambaran anatomi sinus paranasalis pada CT Scan merupakan
kondisi awal yang harus diketahui sebelum pembedahan sinus endoskopi begitu juga
dengan evaluasi perluasan penyakit, sehingga membantu operator dalam mengarahkan
operasi sesuai dengan luasnya kelainan yang ditemukan.
Soepriady,E. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Ilmu Telinga Hidung
Tenggorokan. Edisi keenam. FKUI. Jakarta.

CT scan merupakan metode yang baik untuk evaluasi struktur anatomi karena
dapat memperlihatkan dengan jelas struktur anatomi hidung dan sinus paranasal seperti

2
kondisi kompleks ostiomeatasl, kelainan anatomi, visualisasi ada atau tidaknya jaringan
patologis di 4 sinus dan perluasannya. Pemeriksaan CT Scan mampu memberikan
gambaran struktur anatomi pada area yang tidak tampak melalui endoskopi.
Pemeriksaan ini sangat baik dalam memperlihatkan sel-sel etmoid anterior, dua pertiga
atas kavum nasi dan resessus frontalis. Pada daerah ini CT Scan dapat memperlihatkan
lokasi faktor penyebab sinusitis kronis, yaitu KOM

Soepriady,E. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Ilmu Telinga Hidung


Tenggorokan. Edisi keenam. FKUI. Jakarta.

TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsikan karena bentuknya yang bervariasi untuk tiap individu. Ada empat
pasang sinus paranasal, yaitu : sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus
sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang
kepala sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara ke
dalam rongga hidung. Secara embriologis sinus paranasal berasal dari invaginasi

3
rongga hidung dan perkembangan dimulai sejak fetus berusia 3-4 bulan kecuali sinus
sfenoid dan sinus frontal.3

Soepriady,E. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Ilmu Telinga Hidung


Tenggorokan. Edisi keenam. FKUI. Jakarta.

Gambar 1.A Sinus Paranasal Gambar 1. Drainase Sinus Maksilaris,


1, Nasal septum; 2, Sinus Frontalis; 3, Sinus Frontalis, Sinus Etmodalis
Kavum Nasi; 4, Sinus Etmoidalis; 5, Anterior menuju Meatus Medius5
Konka Nasalis Media; 6,Meatus
Medius; 7, Sinus Maksilaris; 8, Konka
Nasalis Inferior; 9, Palatum Durum4

1. Sinus Maksilaris
Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8 mL yang kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal yaitu 15 mL saat dewasa.5
Sinus ini berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial
Os.Maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-
temporal maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dan dinding
superiornya adalah dasar orbita serta dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan
palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superios dinding medial sinus dan
bermuars ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. 5

4
Sinus maksilaris orang dewasa adalah berbentuk piramida mempunyai volume
kira-kira 15 ml (34x33x23 mm). Dasar dari piramida adalah dinding nasal dengan
puncak yang menujuk ke arah prosesus zigomatikum. Dinding anterior mempunyai
foramen infraorbital berada pada bagian midsuperior dimana nervus infraorbital
berjalan diatas atap sinus dan keluar melalui foramen itu. Saraf ini dapat dehisense
(14%). Bagian yang tertipis dari dinding anterior adalah sedikit diatas fosa kanina. Atap
dibentuk oleh dasar orbita dan ditranseksi oleh nervus infraorbita. Dinding posterior
tidak bisa ditandai. Cabang dari arteri maksilaris interna mendarahi sinus ini. Termasuk
infraorbital yang berjalan bersama dengan nervus infraorbital, cabang lateral
sfenopalatina, palatina mayor, vena axillaris, dan vena jugularis sistem dural sinus. 3
Sinus maksilaris disarafi oleh cabang dari nervus palatina mayor dan nervus
infraorbital. Ostium maksilaris terletak dibagian superior dari dinding medial sinus.
Intranasal biasanya terletak pertengahan posterior infundibulum etmoidalis, atau
dibawah 1/3 bawah prosesus unsinatus. Tepi posterior dari ostium ini berlanjut dengan
lamina papiracea, sekaligus ini menjadi tanda (landmark) untuk batas lateral dari
diseksi pembedahan. Ukuran ostium ini rata-rata 2,4 mm tetapi bervariasi antara 1-17
mm. Ostium ini jauh lebih kecil dibanding defek pada tulang sebab mukosa mengisi
area ini dan menggambarkan tingkat dari pembukaan itu. 88% dari ostium bersembunyi
dibelakang prosesus unsinatus oleh karena itu tidak terlihat secara endoskopi.3
2. Sinus Etmoid
Sel etmoid bervariasi dan sering ditemukan diatas orbita, sfenoid lateral, ke atap
maksila, dan sebelah anterior diatas sinus frontal. Sel ini disebut sel supraorbital dan
ditemukan 15% dari pasien. Penyebaran sel etmoid ke dasar sinus frontal disebut frontal
bula. Penyebaran ke konka media disebut konka bullosa. Sel yang berada pada dasar
sinus maksila (infraorbita) disebut sel Haller dan dijumpai pada 10% populasi. Sel-sel
ini dapat menyumbat ostium maksila dan membatasi infundibulum mengakibatkan
gangguan pada fungsi sinus. Sel yang meluas ke anterior lateral sinus sfenoid disebut
sel Onodi. Sel Onodi adalah sel-sel etmoid yang terletak anterolateral menuju sinus
sfenoidalis. Struktur penting seperti arteri karotis dan nervus optikus bisa melalui sel
ini. Struktur ini sering dehisense. Perlu tindakan yang hati-hati di area ini dan
pemeriksaan radiografi yang baik untuk menghindari hasil yang tidak diinginkan.
Variasi dari sel ini penting pada saat preoperatif untuk memperjelas anatomi pasien
secara individu. 3

5
Gambar 2. Potongan sagital sinus paranasalis (A), Foto lateral (B), CT scan
sinus paranasalis potongan coronal (C)

3. Sinus Frontalis
Sinus frontalis dibentuk dari perkembangan keatas oleh sel-sel etmoid anterior.
Anatomi sinus ini sangat bervariasi namun secara umum ada dua sinus. Sinus frontal
kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainya dan dipisahkan
oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya
mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih lima persen sinus frontalnya tidak
berkembang.4
Ukuran sinus frontal adalah mempunyai tinggi 2.8 cm , lebarnya 2.4 cm dan
dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk
Volume sinus ini sekitar 6-7 ml (28 x 24 x 20 mm). Sinus frontal mendapat perdarahan
dari arteri optalmika melalui arteri supraorbita dan suprathroklear. Aliran vena melalui
vena optalmika superior menuju sinus kavernosus dan melalui vena-vena kecil didalam
dinding posterior yang mengalir ke sinus dural.3
Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri
anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini .3 Setiap sinus
frontal mengalir ke dinding lateral meatus tengah melalui duktus frontonasal, yang

6
menembus labirin ethmoidal dan berlanjut sebagai infundibulum ethmoidal di ujung
depan hiatus semilunar. 3

4. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoidalis adalah struktur yang unik yang tidak dibentuk dari kantong
rongga hidung. Sinus ini dibentuk didalam kapsul rongga hidung dari hidung janin.
Tidak berkembang hingga usia 3 tahun. Usia 7 tahun pneumatisasi mencapai sella
turcica. Usia 18 tahun sinus sudah mencapai ukuran penuh. Volume sinus sfenoidalis
7,5 ml (23 x 20 x 17 mm). Secara umum terletak posterosuperior dari rongga hidung.
Ostium sinus ini bermuara ke resesus sfenoetmoidalis, ukurannya 0,5-4 mm dan
letaknya sekitar 10 mm dari dasar sinus. Arteri etmoidalis posterior mendarahi atap
sinus sfenoidalis. Bagian lain sinus mendapat aliran darah dari arteri sfenopalatina.
Aliran vena melalui vena maksilaris ke vena jugularis dan pleksus pterigoid.3

PATOFISIOLOGI

Pertama, sinus paranasalis mengurangi berat kepala. Berat kepala adalah lebih
kecil karena tempet-tempat yang seharusnya dipenuhi oleh tulangkini telah ditempati
oleh ruang kosong.Kedua, sinus paranasalis bisa membantu dalam keseimbangan
tekanan udara. Perubahan tekanan mendadak di dalam cavum nasi seperti pada saat
bersin atau saat membuang ingus dikompensasikan oleh sinus. Tanpa sinus, perubahan
tekanan yang mendadak bisa menyebabkan pecahnya pembuluh darah dalam cavum
nasi dan menjadikan kita lebih rentan terhadap epistaksis.Ketiga, membantu dalam
penciuman. Sinus menyediakan tempat dimana molekul odor atau bau bisa tersimpan
dan ini bisa membantu reseptorpenciuman untuk bekerja dengan lebih efisien.Keempat,
sinus bisa melindungi mata dan otak. Dinding sinus yang tipis bisa memindahkan daya
dari suatu trauma dari organ di sampingnya (otak dan mata) ke dalam sinus. Hal ini bisa
mengurangi kerusakan pada organ-organ tersebut.Kelima, sinus berperan sebagai
penahan suhu (thermal insulator). Dengan fungsi ini, sinus bisa melindungi orbita dan
fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Yang terakir, sinus bisa
membantu dalam resonansi suara. Resonansi dan kualitas suara bisa dipengaruhi oleh
sinus-sinus paranasalis, dan bisa membantu dalam voice signature.

7
Sinus paranasalis mempunyai fungsi proteksi pada tubuh. Proteksi ini terdiri
dari dua macam yaitu proteksi spesifik dan non-spesifik. Fungsi proteksi spesifik
dilakukan oleh sel-sel radang, mediator-mediator radang dan sebagainya. Fungsi
proteksi non-spesifik pula dilakukan oleh silia pada lapisan mukosa sinus paranasalis.

Gambar 2.Siklus patofisiologi rhinosinusitis kronik4

Kegagalan transport mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor


utama berkembangnya sinusitis. Patofisiologi rinosinusitis digambarkan sebagai
lingkaran tetutup, dimulai dengan inflamasi mukosa hidung khususnya kompleks
ostiomeatal (KOM). 6
Secara skematik patofisiologi rinosinusitis sebagai berikut: Inflamasi mukosa
hidung, pembengkakan (udem) dan eksudasi, obstruksi (blokade) ostium sinus,
gangguan ventilasi & drainase, resorpsi oksigen yang ada di rongga sinus, hipoksi
(oksigen menurun, pH menurun, tekanan negatif), permeabilitas kapiler meningkat,
sekresi kelenjar meningkat, transudasi, peningkatan eksudasi serosa, penurunan fungsi
silia, retensi sekresi di sinus, dan pertumbuhan kuman. 6

Gejala Klinis

Gejala yang terkait dengan rhinosinusitis dibagi menjadi gejala mayor


dan minor, serta kombinasi spesifik gejala ini memberikan diagnosis berdasarkan
anamnesis pasien.7

8
Gambar 2.Polip antrokoanal4

Tabel 4. Tanda dan gejala terkait diagnosis rinosinusitis7

Evaluasi subjektif pasien rhinosinusitis akut dan diagnosisnya berdasarkan


adanya dua atau lebih dari gejala berikut:8
- Obstruksi/kongesti hidung
- Rinore / posterior nasal discharge (paling sering purulent)
- Nyeri wajah / kepala
- Kelainan penghidu

Kemungkinan adanya rhinosinusitis bacterial akut ditentukan berdasarkan


adanya tiga atau lebih dari tanda dan gejala berikut:8

9
- Sekret hidung / adanya pus pada rongga hidung yang utamanya
unilateral
- Nyeri lokal yang utamanya unilateral
- Deman > 38°C;
- Perburukan gejala setelah periode awal penyakit
- Peningkatan LED dan CRP

Gambar3.Gambaran klinis rhinosinusitis akut

10
Gambar 4.Foto oksipitomental pada sinus paranasalis

Gambar5. Sinusitis kronik


Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior serta endoskopi
nasal sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Pada
pemeriksaan ini tanda khasnya adalah ditemukan pus di meatus medius pada
rinosinusitis sinus maksilaris, etmoidalis anterior, dan frontalis atau di meatus
superior pada rinosinusitis sinus etmoidalis posterior dan sfenoidalis. Pada

11
rinosinusitis akut, didapatkan mukosa edema dan hiperemis serta pada anak
ditemukan pembengkakan dan kemerahan di kantus medius.4,9
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan X-Ray,
CTScan¸ pemeriksaan transiluminasi, dan sinuskopi. Pemeriksaan X-Ray untuk
menilai sinus maksila dilakukan dengan posisi Water, sinus frontalis dan
etmoidalis dengan posisi postero anterior, dan sinus sfenoidalis dengan posisi
lateral. Pemeriksaan X-Ray biasanya hanya mampu menilai kondisi sinus yang besar
seperti sinus maksilaris dan frontalis. Kelainan yang ditemukan berupa adanya
perselubungan, batas udara dan air atau air fluid level, ataupun penebalan mukosa. 4,9
Pemeriksaan CT-scan merupakan gold standard dalam menegakkan diagnosis
rinosinusitis karena pemeriksaan ini dapat menilai anatomi sinus dan hidung
secara keseluruhan. Namun dengan pertimbangan pemeriksaan CT-scan tergolong
cukup mahal, pemeriksaan ini hanya dilakukan pada rinosinusitis kronik yang tidak
membaik dengan pengobatan atau sebagai tindakan pra-operatif sebagai panduan
bagi operator sebelum melakukan operasi sinus. 4,10
Pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit dilakukan di ruangan gelap. Sinus
yang mengalami peradangan kemudian akan terlihat berubah menjadi suram atau
gelap. Namun pemeriksaan transiluminasi sudah jarang digunakan karena
manfaatnya terbilang sangat terbatas. Pemeriksaan sinuskopi dilakukan dengan
cara melakukan pungsi menembus dinding medial sinus maksilaris melalui meatus
inferior. Dengan alat endoskopi kemudian dapat dinilai kondisi sinus maksilaris
yang sesungguhnya. Lebih lanjut dapat dilakukan irigasi sinus sebagai metode
penatalaksanaan.4,10

Diagnosis

a. Pemeriksaan Penunjang
1. Endoskopi hidung
Endoskopi hidung bukanlah pemeriksaan yang diwajibkan, namun pemeriksaan
ini dapat dilakukan untuk menilai anatomi, mengambil specimen histologi dan kultur.
Pemeriksaan hidung dan nasopharing dengan endoskop fiberoptik menjadi hal
yang rutin dilakukan untuk menegakkan diagnosis pada pasien dengan keluhan nasal
dan sinus.Endoskopi nasal memberikan akses untuk melihat gambaran bagain yang

12
lebih posterior dari rongga hidung dan nasopharing yang tidak dapat dilihat dengan
rhinoskopi anterior. Baik fiberoptik yang kaku maupun yang fleksibel bisa digunakan
untuk tujuan ini.11,12

Gambar 6.Endoskopi nasal. 1. Perbedaan tampakan rinoskopi dan


endoskopi, 2. Endoskopi hidung normal, 3.Hipertrofi konka inferior
(misalnya pada rhinitis alergi, 4.Rhinorrhea purulent dari meatus media
(rhinosinusitis akut atau kronik), 5. Rhinosinusitis kronik dengan polip
nasi.13

2. LED dan CRP


Pemeriksaan laboratorium ini untuk mengetahui adanya infeksi.13

3. Foto polos

13
Pemeriksaa ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah, serta
menimbulkan angka positif palsu dan negatif palsu yang tinggi, sehingga tidak
diandalkan untuk diagnosis.4
Dengan posisi Waters kita dapat mengevaluasi sinus maksila. Gambaran
rontgen yang sering ditemukan pada rinosinusitis maksila adalah :14

Penebalan mukosa lebih dari 4mm


Gambaran suram atau gelap pada sinus maksila
Air fluid level

Walaupun demikian kadang-kadang gambaran penebalan mukosa,


gambaran suram pada sinus tidak selalu menggambarkan rinosinusitis terutama pada
anak-anak usia kurang dari 1 tahun. Karena bentuk sinus maksilia yang masih kecil dan
jaringan lunak pipi memberi bayangan suram / gelap.

Gambar 7. Gambaran air fluid level menunjukkan sugestif rinosinusitis15

14
Gambar 8. Foto polos dengan posisi Water15

4. CT-scan
CT-scan diindikasikan untuk situasi khusus, seperti tanda dan gejala unilateral,
kecurigaan adanya komplikasi, dan kegagalan terapi, serta dipertimbangkan pada
penyakit berat dan pasien dengan imunosupresi.16,17
Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat pada penampang
CT-Scan aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan komplikasi, CT-Scan adalah cara
yang terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah). 16,17
Sinus maksila paling sering pada 70 pasien (49%) diikuti oleh ethmoids anterior
49 pasien (34,4%), frontal pada 29 pasien (20,5%), etmoid posterior pada 19 pasien
(13,3%) dan sinus sphenoid pada 5 pasien (3,5%). 78 pasien memiliki lebih dari satu
sinus. 13 pasien (9%) mengungkapkan pansinusitis
CT-Scan koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan, memberikan
visualisasi yang baik tentang anatomi rongga hidung, komplek osteomeatal, rongga-
rongga sinus dan struktur-struktur yang mengelilinginya seperti orbita, lamina
kribiformis, dan kanalis optikus.
CT-Scan dapat menilai tingkat keparahan inflamasi dengan menggunakan
sistem gradasi yaitu staging Lund-Mackay.Sistem ini sangat sederhana untuk

15
digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil gambaran CT scan. Lund-
MacKay Radiologic Staging System ditentukan dari lokasi Gradasi Radiologik sinus
maksila, etmoid anterior, etmoid posterior dan sinus sphenoid, Penilaian Gradasi
radiologik dari 0-2, Gradasi 0 : Tidak ada kelainan, Gradasi 1 : Opasifikasi parsial
Gradasi 2 : Opasifikasi komplit.16,17

Gambar 9. Tampilan sinus normal pada CT-scan

16
Gambar 10. Tampilan rinosinusitis pada CT-scan

5. MRI
MRI diindikasikan pada kasus-kasus yang dicurigai terjadi komplikasi,
khususnya pada pasien dengan komplikasi intracranial dan perluasan infeksi atau
pasien yang dicurigai mengalami thrombosis vena sagital superior.

Gambar 11. MRI menunjukkan sinusitis eitmidalis bilateral15

17
6. Ultrasonografi (USG)
USG sinus paranasal memiliki sensitivitas yang rendah dan kegunaan yang
terbatas dalam diagnosis rhinosinusitis akut karena memiliki angka hasil positif palsu
dan negatif palsu yang tinggi.

Gambar 12. Posisi transduser pada pemeriksaan USG sinus

18
Gambar 13. Tampilan USG menunjukkan kumpulan cairan di sinus
maksillaris (kiri) dan penebalan mukosa (kanan)

7. Transluminasi Sinus
Pemeriksaan ini membantu menentukan diagnosis rinosinusitis dengan adanya
perbedaan bayangan antara sinus maksila kanan dan kiri dimana pada sinus yang sakit
memberi bayangan lebih suram.Pemeriksaan ini hanya membantu diagnosis terutama
pada anak-anak berusia lebih dari 10 tahun.4

Gambar 14. Pemeriksaan traniluminasi pada sinus frontal


8. Mikrobiologi
Gambaran mikrobiologi yang sebenarnya pada rinosinusitis didapatkan dari
studi dimana diambil dari sinus dengan cara punksi antrum atau dengan pengambilan
sampel secara langsung dari sinus yang terkena selama pembedahan.
Patogen yang paling sering dapat diisolasi dari kultur maxillary sinus pada
pasien sinusitis akut yang disebabkan bakteri seperti Streptococcus pneumonia,
Haemophillus influenza, dan Moraxella catarrhalis.Streptococcus pyogenes,
Staphylococcus aureus dan bakteri anaerob. Selain itu beberapa jenis jamur juga
berperan dalam patogenesis penyakit ini seperti Mucorales dan Aspergillus atau
Candida sp. Berikut beberapa penjelasan patogen yang berperan dalam penyakit
sinusitis akut :

19
 Streptococcus pneumonia merupakan bakteri gram positif, catalase-
negative, facultatively anaerobic cocci dimana 20 - 43 % dari sinusitis akut yang
disebabkan bakteri pada kasus orang dewasa.
 Haemophillus influenza merupakan bakteri gram negatif, facultatively
anaerobic bacilli.H influenzatype B merupakan penyebab pasti meningitis sampai
pemakaian luas vaksin.
 Staphylococcus aureus sekarang ini dilaporkan mengalami peningkatan
dalam patogen penyebab sinusitis akut yang disebabkan bakteri.

Pada sinusitis kronik ada beberapa bakteri yang telah dapat dilaporkan yang
berperan sebagai penyebab. Namun peran bakteri dalam patogenesis sinusitis kronik
belum diketahui sepenuhnya. Adapaun beberapa contohnya seperti Staphylococcus
aureus, Coagulase-negative staphylococci , H influenza, M catarrhalis, dan S
Pneumoniae. Disamping itu, ada beberapa jenis jamur yang dapat dihubungkan dengan
penyakit ini seperti Aspergillus sp, Cryptococcus neoformans, Candida sp, Sporothrix
schenckii dan Altemaria sp. Adapun etiologi yang mungkin dari pasien diatas adalah
adanya infeksi dari bakteri. Hal ini karena pasien mengeluhkan adanya pilek yang
kemungkinan disebabkan oleh bakteri.

20
Gambar 15. Prosedur punksi sinus4

Menurut AAP (2001), Lippincott (2002), Slavin (2002), dan Lampl (2003),
kuman yang sering menjadi penyebab rinoinuitis bakterial akut adalah Streptococcus
Pneumonia (30-40%), Haemophilus Influenzae (20-30%), Moraxella Catarrhalis (12-
20%) dan Streptococcus Pyogenes β Hemolyticus (3%). Kuman-kuman tersebut adalah
kuman yang umum ditemukan pada biakan kuman, disamping kuman-kuman yang
jarang dijumpai seperti Staphylococcus aureus dan kuman-kuman anaerob.Kuman
anaerob mulai berperan bila oksigenasi rongga sinus makin berkurang. Makin lama
proses berlangsung makin meningkat populasi kuman anaerob. Pada rinosinusitis
kronik peran kuman anaerob lebih dominan.

21
Gambar 16. Gambaran mikrobiologi Aspergillus pada
specimen nasal

22
23
Laporan Kasus

Seorang pasien pasien, 12 tahun datang bersama orang tuanya ke Poliklinik


Rawat Jalan THT RS Wahidin Sudirohusodo dengan riwayat rujukan dari RS Mitra
Husada dengan keluhan hidung tersumbat sejak 6 bulan yang lalu, riwayat ingus hijau,
berbau busuk, riwayat pendarahan di hidung 2 bulan yang lalu dan sekarang tidak ada,
ada sakit kepala, tidak ada nyeri menelan , tidak ada batuk,tidak ada nyeri telinga, tidak
ada cairan keluar di telinga , tidak ada penurunan pendengaran, tidak ada pusing
berputar, ada riwayat di lakukan Functional Endoscopic Sinus surgery pada bulan
februari,
Pada pemeriksaan fisik tampak wajah asimetris, tidak teraba massa, namun
terdapat nyeri tekan. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior di dapatkan massa, kongesti,
mukosa hiperemis, sekret ada. Pemeriksaan otoskopi dan pemeriksaan faringoskopi
kesan normal. Pada pemeriksaan laboratorium dan foto toraks tidak tampak kelainan.

Gambar 7 : pasien dengan Rhinosinusitis kronik

24
Gambar 9. CT Scan kepala potongan koronal
Hasil CT scan kepala tanpa kontras potongan coronal:
- Concha nasalis bilateral asimetris dengan mukosa irreguler
- Tampak perselubungan pada sinus frontalis kiri, sinus ethmoidalis kanan dan
sinus maxilaris bilateral sinus paranasalis lainnya yang terscan dalam batas
normal
- Ostiomeatal complex kanan tidak paten
- Tidak tampak deviasi deptum nasi
- Oropharing dan nasopharing yang terscan dalam batas normal
- Kedua bulbus oculli danruang retrobulbar yang terscan dalam batas normal
- Tulang-tulang yang terscan intak

25
Kesan :
- Multisinusitis
- Rhinitis kronik

Diagnosis : Rhinosinusitis kronik

Penanganan pada pasien ini dilakukan Functional Endoscopic Sinus surgery pada
tanggal 13 Agustus2019

Laporan operasi :

1. Pasien berbaring terlentang dalam keadaan General Anestesi, ETT terpasang


2. Disinfeksi lapangan operasi dengan betadine, pasang doek steril
3. Lakukan prosedur FESS (Functional Endoscopic Sinus Surgery) :
 Infiltrasi lidokain + ephineprin 1 : 100.000 pada daerah prosesus
unsinatus, lakukan prosedur unsinektomidextra sinistra
 Lakukan MMA bilateral
 Lakukan etmoidektomi anterior bilateral
 Lakukan frontotomi sinistra, identifikasi ostium naturalis sinus frontal,
keluar pus berwarna putih kekuningan. Suction pus sampai ke dalam
rongga sinus. Lakukan marsupialisasi capsul mukosil. Terdapat defek
lamina papiracea bagian superior.
 Evaluasi perdarahan, perdarahan tidak ada
 Pasang tampon boorzalf dextra sinistra
4. Operasi selesai, perdarahan durante operasi ± 100 cc

Post operasi hari I (14 Agustus 2019)

26
Keluhan nyeri post opersi ada, cefalgia tidak ada, perdarahan aktif tidak ada.
Terapi dengan
Inj ceftriaxon 1 gr / 12 jam / iv
Inj dexametason 5 mg/8 jam/iv
Inj. Asam tranesamat 500 mg/8jam/iv
Inj ketorolac 30 mg/8 jam /iv
Ringer laktat 20 tpm/menit

Diskusi

Seorang pasien pasien, 12 tahun datang bersama orang tuanya ke Poliklinik


Rawat Jalan THT RS Wahidin Sudirohusodo dengan riwayat rujukan dari RS Mitra
Husada dengan keluhan hidung tersumbat sejak 6 bulan yang lalu, riwayat ingus hijau,
berbau busuk, riwayat pendarahan di hidung 2 bulan yang lalu dan sekarang tidak ada,
ada sakit kepala, tidak ada nyeri menelan , tidak ada batuk,tidak ada nyeri telinga, tidak
ada cairan keluar di telinga , tidak ada penurunan pendengaran, tidak ada pusing
berputar, ada riwayat di lakukan Functional Endoscopic Sinus surgery pada bulan
februari, Pada pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik tampak wajah asimetris, tidak
teraba massa, nyeri tekan ada. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior di dapatkan massa,
kongesti, mukosa hiperemis, sekret ada. Hasil CT- Scan kesan multisinusiti dan rhinitis
kronik
Pemeriksaan CT-scan merupakan gold standard dalam menegakkan diagnosis
rinosinusitis karena pemeriksaan ini dapat menilai anatomi sinus dan hidung
secara keseluruhan.
Salah satu penyebab utama pada rinosinusitis adalah gangguan drainase
terhadap patensi kompleks ostiomeatal. Variasi anatomi hidung dan sinus paranasalis
seperti: sel frontal, sel agger nasi, bula etmoid, prosessus unsinatus, concha bullosa, sel
haller dan deviasi septi merupakan salah satu faktor penyebab gangguan drainase
hidung dan sinus paranasalis dan diduga menjadi factor predisposisi terhadap kejadian
rinosinusitis kronik. Variasi anatomi tersebut dapat menyebabkan ostruksi terhadap
kompleks ostiomeatal (KOM) dan mengganggu pembersihan mukosilia sehingga
memungkinkan terjadinya rinosinusitis kronik.1,2,3

27
Secara skematik patofisiologi rinosinusitis sebagai berikut: Inflamasi mukosa
hidung, pembengkakan (udem) dan eksudasi, obstruksi (blokade) ostium sinus,
gangguan ventilasi & drainase, resorpsi oksigen yang ada di rongga sinus, hipoksi
(oksigen menurun, pH menurun, tekanan negatif), permeabilitas kapiler meningkat,
sekresi kelenjar meningkat, transudasi, peningkatan eksudasi serosa, penurunan fungsi
silia, retensi sekresi di sinus, dan pertumbuhan kuman. 6
Tatalaksana pada kasus ini di lakukan tindakan pembedahan berupa FESS
(Functional Endoscopic Sinus Surgery). Post operasi hari 1 pasien mengeluhan nyeri
post opersi masi ada, cefalgia tidak ada, perdarahan aktif tidak ada dan Post operasi hari
2 pasien di perbolehkan pulang dan di minta datang kembali dipoli rawat jalan.

Kesimpulan
Tatalaksana Rhinosinusitis kronik adalah pembedahan. Pemeriksaan CT-scan
merupakan gold standard dalam menegakkan diagnosis rinosinusitis karena
pemeriksaan ini dapat menilai anatomi sinus dan hidung secara keseluruhan. CT-
Scan koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan, memberikan visualisasi yang
baik tentang anatomi rongga hidung, komplek osteomeatal, rongga-rongga sinus dan
struktur-struktur yang mengelilinginya seperti orbita, lamina kribiformis, dan kanalis
optikus.
Penguasaan anatomi , pemahaman dan Kemampuan teknik dari seorang operator
dalam penanganan rhinosinusitis sangat berperan dalam keberhasilan operasi untuk
mencegah terjadinya komplikasi dan rekurensi saat dan pasca penatalaksanaan
rhinosinusitis. Pemeriksaan penunjang CT scan potongan coronal akan sangat
membantu operator dalam perencanaan teknik dan pendekatan operasi.

28
DAFTAR PUSTAKA

5. Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European position paper on rhinosinusitis


and nasal polyps. Rhinology, 2007; 45(suppl 20): 1-139.
6. Busquets JM, Hwang PH. Nonpolypoid rhinosinusitis: Classification, diagnosis
and treatment. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head & Neck
Surgery – Otolaryngology. 4th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 2006; 406-416.
7. Soepriady,E. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Ilmu Telinga Hidung
Tenggorokan. Edisi keenam. FKUI. Jakarta.
8. Adam GL, Boies LR. 1997. Buku Ajat Ilmu Penyakit THT. Edisi keenam.
EGC:Jakarta.
9. Gosepath J, Mann WJ. Current concepts in therapy of chronic rhinosinusitis and
nasal polyposis. ORL,2005; 67: 125-136.
10. Widodo Ario Kentjono. Rinosinusitis: Etiologi dan Patofisiologi. 2004. Bagian
llmu Kesehatan THT Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
11. David Osguthorpe. Adult Rhinosinusitis: Diagnosis and Management. Am Fam
Physic. 2001 (63): 69-76.
12. Wilma T. Anselmo-Lima. Rhinosinusitis: evidence and experience. Braz
J Otorhinolaryngol. 2015;81: 1-49
13. Berrylin J. Ferguson and Richard R. Orlandi. Chronic Hypertrophic
Rhinosinusitis and Nasal Polyposis in Head & Neck Surgery - Otolaryngology,
4th Edition. 2006. Lippincott Williams & Wilkins. Page 394-403.
14. Rudolf Probst, Gerhard Grevers, and Heinrich Iro. Diseases of the Nose,
Paranasal Sinuses, and Facial in Basic Otolaryngology. Germany: Georg
Thieme Verlag. 2006: 54-56.
15. David Osguthorpe. Adult Rhinosinusitis: Diagnosis and Management. Am Fam
Physic. 2001 (63): 69-76.
16. Eli O. Meltzer and Daniel L. Hamilos. Rhinosinusitis Diagnosis and
Management for the Clinician: A Synopsis
17. Lauralee Sherwood. Susunan Saraf Tepi, Divis Aferen: Indra Khusus in Human
Physiology: From Cells to System 6th Edition. Cengage Learning. 2007: 248-
249.
18. Michael H.Ross and Wojciech Pawlina. Respiratory System in Histology: A
Text and Atlas. Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins. 2011: 568-73.
19. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinik. 2014: 261-415.
20. Richard S. Snell. Saluran Pernapasan Atas dan Bawah serta Struktur yang
Terkait in Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2015: 35-9.
21. Probst, et al. Anatomy, Physiology, and Immunology of the Nose, Paranasal
Sinuses, and Face in Basic Otorhinollaryngology. Germany: Georg Thieme
Verlag. 2006: 2-13

29
30

Anda mungkin juga menyukai