Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
Kelas PLN – B
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya
dengan segala rahmatNya akhirnya saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Pancasila di Masa Kini” tepat pada waktunya. Saya juga mengucapkan
terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Pancasila yang telah
memberikan tugas ini.
Saya selaku penyusun berharap semoga makalah yang saya susun bisa
memberikan banyak manfaat serta menambah pengetahuan mengenai Pancasila
sebagai dasar negara kita.
Arinta Samahitasaskara
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 4
1.1 Latar Belakang 4-6
1.2 Rumusan Masalah 6
1.3 Tujuan 6
BAB II PEMBAHASAN 7
2.1 Internalisasi Nilai-Nilai Luhur Pancasila 7-8
2.2 Peluang dan Upaya Revitalisasi Nilai-Nilai Pancasila………………………8-14
3.2 Saran………….………………………………………………………………..23
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………24
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada zaman modern ini setelah reformasi, masyarakat hidup lebih
pragmatis. Kemajuan zaman, teknologi serta ilmu pengetahuan, membuat
masyarakat menjadi lebih individualistik. Semangat komunal masyarakat
dulu mulai tergerus dan berganti menjadi gaya hidup dan konsumerisme.
Hal ini bisa kita lihat dari anak muda sekitar, ketika gadget ada
dalam genggaman, maka abailah mereka pada sekitar. Kalau pun anak-
anak muda masih fanatik, hal itu ditujukan bagi tim sepakbola kesayangan.
‘Hidup Bonek! Hidup bobotoh! Hidup the Jak,!’ Lihat saja, ratusan ribu
pendukung membanjiri stadion membela klub sepak bolanya masing-
masing. Bak perang antar ‘ideologi’, dengan bendera di tangan, mereka
berani mati ‘hanya’ karena membela klub sepak bola. Pun tidak jauh beda
dengan para remaja pemuja boyband korea ketika melihat konsernya.
4
lain di luar Pancasila. Tampak bahwa Pancasila kini tidak saja harus
berhadap-hadapan dengan ideologi lain yang berasal dari luar yaitu
kapitalisme, individualisme maupun sosialisme, namun juga harus
bersaing dengan ideologi lain yang berasal dari khasanah kehidupan
bangsa Indonesia itu sendiri.
5
Maka dari itu perlunya kerja sama antara pemerintah dan warga negara
untuk tetap membakar semangat nasionalisme di tengah keraguan
masyarakat terhadap Pancasila.
BAB II
6
PEMBAHASAN
7
lamanya. Oleh karena itu, Pancasila adalah pribadi bangsa Indonesia itu
sendiri yang hanya dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak keberadaanya sebagai
sebuah bangsa.
c. Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia
Sebagai pandangan hidup bangsa artinya nilai-nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan diyakini kebenarannya,
kebaikannya, keindahannya dan kegunaanya oleh bangsa Indonesia yang
dijadikan pedoman kehidupan bermasyarakat dan menimbulkan tekat yang
kuat untuk mengamalkannya.
d. Pancasila sebagai Jiwa Bangsa
Von Savigny mengemukakan bahwa setiap bangsa mempunyai jiwanya
masingmasing (volgeist)-Jiwa rakyat/jiwa bangsa. Pancasila sebagai jiwa
bangsa lahir bersamaan dengan lahirnya bangsa Indonesia. Pancasila telah ada
sejak dulu kala bersamaan dengan adanya bangsa Indonesia.
e. Pancasila sebagai Perjanjian luhur
Sebagai perjanjian luhur artinya nilai-nilai Pancasila sebagai jiwa bangsa
dan kepribadian bangsa disepakati oleh para pendiri negara.
8
struktural. Pendekatan kultural hendaknya dilakukan untuk menyemai benih,
menumbuhsuburkan dan menjaga kelestarian nilai nilai Pancasila melalui
proses pendidikan dan pembiasaan (habituasi) bagi segenap komponen
bangsa, terlebih-lebih generasi muda agar semakin kuat komitmen
kebangsaannya, semakin kuat penghayatan mereka sebagai sebuah
“imagined community” yang dipersatukan oleh keragaman yang ada.
Upaya kultural itu juga sekaligus untuk memerangi beberapa kendala
revitalisasi nilai-nilai Pancasila yang kita hadapi yaitu : (a) kuatnya in-group
feeling di kalangan suku-suku bangsa, (b) etnosentrime, dan (c)
eksklusivisme. Perasaan in-group yang kuat di kalangan suku-suku bangsa
pada satu sisi memang bernilai positif namun pada sisi lain dapat
menimbulkan sikap pengutamaan segala sesuatu yang menyangkut sukunya
secara berlebihan sehingga menghambat perwujudan kesetiaan terhadap
negara secara nasional. Etnosentrime adalah paham yang memandang
kebudayaan suku bangsanya sebagai yang terbaik sementara kebudayaan suku
bangsa lain dianggap rendah. Sikap semacam ini jelas tidak mendukung upaya
integrasi nasional yang mensyaratkan adanya kesediaan dari setiap pihak
untuk saling menghargai dan menghormati kekhasan atau ciri khas pihak lain.
Etnosentrisme juga dapat mendorong lahirnya eksklusivisme, atau paham
menutup diri. Eksklusivisme akan melahirkan sikap eksklusif atau menutup
diri dari lingkungan sekitar dan hanya mengembangkan kehidupan di
dalam kelompoknya sendiri.
Pendidikan dan pembiasaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara wajib ditopang oleh penciptaan struktur kehidupan
berbangsa dan bernegara yang sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Dewasa
ini, sesudah lebih dari 15 tahun kita berada pada masa transisi, tampak bahwa
Indonesia telah berhasil melewati dua dari tiga tahapan mewujudkan
demokrasi, yaitu “façade democracy”, dan “electoral democracy” guna
menuju “full democracy” (Haynes 2001, dalam Erb dan Sulistyanto, 2010).
Karakteristik dari rejim façade democracy adalah bahwa walau dalam negara
itu dijalankan pemilu secara regular, namun pemilu itu sendiri sangat
dikendalikan oleh pihak penguasa, dan dalam rejim itu militer memainkan
9
peran penting dalam mengendalikan “law and order”, di mana hak-hak asasi
manusia tidak dipandang penting dalam penyelenggaraan pemerintahan
negara. Gambaran seperti itu mengingatkan kita pada praktik kehidupan
bernegara bangsa Indonesia semasa Orde Baru. Demokrasi yang diberi label
Pancasila pada waktu itu hanya demokrasi seolah-olah (Suseno, 1995), karena
walau pemilu dilaksanakan secara rutin 5 tahun sekali namun kebanyakan
pemilu itu berlangsung dengan penuh kecurangan, dikontrol ketat oleh
penguasa, di mana militer menjalankan fungsi “screening” bagi setiap orang
yang hendak dicalonkan menjadi pejabat publik (Lidle, 1992, Weathrebee,
2001; Suryadinata, 2002). Peran dominan militer dalam kehidupan politik
semasa Orde baru juga sudah banyak dicatat oleh para ahli (Crouch, 1978;
Sundhausen, 1986; dan Britton, 1996), sedang rekam jejak pelanggaran atau
paling tidak pengabaian hak asasi manusia oleh rejim Orde baru juga dapat
kita temukan dalam banyak pustaka.
Karakteristik rejim electoral democracy adalah terdapatnya aturan-
aturan dan regulasi tentang penyelenggaraan pemilu demokratis yang benar-
benar terlaksana dalam praktik kehidupan bernegara. Di samping itu dalam
rejim ini terdapat pula perhatian terhadap proses penegakkan hukum. Hal yang
membedakan antara electoral democracy dengan full democracy adalah jika
dalam electoral democracy baru sebatas prosedurprosedur pemilu yang benar
benar menjamin hak-hak individu dan partisipasi mereka dalam proses pemilu,
maka dalam full democracy seluruh upaya penyelenggaraan negara benar-
benar dipusatkan untuk menjamin hak-hak individu dan partisipasi mereka
dalam proses politik dan urusan public, di mana penyelenggara negara benar-
benar menerapkan prinsip penyelenggaraan pemerintahan negara yang
partisipatif, transparan dan akuntabel.
Seusai pemerintahan rejim Orde baru bangsa Indonesia telah berupaya
untuk mewujudkan komitmen menjalankan sistem pemerintahan demokratis.
Hal itu antara lain diwujudkan melalui pelaksanaan pemilu kompetitif
multipartai; jaminan dan perlindungan atas kebebasan pers, kebebasan
berserikat dan berkumpul; penyingkiran militer dari arena politik praktis, dan
pelaksanaan desentralisasi secara luas. Lebih lanjut, pada tahun 2004 mulai
10
dilaksanakan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, serta
tahun 2005 mulai dilaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung.
Proses dan hasil pemilu tahun 1999 dan 2004 mendapat apresiasi positif dari
banyak pihak. Itu semua menunjukkan bahwa Indonesia telah berhasil
mencapai tahapan sebagai rejim electoral democracy.
Akankah perjalanan hidup bangsa Indonesia terus melaju ke tahapan
full democracy? Haynes 2001 (Erb dan Sulistyanto, 2010) mencatat bahwa
paling tidak ada delapan hambatan yang dapat menghadang proses menuju full
democracy yaitu: a) dominasi eksekutif yang eksesif, b) sistem sosial-politik
patrimonial baru, c) korupsi tingkat negara yang serius, d) partai-partai politik
yang lemah dan tidak stabil, e) pelemahan atau kooptasi kekuatan civil society,
f) pembelahan etnis/keagamaan yang serius, g) kemiskinan yang menyebar
secara luas, dan h) iklim internasional yang tidak mendukung. Dari kedelapan
penghambat tersebut bangsa Indonesia mengahadapi persoalan akut di bidang
pemberantasan korupsi. Hasil survey Transparency International (2011)
mendudukkan Indonesia sebagai negara terkorup keenam di dunia. Untuk
tahun ini, berdasarkan hasil survey nilai Indeks Persepsi Korupsi Indonesia
adalah 2,2. Nilai ini sejajar dengan negara Azerbaijan, Kamerun, Irak, Etiopia,
Liberia dan Uzbekistan. Peringkat Indonesia tergolong lebih baik
dibandingkan Paraguay, Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Kongo, Kenya,
Haiti, dan Myanmar. Sementara, untuk negara yang dianggap paling bersih
dari korupsi adalah Islandia dengan nilai indeks 9,7. Partai-partai politik
belum mampu berfungsi sebagaimana mestinya dan bahkan menjadi wahana
pengembangan sistem sosial politik patrimonial baru. Memang tidak terjadi
kooptasi terhadap organisasi-organisasi kemasyarakatan (civil society), namun
sebaliknya beberapa organisasi civil society yang tumbuh dan berkembang
selama masa transisi ini justru sering merusak tatanan demokrasi yang hendak
dibangun melalui berbagai tindakan anarkis. Lebih dari itu, kini juga telah
tumbuh dan berkembang beberapa organisasi civil society yang sejatinya
memang anti sistem demokrasi (Marijan: 2010). Kebebasan yang berkembang
sejalan dengan proses demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara
selama ini juga membawa dampak iringan intensnya konflik antar
11
suku/kelompok maupun penganut agama. Kemiskinan belum juga mampu
dikurangi secara signifikan oleh pemerintah. Dengan demikian masih
diperlukan kerja keras seluruh elemen bangsa ini jika memang berkehendak
untuk mewujudkan kehidupan demokrasi yang penuh. Itu berarti diperlukan
adanya upaya pendalaman demokrasi atau deepening democracy.Berbagai
kajian terhadap transisi demokrasi di Asia, Amerika Latin dan Eropa Timur
menunjukkan bahwa kelangsungan atau daya tahan demokrasi amat
dipengaruhi oleh berlangsung atau tidaknya proses peningkatan mutu
demokrasi dari konsepsi minimalis, demokrasi prosedural, menuju bentuk
yang lebih substantif dari politik demokratis, demokrasi substansial (Anderson
ed, 1999; Przeworski et al, 1996; Linz & Stephan, 1996). Gejala demikian
umumnya disebut sebagai proses pendalaman demokrasi (deepening
democracy).
Wong (2003:235) memahami pendalaman demokrasi sebagai proses
sosial, ekonomi dan politik yang berlangsung sepanjang waktu. Pendalaman
demokrasi tidak berakhir dalam dan pada dirinya sendiri. Di sini arah
perubahan amat ditekankan. Penekanan pendalaman sebagai sebuah proses ini
memberi pengertian mengenai apa yang menandai adanya pendalaman
demokrasi. Roberts (1998:3), menyatakan bahwa pendalaman demokrasi
memiliki sekaligus konotasi prosedural dan substantif dalam berdemokrasi.
Karena itu pendalaman demokrasi bisa dipahami sebagai proses di mana
politik progresif atau politik baru menjadi bagian penting dari agenda politik
utama yang dijalankan pemerintah dan masyarakat.
Menurut Fung and Wright (Pratikno 2007) deepening democracy perlu
berlangsung dari dua sisi: sisi negara dan sisi masyarakat. Dari sisi negara,
deepening democracy, adalah pengembangan dua hal, pertama, pelembagaan
mekanisme (institutional design) penciptaan kepercayaan semua aktor politik
di daerah yakni masyarakat sipil, masyarakat politik (partai politik) dan tentu
saja negara atau state apparatuses (birokrasi, alat keamanan negara). Kedua,
pengembangan penguatan kapasitas administratif-teknokratik yang mengiringi
pelembagaan yang telah ditetapkan. Dari sisi masyarakat, deepening
12
democracy, merujuk pada pelembagaan keterlibatan masyarakat terhadap
aktivitas politik formal di tingkat local state.
Dalam tataran riil, setidaknya ada tiga dimensi yang menandai
berlangsungnya pendalaman demokrasi (Wong, 2003). Pertama, dimensi
sosio-legal atau institusionalisasi hak-hak politik, yang merujuk pada gagasan
hak asasi manusia, martabat manusia dan kesetaraan manusia. Ini meliputi
antara lain perluasan kesetaraan hak suara, perluasan peluang yang sah secara
hukum (ruang legal) bagi masyarakat untuk berserikat dan berkumpul, serta
perluasan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai tingkatan
proses politik. Pendalaman demokrasi mengupayakan dan mengkodifikasikan
secara legal penghargaan hak asasi manusia lintas kategori sosial, tanpa
pandang bulu terhadap kelas sosial, agama, etnisitas, gender dan berbagai
kategori sosial lainnya. Kebijakan politik dirancang sedemikian rupa untuk
mencegah dan mengatasi terjadinya diskriminasi terhadap individu dan
kelompok-kelompok sosial, mempromosikan penghargaan terhadap hak asasi
manusia, serta menanamkan sikap yang menghargai keragaman atau
kebhinekaan.
Kedua, dimensi ekonomi, yang merujuk pada distribusi dan alokasi
sumbersumber yang terdapat dalam masyarakat. Masyarakat umumnya
mengharapkan bahwa dimulainya pemerintahan demokrasi akan menghantar
mereka pada terwujudnya keadilan sosial ekonomi yang lebih besar
(Przeworski, 1999:10). Karena itu, adanya redistribusi ekonomi dan inovasi
kebijakan sosial merupakan hal amat penting yang menandai berlangsungnya
pendalaman demokrasi (Kapstein & Mandelbaum Ed, 1997; Chalmers et al.,
1997; Weyland, 1996 dalam Wong 2003). Reformasi kebijakan sosial, yang
memiliki dimensi ekonomi lebih umum, juga merupakan tanda
berlangsungnya pendalaman demokrasi. Reformasi demikian ditandai oleh
berlangsungnya perluasan tanggung jawab pemerintah (katimbang
mengandalkan mekanisme pasar) dalam mendistribusikan keuntungan-
keuntungan ekonomi dan mengalokasikan sumber-sumber yang langka /
terbatas. Termasuk dalam hal ini berlangsungnya perubahan kebijakan
kesejahteraan sosial dan pelestarian lingkungan.
13
Ketiga, dimensi politik, yang merujuk pada partisipasi masyarakat
dalam politik, khususnya dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam hal ini,
pendalaman demokrasi hakikatnya merupakan upaya mempertimbangkan
kembali negara sebagai arena bagi berlangsungnya perundingan dalam
pembuatan keputusan (deliberative decision making). Menurut Chalmers et al
(1997, dalam Wong 2003), hal ini merupakan garansi bahwa hak partisipasi
politik yang dijamin oleh hukum (de jure) benar-benar dapat diwujudkan
dalam praktik partisipasi politik secara nyata (de facto). Jadi, singkatnya,
dalam dimensi politik, pendalaman demokrasi berarti perubahan dalam proses
politik dan pembuatan kebijakan. Dalam hal ini, tingkat pengaruh aktor di luar
aparat pemerintah dalam menentukan pembaruan agenda kebijakan, serta
sejauh mana pembuatan keputusan pemerintah telah diambil melalui
konsensus katimbang pembebanan, itu semua mengindikasikan sejauh mana
tingkat pendalaman demokrasi sekaligus kebermaknaan partisipasi dan
representasi politik.
2.3 Keterkaitan Pancasila dengan Isu Terkini
a. Pancasila dan Agama
Sejak dahulu negara ini sudah dibentuk dari perbedaan suku, ras, dan
agama,bahkan dalam sejarah Pancasila mencatat adanya perbedaan kelompok
nasionalis islami dan nasional sekuler untuk menentukan arah pandangan
negara Indonesia. Perdebatan ini kembali muncul pada saat awal reformasi
tahun 1998-2002 dimana fraksi PPP dan PBB menginginkan negara Indonesia
menjadi negara yang berdasarkan agama. Meskipun demikian sampai saat ini
Pancasila dan UUD 1945 tetap kokoh sebagai dasar negara Indonesia.
Saat ini isu pergantian dasar negara melalui parlemen tidak lagi
didengar namun beberapa gejala tentang adanya keinginan kelompok
masyarakat untuk mengubah dasar negara mulai muncul seperti misalnya
adanya isu negara agama atau ormas yang tidak berdasarkan Pancasila.
Menurut Santoso mencatat bahwa pada umumnya ada tiga macam yang
melatarbelakangi munculnya kelompok ini adalah: pertama, adanya
ketidakpuasan akan kinerja pemerintah selama ini sehingga muncul ide untuk
membuat ideologi atau visi dan misi yang berbeda dengan yang ada
14
sebelumnya. Kedua ketidakpuasan terhadap kondisi ekonomi, politik,
sehingga mereka ingin membuat suatu peraturan sendiri dan mengatur
kehidupannya sendiri, ketiga, pemahaman terhadap keyakinan tertentu dan
cenderung mengarah pada paham berbeda, bahkan separatis sehingga merusak
tatanan nilai dan moral yang ada serta menimbulkan disintegrasi.
Mengganti atau mengubah dasar negara berlandaskan agama, tentu
menghadirkan kekuatiran umat beragama lainnya seperti Kristen, Katolik,
Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Mereka berharap adanya jaminan
perlindungan agar diperlakukan sama dan setara akan hak-haknya sebagai
warga negara. Tidak heran jika kelompok minoritas menolak keberadaan
negara berlandaskan agama karena merasa akan adanya dugaan perlakuan
diskriminasi hak.
Dalam kondisi semacam ini, negara yang mengambil peranan penting
dalam penegakan ideologi Pancasila. Namun tidak hanya itu, perbaikan di
berbagai sektor harus dilaksanakan seperti pemerataan ekonomi dan
pembangunan inprastruktur. Pluralitas ini di satu pihak dapat merupakan
potensi yang sangat besar dalam pembangunan bangsa, namun di lain pihak
juga merupakan sumber potensial bagi munculnya berbagai konflik yang
mengarah pada disintegrasi bangsa. Potensi disintegrasi bangsa yang terus
mengancam sebenarnya telah terjawab pada nilai-nilai Pancasila yang memuat
pandangan kompleksitas, heterogenitas atau pluralitas yang memang disadari
sejak awal kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan.
Pemasalahan yang muncul sebenarnya ada dua, pertama adanya
keinginan untuk mengganti dasar negara karena ketidakpuasaan terhadap
produk hukum yang tidak menyelesaikan persoalan seperti korupsi, kolosi, dll.
Kedua bahwa adanya anggapan bahwa negara memiliki mayoritas agama
terbesar di dunia sehingga terlihat aneh ketika tidak berlandaskan agama.
Persolan ini tidak akan muncul ketika memahami konsep tentang akar
nasionalisme Indonesia yang sejak awal justru didasarkan pada tekad
yang menekankan pada pentingnya citacita bersama. Kesadaran semacam
itu jelas terlihat pada semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang menekankan
pada pentingnya cita-cita yang sama dan sekaligus kemajemukan sebagai
15
perekat kebangsaan. Pada prinsipnya etika ini meneguhkan pentingnya
komitmen negara untuk memberi ruang bagi kemajemukan pada satu
pihak dan pada pihak lain tercapainya cita-cita kemakmuran dan keadilan
sebagai wujud dari tujuan nasionalisme Indonesia.
Pancasila tidak pernah menggeser keberadaan konsep mayoritas
maupun minoritas, atau konsep perbedaan atau heterogenitas dan pluralisme
tetapi hadir sebagai sebuah konsep ideologi yang dapat diterima dan untuk
kepentingan bersama menuju Indonesia satu sebagaimana tujuan pada sila
ketiga “Persatuan Indonesia”. Dalam implementasinya Indonesia telah
memberikan hak-hak istimewa kepada beberapa daerah seperti Aceh dan
Yogyakarta serta otonomi daerah bagi kabupaten. Begitu pula dengan adanya
pengakuat terhadap keanekaragaman suku, ras agama, golongan. Kedua
bahwa Pancasila dalam sila kelima telah meletakkan salah satu tujuan
terbentuknya negara Indonesia yakni hadir untuk menciptakan keadilan sosial
bagi seluruh masyarakat Indonesia. Artinya Pancasila menentang keras konsep
ketidakadilan yang dirasakan masyarakat, tinggal peran pemerintah sebagai
vasilitor dan eksekutor untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran tersebut.
b. Pancasila dan Politik (Berita Hoax dan Politik Identitas)
Tahun 2019 merupakan tahun politik, tahun dengan metode pemilihan
serentak yakni pemilihan Presiden, calon DPD. DPR, DPRD Tk.1 dan DPRD
Tk.2. Peristiwa ini tentu memakan tenaga, waktu dan pikiran, terlebih dengan
banyaknya berita politik yang mengarah politik identitas yang dapat memecah
bangsa. Hal yang serupa juga terjadi pada saat pemilihan Gubernur DKI
Jakarta pada tahun 2017 dimana isu agama sangat kental mewarnai proses
politik yang terjadi.
Dalam pemilihan presiden 2019 diwarnai oleh dua kubu yakni
ProbowoSandiaga Uno dan Joko Widodo-KH. Ma’Aruf Amin. Kedua kubu
dalam media sosial (Facebook) dikenal kampret (pendukung Prabowo-Sandi)
dan cebong (pendukung Joko WidodoAmin). Dalam proses ini, media sosial
menjadi ruang tanpa batas segala ejekan, hinaan, negatif campaing, black
campaign, dikotomi kelompok, isu suku, ras, agama, dll menjadi perbincangan
yang mengerikan. Ruang publik yang semakin luas dengan kemajuan
16
teknologi membuat segala isu tidak lagi terkontrol hanya untuk mengait
simpati masyarakat. Dan yang paling aneh mereka yang melontarkan isu
provokasi bersumber akun-akun palsu di facebook. berdasarkan data Asosiasi
Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII), pada tahun 2017,
penggunaan internet di Indonesia sudah mencapai 50 persen dari jumlah
penduduk di Indonesia, atau tepatnya berjumlah 143,26 juta jiwa. Tidak heran
jika hasil Survei Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) tahun 2017
menyebutkan bahwa 92,40 persen saluran penyebaran berita bohong
dilakukan menggunakan media sosial, dengan 91,8 persennya adalah jenis
hoax yang berhubungan dengan sosial politik. Tujuan dari berita Hoax atau
berita bohong:
1. Berita Hoax bertujuan untuk melakukan provokasi massa untuk
kepentingan politik tertentu.
2. Memecah belah masyarakat dan bangsa untuk tidak percaya pada sistem
politik yang berjalan.
3. Membangkitkan isu SARA yang bertujuan mengembangkan opini.
4. Membentuk polarisasi pada masyarakat.
5. Tujuan ekonomi yang mengarah pada penipuan.
6. Penguatan politik identitas.
Demokrasi dengan sistem informasi kebablasan menyebabkan
masyarakat bingung untuk membedakan mana informasi benar dan salah.
Dampak yang lebih luas mengarah pada menciptakan interpretasi buruk dan
menimbulkan disintegrasi di masyarakat. Jika persoalan ini dibiarkan maka
masyarakat akan terarah untuk tidak percaya pada sistem pemilu atau bahkan
ketidakpercayaan pada pemerintah. Tidak di napikan bahwa dapat terjadi
kekacauan, anarkisme dan agitasi. Meskipun dalam Pasal 69 Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2016 telah menyebutkan dengan jelas larangan dalam
kampanye seperti menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik,
perseorangan dan atau kelompok masyarakat. Regulasi belum menjadikan
kelompok pembuat hoax takut dan khawatir, karena setiap informasi mereka
kemas dengan baik seolah tidak terjadi suatu rekayasa informasi.
17
Pemerintah akan lebih rentang untuk mendapat masalah justru oleh
berita bohong atau tidak benar. Pemerintah justru akan kehabisan waktu hanya
untuk melakukan verifikasi atas semua berita tidak benar. Oleh karena itu ada
beberapa langkah yang perlu diambil dalam mengurangi berita hoax:
a. Meningkatkan peran lembaga pendidikan seperti sekolah dan universitas.
Peningkatan pendidikan membentuk masyarakat yang semakin cerdas dan
kritis terhadap pemberitaan tidak benar. Pengembangan ilmu pengetahuan
merupakan senjata utama untuk generasi muda agar lebih bijak dalam
melakukan filterisasi informasi yang beredar di masyarakat.
b. Literasi informasi untuk mendidik masyarakat agar selektif dan cerdas
dalam menerima maupun menyebarkan informasi.
c. Pembinaan keluarga, suka atau tidak suka pengawasan keluarga terhadap
penggunaan teknologi cukup efektif mengingat pengguna media sosial lebih
banyak pada usia sekolah baik SD maupun perguruan tinggi.
d. Penegakan hukum dan sosialisasi hukum, penegakan hukum terus
digalangkan pemerintah namun memang sulit untuk mengatasi banyak akun-
akun palsu terus bertambah. Di sisi lain perlu regulasi yang menimbulkan efek
jerah.
e. Pembatasan media sosial, hal ini bisa dilakukan pemerintah jika dianggap
perlu. Namun hal terus menuai pro dan contra oleh karena fungsi media sosial
juga mempunyai dampak positif bagi sebagian orang misal untuk berdagang.
Upaya pencegahan hoax tentu harus dibarengi dengan kesadaran para
elit politik untuk tidak mengambil kesempatan dengan berita yang mungkin
saja menguntungkan kelompoknya atau kubunya. Elit politik berfungsi
sebagai aktor berada pada garda terdepan sebagai pengontrol dan memberikan
pendidikan politik pada masyarakat. Maraknya berita hoax juga tidak terlepas
dari penguatan politik identitas. Politik Identitas semakin menguat pada masa
pasca orde baru. Kehadiran politik identitas adalah antitesis dari kekuatan
politik yang sentralistis dan hegemonik selama Orde Baru berkuasa. Namun
pada era demokrasi dengan sistem pemilihan langsung politik identitas
sebagai alat yang paling mudah digunakan dalam mempremis isu atau
mobilisasi massa. Dalam hal ini politik identitas membawa sentimen negatif
18
terhadap proses pemilu yang terjadi di Indonesia, atau terdapat kelompok yang
mencari perlindungan pada kelompok agama maupun etnistas. Kondisi ini
cepat atau lambat akan membahayakan posisi pemerintah dalam bangunan
relasi vertikalnya tetapi juga rawan, rentan, penuh resiko dan sangat berbahaya
dalam relasi horizontalnya.
Fenomena politik Identitas berbasis agama sangat kental pada rana
politik nasional maupun lokal utamanya jika calon bersumber dari 2 agama
yang berbeda seperti DKI Jakarta. Ini dibuktikan pada pemilihan Gubernur
DKI Jakarta 2017 memperlihatkan hasil survey Polmark Indonesia yang
dipimpin oleh Eep Saifulah Fatah yang memberikan penjelasan bahwa sebesar
67,7 % pemilih Jakarta menyetujui memilih pemimpin Muslim. Hal ini bisa
saja terjadi oleh karena Ahok pada saat itu merupakan tokoh di luar
Muslimyang kemudian terbukti melakukan penistaan agama (merujuk pada
Putusan Pengadilan). Namun yang menjadi pertanyaan besar mengapa isu
politik identitas berbasis agama muncul juga pada saat Pilpres 2019 yang nota
bennya kedua pasangan calon berasal dari agama yang sama. Dugaan awal
sama dengan yang disebut oleh Pierre yang melihat identitas dapat dijadikan
sebagai alat mobilisisasi.
Pada umumnya, politik identitas terkait dengan upaya-upaya mulai
sekedar penyaluran aspirasi untuk mempengaruhi kebijakan, penguasaan atas
distribusi nilai-nilai yang dipandang berharga hingga tuntutan yang paling
fundamental, yaitu penentuan nasib sendiri atas asas keprimordialan. Tidak
menutup kemungkinan politik menuntut akan adanya kebijakan dengan
memasukkan kepentingan kelompok tertentu tanpa harus melihat kelompok-
kelompok lainnya. Kepentingan ini bisa saja mengarah pada perubahan
fundamental atau perubahan dasar dari negara. Muncul berbagai bentuk politik
Identitas justru akan mengarah pada terbentuknya kelompok-kelompok anti
Pancasila, Anti pluralisme, dan anti demokrasi. Dalam hal Geertz melihat
bahwa adanya ancaman disitegrasi bangsa dari politisasi agama.
Perdebatan masalah relasi agama dan negara sudah pernah terjadi pada awal
kemerdekaan dimana Soekarno dan Natsir berdebat tentang masuk tidaknya
agama sebagai dasar negara. Soekarno melihat bahwa agama dan negara
19
merupakan dua unsur yang harus terpisahkan. Agama selalu terkait dengan
masalah ritual hubungan dengan Tuhan. Sedangkan pandangan Natsir yang
mewakili kelompok nasionalis Islami mengarah terciptanya hubungan atau
relasi antara agama dan negara. Menurutnya agama dan negara adalah dua
etitas yang tidak dapat dipisahkan sebab agama tidak hanya bicara hubungan
dengan Tuhan tetapi juga hubungan dengan sesama manusia dalam sebuah
negara. Namun pada akhir perdebatan ini mengalami konsensus dengan lahir
sebuah konsep yang diterima bersama untuk semua kalangan yang disebut
Pancasila. Mengacu pada sejarah Pancasila, dapat mengambil makna bahwa
masalah politik identitas yang kemudian bermuara pada perubahan dasar
negara harusnya tidak lagi jadi perdebatan. Pancasila merupakan simbol
pemersatu bangsa yang sekira terbentuk dari unsur keTuhanan, budaya dan
kultur masyarakat Indonesia. Pancasila hadir untuk menjamin hak-hak setiap
manusia di dalamnya diperlakukan sama dan setara yang juga tertuang dalam
UUD 1945. Maka dari itu Pancasila harus mampu menjadi ideologi terbuka
ideologi yang dapat menjawab tantangan masa kini. Tokoh politik, tokoh
agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat harus memandang Pancasila sebagai
common interest yang sekira menjadi alat pemersatu bangsa.
Tantangan Pancasila tentu akan terus mengalami dinamika dari dalam
negeri sendiri sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Sekarang tugas
masyarakat dan terlebih khusus pada tenaga pendidik dari tingkat SD hingga
perguruan tinggi termaksud sekolah berbasis agama harus mampu
memateraikan Pancasila dalam akal dan sanubari. Permasalahan yang
ditemukan bahwa sekolah hanyalah menjadikan Pancasila sebagai hafalan
tanpa memberikan gambaran makna dan bagaimana Pancasila di
implenmentasikan.15 Anak sekolah maupun mahasiswa hanya melihat
pendidikan Pancasila sebagai suatu mata pelajaran/kuliah yang pada akhir
hanya kompetisi mencari nilai. Padahal Pancasila punya makna yang lebih
luas dari sekedar nilai mata pelajaran yakni makna pemersatu dan kandungan
citacita negara.
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a) Revitalasasi nilai-nilai Pancasila bukanlah hal yang mustahil, walaupun
juga bukan merupakan hal yang mudah untuk dilakukan, karena
tantangan terbesar dalam upaya revitalisasi nilai-nilai Pancasila
sesungguhnya adalah bagaimana memperkuat dimensi realitas ideologi
Pancasila.
b) Usaha untuk mewujudkan nilai nilai Pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara harus dilaksanakan melalui dua pendekatan
komplementer yaitu (1) pendekatan kultural dan (2) pendekatan
21
struktural. Pendekatan kultural hendaknya dilakukan untuk menyemai
benih, menumbuhsuburkan dan menjaga kelestarian nilai nilai Pancasila
melalui proses pendidikan dan pembiasaan (habituasi) bagi segenap
komponen bangsa.
c) Sebagai ‘kontras penanda’, Pancasila juga perlu menegaskan dirinya
sebagai ideologi yang berbeda dengan ideologi dominan, kapitalisme.
Sistem kapitalisme yang bertumpu pada mekanisme pasar tidak hanya
menyebabkan kesenjangan sosial, melainkan juga sebagai penyebab
ketidakadilan sosial di mana kelompok rentan terpelanting ke pinggir.
Negara tidak boleh pasif dan menyerahkan kedaulatannya pada
mekanisme pasar, melainkan harus hadir memperluas distribusi
misalnya melalui program landreform dan pengalokasian anggaran
untuk kepentingan publik (public expenditure) dalam Anggaran
Pembelanjaan Biaya Negara (APBN) dan kebijakan publik yang
mengikat untuk menjamin pemerataan dan kompensasi bagi mereka
yang tercecer dalam pembangunan.
3.2 Saran
Saya sebagai penulis menyadari bahwa Pancasila di kalangan anak
muda pun mulai luntur nilai-nilainya. Maka dari itu para generasi muda
juga harus giat dan berperan aktif dalam merevitalisasi nilai-nilai tersebut
dan mengamalkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
22
DAFTAR PUSTAKA
and Arts. Relevansi Pancasila di Era Industry 4.0 dan Society 5.0 di
23