Anda di halaman 1dari 127

Representasi

Peran Badan Musyawarah (Bamus) Betawi sebagai Saluran Representasi Masyarakat


Betawi Menuju Pemerintah DKI Jakarta
Skripsi:
No.2699
Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Ilmu
Politik pada Jurusan Politik da Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta

Disusun Oleh:
FRIADI HAGIRI
07/250065/SP/21884

JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012

i
Representasi:

Peran Badan Musyawarah (Bamus) Betawi sebagai Saluran Representasi Masyarakat Betawi
Menuju Pemerintah DKI Jakarta

Skripsi:
No 2699

Diajukan Untuk Memenuhi dan Melengkapi Persyaratan Guna Mencapai Gelar Sarjana Ilmu
Politik pada Jurusan Politik da Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta

Disusun Oleh :

FRIADI HAGIRI
07/250065/SP/21884

Disetujui :
Dosen Pembimbing

Dra. SRI DJOHARWINARLIEN, SU.

JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012
ii
PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan dan disahkan di depan Tim Penguji Jurusan Politikdan

Pemerintah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada :

Hari : Jumat

Tanggal : 13 Januari 2012

Pukul : 10.00 WIB

Tempat : Ruang Sidang Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM

Tim Penguji

Dra. Sri Djoharwinarlien, SU _________________


Ketua Tim Penguji/ Pembimbing

AAGN Ari Dwipayana, SIP, M.Si _________________


Penguji Samping I/ Bidang Metodologi

Longgina Novadona Bayo, SIP, MA _________________


Penguji Samping II/ Bidang Politik dan Pemerintahan

iii
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Friadi Hagiri

NIM : 07/250065/SP/21884

Angkatan : 2007

Jurusan : Politik dan Pemerintahan

Judul Skripsi : Peran Badan Musyawarah (Bamus) Betawi sebagai Saluran Representasi
Masyarakat Betawi Menuju Pemerintah DKI Jakarta

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi saya ini tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan juga tidak terdapat

karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain, kecuali yang secara

tertulis dijadikan referensi dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan penuh tanggung jawab dan saya bersedia menerima sanksi

apabila kemudian hari diketahui tidak benar.

Yogyakarta, 12 April 2012

Yang membuat pernyataan,

Friadi Hagiri

iv
PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan untuk:


Kedua orang tuaku yang tiada lelah memberikan kasih
sayangnya :Wahyu Hidayat dan Aan Animah
Ketiga saudaraku : Rina Widiyanti, Aisya Triana, dan
Syaharani Fadhilla

-Jadikan imajinasi modal utama dalam skripsimu


-Jagur

v
Kata Pengantar :

Ucapan Terima Kasih

Dari semua lembar halaman di skripsi mungkin Cuma halaman ini yang di buat dengan
semangat menggebu-gebu oleh kebanyakan mahasiswa akhir alias penyusun skripsi. Halaman
yang biasanya di jadikan ajang pamer calon tunangan, calon istri atau suami, atau mungkin
calon mertua juga. Tak ketinggalan juga ucapan bagi teman-teman yang bahkan mereka yang
kesulitan untuk mencari si penulis ketika akhir bulan untuk meminjam uang. Ya, hanya sekedar
kumpulan nama tanpa makna. Tapi disinilah halaman yang sesungguhnya sangat berarti bagi
kebanyakan penulis skripsi. Begitu juga gw, yang disini gw akan mencoba membuat tulisan
yang katanya sih HALAMAN TERIMA KASIH .

Tentu saja ucapan pertama gw berikan kepada Tuhan , ALLAH SWT. Terima kasih ya
Allah untuk segalanya hingga skripsi ini selesai di buat dan di susun alakadarnya. Teirma kasih
dan doa juga kupajatkan kepadaMu, semoga masa-masa kuliah ini, dimana hanya ada kenangan
tentang tugas yang menggunung, harus bangun pagi untuk kuliah, galau karena skripsi. Semua
itu TIDAK AKAN TERULANG LAGI. Terima kasih Ya ALLAH Terima kasih banyak.
Terima kasih juga gw pajatkan kepada teladan dan junjungan Nabi besar Rasululloh Muhammad
SAW, yang telah membawa agama islam ke dunia ini. Terima kasih juga kepada para walisongo
yang telah menyebarkan islam di pulau jawa, terkhusus sunan kalijaga yang telah menyebarkan
islam di daerah jogja dan sekitarnya.

Dan Skripsi ini gw persembahkan untuk mereka,

Khusus terima kasih gw berikan kepada mereka-mereka yang paling berharga dalam
hidup gw

1. Orang tua, Papa dan Mama. Wahyu Hidayat dan Aan Animah, terima kasih banyak
untuk segala-galanya.
2. Trio Penyihir jahat dan duo kurcaci, Rina Widiyanti, Aisya Triana, Syaharani
Fadhilla. Yang telah berjasa menjadikan hidup gw bagai film “jungkir balik dunia Jupri”
di tambah sekuel “dunia jupri jungkir balik lagi”. Kalian harus bangga saudara kalian ini
sekarang sarjana.

Tapi tanpa kalian mungkin skripsi ini tidak akan pernah selesai karena kelaparan.

Selanjutnya ucapan terima kasih juga gw sampaikan kepada mereka yang berpengaruh
dalam perjalanan kuliah gw di kampus ini, terima kasih kepada

vi
1. Ibu Sri Djoharwinarlien , Terima kasih bu sudah membimbing saya dengan sabar,
selalu membalas sms saya. Tapi liat kan bu, anak bimbinganmu yang payah ini
akhirnya bisa juga lulus.
2. Mas Ari dwipayana dan Mba Longgina Novadona Bayo, terima kasih mas mba atas
bimbingan dan arahannya. Mengarahkan saya yang seenaknya saja mengerjakan skripsi,
hingga skripsi saya sekarang mencapai tingkatan yang agak mendingan. Terima kasih
banyak selalu membaca teror sms saya yang inti smsnya hampir sama semua, galauan
saya tentang revisi. Terima kasih banyak atas semua bantuan dan pertolongannya.
3. Pak Cornelis lay, yang telah memberikan saya kuliah singkat tentang cara berbicara
didepan kelas.
4. Semua dosen jurusan politik dan pemerintahan UGM. Pak Josep, Pak Mashuri, Bu
lien, Pak Haryanto, Bu ratna, Pak Cornelis lay, Pak Pratikno, Pak Purwo, Pak
Bambang, Mas Ketut, Mas Gaffar, Mas Ari, Mba Linda, Mas Mada, Mas wawan,
Mas Acong, Mas Nanang, Mba Aziz, Mas Sigit, Mas Bayu, Mba Nova, Mas Hanif.
Terima kasih untuk ilmu bermanfaat yang telah saya dapatkan.
5. Pak sardjono beserta tangan kanannya rangga.
6. Wahyu kuncoro alias Achmed Wahyu KuncArok always smashblast sebotol kecap
jayamahe bin massivers ndalblek. Pemikir politik kontemporer masa kini, yang telah
mengeluarkan fatwa-fatwa tak terbantahkan.

Sebenarnya gw belum terpirkirkan dan sama sekali tidak pernah terpikirkan untuk segera
menulis halaman persembahan ini, tapi hari ini batin dan hati gw terusik dengan perbincangan
teman-teman di kampus yang berkata “di skripsi lo pokoknya kudu ada nama gw”. Yang
membuat gw terdiam sejenak dan memutar memori di otak ini 5 tahun kebelakang, sampai
akhirnya gw menemukan mereka yang telah menjadi artefak kuno yang berharga untuk sekedar
di berikan ucapan terima kasih melalui satu halaman ini tanpa iming-iming traktiran.

Ya Allah aku Ingin Kembali Ke saat-saat itu,

Berkumpul untuk sekedar membicarakan orang lain, ataupun berkumpul untuk sekedar
membicarakan gosip artis yang paling baru, ngerjain tugas sama-sama (walaupun kebanyakan
Cuma numpang nama termasuk gw haha). Nongkrong tanpa tujuan yang penting sampai pagi,
keperpus Cuma buat numpang tidur,. Ah! Semua indah kawan, tanpa kalian mungkin skripsi ini
akan selesai lebih cepat.

Sekarang

Lihat kalian sudah berjalan sendiri-sendiri

1. Annisa Hayatun Nazmi. Seperti seorang Kakak, ibu, bahkan sahabat terbaik yang paling
ngertiin gw. Makasih banyak cha, semoga suatu saat nanti kita bisa ketemu lagi.

vii
2. Irma Safni : Ini sih tempat sampah gw kalo nanya segala hal tentang skripsi dan wisuda,
hahaha. Partner terbaik yang cantik dan bisa di andalkan yang pernah gw miliki. Hei
kecil Sampai ketemu di GSP mei nanti.
3. Kurnia Kartikawati : si pejuang skripsi tanpa henti dan teman seperjuangan membantai
si skripsi. Haha, aku masih punya utang ongkos dengerin, nanti aku bayar.
4. Sahabat-sahabat gw satu asuhan, Ikayuni Prihatnawati, Dimas Khairul Latief
Tamami dan Matheus Raditya CP. Tunggu gw sebentar lagi ngejar kalian.
5. Kos Semapo GK V 44, Rio mesum, Habib Tua, Reza idiot, Nanang pea, Yudis
gendut, Habib cabul , Cencen peang, Denny cacat mental, Denny susilo, Irawan,
Ihsan Dojol. Satu kosan bareng selama 5 Tahun itu Ga sebentar cuy,
6. Manusia-manusia tanpa tujuan hidup, Pudji, Arzad, Afif , Wahyu kuncung, Agus dan
Adit sunset. Jangan ganggu skripsi gw lagi, maen aja sendiri-sendiri hahaha. Terima
kasih kawan, kalian sahabat terbaik gw di jogja ini. Pasti gw bakal keingetan terus waktu
nongkrong-nongkrong bareng sama kalian.
7. Partner Tanding badminton, Dinihari, Agung, Adi, Ersas dan kaskus badminton club
cabang jogja.
8. Terima kasih juga untuk semua teman-teman KKN unit 82, kalian yang terbaik jek. Gile.
Haha
9. untuk teman teman JPP angkatan 2007 semua. Gw duluan cuy sampe ketemu di
pernikahan masing-masing.
10. Teman-teman JPP 2008, 2009, 2010, 2011. Lahan parkir kampus berkurang satu, jadi gw
wariskan untuk kalian.
11. Terima kasih juga untuk kaskus, dari sini gw banyak belajar kalo skripsi itu cuma mimpi.
12. Dan untuk mereka yang gw selalu lupa namanya, :
Bapak ibu kantin fisipol, yang udah banyak membantu gw selama kuliah dari sekedar
minjem listrik sampai numpang tidur. Satpam-satpam fisipol, yang kadang ngasih
gratisan kopi. Bapak-bapak pejaga parkir Fisipol, yang dengan sukarela nyariin tempat
parkir buat gw kalo telat kuliah, marbot maskam, dan si babeh.

Dan untuk mereka semua yang telah menjadi bagian dalam perjalanan hidup gw di jogja.
Sampai jumpa lagi semua, semoga kalian ga pernah lupa nama FRIADI HAGIRI

Penulis merasa bahwa skripsi ini sudah sempurna, tetapi penulis juga menyadari jika
orang lain mungkin berpandangan berbeda. Oleh karena itu di harapkan kesediannya untuk
membaca serta memberikan saran dan kritik guna membangun skripsi ini jauh lebih sempurna
bagi umat. Wassalam

Tertanda

Jupri a.ka Jagur

viii
DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Judul ......................................................................................................................... i
Lembar Persetujuan ...............................................................................................................ii
Lembar pengesahan ...............................................................................................................iii
Surat Pernyataan .................................................................................................................... iv
Persembahan .......................................................................................................................... v
Kata Pengantar dan Terima Kasih .........................................................................................vi
Daftar Isi ................................................................................................................................ ix
Daftar Tabel ...........................................................................................................................xii
Daftar Bagan .......................................................................................................................... xiii
Sinopsis .................................................................................................................................. xiv

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1
1.1 Latar Belakang masalah ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................. 4
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................................4
1.4 Kerangka Teori .......................................................................................................5
1.4.1. Representasi .............................................................................................. 5
1.5 Definisi Konseptual ................................................................................................ 10
1.6 Definisi Operasional ............................................................................................... 10
1.7 Metode Penelitian ...................................................................................................11
1.7.1 Jenis Penelitian...........................................................................................11
1.7.2 Sumber Data...............................................................................................13
1.8 Teknik Pengumpulan Data..................................................................................... 13
1.9 Unit Analisis Data .................................................................................................17

ix
BAB II BAMUS BETAWI .................................................................................................. 19
2.1 Pengantar : Betawi dan Keberadaannya di kota Jakarta .........................................19
2.2 Bamus Betawi.........................................................................................................24
2.2.1 Sejarah pembentukan .................................................................................24
2.2.2 .Bamus adalah institusi informal yang lahir melalui mekanisme
Top Down ............................................................................................................27
2.2.3 Pergeseran Fungsi dan Posisi Bamus Pra dan Pasca Reformasi .............. 28
2.2.4 Pergeseran Fungsi dan Posisi Bamus Pra dan Pasca Reformasi
Dalam bagan .......................................................................................................35
2.2.5 Kesimpulan Perubahan yang Terjadi Pra dan Pasca Reformasi ................41
2.3. Bamus Sebagai Forum warga Masyarakat Betawi ............................................... 44
2.3.1 Basis Legitimasi Bamus ............................................................................. 46
2.3.2 Fungsi Bamus.............................................................................................49
BAB III Bamus dan Masyarakat Betawi ........................................................................... 51
3.1 Pengantar: ............................................................................................................... 51
3.2Represesntasi Bamus : Praktek Representasi Alternatif..........................................52
3.3 Bamus sebagai sebuah Jalur Represesntasi Alternatif masyarakat Betawi ............ 54
3.4 Partisipasi Masyarakat dan Penyampaian Aspirasi ................................................ 56
3.4.1 Skema Partisipasi Berjenjang Tidak Langsung ......................................... 57
3.5 Jalur Represesntasi Aspirasi ................................................................................... 60
3.6 Hambatan Proses Partisipasi Aspirasi Masyarakat................................................. 65
3.7 Pola Representasi Alternatif ...................................................................................75
3.7.1 Pola Represesntasi Bamus .........................................................................77
BAB IV Bamus dan Pemerintah......................................................................................... 86
4.1 Pengantar ................................................................................................................ 86
4.2 Jalan yang Dipilih Bamus dalam Pemerintah......................................................... 87
4.2.1 Pendekatan Kelembagaan Melalui Dinas Pariwisata dab Kebudayaan

x
DKI Jakarta .........................................................................................................87
4.2.3 Pendekatan Personal Melalui Gubernur Jakarta ........................................92
4.3 Ruang Keterlibatan Bamus dengan Pemerintah ..................................................... 95
4.4 Hubungan Kerja bamus dengan Pemerintah dalam Proses Represesntasi ............. 97
4.4.1 Keterlibatan Negara dalam fungsi represesntasi bamus ............................ 97
4.4.2 Pemberia Kuasa dan kewenangan pleh pemerintah kepada bamus .......... 102
4.5 Halangan dan Rintangan Proses Penyampaian Aspirasi
kepada Pemerintah........................................................................................................ 103
BAB V PENUTUP................................................................................................................ 107
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 111

xi
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Jumlah Migrasi di Kota Jakarta ............................................................................. 20


Tabel 1.2 Komposisi Etnis di Kota Jakarta............................................................................ 22
Tabel 1.3 Tabel Kerjasama Kegiatan Bamus dan Pemerintah ..............................................101

xii
DAFTAR BAGAN
1.1 Bagan Hubungan Bamus dan Pemerintah Pra Reformasi................................................36
1.2 Bagan Hubungan Bamus dan pemerintah Pasca Reformasi ............................................ 40
1.3 Bagan Pola Represestasi Alternatif .................................................................................. 52

xiii
SINOPSIS

Penelitian ini mengambil judul “Peran badan musyawarah masyarakat (Bamus) Betawi)
sebagai aktor penghubung antara masyarakat Betawidengan pemerintah kota Jakarta. Rumusan
masalah ini hendak menjelaskan bagaimana Bamus bekerja sebagai sebuah institusi intermediari
memainkan perannya . penelitian ini nantinya akan membedah tiga hal, Bamus itu sendiri yang
akan di bedah melalui relasi internal dalam tubuh Bamus, kemudian relasi eksternal Bamus
dengan aktor-aktor lain di luar dirinya dan yang terakhir bagaimana aspirasi dan partisipasi
dilakukan. Tema mengenai Bamus ini menarik di lakukan karena bukan hanya mencoba
menjelaskan tentang aliran aspirasi melalui dirinya tetapi juga mencoba untuk menjelaskan
bahwa sesungguhnya dalam tubuh sebuah insitusi intermediari sendiri terdapat hal-hal penting
yang nantinya mempengarugi tugas ia sebagai sebuah jembatan aspirasi dari masyarakat ke
Negara. Bamus dalam struktur masyarakat Betawi di tempatkan sebagai paying tertinggi yang
menaungi seluruh elemen masyarakat keBetawian tanpa terkecuali dan dia pula yang menjadi
garda terdepan masyarakat Betawi untuk menghadapi dan berhubungan dengan pemerintah.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan
menggunakan metode studi kasus. Alas an penggunaan pendekatan kualitatif karena penelitian
ini berangkat dari sebuah pemahaman bahwa untuk mengkaji sebuah fenomena social secara
komprehensif dibutuhkan gambaran nyata dari isu yang terjadi di lapangan. Sumber data utama
dari penelitian ini berasal dari Bamus itu sendiri, ormas yang bernaung di bawahnya dan
dilengkapi oleh pernyataan dari masyarakat Betawi secara umum dengan menggunakan
wawancara dan observasi langsung sebagai teknik pengumpulan data.
Kesimpulan dari peneltiian ini menunjukan bahwa sebuah intitusi intermediari dapat di
lacak mulai dari awal pembentukannya. Alas an pembentukan ternyata dapat menjelaskan
kecenderungan logika kerja mereka nantinya. Selain itu ada hal yang tidak kalah penting ketika
menjelaskan sebuah itnitusi intermediari selain proses tersalurkannya aspirasi hingga sampai ke
target utama, tetapi juga hal-hal seperti pengakuan dari konstituen dan kuasa intitusi intermediari
terhadap konstituen juga dapat menjadi faktor seberapa efektif nantinya partisipasi dan aspirasi
dilakukan. Dan yang terakhir, selain pengakuan dari internal dari konstituen, sebuah intitusi
intermediari juga perlu membuka jalan untuk menyalurkan aspirasi-aspirasi yangtelah di
tampungnya, dan sebuah intitusi intermediari juga perlu untuk memperkuat posisi tawarnya
dengan aktor-aktor lain di luar dirinya sehingga tugas dan fungsi dapat bekerja dengan baik.

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Forum Warga (Badan Musyawarah) sebagai Jalur Representasi Baru.

pasca tumbangnya rezim orde baru, di tandai dengan adanya reformasi

pada tahun 1998. System sentralistik yang selama ini dibangun oleh rezim orde

baru hancur, kehancuran tersebt dimulai dengan penggulingan kekuasaan dari

pemimpin dan transisi kepemimpinan kemudian. Tapi ternyata, reformasi kala itu,

tidak sekedar menjadi “ajang” masyarakat untuk menggulingkan Soeharto sebagai

penguasa melainkan termasuk mencakup seluruh aspek mekanisme pemerintahan

di dalamnya. Seluruh sistem kepemerintahan yang telah di bangun oleh rezim

penguasa di ganti seiring tumbangnya sang penguasa. Mulai dari penggantian

hingga penghapusan seluru aspek yang selama ini terbukti menjadi alat bagi

Negara untuk membantu mempertahankan kuasanya. Tidak terlepas di dalamnya

kelompok-kelompok korporatisme Negara tadi, melihat peran strategis yang

dimilikinya, maka keberadaan dari kelompok-kelompok tadi tidak akan luput dari

reformasi. Reposisi peran dan fungsi menjadi solusi untuk secara keseluruhan.

Proses pergeseran fungsi kelompok-kelompok tadi menjadi sebuah studi menarik

bagaimana jika melihat bagaimana peran dan fungsinya pasca orde baru

Kecenderungan Negara untuk menjadi pihak adidaya mendorong mereka

menciptakan sebuah kondisi dimana ada masyarakat berada di bawah naungannya

tanpa dapat bergerak lebih bebas, salah satu cara yang di pakai adalah mengontrol

1
saluran-saluran aspiratif masyarakat mulai dari partai politik hingga pembentukan

kelompok-kelompok yang berfungsi menjadi saluran “komunikasi” politik bagi

Negara kepada masyarakat. Kelompok-kelompok baru tersebut kemudian tidak

lebih dari sekedar kepanjangan tangan pemerintah untuk memudahkan

terlaksananya kontrol terhadap kepentingan public oleh negara. Logika Top down

yang bersifat sentralistik ini terpelihara dengan baik dalam waktu yang lama dan

terbukti sukses membantu melanggengkan sebuah rezim berkuasa. Istilah ini

kemudian lebih dikenal dengan istilah state corporatisme.

Kemudian muncul sebuah kesadaran baru di benak masyarakat bahwa

ternyata suara mereka tertahan dan tetap tidak tersampaikan dengan benar jika

melalui saluran formal politik. Di bentuklah saluran-saluran lain yang sejalan

dengan jalurformal politik tadi, yang berfungsi sebagai mediator antara dirinya

dengan negara, saluran yang benar-benar mampu membawa apa yang diinginkan

masyarakat dan tidak hanya menjadi sebuah utopia representasi. Merunut pada

apa yang di atur dalam konstitusi, kemudian masyarakat membentuk atau memilih

perkumpulan-perkumpulan baru sebagai saluran dirinya mengakses pemerintah.

Media massa dan Organisasi-organisasi massa atau non pemerintah bisa menjadi

contohnya. Tapi melihat sebab gagalnya jalur formal diatas, masyarakat

memerlukan sebuah saluran eksklusif yang dapat menggambarkan dirinya

membawa kepentingan pribadi dirinya. Kemudian masyarakat berkumpul bersama

dan menggabungkan diri dalam satu wadah, sehingga dengan itu di harapkan

tuntutan mereka akan lebih di dengar oleh pemerintah. tujuan kelompok ini

nantinya lebih condong ke bagaimana mempengaruhi kebijakan pemerintah agar

2
menguntungkan mereka. Dalam skripsi ini di tekankan pada sebuah Forum warga,

bagaimana Forum masyarakat ini terbentuk dan menjadi jalan aspirasi baru yang

bisa di tempuh.

Sekarang ini di berbagai daerah banyak forum warga telah di bentuk oleh

masyarakat. Forum-forum lintas sektoral, kelas sosial dan bernuansa lokal di

bentuk sebagai saluran alternatif untuk aspirasi masyarakat yang tersendat. Lalu

siapa sebenarnya forum warga itu 1?

Sampai saat ini belum ada kesepakatan baku mengenai forum warga ini.

Forum warga lebih di tekankan kepada sebuah perkumpulan yang

merepresentasikan warga dengan mengedepankan klaim kelompoknya secara

teritorial atau identitas : berbasis kota, wilayah daerah atau kesukuan.

Forum warga terdiri dari perwakilan yang heterogen, ia tidak melibatkan

diri dalam ideologi tertentu, asas politik tertentu, atau kelompok aliran tertentu

sebagai nilai kolektif. ia bersifat universal secara internal, hanya sebatas tempat

berkumpulnya warga yang memiliki kepentingan untuk masuk kedalamnya. tubuh

internal forum warga terdiri dari berbagai elemen masyarakat, berbagai ormas

masyarakat dan berbagai golongan di masyarakat. Mereka hanya terikat oleh satu

ikatan yaitu tujuan bersama tentang sebuah kepentingan. Untuk lebih jelasnya

telah di dapat kesepahaman tentang ciri, fungsi dan tipe dari forum warga 2

1
“Mendefinisikan Forum Warga”. Artikel tanggal 05 juli 2010. Di akses pada 04 april 2011.
www.kaukustujuhbelas.org
2
Hasil rumusan pertemuan dari kaukus 17 di gedung widjojo centre Jakarta pada tanggal 24 mei
2001 lalu. Kakukus 17 merupakan sebuah organisai Non- pemerintah yang berkecimpung dalam
pembentukan berbagai forum waga di wilayah dampingan masing-masing. Data dari Lakpesdam

3
Penelitian ini akan berfokus kepada bagaimana peran forum warga jika di

tempatkan sebagai aktor representasi. Dengan memakai badan musyawarah

Betawi, peneliti ingin melihat bagaimana mekanisme representasi yang dilakukan

oleh forum tersebut. Termasuk di dalamnya mengenai relasi kuasa internal dan

hubungan ekternal dengan pihak lain. Sebagai sebuah forum Bamus jelas

merupakan kumpulan dari berbagai elemen masyarakat, ia menjadi tempat

berkumpulnya semua elemen masyarakat yang berbasiskan pada satu ikatan

kesukuan yaitu Betawi.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah dimulai dengan pertanyaan,

Bagaimana Bamus menjalankan peran dan fungsi representasi?

Dengan pertanyaan tersebut peneliti akan menjadikan badan musyawarah

masyarakat Betawi (Bamus Betawi) sebagai objek kajian utama untuk

menjelaskan mengenai hal-hal yang kemudian menjadi tujuan dari penelitian ini.

1.3 Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menggali beberapa hal diantaranya

1. Mengetahui awal pembentukan sebuah Bamus Betawi

2. Mengetahui relasi kuasa internal dalam Bamus Betawi

3. Mengetahui proses agregasi aspirasi dan kepentingan oleh Bamus

NU Jakarta. Tertulis dalam, skripsi Aji wahyudi, Forum warga ( Studi tentang Praktek demokrasi
Akar rumput Pada paguyuban kawasan malioboro Yogyakarta )

4
4. Mengetahui pola representasi yang terbentuk

5. Mengetahui proses representasi oleh Bamus menuju pemerintah

1.4 Landasan Teori

1.4.1 Representasi

Perwakilan (representation) adalah konsep bahwa seseorang

atau suatu kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk

berbicara atau bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar.

Dewasa ini anggota lembaga perwakilan pada umumnya mewakili rakyat

melalui partai politik. Perwakilan seperti ini disebut sebagai perwakilan

bersifat politik (political representative). Disamping itu dikenal juga

perwakilan fungsional (functional representative) –Miriam Budiarjo- 3

Perwakilan politik menggambarkan hubungan perwakilan yang tersusun

dalam suatu lembaga atau badana perwakilan di mana si wakil bertndak sebagai

wakil bagi rakyat yang diwakilinya. Hubungan ini menggambarkan derajat

keterikatan antara si wakil dengan yang diwakilinya. Yang erat kaitannya dengan

cara rekrutmen si wakil dan pelaksana tugas si wakil dalam rangka melaksanakan

fungsi lembaga atau badan perwakilan. Karena hubungan seperti itu, beberapa

pakar sering mencari tipe atau model representasi. 4

3
Miriam Budiardjo (1966). “Peranan Dewan Perwakilan Rakyat dalam Demokrasi Terpimpin”
dalam Himpunan Kuliah Politik Dalam Negeri, (Bahan Kursus Singkat Seskoad, Bandung, 2005).
4
Sofian Munawar Asgart. Dilema mekanisme Perwakilan: Fenomena Golput dalam Pemilu 2009
dan Model Representasi Alternatif.( http://politik.kompasiana.com/2011/04/13/dilema-
mekanisme-perwakilan-fenomena-golput-dalam-pemilu-2009-dan-model-representasi-
alternatif/#_ftnref5Accesed on November 13, 2011)

5
AndrewHeywoodmenyebutkan empat model utama representasi, yaitu:

trusteeship, delegation, the mandate, dan resemblace. 5Senada dengan ini Gilbert

Abcarian 6 mengemukakan empat tipe atau model hubungan dalam representasi,

yaitu:

a. Utusan (delegate), dimana si wakil bertindak sebagai utusan dari yang

diwakilinya. Di sini si wakil selalu mengikuti intstruksi dan petunjuk dari

yang diwakilnya dalam melaksanakan tugasnya.

b. Politico, dimana si wakil kadang-kadang bertindak sebagai wali dan

adakalanya bertindak sebagai utusan. Tindakannya tergantung dari isu

yang dibahas.

c. Partisan, dimana si wakil bertindak sesuai dengan keinginan atau program

dari organisasi politiknya. Setelah si wakil terpilih dalam suatu pemilihan

umum maka lepaslah hubungannya dengan para pemilihnya dan mulailah

hubungannya dengan organisasi atau partai yang mencalonkannya dalam

pemilu tersebut.

d. Wali (trustee), di mana si wakil bebas bertindak atau mengambil

keputusan menurut pertimbangannya sendiri tanpa perlu berkonsultasi

dengan yang diwakilinya.

Perlu di ketahui juga jika selama ini Negara cenderung bersifat sentralistik

dan bekerja berdasarkan logika top down (vertical satu arah dari Negara ke

masyarakat), karena pengelolaan publik affairs semata-mata dimaknai sebagai hak

5
Heywood, Andrew (1997). Politics. Macmillan Press, London. 302

6
dari pejabat Negara sehingga kebanyakan studi pemerintahan selama ini

menempatkan Negara sebagai satu-satunya agen dalam proses pengelolaan publik

affairs dan lebih jauh lagi dalam proses pembuatan kebijakan sementara

masyarakat hanya di tempatkan sebagai objek yang mati dan pasif. Masyarakat

disebut sebagai “officialdom” dimana pejabat menjadi sentral seluruh

penyelesaian urusan masyarakat. 7

Kemudian berkembanglah konsep demokrasi sebagai bentuk pemerintahan

yang di definisikan oleh Joseph Scumpeter dengan istilah-istilah “kehendak

rakyat” ‘sumber dan kebaikan bersama”, Schumpeter menambahkan apa yang ia

namakan sebagai “Metode demokratis”. Yang menjelaskan bahwa “ ada sebuah

prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan publik yang di dalamnya

individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan

kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat” 8

Ditandai dengan diperkenalkannya konsep demokrasi turut berperan juga

pada pemahaman umum tentang representasi masyarakat dalam Negara. Dimana

selama ini disadari bahwa representasi “formal ” hanya menjadikan Negara

sebagai pihak yang terkuat dan semakin mengkerdilkan kehadiran masyarakat.

Kemudian muncul berbagai konsep-konsep representasi baru yang dibuat untuk

7
Dwiyanto, at.all. (2003).Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Pusat Studi
Kependudukan dan Kebijakan – Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia.
8
Samuel P.Huntington, Gelombang Demokrasi ketiga,Grafitti,Jakarta, 1997. Hal.5

7
mendampingi model representasi formal yang telah ada. Hanna Pitkin

menyebutkan setidaknya ada empat pola representasi baru 9, sebagai berikut,

a. Formalistic representation

b. Symbolic representation

c. Deskrivtive representation

d. Substantif representation

Senada dengan pernyataan Pitkin, kemudian olle tornquist 10 kemudian

menjelaskan lebih jauh empat pola represesntasi Pitkin dengan memberikan

penjelasan tambahan, seperti dijelaskan di bawah ini

a. Representasi simbolik, merupakan model representasi yang bisa dilihat

pada keterwakilan kultur, kepercayaan dan identitas. Isu utamanya adalah

bagaimana seorang wakil dapat diterima sebagai wakil dari kelompok

yang diwakilinya. Karena itu pada model ini tingkat keterwakilannya

dapat dilihat sebagai tingkat penerimaan dari orang atau kelompok yang di

wakilinya.

b. Representasi deskriptif, adanya tingkat kemiripan isu atau latar belakang

antara yang mewakili dan yang diwakili . kemiripan tersebut meliputi

kesamaan berbasis wilayah, komunitas, kelompok dan gender.

c. Representasi substantif, adalah aktifitas memperjuangkan kepentingan

yang di representasikan dalam ranah publik.tingkat keterwakilannya akan


9
Pitkin, Hanna Fenichel (1967). The Concept of Refresentation, University of California, Barkeley.
10
John Harris, Kristian Stokke, and Olle Tornquist.Politicising Democracy: The New Local Politics
of Democratisation, Introduction: The New Local Politics of Democratisation Palgrave,
Macmillan, 2004, chap 2-6

8
dapat dilihat dari sejauh mana wakil dapat memperjuangkan kepentingan

pihak yang terwakili.

Dalam empat konsep representasi politik ini aktor-aktor yang bisa menjadi

mediator atau representasi diperluas bukan hanya masyarakat politik seperti

partai politik. Namun dapat melibatkan kelompok-kelompok lain atau

institusi-institusi lain yang membangun fungsi representasi. Dengan demikian

representasi bisa menggunakan berbagai jalur, pertama menempuh jalur

langsung, kedua melalui mediator atau perantara 11 seperti

a. Civil society organization yang meliputi NGO, media massa dan lain-lain

b. Political society, yang meliputi partai politik, kelompok

kepentingan/penekan dan lain-lain

c. Informal leader, yang meliputi pemimpin komunitas, tokoh agama, tokoh

adat dan lain sebagainya.

Yang menjadi pernyataan utama kemudian adalah cara bagaimana seorang

representative mencapai posisinya, status atau jabatannya. Dengan demikian

perntanyaan kunci nya adalah menyangkut bagaimana proses rekruitmen

seorang wakil dan bagaimana seorang wakil/ seorang representative tadi bisa

menggunakan mandate yang di dapatnya. Sedangkan melalui akuntabilitas, di

jelaskan bagaimana mekanisme pihak yang terwakili dapat memaksa wakilnya

untuk selalu memperjuangkan kepentingan mereka, termasuk kapasitas

11
Opchit. John Harris, Chapter 5

9
menghukum ketika mereka tidak responsive dan tidak efektif lagi

memperjuangkan kepentingan.

1.5 Definisi konseptual

1.5.1 Representasi

Representasi adalah mekanisme kehadiran masyarakat dalam Negara yang

di tunjukkan dengan keterlibatan mereka untuk mengakses setiap kepentingan

publik. Selama ini pola representasi hanya dikenal melalui satu jalur yaitu

representasi formal. Tetapi seiring dengan perkembangan konsep demokrasi, pola

representasi formal di anggap tidak lagi relevan dan cenderung menghadirkan hal-

hal yang membahayakan karena akan semakin memperkuat posisi Negara dan

mengkerdilkan peran masyarakat. Maka di perkenalkanlah pola representasi

Alternatif. Melalui pola representasi Alternatif ini memungkinkan muncul

banyaknya jalur-jalur representasi baru bagi masyarakat untuk mengakses

pemerintah yang berasal dari kelompok-kelompok informal di luar Negara.

1.6 Definisi Operasional

1.6.1 Representasi

1. Mekanisme Kerja Sebuah Organisasi sebagai jalur represesntasi

2. Fungsi representasi yang berjalan

3. Proses partisipasi masyarakat

4. Agregasi kepentingan/ aspirasi masyrakat

5. Melacak pola representasi yang terjadi

10
6. pola relasi kuasa yang terbangun secara internal dan dengan masyarakat

7. jalannya representasi dengan pemerintah

1.7 Metode penelitian

1.7.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini nantinya akan menggunakan pendekatan lkualitatif untuk

menjelaskan fenomena yang terjadi. Alasan penggunaan metode ini didasarkan

pada kenyataan bahwa sebuah fenomena sosial bukanlah fenomena tunggal.

Fenomena sosial menyimpan kenyataan ganda yang jika di ibaratkan seperti

sebuah kulit bawang yang tebentuk dalam lapisan-lapisan. Begitu juga fenomena

sosial, setiap lapisan memiliki perspektif dan pemahaman yang berbeda serta

kenyataan yang berbeda dan tidak ada lapisan yang dianggap lebih benar.

Fenomena sosial tidak bisa di simpulkan hanya dalam satu kata saja “ kebenaran”

fenomena lebih sering mungkin di simpulkan sebagai “kebenaran ganda karena

kenyataan itu tidak pernah sama di mata setiap peneliti. Selain itu fenomena sosial

tidak terikat oleh variabel yang berhubungan satu dengan yang lain, walaupun

nantinya akan terikat tapi ikatan itu bukanlah hubungan sebab akibat. Pola inilah

yang kemudian lebih menuntut untuk adanya pengertian daripada sekedar

keperluan kontrol dan prediksi. Tujuan utama penelitian kualitatif adalah untuk

memahami fenomena atau gejala sosial dengan lebih menitikberatkan pada

11
gambaran yang lengkap tentang fenomena yang dikaji daripada memerincinya

menjadi variabel-variabel yang terkait. 12

Tujuan dari penelitian ini sendiri nantinya adalah untuk mengetahui awal

pembentukan Badan Musyawarah Betawi ( Bamus ) sebagai sebuah institusi

representasi beserta dengan latar belakang dan alasan-alasan sehingga dia ada,

selain itu dilihat juga bagaimana nantinya ia menjalankan peran mediasi antara

masyarakat dan negara, dan bagaimana ia berelasi dengan kedua pihak tersebut.

Perlu diketahui bahwa, Bamus sebagai sebuah institusi representasi bukanlah

sebuah organisasi tunggal sebagaimana halnya seperti komunitas biasa, ia

terbentuk dari berbagai macam elemen di bawahnya sehingga perlu di ketahui

juga bagaimana relasi kuasa terjadi di dalam tubuh internal Bamus itu sendiri.

Tujuan ini dapat di deskripsikan dengan jelas ketika penelitian ini

mencoba menggali lebih jauh bagaimana bisa sebuah kelompok dalam

perkembangannya dapat beregrak menjadi sebuah aktor representasi, mengeksplor

lebih jauh bagaimana sejarah pembentukan Bamus ini. Melalui pihak-pihak yang

terikat dalam kelompok tersebut, posisi peneliti sendiri berada di luar. Peneliti

hanya mencoba menginterpretasikan dari gambaran yang ia dapatkan tentang cara

kerja Bamus ini sehingga bisa mengetahui secara menyeluruh bagaimana Bamus

ini bisa berperan sebagai aktor representasi. Dan untuk mengetahui semua ini

tentu saja peneliti tidak bisa begitu saja melepaskan diri dari narasumber dan

informan yang terkait dengan objek penelitian.

12
Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si. Jenis dan Metode Penelitian Kualitatif.
(http://mudjiarahardjo.com, accessed on Juni 01, 2010)

12
1.7.2 Sumber data

Sumber adat dalam penetilian ini meliputi data primer dan sekunder 13.

Data primer peneliti dapatkan dari sumber utama dan data pokok dari penelitian

ini yaitu Bamus Betawi dan jajaran di dalamnya sebagai pihak yang paling terkait

dengan internal tubuh Bamus mulai dari awal pembentukannya, stuktur organisasi

di dalamnya, kegiatan kerja dan lain sebagainya. Sedangkan data sekunder

peneliti coba dapatkan melalui elemen-elemen masyarakat Betawi yang tergabung

di bawah naungan Bamus. alasannya agar peneliti mendapatkan data pendukung

guna mengetahui kedudukan Bamus dan relasi kuasa Bamus dengan anggota di

bawah naungannya. Selain itu juga peneliti akan mencoba mengakses pemerintah

kota Jakarta agar mendapatkan gambaran jelas di mana posisi Bamus ini berada.

Selain dari dua sumber di atas, data juga akan peneliti dapatkan dari

masyarakat-masyarakat Betawi, masyarakat Jakarta pada umumnya dan semua

terbitan yang berhubungan dengan Bamus ini.

1.8 Teknik Pengumpulan data

Pengumpulan data primer dilakukan dengan dua teknik yaitu wawancara

dan observasi

A. Wawancara

Teknik wawancara secara mendalam meliputi menanyakan pertanyaan

secara langsung kepada responden, mendengarkan dan merekamnya kemudian

13
Marzuki. Metodologi riset.(Yogyakarta : BPFE UII,1977), 56.

13
14
menindaklanjuti dengan pertanyaan tambahan yang terkait. wawancara

digunakan karena memiliki kelebihan, peneliti bisa mendapatkan data secara

langsung dari narasumber utama dengan data yang lengkap dan akurat. Selain itu

wawancara juga bisa di lakukan dengan situasi informal, sehingga tercipta suasana

dimana peneliti bukanlah subjek dan responden bukan objek penelitian. Dalam

wawancara di butuhkan sebuah interview guide yang membimbing peneliti agar

tetap berfokus pada poin-poin yang diinginkan dari narasumber.

Adapun beberapa pihak yang dijadikan narasumber utama adalah

1. Pengurus Bamus Betawi

Sebagai objek utama penelitian ini, Bamus Betawi menjadi sumber

utama peneliti untuk mendapatkan data-data secara langsung tentang

organisasi. Mulai dari sejarah pembentukan, struktur organisasi hingga

kegiatan apa saja yang di lakukan oleh Bamus setiap tahunnya. Sudut

pandang ini menjadi pembanding nantinya dari dua sudut pandang lain

tentang keberadaan Bamus di dalam masyarakat Betawi yaitu masyarakat

Betawi asli dan organisasi massa yang berafiliasi di bawah naungan badan

musyawarah Betawi ini. Karena peneliti merasa jika hanya berpijak pada

narasumber utama ini, data yang didapatkan akan terlalu normative dan

sulit untuk mendapatkan informasi tentang kekurangan atau hal yang

menjadi celah dalam organisasi Bamus ini sebagai aktor representasi

Narasumber : Bang Amar, Pengurus Organisasi Bamus

14
Patton, Michael Quiin. Metode Evaluasi Kualitatif.( Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2006) 182

14
2. Ormas Betawi sebagai anggota Bamus

Sebagai elemen penting dan aktor yang terlibat langsung dalam

setiap gerak kerja badan musyawarah Betawi, peneliti merasa sangat perlu

untuk mencari tahu dan melibatkan organisasi massa yang tergabung

dalam Bamus di penelitian ini. Data-data primer kedua menjadi masukan

untuk melengkapi data primer utama di atas,

Bang dayat : pemimpin dari LKB ( lembaga kebudayaan Betawi) sebagai

salah satu organisaisi yang tergabung dalam badan musyawarah Betawi

3. masyarakat Betawi

Masyarakat merupakan salah satu narasumber penting dari

penelitian ini karena ia menjadi subjek pelengkap dari data yang di

dapatkan dari dua narasumber sebelumnya. Masyarakat Betawi di sini

adalah masyarakat Betawi secara umum yang sama sekali tidak terlibat

dalam kepengurusan maupun keanggotaan ormas Betawi. Dipilihnya

masyarakat Betawi ini karena peneliti merasa akan mendapatkan

pandangan objektif tentang badan musyawarah Betawi mengingat

keberadaan mereka yang di luar pengurus sehingga penilaian dan kritik

terhadap Bamus bisa peneliti dapatkan dari narasumber ini. Dengan

sebelumnya memetakan masyarakat Betawi mana yang memungkinkan

untuk di jadikan narasumber berdasarkan pemahaman dan pengetahuan

mereka tentang Bamus Betawi. Maka dengan mewawancarai mereka

peneliti dapat mendapatkan data dari sisi lain selain dari sisi objek

penelitian.

15
Narasumber : Bang Indra, Perkampungan Masyarakat Betawi Setu

Babakan.

B. Observasi

Tujuan dari observasi adalah untuk menyajikan gambaran nyata dan

langsung tentang perilaku atau kejadian yang nantinya berguna untuk menjawab

pertanyaan dan untuk membantu mengerti perilaku objek . 15

Peneliti menempatkan observasi sebagai cara pengumpulan data sekunder

untuk melengkapi data utama yang berasal dari wawancara. Dalam melakukan

observasi, peneliti ikut terlibat dalam kegiatan organisasional secara langsung dan

menyaksikan bagaimana kegiatan itu berjalan dan apa yang terjadi sebelum, di

dalam dan setelah itu terjadi. Salah satu kegiatan dari objek penelitian yang

peneliti ikuti adalah kirab budaya pada ulang tahun kota Jakarta yang bertempat di

monument nasional. Di sana peneliti melihat secara langsung fungsi badan

musyawarah sebagai garda terdepan dari Betawi memainkan perannya dan

bagaimana seluruh elemen masyaratak Betawi ikut terlibat di dalamnya.

Pengumpulan data melalui teknik observasi memiliki keunggulan dimana

penelitian dilakukan sesuai dengan kondisi nyata di lapangan, sehingga peneliti

mendapatkan gambaran nyata, tidak buta dan tidak menerka nerka sebuah

fenomena. Observasi dilakukan dengan melihat, kehidupan masyarakat Betawi

secara umum, dan melihat kerja dari Bamus dalam setiap kegiatannya

15
Iyan Afriani H.S, Metode Penelitian Kualitatif(2009) ,4

16
1.9 Unit Analisis Data

Pengurus badan musyarawah Betawi merupakan unit analisis utama dari

peneltitian yang telah di lakukan. Pengurus Bamus di pilih karena mereka adalah

aktor utama yang terlibat dalam objek penelitian dan dirasa memiliki pengetahuan

dan peran yang sangat cukup tentang seluk beluk organisasional dari badan

musyawarah Betawi ini. Dari unit ini peneliti akan melakukan analisis tentang

peran Bamus dalam fungsinya sebagai jembatan antara masyarakat Betawi dan

pemerintah kota Jakarta (representasi). Dimulai dengan awal pembentukan badan

musyawarah Betawi hingga ini menjadi aktor strategis dalam masyarakat Betawi

khususnya dan dalam kehidupan sosial politik ekonomi di kota Jakarta pada

umumnya saat ini.

Mengingat peran penting dari Bamus yang peneliti lihat sekarang ini.

Menjadi penting kemudian mengetahui sepak terjang dari organisasi ini

mengingat kedudukan kota Jakarta sebagai sebuah ibu kota Negara yang menjadi

sebuah tempat multi kultur dengan banyaknya pendatang dari berbagai daerah dan

adanya masyarakat Betawi sebagai masyarakat asli kota yang perlu di

perjuangkan keberadaannya di tanah kelahirannya sendiri.

Unti analisis selanjutnya adalah organisasi masyarakat yang berada di

bawah naungan badan musyawarah Betawi, sebagai pelengkap ssekaligus

pembanding dari data utama yang peneliti dapatkan di unit pertama tadi. Karena

dalam struktu organisasional Bamus sendiri kedudukan ormas Betawi menjadi

elemen penting dari keberadaan Bamus sebagai objek penelitian. Sehingga

17
nantinya dari unit analisis inidi dapatkan gambaran serupa dari unit analisis yang

pertama akan tetapi dating dari sudut pandang yang berbeda yakni sebagai pihak

yang berkepentingan dengan keberadaan Bamus secara langsung unit analisis ini

juga mengambil dari luar kepengurusan organisasi Bamus akan tetapi masih

berkaitan erat dengan keberadaan badan musyawarah masyarakat Betawi ini.

Untuk mengetahui penilaian terhadap kinerja dan signifikansi dari

keberadaan Bamus. Peneliti memakai unit analisis lain sebagai pelengkap yaitu

masyarakat asli Betawi. Melalui unit analisis ini peneliti merasa bisa

mendapatkan gambaran tentang Bamus yang benar-benar berbeda mulai dari

kritik kegagalan serta sejauh mana keberadaan Bamus membawa dampak yang

baik bagi masyarakat Betawi di akar rumput yang tidak terlibat dalam

kepengurusan. Karena dengan ini peneliti mendapatkan gambaran lebih lengkap

tentang sosok dari Bamus Betawi dan bagaimana ia menjadi sebuah “pihak” yang

sangat di andalkan di dalam kehidupan masyarakat Betawi pada khususnya dan

kota Jakarta pada umumnya.

18
BAB II

Bamus Betawi

2.1 Pengantar : Betawi keberadaannya di kota Jakarta

“Sebagai kota metropolitan, Jakarta sarat dengan kemegahan. Seluruh


aktivitas dari berbagai bidang baik ekonomi hingga politik terpusat di kota yang
tak pernah mati ini. Sekitar 12 juta penduduk berebut peluang meraih cita dan
mimpi dunia.Tapi untuk bertahan di kota yang luasnya 650 km2 ini bukan
persoalan mudah. Bukan hanya modal pendidikan, tapi juga tuntutan keahlian
untuk dapat bersaing dengan sumber daya yang lain. Jika tidak, bersiaplah untuk
berada di lapis bawah. Ironisnya, hal ini justru terjadi pada penduduk yang
notabene adalah penduduk asli Jakarta yakni etnis Betawi.

Warga Betawi kini lekat dengan image sebagai orang-orang tertinggal.


Tak hanya dalam bidang pendidikan, tapi juga sosial budaya. Kondisi ini kian
diperparah dengan maraknya tayangan televisi yang justru lebih menonjolkan
kelemahan warga Betawi. Seakan menjual sisi negatif, opini publik makin
menempatkan warga Betawi pada komunitas pinggiran. Setidaknya kini ada
secercah harapan bagi keberlangsungan hidup identitas Betawi, itulah janji
Badan Musyawarah (Bamus) Betawi yang mewadahi tak kurang dari 73 ormas
Betawi. Bahkan, ajang Pemilu memberikan secercah harapan menuju gerbang
pembaharuan.” 16

Kedudukan kota Jakarta sebagai ibukota Negara memiliki daya tarik

tersendiri bagi para pendatang untuk selalu menggantungkan harapannya untuk

dapat mengadu nasib ke kota ini dan meninggalkan daerahnya masing-masing.

Berbagai fasilitas yang di tawarkan menjadi sesuatu hal yang sangat menggiurkan

16
elly anisyah, Warga Betawi Akan Kikis Predikat "Masyarakat Pinggiran"
(http://www.pelita.or.id/baca.php?id=22143 accesed on july 5, 2011)

19
jika dibandingkan dengan segala keterbatasan yang ada di daerah asal. Mulai dari

pendidikan hingga tersedianya lapangan pekerjaan, hal inilah yang menjadi

pendorong masyarakat untuk melakukan perpindahan dari daerah asalnya ke kota-

kota besar seperti Jakarta. Karena pada dasarnya hal utama yang mendorong

seseorang untuk melakukan migrasi dan menetap di kota baru karena adanya

faktor pendorong di daerah dan faktor penarik di kota. Dengan segala

kemajuaannya, Jumlah pendatang yang mengadu kehidupan di kota Jakarta tiap

tahunnya mengalami peningkatan yang signifikan, data dari tahun 1971 sampai

tahun 2005 menunjukkan adanya satu gambaran yang cenderung meningkat

Tabel 1.1 jumlah migrasi Jakarta

Tahun Migrasi Migrasi masuk Migrasi keluar Migrasi netto

1971 1.821.833 132.215 1.689.618

1980 2.599.367 400.767 2.198.600

1985 3.079.693 593.936 2.485.757

1990 3.170.215 1.052.234 2.117.981

1995 3.371.384 1.589.285 1.782.099

2000 3.541.972 1.836.664 1.705.308

2005 3.337.161 2.045.630 1.291.531

Sumber: badan pusat statistic (migrasi seumur hidup (life time


migration) sensus penduduk 1971, 1980, 1990, 2000 dan survey penduduk
antar sensus (Supas) 1985, 1995, 2005
Dari table di atas dapat dilihat bahwa setiap tahunnya angka pendatang

selalu meningkat dan bukan tidak mungkin dengan semakin berkembangnya

pembangunan dan kemajuan yang di raih kota Jakarta, jumlah tersebut akan terus

20
meningkat tanpa terkendali. Maraknya pendatang yang hidup di Jakarta

mengakibatkan adanya perubahan dalam setiap aspek kehidupan kota. Mulai dari

aspek sosial ekonomi maupun politik dan budaya. Keberadaan para pendatang

dari berbagai daerah telah menjadikan Jakarta sebagai sebuah kota multikultur

dengan berbagai macam latar belakang orang-orang di dalamnya.

Namun di balik itu semua muncul sebuah ironi di tengah tumbuh

kembangnya kota Jakarta yaitu eksistensi masyarakat Betawi sebagai warga asli

yang telah semakin menipis keberadaanya. Keberadaan mereka seperti hilang dari

kehidupan sosial masyarakat. Berbeda dengan etnis lain, Betawi merupakan

sebuah etnis yang ada dalam masyarakat tetapi tidak memiliki penegasan tentang

penguasaan sesuatu yang bisa membantu untuk menegaskan identitasnya. Ia tidak

memiliki wilayah, penguasaan ekonomi. Kota Jakarta sebagai tempat tumbuh dan

berkembangnya Betawi telah menjadi daerah multikultur yang makin menggusur

keberadaan masyarakat Betawi sebagai etnis asli kota. Ini memang pasti terjadi

karena dalam studi perkotaan menjelaskan bahwa sejarah pertumbuhan kota akan

ditandai dengan hilangnya eksistensi dari masyarakat asli atas kota tersebut. Di

berbagai negara, di dalam perkembangannya kota-kota di dunia juga mengalami

hal serupa. Keberadaan masyarakat asli akan hilang seiring dengan kemajuan kota

dan kedatangan warga pendatang. Eksistensi masyarakat asli akan terselamatkan

jika ada konsolidasi dan perasatuan di antara warga asli.

Dengan tergusurnya penduduk asli dan tingginya tingkat urbanisasi

mengakibatkan keberadaan masyarakat betai semakin terdesak dan terpinggirkan

mereka hidup di daerah-daerah pinggiran kota bahkan mulai terdesak ke daerah-

21
daerah sekitar kota seperti depok, tangerang dan bekasi. Berdasarkan sesnsus

penduduk tahun 19961 dan 2000, etnis Betawi selalu berada di bawah bayang-

bayang etnis pendatang terutama Jawa. Hal ini menunjukkan jika jumlah itu

semakin menyusut dan menjadikan mereka semakin hilang dari kancah percaturan

kehidupan di kota Jakarta. Kenyataan itu dapat kita lihat melalu data penduduk

Jakarta berdasarkan etnis di table di bawah ini

Tabel 1.2 Komposisi etnis penduduk Jakarta

No Etnis Persentase (%) Persentase (%)

1961 2000

1 Jawa 25.4 35.16

2 Sunda 32.8 15.27

3 Betawi 22.9 27.65

4 Melayu 0.7 1.62

5 Minagkabau 2.1 3.18

6 Batak 1.0 3.16

7 Banjar 0.2 010

Kedatangan para imigran dari daerah ke kota Jakarta juga menimbulkan

dua masalah, banyaknya orang daerah yang berada di Jakarta meskipun

menyatakan dirinya sebagai warga Jakarta dan Jakarta adalah ibukota Negara nya

tetapi mereka tetap membawa kebiasaan dan budaya dari daerah asalnya masing-

masing.

22
Diakui oleh masyarakat Betawi sendiri, mereka sebagai warga asli

merasa tidak puas, mengapa justru mereka yang pendatang dari luar kota menjadi

jumlah mayoritas masyarakat Jakarta , merusak adat istiadat asli Betawi, dan

bahkan menggeser masyarakat Betawi sebagai tuan rumah hingga ke pinggiran.

Sedangkan mereka yang pendatang kebanyakan tidak merasa Jakarta sebagai

kotanya. Kenyataannya mereka haruslah ingat bahwa mereka sebenarnya telah

menjadi warga Jakarta sehingga budaya dan latar belakang daerah masing-masing

harus di tinggalkan dan menghargai penduduk asli yaitu masyarakat Betawi yang

mempunyai adat istiadat.

Tetapi kenyataannya tidak demikian jangankan melawan arus pendatang,

bahkan kini posisi mereka juga mulai tercerai berai, di tempat berbeda-beda. Ada

masyarakat Betawi yang tinggal di daerahJakarta, Tangerang dan Bekasi. Letak

mereka yang terpisah-pisah tersebut semakin membuat masyarakat kesulitan

untuk mengetahui tentang etnis Betawi ini sebenarnya. Mereka kesulitan

mengkonsolidasikan diri bahkan dalam penguasaan wilayah. Tetapi ternyata di

luar letak yang terpisah-terpisah itu, mereka telah membentuk sebuah

perkumpulan yang mewakili identitas mereka yang dikenal sebagai badan

musyawarah masyarakat Betawi atau Bamus Betawi (kemudian akan di tulis

dengan Bamus).

Meskipun hingga saat ini definisi mengenai asal-usul Betawi dan siapa

Betawi juga masi di perdebatkan masyarakat luas. Tetapi setidaknya melalui

ormas-ormas dan badan musywarah ini bisa memberikan gambaran pada

23
masyarakat luas yang selama ini kurang mengenal bahwa Betawi itu ada dan

wujud Betawi adalah seperti ini.

2.2 Bamus Betawi

2.2.1 Sejarah Pembentukan

Bamus Betawi merupakan sebuah paguyuban yang menjadi wadah

berkumpulnya seluruh elemen masyarakat Betawi. Bamus Betawi di bentuk pada

22 juni 1982 atas dasar keinginan pemerintah kota Jakarta saat itu, tentang,

“ organisasi perwakilan dari masyarakat Betawi secara keseluruhan yang

bersifat aspiratif dan representative yang di inginkan pemerintah daerah saat itu

“ 17

Hal itu dilakukan agar pemerintah daerah dan masyarakat tidak

kebingungan dalam menghadapi permasalahan yang perlu di pecahkan. Dengan

adanya Bamus, pernyataan, maupun usul yang dilontarkan oleh masyarakat

Betawi dapat di koordinasikan oleh Bamus. Dengan pertimbangan efisiensi

penyampaian aspirasi dari masyarakat (saat itu di Jakarta telah banyak ormas-

ormas yang mengatasnamakan Betawi dan masyarakat Betawi), sehingga

pemerintah mengetahui mana prioritas utama yang kemudian dapat di

tindaklanjuti segera. Kemudian pemerintah secara langsung memintakepada

tokoh-tokoh Betawi yang memiliki pengaruh untuk membentuk sebuah wadah

17
Wawancara dengan Bang Amar. Pengurus Badan Musyawarah Masyarakat Betawi. Wawancara
tanggal : 12 juli 2011, Pukul 13:50. Gedung Prasda Sasana Karya Lt. 6 Jl. Suryo Pranoto, Harmoni
Jakarta Pusat

24
untuk menampung semua organisasi-organisasi yang telah ada dan terbentuk

sebelumnya.

Pada awal berdirinya belum banyak yang dapat dilakukan oleh Bamus,

dalam perkembangannya Bamus lebih berkonsentrasi untuk konsolidasi internal

seperti penggalangan persepsi, menyamakan pandangan dan memperkokoh

solidaritas serta membangun dukungan dari setiap organisasi masyarakat dan

masyarakat Betawi.

Sebenarnya tujuan awal dari pembentukannya, Bamus hanya di

proyeksikan sebagai wadah bagi bermuaranya organisasi Betawi yang kala itu

sudah banyak berkiprah. Karena pada saat itu kehidupan organisasi Betawi sangat

mengkhawatirkan , terjadi keadaan dimana antar organisasi saling bersaing satu

sama lain dan saling ingin menjatuhkan. Dan seperti di tegaskan berulang kali,

setiap elemen pengurus Bamus Betawi selalu di ingatkan bahwa mereka

sebenarnya hanya sebuah organisasi paguyuban bukan organisasi massa. Yang

memiliki massa adalah ormas-ormas yang tergabung dalam Bamus, seperti

forkabi, ikeda, iwarda yang lainnya, sedang Bamus tidak bergerak secara

operasional untuk menarik massa dan itu tertuang langsung AD/ART yang telah

di sepakati. Di samping secara prosedural, di akui juga bahwa ada kesulitan

secara teknis untuk Bamus bergerak secara operasional, ini dikarenakan orang-

orang yang duduk di kepengurusan Bamus kebanyakan secara sukarela, mereka

masing-masing memiliki kesibukan dan kegiatan utama.

25
Jika kita melihat, dari awal mula dan proses terbentuknya Bamus,

keberadaan badan musyawarah masyarakat Betawi ternyata tidak memiliki akar

historis yang kuat karena sebelum terbentuknya telah ada banyak organisasi-

organisasi kemasyarakat Betawi yang memiliki akar sejarah lebih kuat di

dalam sistem kemasyarakatan Betawi. Selain hal yang mungkin menjadi masalah

kemudian adalah inisiatif pembentukan yang datang dari pemerintah kota Jakarta

bukan berasal dari masyarakat Betawi di khawatirkan dapat melemahkan posisi

tawar Bamus di tengah masyarakat Betawi.

Bamus dalam perkembangan selanjutnya lebih kepada mengisi hari-hari

dengan pembenahan bentuk organisasi dan berusaha untuk menarik seluruh

anggota masyarakat Betawi untuk bergabung di bawah naungannya. Baru mulai

tahun 1991, posisi Bamus di nilai sudah cukup kuat untuk dan mulailah di susun

rancangan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang tetap dan mengikat.

Pada tahun ini juga dilaksanakan musyawarah besar pertama badan musyawarah

masyarakat Betawi. Tercatat dalam mubes pertama ini ormas yang tergabung di

dalamnya berjumlah 42 organisasi dan individu masyarakat Betawi. Ditandai

dengan suksesnya musyawarah besar Betawi sebagai wujud dari posisi Bamus

dalam tata hubungan masayarakat dan pemerintah, berhasil menarik minat dari

anggota ormas lain, sehingga kini jumlah ormas yang tergabung di dalamnya

berjumlah sekitar 345, 67 ormas ditambah individu-individu dan simpatisan lain.

26
2.2.2 Bamus adalah institusi informal yang lahir melalui mekanisme Top

Down

Dari sejarah terbentuknya Bamus tersebut maka penulis berpendapat

bahwa Bamus yang dalam hal ini merupakan sebuah institusi informal lahir

karena di bentuk oleh keinginan pemerintah melalui sekelompok elit yang bersifat

topdown. Hal ini disebabkan kelahiran Bamus bukan berasal dari inisiasi

masyarakat yang mendorong untuk terbentuknya sebuah wadah bagi mereka dan

yang mereka inginkan. Inisiasi awal terbentuknya atau ide pencetus kelahiran

Bamus adalah oleh pemerintah Jakarta saat itu yang kemudian di tindak lanjuti

oleh sekelompok elit masyarakat Betawi yang memiliki kuasa dan pengaruh

dalam berbagai elemen masyarakat Betawi.

Tetapi kemudian terjadi sebuah pergeseran yang di tandai dengan

perubahan radikal dalam kehidupan politik di Indonesia dengan tumbangnya

rezim orde baru. Reformasi yang mendatangkan perubahan dalam segala bidang

memaksa semua elemen bentukan penguasa sebelumnya berusaha untuk di

hapuskan atau di gantikan peran dan fungsinya. Termasuk Bamus, ada perubahan

yang radikal dan mendasar saat itu, terutama terkait dengan peran dan fungsinya

di masyarakat Betawi. Mengutip dari pendapat bang dayat dari LKB,

“sebelum reformasi tahun 1998, keberadaan Bamus lebih di fungsikan sebagai

wadah berkumpulnya seluruh elemen masyarakat Betawi untuk bersilaturahmi

dan berkomunikasi satu sama lain, hal yang sangat sulit dilakukan sebelum

Bamus terbentuk. Tapi selepas reformasi, disadari bahwa keberadaan Bamus

27
dapat di fungsikan lebih jauh sebagai pihak yang mampu menyuarakan hak dan

kepentingan masyarakat Betawi. Hal itu mungkin dilakukan mengingat dalam

sejarahnya, Bamus memiliki kedekatan dengan pemerintah kota Jakarta” 18

Pembahasan mengenai perubahan dan pergeseran Bamus ini akan di bagi

menjadi dua pra reformasi dan pasca reformasi.

2.2.3 Pergeseran Fungsi dan Posisi Bamus Pra dan Pasca Refornasi

Bamus sebagai sebuah organisasi telah hidup dalam dua masa yang

memiliki iklim politik yang berbeda. Dimana Bamus tumbuh dan berkembang

pada masa orde baru atau pra reformasi dan tetap hidup hingga kini pasca

reformasi. Seperti telah kita ketahui bahwa keadaan pra dan pasca reformasi

sangat bertolak belakang terutama terkait dengan hubungan dengan Negara. Maka

dalam sub bab ini penulis akan menjelaskan tentang pergeseran dan perubahan

dalam tubuh Bamus pra reformasi saat orde baru dan pasca reformasi saat ini.

a. Pra Reformasi : Bamus sebagai Bentuk Korporatism

Sebelum terjadinya reformasi, kedudukan Bamus dalam relasi nya dengan

Negara adalah tentang siapa yang menguasai dan di kuasai. Inisiatif pemerintah

yang di berikan kepada masyarakat Betawi untuk membentuk sebuah forum untuk

merangkul seluruh masyarakat Betawi menjadi satu telah.

18
Bang dayat. Ketua harian LKB (sesepuh LKB). Wawancara tanggal 9 mei 2011. Pukul 09.00

Kantor pengurus LKB, Gd. Nyi Ageng Serang Jakarta Selatan.

28
Korporatisme muncul karena adanya daya dorong yang kuat dari atas

melalui intevensi yang tinggi dari Negara sebagai bagaian dari sentralisme-

birokratis, yang berusaha untuk melakukan penetrasi terhadap masyarakat secara

mendalam dan mengontrolnya.

Negara mengambil peran dominan dan otonom dalam pembentukan

distribusi kekuasaan dalam masyarakat dan arah perkembangan ekonomi. Dalam

masyarakat seperti itu korporatisme menandai ketiadaan pluralism, ia mewakili

sebuah upaya untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang makin meningkat

sekaligus mengontrol proses politik yang digunakan untuk mengekspresikan

tuntutan tersebut.

Korporatisme kemudian diinterpretasikan menjadi “ a mode of organizing

state and society through strong, autonomous government structures that enforce

a limited pluralism of authoritatively recognized groups” (cara pengorganisasian

negara dan masyarakat melalui struktur pemerintah otonom yang kuat yang

memberlakukan pluralisme terbatas kelompok-kelompok yang diakui negara. 19

Hal termudah untuk melacak bagaimana sebuah organisasi informal

termasuk sebagai sebuah bentuk korporatisme Negara adalah melalui intervensi

kuasa yang di lakukan oleh pemerintah atau Negara dan melalui sumber

pendanaan yang di terima oleh organisasi masyarakat dari Negara. Pun demikian

dengan Bamus, melalui kedua indicator tersebut dapat di ketahui kemudian

19
Pangyi Sarwi. Profesionalisme dan Korporatisme di Dalam Organisasi-Organisasi Militer.
(http://www.pangisyarwi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=92:profesionali
sme-dan-korporatisme-di-dalam-organisasi-organisasi-militer&catid=7&Itemid=102 accesed on
February 3, 2012)

29
bagaimana bentuk Bamus pada awal pembentukannya apakah ia termasuk dalam

sebuah korporatisme Negara

Jika di lihat dari sejarah terbentuknya, secara jelas bisa di lihat bahwa

Bamus merupakan salah satu bentuk korporatisme Negara dimana saat itu inisiatif

pembentukan berasal dari pemerintah kota Jakarta yang membutuhkan sebuah

lembaga guna memudahkan komunikasi kepada masyarakat. Dalam kasus Bamus

ini, pemerintah memiliki kepentingan untuk menyatukan seluruh elemen

masyarakat Betawi ke dalam satu wadah tempat mereka bernaung yaitu badan

musyawarah.

Bentuk-bentuk korporatisme itu sebisa mungkin tidak tampak ke

permukaan, dengan berbagai cara pemerintah menyamarkan bentuk dari sebuah

kelompok korporatisme agar tidak tampak sebagai bentuk kontrolpemerintah

terhadap masyarakat. Maka dipilihlah nama badan musyawarah yang memiliki

makna kata lebih lunak di bandingkan dengan penggunaan kata-kata komite atau

forum. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah agar masyarakat tidak curiga

tentang tujuan yang ingin di lakukan oleh pemerintah sehingga masyarakat

dengan sukarela memfungsikan Bamus sebagai tempat berkumpul bagi mereka.

Pemilihan nama menjadi ternyata menjadi salah satu cara pemerintah waktu itu

untuk menarik perhatian dari masyarakat Betawi.

Bentuk penguatan korporatisme yang lain adalah adanya “paksaan” dari

pemerintah tentang siapapun yang ingin mengakses pemerintah maka ia harus

30
mewakilkannya melalui Bamus, karena Bamus menjadi satu-satunya saluran

aspirasi masyarakat Betawi yang diakui oleh pemerintah kota Jakarta.

Pembentukan Bamus sebagai badan musyawarah tempat berkumpulnya

masyarakat Betawi dan jalur aspirasi “resmi” masyarakat menjadi bukti

bagaimana hegemoni pemerintah saat itu yang mencoba untuk mengontrol seluruh

elemen masyarakat Betawi umumnya dan ormas-ormas Betawi khususnya.

Dengan pernyataan tersirat seluruh pernyataan maupun usulan yang di lontarkan

masyarakat ebtawi dapat di koordinasikan oleh Bamus. Maka menjadikan Bamus

menjadi satu-satunya saluran aspirasi masyarakat yang di akui pemerintah.

Hal pertama yang mengindikasikan Bamus adalah sebuah bentuk

korporatisme saat itu adalah inisiasi pembentukan yang berasal dari Negara dan

pemerintah. Memang inisiasi saja tidak dapat menyimpulkan bahwa Bamus

adalah sebuah bentuk korporatisme Negara tetapi melalui hal ini kita dapat

melihat dan melacak lebih jauh relasi kuasa antara Bamus dan Negara dalam hal

ini Pemerintah kota Jakarta. Pada kenyataannya, pada awal pembentukannya

Bamus tidaklah berjalan secara independen, Bamus saat itu semata hanya

menjalankan fungsi yang telah di berikan kepadanya yaitu sebagai jalur

komunikasi Negara untuk memudahkan Negara mengakses masyarakat yag

mengakibatkan kepentingan yang di dalamnya di dominasi oleh kepentingan

Negara semata. Hal ini kemudian mempengaruhi pula alur kepentingan yang

mengalir melalui jalur top down dimana masyarkat Betawi di jadikan objek ketika

itu. Hal ini senada dengan pernyataan awal yang menjadi alasan pembentukan

Bamus, yaitu kebutuhakn pemerintah kota Jakarta untuk dapat berkomunikasi

31
20
dengan masyarakat Betawi . Selain itu juga ada istilah yang mengalir saat itu

yaitu tentang pemaksaan negara terhadap masyarakat Betawi untuk dapat

bergabung dengan Bamus, karena negara telah menyatakan bahwa jalur

representasi aspirari masyarakat Betawi yang resmi dan di akui oleh negara

hanyalah Bamus, bagi siapapun yang ingin mengakses Negara hanya melalui

Bamus, tanpa terkecuali. Secara tersirat ini hanyalah bentuk tidak langsung dari

pemberian kekuasaan ke Bamus untuk menguasai “masyarakat Betawi” dan

menjadikannya sebagai pimpinan tertinggi dalam struktur masyarakat Betawi.

Dan secara tidak langsung juga, menjadikan Bamus sebagai bentuk pemaksaan

jalur tunggal bagi masyarakat Betawi untuk menuju ke pemerintah. Penggunaan

istilah jalur komunikasi Negara menjadi poin penting disini dimana keberadaan

Bamus lebih di butuhkan oleh Negara dibandingkan oleh masyarakat Betawi

sendiri.

Melihat keadaan tersebut maka dapat di garis bawahi bahwa kontrol

Negara terhadap Bamus dapat di katakan bersifat mutlak, salah satunya melalui

instrument pendanaan, bagaimanapun juga pendanaan telah menjadi instrument

vital bagi satu pihak untuk melakukan intervensi kepada pihak lain. Melalui

pendanaan preprogram yang di berikan oleh Negara maka intervensi Negara

bukan hanya secara organisasional melainkan melalui proses jalannya setiap

kegiatan Bamus.

20
Lihat sejarah pembentukan Bab II

32
b. Pasca Reformasi: Telaah Melalui Penerapan Konsep Quango

Quango atau quango autonomous Non Govermental

Organization 21merupakan konsep baru yang di perkenalkan di Inggris pada

sekitar tahun 1980. Konsep quango hanya berbeda sedikit dari korporatisme, akar

dan dasar dari quango adalah korporatisme itu sendiri. Tetapi ternyata pada

jalannya nanti korporatisme juga mengalami pergeseran dan perubahan dimana

sebuah komunitas tidak sepenuhnya mutlak menjadi bawahan dan di bawah kuasa

Negara. Pergeseran yang terjadi tersebut di picu oleh adanya indepedensi dari

komunitas meskipun ia di bentuk oleh pemerintah. Tetapi independensi yang

terjadi tidak dalam wujud mutlak dan sepenuhnya, melainkan masih bersifat

sebagian dimana masih ada beberapa hal yang membutuhkan kehadiran dari

Negara. Maka lebih tepat ketika dalam quango komunitas di tempatkan sebagai

mitra pemerintah yang bekerja sejalan tetapi dengan pemahaman program nya

sendiri . intervensi-intervensi yang di lakukan oleh pemerintah bersifat terbatas

tanpa terlibat lebih jauh dalam setiap kegiatan dan program kerja.

Pasca reformasi, setelah di jelaskan sebelumnya banyak organisasi-

organisasi berlatar sebagai sebuah bentuk korporatisme Negara mulai menggeser

pola-pola kerja mereka guna mempertahankan kelangsungan hidup kelompoknya.

Hal ini di picu karena adanya “ketakutan” dan rasa anti dari masyarakat tentang

kuasa Negara, pasca reformasi dan demokrasi di terapkan maka masyarakat

21
Nizam Zulfikar, Skripsi S1. “Pola Relasi Antara Negara dan Forum Komunikasi Masyarakat Code
Selatan Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Code Selatan”(Yogyakarta: UGM 2011), 43

33
meminta ada pemutusan intervensi-intervensi Negara dalam kegiatan-kegiatan

berdemokrasi yang di butuhkan masyarakat termasuk dalam berkelompok dan

berkumpul. Begitu pula degan Bamus, karena telah memiliki fungsi dan posisi

cukup penting saat itu dan mulai mendapatkan pengakuan dari masyarakat

Betawi maka perlu adanya pergeseran tentang logika mereka terutama tentang

hubungan mereka dengan Negara. Hubungan yang sebelumnya terbentuk atas

logika yang menguasai dan yang di kuasai, coba di geser ke posisi yang lebih

memungkinkan untuk di terima oleh masyarakat yaitu menjadikan Negara sebagai

sebuah mitra kerja bukan atasan seperti sebelumnya.

Pergeseran itu nantinya juga mampu membantu Bamus untuk lebih baik

menjalankan fuungsi mereka sebagai jalur aspirasi masyarakat. Karena ada ruang

independensi yang muncul di bandingkan ketika mereka tetap menjadi sebuah

bagian dari korporatisme Negara. Dengan kata lain alur relasi yang sebelumnya

bersifat dari atas ke bawah sekarang berbentuk dua arah antara Bamus dan

Negara.

Perubahan tersebut dapat dilihat dari pendanaan yang di berikan oleh

pemerintah kepada Bamus, jika sebelumnya pendanaan di berikan per program

dan kegiatan tetapi kini pendanaan tersebut di berikan pertahun sebagai dana

subsidi bantuan kebudayaan melalui dinas pariwisata dan kebudayaan DKI

Jakarta.

Melihat hal itu, maka telah terjadi pengenduran peran Negara dalam

jalannya kegiatan organisasi di bandingkan ketika pemerintah secara penuh

34
memberikan dana pada setiap program kerja, sehingga terjadi intervensi

preprogram dan masalah yang menjadi fokus tidak terlepas dari kepentingan

pemerintah.

Selain itu pasca reformasi, Bamus juga tidak memiliki kuasa institusional

atas organisasi-organisasi pendukung. Seperti telah di jelaskan pada bagian

sebelumnya Sekalipun Bamus di posisikan sebagai induk dari seluruh organisasi

keBetawian, tetapi kontrolnya terhadap organisasi pendukung dapat di katakana

lemah atau justru sama sekali tidak ada. Selama ini kuasa Bamus hanya

berbentuk seremonial melalui himbauan dan anjuran-anjuran tanpa adanya

dasar hokum yang mengikat. Selebihnya organisasi-organisasi pendukung tetap

berjalan sendiri-sendiri seperti sebelum keberadaan Bamus. Dan badan

musyawarah netawi sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa. Termasuk nantinya

dalam kontrol terhadap setiap konflik yang sering terjadi dalam masyarakat

Betawi

Untuik memudahkan memberikan gambaran tentang perubahan dalam

tubuh Bamus ini, maka pada bagian selanjutnya di tulisan ini akan sedikit

jabarkan melalui bagan perubahan. Dimana melalui bagan itu dapat di ketahui

bagian mana saja yang berubah terutama terkait dengan hubungan ketiga aktor

utama yaitu Negara Bamus dan masyarakat.

35
2.2.4 Pergeseran Fungsi dan Posisi Bamus Pra dan Pasca Reformasi dalam

Bagan

Setelah di atas di jelaskan secara narasi bagaimana Bamus mengalami

pergeseran posisi dalam hubungan antara ia sebagai aktor informal dengan negara

pra dan pasca reformasi. Kemudian di sub bab ini akan di jelaskan melalui bagan

tentang gambaran pergeseran tersebut secara lebih jelas, dimana akan diketahui

bagaimana perubahan posisi tiap aktor, dan bagaimana relasi dibangun antara

keduanya

Selain itu melalui proses reposisi tersebut juga dapat di ketahui bagaimana

dampaknya terhadap relasi kuasa baik secara internal maupun terhadap hubungan

ekternal Bamus dengan pemerintah.

36
a. Pra Reformasi

(Bagan 1.1)

Pemerintah Kota Jakarta

1
Dinas PAriwisata dan
Kebudayaan 2

4 Bamus

6
Tokoh masyarakat Betawi
petiinggi Bamus dan tokoh dari ormas
keBetawian

Masyarakat Betawi dan seluruh


elemen keBetawian

Bagan di atas adalah gambaran bagaimana pola relasi terjadi antara Bamus

sebagai aktor informal dengan aktor formal, pemerintah kota Jakarta dan dinas

pariwisata dan kebudayaan. Tanda panah menjelaskan alur hubungan yang terjadi

antar aktor sedangkan poin-poin yang di tunjukan oleh angka adalah jenis relasi

37
yang telah terjalin antara kedua aktor yang berhubungan. Bagan di atas akan

memberikan gambaran bagaimana interaksi terjadi pra reformasi dimana isu-isu

korporatism Negara saat itu sangat kencang di berlakukan. Pada sub bab

Sebelumnya telah di jelaskan bahwa Bamus telah hidup dan tumbuh berkembang

sejak kelahirannya sebagai sebuah bentuk korporatism Negara (yang kemudian di

jelaskan dalam bagian pra reformasi). Dan dengan bagan ini akan lebih jelas

terlihat dimana perubahan kedudukan terjadi di antara hubungan setiap aktor.

Yang akan di jelaskan poin perpoin sesuai urutan angkat dalam bagan.

1. Garis panah satu adalah menjelaskan tentang kedudukan pemerintah

kota Jakarta terhadap Bamus. Pemerintah kota Jakarta saat itu di

dudukan sebagai sebuah pihak yang menginisiasi kelahiran Bamus dan

yang membentuk Bamus untuk ada pertama kali. Maka kuasa antara ia

dengan Bamus adalah kuasa mutlak ketika itu dimana posisi Bamus

adalah bawahan dan pemeirntah adalah atasan dari Bamus. Hubungan

yang terjadi adalah tentang siapa yang di kuasai dan menguasai. Maka

dalam bagan ini di jelaskan melalui tanda panah besar dan tebal bahwa

Bamus adalah pihak yang dikuasai dan pemerintah adalah yang

menguasai.

2. Sedangkan garis panah dua, menjelaskan tentang fungsi Bamus bagi

pemetintah kota Jakarta dan keberadaannya saat itu. Dimana ia lebih

cenderung di fungsikan sebagai jalur komunikasi antara pemerintah

dengan masyarakat Betawi. Dan dengan demikian Bamus juga

bertanggung jawab terhadap pemerintah da;lam tugas dan fungsinya.

38
3. Garis panah tiga, menjelaskan pola hubungan antara dinas pariwisata

dengan Bamus. Dalam relasi ini dinas pariwisata di berikan kuasa oleh

pemerintah berhubungan dengan Bamus salah satunya adalah dari segi

pendanaan Bamus. Dimana subsisidi program kerja dari pemerintah di

alirkan melalui dinas pariwisata sebagai lembaga yang memfasilitasi

kerja Bamus. Selain itu secara structural, Bamus sendiri tergabung ke

dalam naungan di nas pariwisata dan kebudayaan sehingga ada kuasa

kelembagaan yang terjadi dalam relasi ini yang memfasilitasi relasi

kuasa antara Bamus dan Negara/pemerintah kota Jakarta.

4. Dan garis panah empat, lebih menjelaskan kepada afiliasi Bamus

kedalam dinas pariwisata dan kebudayaan sehingga setiap program

kerja dan kegiatan Bamus lebih banyak mengikuti arahan atau anjuran

dari dinas pariwisata dan juga harus sejalan dengan program-program

yang telah di canangkan oleh pemerintah melalui dinas pariwisata dan

kebudayaan kota Jakarta tadi.

5. Garis kelima, menjelaskan tentang bagaimana kemudian kuasa yang di

miliki oleh Bamus di pegang. Jalur panah menggambarkan bahwa

ketua atau pemimpin Bamus menjadi pintu utama dan pihak terdepan

dalam relasi dengan pemerintah. Jalur keluar dan jalur masuk antara

pemerintah dan masyarakat mengharuskan untuk melewati ketua

sebagai pihak tertinggi dalam kepengurusan organisasi.

6. Kepengurusan Bamus di kuasai oleh kelompok elit terbatas.

39
7. Melalui kombinasi kemimpinan yang di dominasi elit terbatas tersebut

seluruh hal atau program Bamus di jalankan kepada masyarakat

Betawi. Dalam kasus ini masyarakat Betawi di tempatkan sebagai

objek dari setiap program Bamus dan pemeirntah mengenai

pemberdayaan masyarakat Betawi.

Dari bagam di atas dapat di simpulkan bahwa ada struktur vertikal yang

terjadi dalam skema relasi negara Bamus dan masyarakat. Dimana jalur relasi

hanya berjalan searah yang bersifat topdown. Bamus juga di tempatkan saat itu

sebagai “kepanjangan tangan pemerintah” yang menjalankan fungsi-fiungsi

komunikasi politik bagi masyarakat Betawi. Ciri khas lain yang muncul adalah

adanya kepengurusan Bamus yang di pimpin dan di kuasai oleh sekelompok

orang yang memiliki sumber daya berlebih dalam struktur kemasyarakatan Betawi

sehingga dapat kita sebut dan istilahkan bahwa kepengurusan Bamus sangat di

dominasi oleh elit-elit terbatas.

40
b. Pasca Reformasi

(Bagan 1.2)

Pemerintah Kota Jakarta


1

3 4
Dinas Pariwisata dan Bamus ketua
Kebudayaan

5 6

Tokoh masyarakat Betawi


dan tokoh dari ormas
keBetawian
7

ormas

Masyarakat Betawi

Perubahan yang terjadi dalam bagan pasca reformasi ini dapat dilihat dari

hilangnya tanda panah besar yang menghubungkan antara pemerintah dengan

Bamus. Hal ini sebagai tanda bahwa telah hilang sebuah kuasa mutlak yang kuat

41
dan mengikat dari pemerintah dalam tubuh Bamus. hubungan selanjutnya di

limpahkan melalui dinas pariwisata dan kebudayaan yang berperan sebagai mitra

sejajar dengan Bamus. Jadi pasca reformasi posisi dan kedudukan antara Bamus

dan dinas pariwisata dan kebudayaan adalah sejajar. Bamus bukan lagi bagian

atau pihak yang di naungi oleh dinas pariwisata dan kebudayaan. Melainkan satu

pihak yang di hadapan pemerintah di posisikan sama dan serupa dengan dinas

pariwisata berdasarkan fungsi dan peran yang sama hanya berbeda fokus dan

tujuan yang di gapai. Dimana Bamus hanya di peruntukkan bagi masyarakat

Betawi. Hubungan antara Bamus dengan pemerintah menjadi hanya searah

dimana Bamus lah yang kini berusaha untuk mengakses pemerintah dan

menghubungi pemerintah. Hubungan itu kemudian menjadikan Bamus

memainkan peran-peran baru menggantikan peran sebagai jalur komunikasi

politik dari atas kebawah sebelumnya. Dengan jalur baru yang mengikuti alur

vertikal dari bawah ke atas maka Bamus menjalankan peran nya sebagai jalur

representasi dan aspirasi masyarakat. Hubungan dengan pemerintah bukan sama

sekali menjauh dan terputus dengan kini di posisikan sebagai sebuah lembaga

informal yang berjalan sejalan dengan lembaga formal yang dimiliki negara maka

Bamus di tempatkan sebagai mitra kerja yang terlepas dari intervensi pemerintah

secara langsung.

2.2.5 Kesimpulan Perubahan yang terjadi Pra dan Pasca Reformasi

Diantara dua masa hidup Bamus yang telah di jelaskan di atas, dapat di

simpulkan bahwa perubahan paling besar terjadi pada skema hubungan Bamus

dengan pemerintah dan skema kuasa prioritas masalah dalam Bamus serta

42
hubungan Bamus dengan masyarakat. Karena untuk perubaha relasi dengan

negara telah di jelaskan pada bab sebelumnya, di bagian ini hanya akan

menjelaskan bagaimana perubahan yang terjadi dalam tubuh Bamus dan

kepengurusan Bamus. Jika di lihat sekilas dalam peta relasi tersebut, bisa di

katakan bahwa lebih banyak interaksi yang tubuh Bamus di bandingkan dengan

keadaan sebelumnya dimana ketua tetap di tempatkan sebagai posisi tertinggi dan

paling berpengarus dalam struktur pengorganisasian bamsu, tetapi elit-elit yang

sebelumnya memliki posisi kuat dan sejajar dengan ketua kini berada di bawah

ketua dan di tempakan di bawa kepengurusan Bamus melalui ketua dan

jajajrannya. Selain itu melalui elit-elit ini kini di fungsikan sebagai sebuah saluran

baru bagi masuknya spirasi-aspirasi tidak langsung dari setiap organisasi

masyarakat yang bernanung di bawah Bamus berdampingan dengan aspirasi

masyarakat Betawi secara keseluruhan yang langsung di serap oleh Bamus. Kuasa

prioritas masalah lebih besar tetap berada di tangan ketua dan pengurus serta

jajarannya tetapi kini ada mekanisme input dari masyarakat dan anggota kepada

Bamus dimana sebelumhnya logika yang di pakai hanya bersifat top down dimana

masyarakat dan anggota tidak memiliki hak dan jalur untuk mengakses

mekanisme input tadi.

Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa, perubahan yang terjadi pra

reformasi saat orde baru dulu dan pasca reformasi kini hanya mengalami

perubahan dalam mekanisme input dari bawah, sedangkan kuasa tertinggi dan hak

menentukan masalah tetap berada di tangan ketua yang baik secara prosedural

43
maupun keadaan di lapangan memang mengkondisikan bahwa ketua Bamus

adalam penetap keputusan tertinggi dalam tubuh Bamus.

Setelah kita mengetahui sejarah Bamus mulai dari awal pembentukan

hingga bagaimana ia tumbuh dan berkembang, maka di bagian selanjutnya akan

dijelaskan mengenai Bamus yang di tempatkan sebagai forum masyarakat Betawi

untuk berkumpul.

2.3 Bamus sebagai Forum Warga Masyarakat Betawi

Dalam pembahasan kali ini akan dijelaskan tentang seberapa penting

keberadaan Bamus, mengapa ia kemudian menjadi sentral ketika kelahiranya di

tengah masyarakat Betawi bukan muncul sebagai pihak yang pertama karena

sebelumnya telah ada banyak organisasi-organisasi masyarakat keBetawian

Telah di jelaskan sebelumnya dalam sejarah pembentukannya jika

keberadaan Bamus merupaka akibat dari campur tangan Negara, maka kemudian

menjadi hal yang penting untuk menjelaskan bagaimana Bamus memperoleh

pengakuan dari masyarakat Betawi termasuk di dalamnya sumber kekuasaan dan

kewenangan yang dimiliki Bamus yang menjadi modal bagi eksistensi

keberadaanya.

Modal pertama yang dimiliki Bamus pada saat itu adalah penunjukkan

tokoh-tokoh penting dalam kepengurusan dan kepemimpinan yang berasal dari

para sesepuh dan orang-orang yang di tuakan oleh masyarakat Betawi.

Simbolisasi figur ini dimaksudkan untuk menarik perhatian masyarakat Betawi

44
pada umumnya dan ormas-ormas Betawi khususnya hingga dalam seketika

menjadi bahan pertimbangan tentang organisasi yang baru lahir ini.

Hal utama yang menjadi pertimbangan adalah, sepenting apa keberadaan

Bamus saat itu ketika telah banyak terbentuk organisasi-organisasi keBetawian

yang lebih mapan. Posisi Bamus menjadi hal penting untuk nantinya seluruh

masyarakat bersedia mengakui dan secara sukarela bernaung di dalam payung

badan musyawarah Betawi. Jika menurut para anggota yang memahami sejarah

Bamus, keberadaan Bamus pada awalnya tidak lebih sekedar sebagai organisasi

keBetawian baru yang di bentuk tidak lebih seperti terbentuknya organisasi-

organisasi Betawi yang lain. Mereka tidak pernah mengetahui jika Bamus pada

akhirnya kini menjadi paying tertinggi bagi masyarakat Betawi. Hanya saja satu

hal yang mereka mengerti adalah adanya tokoh-tokoh penting dari setiap

organisasi massa Betawi yang kemudian bergabung dalam kepengurusan Bamus

yang baru terbentuk. Dan hal ini ternyata menjadi salah satu cara bagi Bamus saat

itu untuk menarik perhatian masyarakat Betawi tentang keberadaan badan

musyawarah Betawi ini.

Maka sebelum lebih jauh menjelaskan bagaimana aspirasi masyarakat

berjalan da nada di dalam tubuh Bamus, peneliti akan mencoba terlebih dahulu

menjelaskan mengenai bagaimana keadaan organisasi Bamus itu sebenarnya yang

nanti memiliki pengaruh signifikan terhadap proses representasi aspirasi. Bagian

pertama yang akan di jelaskan adalah mengenai kuasa yang dimiliki oleh Bamus

sendiri.

45
2.3.1Basis Legitimasi Bamus

Dalam persfektif politik, sebuah organisasi atau komunitas tidak bisa

terlepas dari adanya struktur kuasa dalam tubuh komunitas tersebut, tidak

terkecuali dengan Bamus. dalam struktur kuasa yang menjadi poin penting adalah

bagaimana sebuah organisasi tersebut mendapatkan mandate, kuasa dan

kewenangan dari anggotanya sehingga ia dapat menjalanka program kerja dengan

membawa nama mayoritas anggota yang di wakiliya. Didalam tubuh Bamus

Sumber kewenangan ini nantinya akan mempengaruhi fungsi dan peran dan pola-

pola representasi 22yangakan terjadi dalam tubuh Bamus.

a. Sumber daya kuasa : Simbolisasi Figur

Penguatan sumber daya kuasa dan keakuan yang di lakukan Bamus saat itu

lebih condong memakai jalan penokohan dan pengaruh dari tokoh tersebut. Apa

yang dilakukan oleh Bamus saat itu adalah, pertama kali menunjuk seorang tokoh

Bamus yang di tunjuk oleh pemerintah untuk merintis kelahiran Bamus. Di pilih

lah seseorang bernama Bang Ansari, seorang yang cukup terpandang pada

masyarakat Betawi saat itu dari segi budaya dan kemasyarakatan. Melalui beliau,

pemerintah berharap dapat merangkul lebih banyak tokoh-tokoh lain yang

berpengaruh sehingga keberadaan Bamus dapat lebih di pandang oleh masyarakat.

Dengan pertimbangan kemudahan akses pemerintah dan perhatian dari


22
Catatan Penulis : Akan di jelaskan di pembahasan bab 3

46
pemerintah maka para tokoh tersebut merasa Bamus dapat menjadi satu jalan bagi

perjuangan eksistensi masyarakat Betawi di kota Jakarta saat itu. Karena Bamus

adalah bukti pengakuan pemerintah terhadap masyarakat Betawi.

Jalur simbolisasi figur ini di pilih karena di anggap menjadi satu-satunya

cara untuk memperoleh ke akuan dan kuasa dari masyarakat di bandingkan

dengan cara misalnya membentuk organisasi baru dengan orang-orang baru yang

duduk di kepengurusannya dan dengan sumber daya pemerintah berusaha sebisa

mungkin untuk “mengintimidasi” masyarakat agar tunduk kepadanya. Simbolisasi

figur menjadi cara lebih lunak yang dipilih mengingat beberapa pertimbangan

salah satunya adalah pertimbangan bahwa masyarakat Betawi masih mengusung

system “kasta” dalam struktur masyarakatnya dimana ada figur yang di tuakan

dan di hormati yang sering di sebut sebagai jawara. Dengan mainstream

pemikiran masyarakat Betawi yang masih terikat pada hal tersebut, maka cara

simbolisasi figur dalam kepengurusan Bamus Betawi menjadi cara lebih efektif

dan dapat bekerja lebih cepat untuk menarik perhatian masyarakat. Dengan

menempatkan tokoh-tokoh dari setiap perwakilan organisasi masyarakat dan

masyarakat, maka dengan sendirinya organisasi yang di bawahinya akan “tunduk”

pada Bamus. Kepercayaan masyarakat terhadap figur yang di hormatinya menjadi

sumber daya uatama kuasa dari Bamus.

Pemilihan tokoh tersebut bukan tanpa pertimbangan, tidak semua tokoh

dari setiap ormas bisa menduduki jabatan tertinggi strategis. Ada pertimbangan

lain yang di akui oleh salah satu organisasi masyarakat yang menjadi

pertimbangan, yaitu sumber daya yang dimiliki oleh tokoh tersebut. Baik itu

47
sumber daya fisik yang mampu membantu berjalannya organisasi seperti

ekonomi, jejaring, politik dan jabatan, posisi dan pekerjaannya. Di tambah dengan

pertimbangan strategis untuk dapat di perjuangkan lebih jauh menjadi pemimpin

DKI Jakarta. Dengan kriteria tersebut maka pada akhirnya Bamus hanya di isi

oleh elit-elit terbatas menengah ke atas tanpa mungkin bagi siapapun untuk

menduduki jabatan strategis di organisasi.

b. Sumber Kewenangan: Trust.

Kuasa yang di dasarkan pada kepercayaan memiliki banyak kekurangan

dimana masyarakat memiliki hak untuk sewaktu-waktu mencabut kepercayaan

nya dari Bamus sebagai lembaga yang menaunginya. Dasar kepercayaan tersebut

bersifat rentan jika tidak di kerangkai dengan skema organisasional yang mampu

menjaga agar Bamus tetap menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat

Betawi. Maka selain penempatan tokoh untuk mendapatkan kepercayaan dari

masyarakat Bamus Betawi juga memanfaatkan posisi mereka di hadapan

pemerintahan.

Dengan melemparkan pengertian kepada masyarakat tentang satu-satunya

jalur yang akan didengarkan oleh pemerintah adalah Bamus, setidaknya akan

memaksa mereka untuk mau tidak mau mematuhi keberadaan Bamus dan

fungsinya di bandingkan harus kehilangan akses ke pemerintahan yang selama ini

mereka idam-idamkan. Penggunaan cara-cara “intervensi” tidak langsung tersebut

dapat menjadi penguat terjaganya kepercayaan dan keakuan masyarakat atas

keberadaan Bamus.

48
Tetapi bukan hal yang tidak mungkin trust tersebut tidak sepenuhnya di

dapat oleh sebuah lembaga representasi dari setiap konstituennya,

ketidakpercayaan itu bukan berarti ia tidak tergabung di bawah naungan lembaga

tersebut. Setidaknya masih ada faktor yang mengikat untuk tetap tergabung di

dalamnya, salah satunya adalah dengan adanya penokohan tadi.

Sumber daya kepercayaan ini dapat dilihat dari keengganan dari FBR

sebagai salah satu ormas besar Betawi untuk bergabung ke dalam naungan Bamus

secara organisasional. Karena menurut ketua dan pimpinan FBR KH. Ahmad

Fudholi El-Muhir, “Bamus di anggap tidak menampung aspirasi kalangan bawah.

Sementara FBR secara lugas dan tegas memperjuangkan hak-hak anak Betawi

termasuk pekerjaan” 23. Dengan pendapat tersebut dapat di indikasikan bahwa

setiap ormas memiliki kebebasan memilih untuk mengakui Bamus atau tidak,

sehingga faktor trust/kepercayaan menjadi sumber daya kuasa yang terbangun

antara masyarakat Betawi dan Bamus.

2.3.2 Fungsi Bamus

Dengan kewenangan tersebut, kini Bamus telah memfungsikan dirinya di

tengah masyarakat Betawi sebagai

a. Wadah bermusyawarah masyarakat Betawi yang tergabung dalam

organisasi kemasyarakatan , yayasan, lembaga dan segenap potensi Betawi

lainnya

23
TEMPO Interaktif, Bamus Betawi Sesalkan Aksi FBR Tutup Gedung Perkantoran.
(http://www.arsip.net/id/link.php?lh=VlAJBAEIBQQE accesed on September, 28 2011)

49
b. Badan musyawarah bagi pengembangan dialog untuk tercapainya

koordinasi guna menumbuhkan tanggung jawab bersama dalam

pembinaan kebersamaan

c. Wadah aspirasi masyarakat Betawi guna menyampaikan pemikiran dan

ikut meningkatkan peran masyarakat Betawi pada pembangunan baik yang

bersifat daerah maupun nasional

d. Mewakili aspirasi masyarakat Betawi guna menyerap dan menyalurkan

serta memperjuangkan kepentingan-kepentingan masyarakat Betawi baik

secara horizontal maupun vertical.

50
BAB III

Bamus dan Masyarakat Betawi:

Partisipasi Kepentingan, Aspirasi Masyarakat dan Proses Representasi Bamus

3.1 Pengantar

“ Keberadaan Bamus Betawi tidak terlepas dari upaya dan langkah

kerja badan pengurus periode sebelumnya. Apabila kita melihat

kebelakang tentang keberadaan Bamus, maka terlihat nilai

tanggung jawab yang besar dari segenap dewan pengurus Bamus

periode Bamus sebelumnya.

Posisi BamusBetawi yang berada di tengah, antara pemerintah

dan masyarakat telah menempatkan dewan pengurus pada posisi

yang cenderung sulit. Diatas posisi itulah dewan pengurus Bamus

itu memainkan perannya. Di satu sisi harus menjaga hubungan

baik dengan pemerintah disisi lain harus dapat menampung dan

menyalurkan aspirasi masyarakat Betawi …” 24

Dalam bab sebelumnya telah dijelaskan bagaimana awal terbentuknya,

latar belakang hingga hubungan secara organisasional dengan anggota. Maka

dalam bab ini selanjutnya akan di jelaskan tentang bagaimana aspirasi dari

masyarakat terkumpul dalam Bamus. Sehingga bab ini akan menjelaskan hal-hal

24
Pidato ketua umum terpilih mubes pertama BamusBetawi. H.M Sanif, 18 nopember 1991

51
seperti kuasa Bamus atas masyarakat, partisipasi masyarakat dan tentu saja proses

agregasi kepentingan masyarakat tadi.

Dengan sejarah panjang yang telah di jelaskan di atas tentang bagaimana

Bamus itu bisa berdiri, dan bagaimana Bamus di tempatkan di struktur

kemasyarakata Betawi. Maka di bab ini akan mencoba memfungsikan Bamus

denga kaca mata represesntasi alternatif Pitkin bagi masyarakat Betawi. Akan

terbagi dua pembahasan, di pembahasan bab ini akan menjelaskan tentang

bagaimana proses represesntasi itu berjalan, mulai dari pengumpulan aspirasi

oleh Bamus, partisipasi masyarakat Betawi hingga kesimpulan akhir tentang pola

apa yang di jalankan oleh Bamus melihat indikator-indikator yang akan peneliti

jabarkan dalam bab ini. Sedangkan pada pembahasan bab selanjutnya akan di

jelaskan tentang proses penyampaian masalah/aspirasi dari masyarakat menuju

pemerintah.

3.2 Representasi Bamus :Praktek Represestasi Alternatif

Dalam konsep representasi politik alternatif ini, aktor-aktor yang bisa

menjadi mediator atau representasi diperluas, bukan hanya masyarakat politik,

seperti partai politik, namun melingkupi kelompok atau institusi yang membangun

fungsi representasi. Dengan demikian representasi bisa menggunakan berbagai

jalur. Pertama, menempuh jalurlangsung (self representation/direct partisipation).

Kedua, melalui mediator atau perantara.

Namun harus disadari bahwa hadirnya saluran-saluran representasi

alternatif bukan untuk “menandingi” lembaga representasi formal yang ada

52
apalagi mendelegitimasinya. Namun, kehadiran model representasi alternatif

justru untuk melengkapi dan sebagai partner saluran representasi yang ada

sehingga mekanisme perwakilan benar-benar berfungsi menjadi media saluran

kepentingan publik yang makin aspiratif dan representatif.

Selain itu pola-pola representasi alternatif telahdi perkenalkan oleh Pitkin

yang terbentuk dan terjadi dalam proses agregasi kepentingan dan aspirasi

masyarakat menjadi satu kepentingan prioritas untuk di sampaikan ke meja

pemerintah. Jika di amati dalam bagan, maka akan terbentuk hal seperti di bawah

ini

NEGARA
.

BAMUS

Pola representasi:

- deskriptif

- Substantif
MASYARAKAT
- simbolik

(bagan 1.3)

Bagan di atas memberikan gambaran tempat untuk menjelaskan terbentuknya

sebuah pola representasi. Dimana pola tersebut terjadi dalam hubungan antara

53
masyarakat sebagai konstituen dengan wakilnya. Jadi, dapat disimpulkan

nantinya, pola-pola representasi akan sangat di pengaruhi oleh proses-proses

partisipasi masyarakat dan bagaimana alur masyarakat Betawi mengakses Bamus

apakah secara langsung atau kah melalui perantara. Selain itu pertautan kuasa

prioritas dalam tubuh Bamus juga dapat di gunakan untuk menjelaskan bagaimana

sebenarnya Bamus menjadi sebuah wakil dari masyarakat Betawi.

Sebelum kita berkesimpulan pola apa yang di pakai oleh Bamus, maka

akan di jelaskan terlebih dahulu tentang bagaimana partisipasi masyarakat tadi

dan jalannya proses representasi masyarakat Betawi oleh Bamus di tambah oleh

beberapa kasus yang dijadikan gambaran untuk mewakili cara kerja Bamus dalam

merepresentasikan masyarakat Betawi

3.3 Bamus sebagai Sebuah Jalur Representasi Alternatif Masyarakat

Betawi

Sebelum munculnya Bamus, masyarakat Betawi beserta ormas-ormas di

dalamnya sama sekali tidak mengetahui bahwa menyampaikan aspirasi kepada

pemerintah menjadi hal yang sangat penting untuk membantu perjuangan

masyarakat Betawi mempertahankan eksistensi identitasnya di tengah

keberagaman kota Jakarta. Perjuangan hanya di lakukan ormas perormas atau

orang perorang yang pastinya memiliki tujuan berbeda satu dengan yang lainnya.

Sedangkan saluran representasi formal ataupun politik di anggap tidak mampu

dan tidak dapat di gunakan untuk memperjuangkan kepentingan mereka, selain

karena tidak tersedianya wadah untuk itu pun juga di rasa aspek kepentingan akan

54
menjadi terlalu sempit dibandingkan dengan banyak aspek yang perlu di

perjuangkan. Maka dengan munculnya Bamus, masyarakat Betawi kini memiliki

sebuah saluran “pribadi” yang tidak tercampur oleh berbagai kepentingan untuk di

perjuangkan kepada pihak yang berwenang yaitu pemerintah.

Sebenarnya bukan sama sekali tidak ada saluran yang mengcover hal-hal

yang berkaitan dengan isu-isu kebudayaan dan masyarakat budaya seperti Betawi,

di kota Jakarta sendiri wewenang untuk mengakomodasi kepentingan hal-hal yang

terkait dengan kebuadayaan termasuk di dalamnya masyarakat. Wewenang

tersebut di pegang oleh dinas pariwisata dan kebudayaan provinsi DKI Jakarta.

Program-program yang ada telah ditujukan kepada sseluruh sector –sektor

kebudayaan asli kota Jakarta. Selain itu selama ini juga peng”coveran”

kesejahteraan masyarakkat juga telah ada melalui dinas-dinas yang terbentuk

seusai dengan kebutuhan masyarakat. Tetapi yang jadi masalah kemudian adalah

keadaan kota Jakarta yang multikultur dan posisinya sebagai ibu kota Negara yang

tidak hanya di diami oleh satu etnis budaya dan kemasyarakatan saja. Didalamnya

hidup berbagai jenis kebudayaan dan latar belakang masyarakat. Sedangkan

dinas-dinas yang telah di bentuk bukan hanya mengurus masyarakat Betawi

sebagai masrayakat asli tetapi juga mengurus seluruh masyarakat yang mendiami

kota Jakarta tanpa peduli latar belakang kesukuan tersebut. Keadaan ini membuat

sebuah gambaran bahwa, masyarakat Betawi yang merasa butuh di”khususkan”

sebagai sebuah entitas kemasyarakatan dan kebudayaan yang “memiliki kota

Jakarta, ditengah desakan arus pendatang dari berbagai budaya. Maka keberadaan

sebuah saluran yang benar-benar memihak kepada mereka, khusus untuk mereka

55
mutlak di butuhkan. Maka di fungsikanlah Bamus untuk mengemban hal itu

dimana keberadaannya menjadi sangat penting bagi keberlangsungan masyarakat

Betawi kemudian.

Dengan demikian saluran representasi Bamus ini kemudian muncul

sebagai sebuah cara baru bagi masyarakat Betawi untuk mengakses pemerintah

selain saluran yang telah ada sebelumnya atau yang telah di sediakan sebelumnya

yaitu dinas pariwisata dan kebudayaan.

3.4 Partisipasi Masyarakat dan Penyampaian Aspirasi.

Peneliti menemukan sesuatu yang menarik dalam skema partisipasi

masyarakat Betawi dalam tubuh Bamus ini, dimana ada dua cara yang dapat

dipakai untuk menjelaskan cara masyarakat mengakses dan “berbicara” kepada

Bamus. Cara pertama yaitu, partisipasi secara langsung dan cara kedua adalah

skema partisipasi berjenjang tidak langsung 25. Keduanya akan mampu

menjelaskan secara acak sebesar apa ruang yang ada untuk masyarakat ikut serta

terlibat langsung dalam kegiatan Bamus.

Dalam partisipasi langsung seorang anggota dapat mengajukan

pemikirannya secara langsung kepada manajemen terkait baik mengenai

kepentingan maupun keberatan sendiri maupun anggota lainnya. Dalam partisipasi

langsung ini masyrakat Betawi secara individu dimungkinkan untuk berhubungan

dengan Bamus tanpa melalui perantara, artinya siapapun dia, tanpa memiliki latar

25
Sugiyah. Sundariningrum : “Teori dan Pengertian
Partisipasi”(http://www.celoteh.herobo.com/katagori/artikel-pendidikan/52-teory-dan-
pengertian-partisipasi-.html accesed on April 2, 2012)

56
belakang sumber daya khusus selama ia secara terbukti sebagai bagian masyarakat

Betawi asli ia berhak untuk mengutarakan niatnya dan masukannya kepada

Bamus.

Peneliti merasa, kalur partisipasi Bamus tidak dapat di jelaskan dengan

skema partisipasi langsung ini, salah satu penyebabnya adalah sifat elitis Bamus

dan kewenangan yang berasal daripadanya yang kemudian akan menutup kran-

kran partisipasi secara individu. Partsipasi masyarakat kemudian di alihkan

melalui jalur terbatas (elit tadi) yaitu melalui perwakilan lain sebelum sampai di

Bamus, bisa berupa melalui pengurus Bamus, ataupun anggota Bamus yang terdiri

dari kumpulan ormas-ormas keBetawian. skema ini kemudian akan di jelaskan

dalam pembahasan mengenai skema partisipasi berjenjang tidak langsung di

bawah ini.

3.4.1 Skema Partisipasi Berjenjang Tidak Langsung

Skema partisipasi berjenjang memiliki pengertian bahwa akses masyarakat

kepada wakil harus melalui beberapa tahapan dan pihak secara vertical. Tidak ada

jalur langsung yang memungkinkan masyarakat secara individu dengan leluasa

berhubungan dengan wakilnya tersebut. Ada skema perwakilan bertingkat dimana

partisipasi masyarakat melalui beberapa tingkatan sebelum sampai pada

aktorrepresentasi yang utama. Sederhananya seorang individu, menggabungkan

kepentingannya kedalam satu pihak untuk kemudian di sampaikan kepada wakil

utama yang di tuju. Peneliti menyebut wakil tersebut sebagai wakil bayangan

selain wakil utama yang akan memperjuangkan kepentingan mereka kepada

57
Negara. Partisipasi ini juga dapat dikatakan sebagai partisipasi tidak langsung

dimana partisipasi dilakukan melalui wakil lain baik sesama anggota maupun

karyawan.

Dalam skema ini jalur partisipasi masyarakat di alihkan melalui ormas-ormas

anggota Bamus yang kemudian di salurkan kembali melalui perwakilan mereka

yang duduk di kepengurusan Bamus secara organisasional langsung. Banyak hal

yang menyebabkan terciptanya skema tidak langsung dalam tubuh Bamus ini di

antaranya adalah sifat Bamus yang cenderung tertutup.

Hal tersebut terjadi pada sebuah kasus dimana ada pedagang yang mengalami

penggusuran di daerah kuningan Jakarta. Kebetulan di dalamnya mayoritas di isi

oleh warga Betawi dengan mata pencarian ekonomi sebagai pedagang, ada dua

tuntutan yang dapat dipilih oleh pedagang saat itu yaitu pemenuhan tuntutan ganti

rugi dan relokasi. Saat itu jika masyarakat hanya memakai identitas mereka

sebagai seorang pedagang maka kekuatan mereka tidak akan mampu untuk

memenuhi tuntutannya. Tetapi dengan menggunakan identitas keBetawiannya

mereka merasa akan lebih mendapatkan bantuan yang memadai dalam masalah

ini.Maka mereka mencoba untuk mengakses Bamus sebagai pemerintahan

tertinggi masyarakat Betawi. Untuk masalah tertentu yang memiliki skala besar,

dan dampak yang signifikan mungkin Bamus akan langsung mendengar

permasalahannya tanpa harus masyarakat atau pedagang tadi menyampaikan

keluhannya. Tetapi untuk permasalahan ini yang termasuk dalam masalah

personal, Bamus juga memiliki kelemahan yang membatasi ruang kerjanya (akan

di jelaskan di bagian hambatan proses representasi aspirasi) sehingga tidak

58
memungkinkan untuk selalu siap sedia membantu masyarakat. Dengan demikian

masyakat harus mencari pihak lain lagi untuk mengakses Bamus, Salah satu cara

yang di pilih kemudian adalah menggunakan jalur yang ada setiap waktu yang

dapat menyampaikan permasalahan mereka kepada Bamus yaitu melalui

organisasi-organisasi masyarakat seperti forum keluarga Betawi (Forkabi).

Melalui forkabi inilah kemudian masalah ini disampaikan. Karena forkabi

memiliki akses langsung kepada pengurus Bamus yang memiliki kuasa untuk

menentukan prioritas masalah melalui tokoh-tokoh mereka yang di tempatkan di

dalam tubuh Bamus. Jika di gambarkan dalam sebuah bagan jalur penyampaian

aspirasi dan partisipasi masyarakat dapat di gambarkan seperti di bawah ini

Bamus ketua

Tokoh masyarakat Betawi


dan tokoh dari ormas
keBetawian

ormas

Personal/individu masyarakat
Betawi

59
Bagan di atas hanyalah gambaran bagaimana ada pola partisipasi yang

tidak langsung dalam tubuh Bamus. Dimana masyarakat harus melalui tahap-

tahap berjenjang melalui pihak-pihak lain diatasnya.

3.5 Jalur Representasi Aspirasi

Setiap anggota memiliki hak yang sama untuk menyampaikan pendapat

atau usulan tentang apa yang menjadi prioritas dari dirinya. Setiap permasalahan

yang ada berhak membawanya ke dalam forum keorganiasaian Bamus dan berhak

mendapatkan bantuan atau tindak lanjut lebih jauh. Penyampaian aspirasi

dilakukan secara bertahap melalui jalur-jalur yang di seusaikan dengan

konsentrasi dari ormas atau elemen masyarakat yang ada. Misalnya pernah terjadi

keributan mengenai penggusuran pemukiman warga Betawi yang dilakukan oleh

pemerintah untuk pembangunan proyek banjir kanal timur, maka isu ini kemudian

menjadi pokok permasalahan yang ingin di ajukan oleh anggota Bamus yang

mewakili masyarakat Betawi, maka jalur yang harus di tempuh adalah melalui

departemen yang membidangi hal tersebut untuk kemudian di tindak lanjuti

dengan berpijak pada skala prioritas. penentuan skala prioritas ini berdasarkan

kepada tingkat keterdesakan dan seberapa penting untuk kemajuan masyarakat

Betawi pada umumnya atau bagi anggota dan Bamus itu sendiri. Kemudian

setelah di tentukan prioritas di tiap departemen, masalah di bawa ke dalam rapat

tahunan pengurus bersama dengan ketua dan ketua umum serta dewan

pertimbangan.

60
Di dalam rapat itu kemudian di tentukan apa yang harus dilakukan

terhadap masalah tersebut. Apakah hanya cukup melibatkan Bamus untuk

menyelesaikannya atau membutuhkan pihakn luar sehingga prioritas masalah

kembali di bagi. Masalah yang melibatkan pihak luar menjadi prioritas paling

utama dan di dahulukan di bandingkan permasalahan yang bisa di bilang sebagai

masalah dalam lingkup organisasi.

Untuk masalah internal dan tidak melibatkan pihak luar, setelah

mendapatkan persetujuan dari ketua umum, dewan pertimbangan dan para

petinggi Bamus lainnya, kemudian dikembalikan kepada setiap departemen yang

membidanginya untuk ditindak lanjuti dan di realisasikan secara nyata menjadi

sebuah program kerja.

Sedangkan untuk masalah yang melibatkan pihak luar, tugas para petinggi

di dampingi dewan pertimbangan untuk menyelesaikannya. Mengingat sumber

daya yang di miliki serta jaringan yang lebih luas dirasa dapat membantu agar

masalah itu terselesaikan dengan baik dan segera. Pihak luar disini bisa pihak

swasta, organisasi non Betawi yang lain, atau lebih sering pihak luar itu adalah

pemerintah kota Jakarta sendiri. dengan memanfaatkan figur penokohan serta

posisi strategis para petinggi Bamus di harapkan akses untuk masuk ke dalam

pemerintahan menjadi lebih mudah dibandingkan jika ormas atau elemen

masyarakat itu mencoba untuk mengakses langsung pemerintah kota Jakarta

61
Proses Representasi aspirasi masyarakat Betawi Oleh Bamus Betawi

a. Budaya Betawi.

Dalam kasus ini Bamus mendesak pemerintah Jakarta untuk menggunakan

atribut keBetawian dalam setiap kegiatan institusional pemerintah maupun dalam

setiap acara-acara akbar yang di adakan di kota Jakarta. Sebagai cerminan dari

identitas kota Jakarta dan penegasan kepemilikan kota oleh masyarakat Betawi

sebagai masyarakat asli kota Jakarta.

“perjuangan identitas keBetawian adalah tujuan paling utama kami, agar

nantinya Betawi sebagai sebuah identitas dapat diketahui oleh masyarakat

seluruh Indonesia”. 26

Dari informasi di atas kemudian dapat kita lihat bagaimana kasus tersebut

tumbuh dan lahir. Sebelumnya saya ingin menyederhanakan jika pola representasi

substantif sangat identic dengan logika jalur vertical yang bersifat bottom up

karena masalah di masyarakat yang menjadi konstituen menjadi patokan utama.

Dalam bagian ini isu mengenai kebudayaan Betawi menjadi substansi

yang harus di perjuangkan oleh Bamus. Budaya disini nantinya mencakup seluruh

hal yang menjadi gambaran bahwa masyarakat Betawi itu ada. Kepentingan ini

menjadi hak masyarakat Betawi untuk dapat di sampaikan oleh Bamus.

Bentuknya bisa berupa, atribut keBetawian seperti telah di sebutkan di atas, mata

pencaharian masyarakat Betawi, dan sebagainya.

26
Bang Amar. Pengurus Badan Musyawarah Masyarakat Betawi. Wawancara tanggal : 21 juli
2011, Pukul 13:50. Gedung Prasda Sasana Karya Lt. 6 Jl. Suryo Pranoto, Harmoni Jakarta Pusat

62
Misal salah satu contoh kasus tetang penyaluran aspirasi ini adalah

penggunaan atributan Betawi dan pengikutsertaan nilai-nilai Betawi, dalam

hajatan besar di kota Jakarta. Yatu konfrensi Negara-negara Asean. Masyarakat

Betawi menginginkan jika mereka terlibat dan melibatkan mereka dalam acara

tersebut, maka kemudian melalui mekanisme partisipasi dan penyampaian aspirasi

yang telah di jelaskan di bagian sebelumnya, maka Bamus meminta kepada

pemerintah Jakarta agar seluruh atribut keBetawian di munculkan dan di ikut

sertakan dalam rangkaian acara tersebut.Salah satu tuntutan masyarakat Betawi

secara umum adalah sebagai berikut

1. masyarakat meminta, makanan khas Betawi menjadi salah satu sajian

resmi bagi para tamu,

2. pementasan budaya Betawi saat pembukaan dan penutupan acara

3. Kesempatan untuk mengenalkan nilai-nilai Betawi secara langsung kepada

perwakilan Negara-negara sahabat.

Kepentingan itu coba di perjuangkan melalui Bamus yang memiliki akses

langsung kepada pemerintah, dan kemudian di tindak lanjuti secara formal ke

dinas pariwisata dan kebudayaan DKI Jakarta untuk direalisasikan.

Fokus dari representasi ini adalah sebisa mungkin aspirasi kepentingan

masyarakat tersampaikan dan terealisasikan secara faktual dalam tataran prosedur

kebijakan dan keputusan pemetintah. Kemudian kita akan melihat kasus kedua

tentang bagaimana Bamus menjalankan program berdasarkan kepentingan-

kepentingan masyarakat Betawi

63
b. Pembuatan pemukiman Khusus masyarakat Betawi

Sebelum adanya perkampungan khusus Betawi seperti saat ini, masyarakat

Betawi bermukim di tempat yang berbeda-beda. Bahkan sama sekali tidak terlihat

jika mereka adalah masyarakat Betawi karena bercampur aduk dengan masyarakat

lain di sekitarnya. Baru kemudian setelah ada penggusuran lahan besar-besaran

yang waktu itu akan di gunakan untuk pembuatan proyek banjir kanal, diketahui

bahwa ternyata banyak korban yang ikut termasuk di dalamnya adalah masyrakat

Betawi asli. Melihat hal itu kemudian Bamus dan ormas Betawi lainnya

memperjuangkan hak mereka untuk mencarikan sebuah tempat hunian baru di

kota Jakarta, sebelum mereka lebih memilih untuk meninggalkan kota Jakarta.

Tergerak atas dasar tersebut di sadari kemudian bahwa ternyata banyak

keberadaan warga Betawi asli yang sama sekali tidak dapat di pantau secara

langsung oleh Bamus, muncullah ide untuk membuat sebuah komplek hunian

khusus dimana di dalamnya hanya di peruntukkan untuk tempat tinggal warga

Betawi asli. Selain untuk menjaga tidak hilangnya masyarakat Betawi secara

perlahan, juga dengan pembangunan komplek hunian khusus dapat membantu

masyarakat untuk mengenal Betawi dan melihat Betawi secara langsung melalui

apa yang ada di dalam komplek pemukiman Betawi ini. Kemudian Bamus

mendesak kepada pemerintah agar kepentingan tempat tinggal ini segera dapat di

realisasikan karena saat itu menjadi hal yang paling mendesak yang di butuhkan

oleh masyarakat. Melalui pendekatan aspiratif masyarakat, hamper seluruhnya

setuju bahwa di perlukan sebuah tempat bagi masyarakat Betawi untuk hidup dan

berkembang di dalamnya.

64
Melalui dinas pariwisata dan kebudayaan kota Jakarta, Bamus kemudian

berusaha untuk memperjuangkan agar keinginan masyarakat tersebut dapat di

dengar oleh pemerintah. Selain itu, masyarakat Betawi secara umum juga

mencoba untuk menuntut janji dari pimpinan Jakarta tentang pembangunan kota

tanpa mengesampingkan penduduk asli. Setelah proses sekian lama akhirnya di

setujuilah keinginan masyarakat melalui dinas pariwisata dan kebudayaan

menetapkan pembuatan sebuah komplek hunian baru bagi masyarakat Betawi

guna mendukung pelestarian budaya dan tumbuh kembangnya seluruh aspek

keBetawiandi kota Jakarta. Komplek hunian tersebut yang kini lebih di kenal

dengan nama daerah Setu Babakan, Jakarta selatan

3.6 Hambatan Proses Partisipasi aspirasi masyarakat

Dalam menjalankan fungsinya sebagai actor representasi masyarakat

Betawi peneliti menemukan beberapa kelemabah yang menjadi hambatan bagi

jalannya penyampaian aspirasi dari masyarakat Betawi. Hambatan tersebut akan

di jelaskan melalui sub bab ini yang terbagi dalam beberapa poin kelemahan dan

hambatan dalam proses partisipasi aspirasi dan representasi.

a. Bamus yang bersifat tertutup yang membatasi partisipasi masyarakat

Makna demokrasi yang diterima secara umum adalah kendali rakyat

terhadap urusan-urusan publik dengan berlandaskan hak-hak politik yang sama

[political equality]. Kaum strukturalis berpendapat bahwa kondisi-kondisi

struktural tidak memungkinkan untuk terciptanya demokrasi yang layak. Sebagai

hasilnya, kaum oligarki mempertahankan kekuasaan mereka dan rakyat biasa,

65
tetap mempertahankan kemiskinan mereka. Tapi pandangan lain berpendapat

bahwa kehadiran elit-elit yang tercerahkan dibutuhkan untuk membangun

institusi-institusi representasi yang solid dan pertumbuhan organisasi aliansi dan

warga. Sebelum nantinya mempercayakan sepenuhnya pada massa. Pandangan

terakhir ini semakin terangkat dan umumnya dijadikan acuan tentang demokrasi

pada umumnya dan khususnya untuk pola institusi representasi. 27

Sebagai contoh untuk menggambarkan ketertutupan Bamus adalah tentang

akses masyarakat untuk menduduki dan menentukan siapa saja yang duduk di

kepengurusan. Hal ini menjadi penting karena skema Bamus yang mengharuskan

bagi setiap masyarakat untuk mewakilkan kepentingannya melalui tokoh-tokoh

yang duduk di kepengurusan organisasi. Hal ini juga mendapatkan pengakuan

dari akar rumput organisasi Betawi, hak untuk maju sebagai pengurus dari badan

musyawarah hanya berada di tangan para petinggi dari setiap organisasi

masyarakat. Mengingat faktor penokohan masih sangat kental terjadi di struktur

masyarakat Betawi, maka selain seseorang yang memiliki pengaruh serta posisi

yang kuat di masyarakat tidak akan dapat mengajukan diri atau berusaha secara

langsung menjadi seorang pengurus di badan musyawarah masyarakat Betawi.

Ada jalur keanggotaan yang terputus dari masyarakat Betawi dengan tingkatan

terbawah hingga tertinggi di badan musyawarah Betawi. Jalur partisipasi hanya

sampai pada tingkatan petinggi dari setiap organisasi masyarakat tanpa ada jalur

lain yang menghubungkan antaraBamus dengan masyarakat bawah. Siklus yang

27
Olle tornquist. Sebagai hasilnya, kaum oligarki mempertahankan kekuasaan mereka; dan rakyat
biasa, mempertahankan kemiskinan mereka. (http://www.nefos.org/?q=node/73 accesed on
February 12, 2012)

66
terputus itu tetap di pelihara hingga kini karena hal itu di akui juga berguna untuk

kelangsungan hidup Bamus sendiri, dengan aturan yang membuat ia secara

langsung maupun tidak bersifat elitis dan eksklusif menjadikan posisi Bamus

menjadi sebuah organisasi yang memiliki akar kekuatan yang cukup untuk

menunjukkan taringnya serta kuasanya di tengah kota Jakarta. Bukan hanya dalam

keanggotaan, siklus terputus juga terjadi dalam musyawarah besar Bamus dimana

mubes hanya di hadiri oleh jajaran tertinggi setiap ormas dan dewan pengurus

badan musyawarah masyarakat Betawi.

Selain itu dengan adanya aturan bagi Bamus untuk mempertimbangkan setiap

calon yang bakal menduduki jabatan maka berbagai hal menjadi syarat tak nyata

yang harus di penuhi oleh anggota sesuai dengan kebutuhan Bamus saat itu.

Ketika badan musywarah Betawi merasa sumber daya ekonomi mereka mulai

melemah, maka prioritas utama anggota dalam kepengurusan adalah individu atau

pihak-pihak yang memiliki basis ekonomi yang kuat guna menutupi celah yang

terbuka dalam keorganisasian Bamus. Begitu seterusnya silih beganti sesuai

dengan apa yang di butuhkan oleh Bamus. Hal ini mungkin menjadi hal yang

wajar terjadi di sebuah organisasi tertinggi tetapi tidak memiliki akar sejarah yang

mampu menegaskan kuasanya di masyarakat Betawi. Maka jalur penokohan

dengan menempatkan elit-elit masyarakat dalam kepengurusannya mampu

mendatangkan kesan segan dari seluruh anggota dan seluruh masyarakat Betawi

serta masyarakat Jakarta dan pemerintah.

67
b. Kuasa prioritas masalah di tangan elit

Kemudian selain akses masyarakat terhadap organisasi yang terbatas,

partisipasi juga akan terhambat karena terbentur dengan hal siapa yang memiliki

prioritas masalah untuk menentukan isu mana yang dapat di tindaklanjuti untuk

menjadi program Bamus selanjutnya. Setidaknya dalam tubuh organisasi Bamus

ini terdapat dua aktor kunci yang memegang peranan mengenai penentuan isu

utama dalam proses representasi ini, yaitu ketua Bamus dan tokoh dari setiap

organisasi masyarakat Betawi atau tokoh masyarakat Betawi

Aktor kunci disini adalah mereka yang memiliki peran sentral dalam

keberlangsungan proses kerja Bamus. Termasuk dalam fungsinya nanti ketika ia

mencoba untuk menyalurkan aspirasi masyarakat menuju pemerintah. Dari

penelitian yang telah di lakukan di lapangan, dalam tubuh Bamus sendiri ada dua

pihak yang dapat dikatakan memainkan peran paling penting. Keduanya

memainkan peran masing-masing dan secara berkesinambungan selalu menjadi

yang terdepan dalam penentuan setiap keputusan dalam tubuh organisasi termasuk

menentukan prioritas masalah yang dating dari masyarakat.

1. Pemimpin Bamus

Siapapun yang memimpin organisasi Bamus, maka secara langsung dia

memiliki kuasa dan wewenang untu menentukan sikap dari Bamus. Dalam

kerjanya, peran ketua sangat sentral dalam tubuh Bamus. Pemimpin di tempatkan

dalam skema kerja keseharian sebagai wewenang tertinggi organisasi mengingat

keberadaan dewan pertimbangan yang hanya memberikan saran dan masukan

68
tanpa punya hak untuk melarang dan mencegah pengambilan keputusan. Selain

itu juga, sebenarnya kekuasaan tertinggi berada di tangan rapat

umum/musyawarah besar anggota lima tahunan dimana di dalamnya berkumpul

seluruh organisasi yang menjadi anggota Bamus. Tetapi ini adalah momen lima

tahunan yang tidak mungkin untuk mengontrol jalannya keputusan untuk program

tahunan ataupun program mendadak yang berjalan. Maka wewenang untuk

menentukan dan mengambil sikap berada di tangan pimpinan Bamus.

Wewenang pimpinan Bamus bertambah besar di sebabkan oleh tidak

adanya lembaga di atas pemimpin selain musyawarah besar anggota. Secara

organisasional hanya ada dewan pertimbangan yang sejajar dengan ketua tetapi

tidak memiliki hak terhadap keputusan organisasi seperti telah di jelaskan

sebelumnya.

Dengan demikian keberadaan kesubjektifitasanorganisasi sangat

memungkinkan untuk terjadi, ketika ia harus mengikuti alur yang dimiliki oleh

pemimpin Bamus.

Salah satu contoh ada;ah kedekatan Bamus dengan aktor-aktor politik

dimana kecenderungan suara akan mengikuti siapa pemimpin Bamus dan kemana

ia membawanya. Secara organisasional Bamus menegaskan tidak akan tergabung

atau berafiliasi dengan kelompok atau pihak manapun dalam kehidupan

politiknya. Jika hal itu terjadi, di anggap telah mencederai sifat netralitas Bamus

69
dalam peran dan fungsinya sebagai saluran aspirasi masyarakat. 28 Bamus

berusaha bersifat netral, tidak ada keterikatan antara Bamus dengan jalur politik

praktis, namun hal yang tidak mungkin terlewatkan adalah ternyata sorang-orang

yang selain duduk sebagai anggota pengurus Bamus, mereka juga tercatat sebagai

pengurus atau anggota dari sebuah partai politik. Hal ini tidak dapat di hindari,

mengingat orang perorang yang duduk di Bamus merupakan individu sendiri yang

memiliki pemikiran dan pemahaman politik masing-masing. terkadang secara

tidak langsung Bamus terikat dengan partai politik tertentu melalui sosok seorang

tokoh. Rangkap status yang dimiliki oleh ketua menjadi contoh nyata bahwa pada

kahirnya nanti Bamus juga terlibat dalam politik praktis dan koalisi dengan partai

politik, misalkan seperti ketua umum Bamus saat ini, Nacrowi Ramli selain

menjabat sebagai ketua Bamus Betawi, beliau juga menjabat sebagai ketua dewan

pimpinan daerah (DPD) partai demokrat wilayah Jakarta . Maka melalui sosok

beliau, ada ikatan semu antara Bamus dan partai demokrat. Selain itu jika di rinci

setidaknya ada tiga hal yang di dapat dari setiap relasi yang di bangun oleh

Bamus Betawi dengan pihak lain non pemerintah.

2. Tokoh dari setiap Ormas

Memiliki fungsi untuk mengikat organisasi dari mana ia berasal sehingga

menarik dan mengikat mereka untuk tergabung dalam Bamus. Melalui tokoh-

tokoh inilah Bamus mendapatkan pengakuan dan keakuan dari masyarakat

28
Catatan Penulis: Sebuah aktor representasi sangat di wajibkan untuk bersifat netral dalam

relasi antar kelompok, ia hanya di bolehkan untuk memihak kepada masyarakat melalui aspirasi.

70
Betawi. Dapat di ibaratkan keberadaan setiap tokoh ormas ini untuk menegaskan

adanya system keterwakilan dari setiap anggota masyarakat Betawi dalam tubuh

Bamus. Simblolisasi memang sangat lemah untuk di pakai menjelaskan hal ini,

tetapi hal ini bukan tidak mungkin untuk menggambarkan keterikatan antara dua

pihak yang memutuskan untuk berhubungan dan hidup bersama dalam skema rasa

saling percaya satu sama lain.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui jika secara organiasional peran

pimpinan Bamus yaitu bapak Nacrowi Ramli saat ini sangat sentral dalam

pengambilan keputusan terhadap setiap program kerja Bamus terkait dengan isu

keBetawian. latar belakang dirinya sebagai pejabat teras TNI sedikit banyak

mampu di jadikan sebagai modal untuknya mendapatkan predikat sebagai orang

terpandang. Hal tersebut juga telah terjadi dalam mekanisme kepemimpinan

sebelumnya dimana sumber daya pribadi menjadi faktor penguat utama mereka

untuk menjabat sebagai pimpinan Bamus.

Bersama dengan tokoh-tokoh lain perwakilan dari setiap ormas yang

duduk di pemerintahan inilah selanjutnya menjadi “elit” Bamus dan menjalin

kerja sama dengan aktor dari institusi lain dalam hal ini institusi formal / Negara.

Yang dapat di sederhanakan menjadi beberapa pihak yaitu dinas pariwisata,

pemerintah kota Jakarta dan gubernur Jakarta secara khusus.Tidak semua masalah

dapa si representasikan oleh Bamus, pasti ada yang di jadikan prioritas utama

untuk kemudian di perjuangkan ke pemerintah. Telah di jelaskan sebelumnya

bahwa tidak ada kuasa tertinggi dalam struktur ke organisasian Bamus selain

ketua Bamus, maka secara tidak langsung dalam struktur organisasional ketua lah

71
yang berhak menentukan masalah harian selain tentunya nanti ada rapat anggota

tahunan dan lima tahunan, tetapi itu jika dilihat melalui kacamata structural

formal. Jika kita coba lihat melalui kaca mata politis, maka hal yang di dapatkan

akan lebih kompleks untuk menjelaskan siapa yang berhak menentukan prioritas

masalah karena hal ini nantinya akan terkait dengan siapa yang sesungguhnya

memiliki kuasa di dalam tubuh Bamus di luar struktur organisasional Bamus.

Sehingga kemudian posisi ketua menjadi sangat sentral memiliki pengaruh yang

besar dalam tubuh organisasi.

Dengan demikian peneliti berkesimpulan bahwa, dominasi elit menjadi

kekuatan utama dalam pengorganisasian Bamus. Dimana petinggi Bamus yang di

dalamnya terdapat ketua dan wakil ketua bersama dengan para elit dari setiap

ormas bekerja bersama sebagai pintun utama dan pihak terdepan dalam setiap

kegiatan dan langkah yang akan di ambil oleh Bamus tanpa ada siapapun yang

bisa masuk kedalamnya. Bahkan masyarakat hanya menjadi objek tanpa dapat

mengakses balik secara vertikal dari bawah keatas menuju Bamus. Kekuatan elit

ini bukan sesuatu hal yang mengherankan, karena pada saat kelahiran Bamus saat

masa orde baru, kekuatan elit inilah yang menjadi sumber kuasa Bamus karena

telah menjadi hal yang lumrah bahkan keharusan bahwa sebuah lembaga atau

kelompok atau organisasi cukup di organisir oleh kalangan elit terbatas untuk

menguatkan posisi organisasi tersebut di hadapan masyarakat. Begitupula Bamus,

apa yang mereka lakukan pra reformasi adalah bagaimana menguatkan posisi

mereka di hadapan masyarakat sehingga mendapatkan kuasa serta pengakuan

72
penuh dari seluruh masyarakat Betawi. Yang ternyata tetap terpelihara hingga

sekarang.

Ternyata corak elit dalam tubuh Bamus ini teah mempengaruhi jalur

partisipasi masyarakat yang membuat jalur partisipasi masyarakat Betawi

memiliki skema partisipasi berjenjang tidak langsung dan terbatas. Karena adanya

faktor yang tidak memungkinkan untuk masyarakat Betawi mengakses langsung

Bamus, yaitu sifat Bamus yang elitis yang tertuang dalam sumber kewenangan

Bamus dan adanya ketertutupan secara organisasional dalam tubuh organisasi

yang tetap terpelihara dan dimaknai sebagai sesuatu yang di maklumi oleh

masyarakat Betawi. Sebenarnya, dalam hal inipun terjadi benturan dalam

hubungan antara masyarakat Betawi dan Bamus. Di satu sisi masyarakat

mengharuskan dirinya memiliki jalur akses langsung kepada Bamus agar aspirasi

mereka terjamin secara nyata ada dan di dengarkan oleh organisasi lain, tetapi ada

hal lain yang bertentangan dengan hal tersebut yang tidak mungkin untuk di

tinggalkan oleh Bamus. Dimana ia berkembang dan tetap hidup dengan

menggantungkan diri pada pengakuan bersifat simbolik dan elitis dari masyarakat

agar ia tetap memiliki kekuatan dan kuasa atas masyarakat Betawi. Sehingga

kemudian sifat elitism dalam jalur partisipasi berjenjang tidak langsung dalam

tubuh Bamus di usahakan tetap berjalan sesuai koridornya, karena dengan

demikian ada batas yang memungkinkan untuk masyarakat tidak berbuat lebih

bebas dalam organisasi yang dapat mengancam eksistensi kuasa Bamus.

73
c. Bamus bukan sebuah organisasi fungsional kerja

Dan terakhir, hambatan lain yang muncul dalam proses agregasi

kepentingan masyarakat dakam mekanisme representasi dalam tubuh Bamus ini

muncul dikarenakan keadaan organisasional Bamus yang bukan bersifat

organisasi fungsional kerja, dimana mereka memiliki aturan kerja baku dan jam

kerja yang baku setiap waktu. Bamus hanyalah sebuah forum warga tempat

berkumpulnya seluruh elemen masyarakat Betawi bukan sebuah komunitas yang

memiliki program kerja harian. Bamus hanya aktif secara periodic berdasarkan

skala rapat kerja ataupun musyarah bersama. Hal ini telah di buktikan sendiri oleh

peneliti ketika mendatangi kantor Bamus, di dalamnya sama sekali tidak dapat di

temui ketua dan jajaran pengurus penting lainnya selain penjaga harian yang

hanya beberapa orang. Hal ini di akui oleh penjaga harisan tersebut yang salah

satunya bernama bang andi, ia menyebut bahwa ketua dan jajaran pengurus

lainnya tidak terikat secara baku dalam ikatan kerja seperti di perusahaan ataupun

birokrasi pemerintahan. Mereka adalah tenaga-tenaga sukarela yang memiliki

kesibukan masing-masing yang sewaktu-waktu menyempatkan diri di tengah

kesibukannya untuk mengurus Bamus. Apa yang di simpulkan kemudian oleh

peneliti adalah, bahwa masyarakat tidak dapat mengakes Bamus setiap waktu

kapanpun mereka inginkan dikarenakan keadaan tersebut. Ketiak akses ini tidak

dating setiap waktu maka akan sulit rasanya jika masyarakat melakukan

partisipasi langsung untuk menyampaikan pendapat dan maslaahnya. Maka

kemudian muncullah skema partisipasi berjenjang di dalam tubuh Bamus mulai

dari masyarakat Betawi. Dimana masyarakat mencari pihak-pihak yang kapanpun

74
mereka bisa cari yang memiliki jam kerja tetap dan pengrus tetap serta sebuah

komunitas yang memiliki program kerja tetap. Salah satunya adalah organisasi-

organisasi massa keBetawian seprti forkabi, lkb dan lain-lain yang memiliki

kantor dan pengurus tetap.

Setelah di atas di jelaskan bagaimana partsisipasi dan akses masyarakat

terhadap Bamus berjalan termasuk apa saja yang menjadi penghambatnya, maka

di bagian selanjutnya akan di gambarakan dengan keadaan seperti itu bagaimana

bentuk representasi aspirasi itu berjalan jika dilihat dari kaca mata konsep pola

representasi perwakilan yang di gagas oleh Pitkin.

3.7 Pola Representasi Alternatif

Setelah melihat berbagai hal di atas, mulai dari partisipasi masyarakat,

perjuangan aspirasi hingga hambatan yang muncul, di dalam pembahasan sub bab

ini kita dapat melihat pola yang terbentuk dalam tubuh Bamus berdasarkan pola-

pola representasi yang di gagas oleh Pitkin. Ketika Bamus lebih condong

menggunakan satu pola maka nantinya akan mempengaruhi lebih jauh proses

representasi yang dilakukan oleh Bamus di hadapan pemerintah, karena ketika

pola itu menjelaskan sifat dari sebuah lembaga dalam menjalankan fungsi

representasinya.

Penulis akan mencoba menjelaskan secara sekilas tentang pola apa yang di

pakai oleh Bamus Betawi sebelum kemudian di lakukan analisis untuk

membuktikan apakah Bamus menerapkan ketiganya secara menyeluruh ataukah

ada satu pola yang menjadi pola utama dalam proses representasi aspirasi Bamus.

75
1. Representasi Simbolik

Dalam model representasi simbolik ini, pokok utama dari sebuah

organisasi yang mewakili adalah tingkat penerimaan dan pengakuan dirinya oleh

konstituen yang memilih untuk di wakili olehnya. Selain itu representasi simbolik

juga menjadikan keadaan dimana wakil di ibaratkan telah mewakili konstituen

tanpa harus ada pertukaran aspirasi langsung dari konstituen, selama ia telah

memegang kuasa, kewenangan dan keakuan dari konstituen maka apapun yang

dilakukan olehnya adalah sebuah cerminan dari keinginan masyarakat luas.

2. Representai Deskriptif

Representasi Deskriptif dapat di jelaskan ketika wakil bergerak

berdasarkan kesamaan isu dan kesamaan identitas yang membelakangi setiap

masalah yang akan di perjuangkannya nanti ke pemerintah. Kesamaan identitas ini

memunculkan faktor pembentuk lain dari alas an terbentuknya sebuah organisasi

perwakilan non formal yaitu yang pertama sebuah organisasi perwakilan terbentuk

karena kesamaan nasib dalam satu ranah publik yang di alami oleh masyarakat,

misalnya ekonomi kesehatan dan politik. Yang kedua adalah institusi representasi

terbentuk karena adanya kesamaan identitas baik budaya maupun agama. Untuk

hal ini lebih kepada ruang lingkup kerja mereka dimana isu-isu yang di

perjuangkan hanya mencakup komunitas yang di wakilinya yang berasal dari satu

identitas berbeda dengan representasi lain yang bergerak berdasarkan isu yang

melampaui batas identitas.

76
3. Representai Substantif

Dan terakhir adalah pola Representasi Substantif, dimana intitusi

representasi memperjuangkan aspirasi masyarakat hingga sedapat mungkin masuk

menjadi sebuah kebijakan. Berkebalikan dengan representasi simbolik,

representasisubstantif sering disebut sebagai pola representasi yang baik karena

didalamnya ada mekanisme aspirasi dan penyampaian kepentingan dari

masyarakat sebagai konsttituen kepada wakil. Keberadaan wakil bukan hanya

sebatas sebagai sebuah symbol yang mewakili keberadaan dari sebuah entitas

masyarakat tertentu. Tetapi keberadaannya benar-benar menegaskan adanya jalur

bagi masyarakat untuk menyampaikan kepentingannya kepada Negara.

Perbeadaan terbesar dari pola reopresesntasi simbolik dengan pola

representasisubstantif ini terletak pada sejauh mana partisipasi masyarakat untu

menyampaikan aspirasinya kepada wakil, dan sejauh mana ia dapat mengakses

wakil tersebut secara langsung.

Gambaran pola representasi di atas akan coba peneliti benturkan dengan

keadaan-keadaan dalam tubuh Bamus yang telah di jelaskan sebelumnya untuk

mengetahui dan menarik kesimpulan pola apa yang dilakukan oleh Bamus di

antara ketiga pola tersebut.

3.7.1 Pola Representasi Bamus

Jika melihat gambaran Bamus melalui pola representasi yang di

perkenalkan oleh pitikin di atas, gambaran faktor latar belakang serta hal-hal yang

menjadi ciri khas Bamus mampu menjelaskan bahwa Bamus sebagai sebuah

77
institusi representasi secara organisasi yang dilihat melalui apa yang mereka

orang-orang Bamus katakan memanng mampu menjelaskan semua pola tersebut.

Tetapi kemudian kita tidak dapat secara langsung berkesimpulan apakah ia telah

menjelaskan dan menjalankan pola-pola yang di perkenalkan oleh pitkin tentang

sebuah pihak untuk menjadi sebuah agen representasi aspirasi masyarakat apalagi

jika di hubungkan dengan mekanisme jalur representasi di lapangan dan hambatan

yang di hadapi oleh Bamus dalam menjalankan perannya sebagai jalur

representasi masyarakat Betawi, maka di dapat sebuah kesimpulan baru yang

mampu memberikan gambaran berbeda jika di bandingkan dengan hanya melihat

indikator-indikator organisasional yang di miliki oleh Bamus, indikator “politis”

di atas yang akan di coba untuk menjelaskan pola representasi yang berjalan

dalam tubuh Bamus dengan melihat hambatan-hambatan yang di hadapi olehnya.

Melihat dari ketiga pola yang di perkenalkan, tidak ada masalah dengan

representasi deskriptif karena hal tersebut merupakan sebuah kewajaran dimana

sebuah aktor representasi bergerak berdasarkan kesamaan isu dan permasalahan.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa Bamus telah mmenerapkan pola representasi

deskriptif. Tetapi kemudian yang menjadi hal yang penting untuk di bahas adalah

adanya hal-hal yang bertolak belakang antara representasi substantif dan simbolik.

Dimana keduanya merupakan sesuatu yang ahrsu menjadi modal dan harus di

jalankan oelh sebuah agen representasi. Sehingga kemudian kesimpulan yang di

dapat adalah, apakah agen tersebut telah menjalankan fungsi representasi

substantif ataukah ia hanya berproses menjadi sebuah agen simbolik yang

mengatasnamakan masyarakat.

78
Representasi substantif, terkait dengan bagaimana agen tersebut mampu

menmfungsikan dirinya secara substansi dimana isu-isu yang berada di

masyarakat yang menjadi aspirasi masyarakat benar-benar menjadi tujuan dan

konsentrasi kerja mereka. Hanya dalam lingkup itulah agen tersebut bekerja, dan

dalam pola representasi substantif ini masyarakat mendapatkan perhatian yang

lebih dan kuasa berada di tangan masyarakat yang memberikan kuasa dan

wewenang kepada sebuah organisasi untuk memperjuangkan

Pitkin menjelaskan bahwa representasi atau keterwakilan yang baik bukan

hanya representasi secara simbolik melainkan juga representasi secara substantif.

Maksudnya mereka yang di berikan mandat jangan sekedar mewakili masyarakat

secara formalis, lebih penting para wakil ini harus melakukan sesuatu secara

substantif untuk masyarakat.

Untuk melihat hal tersebut ada dua indikator yang di lakukan, jika ia

merupakan sebuah bentuk representasi simbolik, siapa yang ia wakili atau jika di

balik keberadaannya menjadi simbol siapa sehingga ia mendapatkan mandat untuk

menjalankan fungsi-fungsi representasi. Kemudian untuk melihat apakah ia telah

melakukan pola representasi substantif, maka pertanyaan yang muncul kemudian

adalah apa materi yang ia bawa yang menjadi dasar dan landasan dalam setiap

program kerjanya. Kepentingan siapakah yang di perjuangkan oleh organisasi

tersebut dan apakah masyarakat mempunyai dan merasa keberadaan agen tersebut

telah mampu membawa dan memperjuangkan aspirasi dari setiap permasalahan

yang mereka hadapi. Dan jika ia merupakan sebuah bentuk pola representasi

79
substantif, hal apa saja yang ia lakukan untuk masyarakat dan berdasarkan aspirasi

masyarakat.

Secara simbolik, Bamus menegaskan bahwa ia merupakan perwujudan

dari entitas keBetawian yang dengan keberadaannya maka masyarakat Betawi

terwakili dan di wakili. Symbol-simbol seperti ini menjadikan Bamus menjadi

sebuah organisasi yang memiliki kuasa sendiri untuk menentukan arah

kepentingan masyarakat Betawi dikarenakan ada mekanisme pelimpahan

wewenang di dalamnya yang ia dapat dari masyarakat Betawi. Sehingga apapun

keputusan yang di ambil kelak maka dapat di asumsikan sebagai perwujudan dari

aspirasi masyarakat Betawi secara keseluruhan. Konsep mewakili dan di wakili

dalam pola di dasari oleh pemberian kuasa dan pengakuan yang menjadi modal

utama organisasi tersebut bekerja. Mekanisme perwakilan kemudian menjadi

sesuatu hal yang sangat utopis jika hanya di gambarakan melalui representasi

simbolik ini, ada jalur penyaluran aspirasi yang tertahan dalam mekanisme

representasi meskipun ini ada di dalam sebuah organisasi informal yang di

tempatkan sebagai sebuah jalur representasi alternative. Kecenderungan kemudian

adalah di tandai dengan adanya istilah satu kepentingan yang mewakili seluruh

kepentingan masyarakat. Selain itu dalam pola representasi ini juga, Bamus hanya

menegaskan keberadaannya sebagai perwakilan Betawi di hadapan pemerintah.

Tanpa harus membawa isu-isu yang terkait dengan keBetawian, maka Bamus

sebagai payung tertinggi dalam struktur masyarakat Betawi di rasa cukup untuk

menjelaskan bahwa Betawi itu ada karena Bamus ada.

80
Keadaan ini kemudian tepat untuk menjelaskan bagaimana Bamus hidup

dan bekerja di awal kelahirannya hingga nanti bertemu dengan masa reformasi.

Dikatakan secara sederhana jika Bamus adalah symbol/perlambang dari

masyarakat Betawi yang kemudian di gunakan oleh pemerintah untuk

berhubungan dengan masyarakat Betawi secara umum. (hal ini akan di gambarkan

lebih jelas dalam pembahasan bab berikutnya tentang hubungan Bamus Betawi

dengan pemerintah).

Melacak apakah sebuah agen representasi menerapkan pola representasi

simbolik ini tidak lah membutuhkan bukti yang banyak, dikarenakan menurut

Pitkin sendiri, ada kegagalan representasi dalam pola representasi simbolik ini

dikarenakan tidak adanya mekanisme input dari masyarkat sebagai konstituen

yang di wakilinya. Tetapi kemudian dalam pembahasan penelitian ini akan lebih

di telusuri lebih jauh apakah Bamus melakukan dan telah melakukan fungsi-

fungsi yang sesuai dengan peran yang harus di pikul oleh sebuah jalur representasi

sesungguhnya yaitu representasi dengan membawa substansi di dalamnya bukan

hanya sekedar menjadi symbol bagi keberadaan pihak yang di wakilinya. Karena

menurut Pitkin, jalur representasi yang baik adalah adanya jalur yang

memungkinkan adanya masukan-masukan dan masalah yang benar-benar berasal ,

dirasakan dan di butuhkan oleh masyarakat. Untuk melacak hal tersebut kemudian

di telursuri lah apakah Bamus telah melakukan sebuah pekerjaan atau kegiatan

yang didalamnya bergerak karena isu-isu yang ada di tataran masyarakat Betawi.

Rumusan masalah kemudian berasal dari aspirasi masyarakat secara langsung

81
sehingga ada keterlibatan partisipatif bagi masyarakat untuk memperjuangkan

kepentingannya.

Sebuah jalur representasi yang di kenal sebagai yang terbaik dalam kaca

mata Pitkin adalah representasi yang bersifat substantif. Maka substantsi apa yang

di bawa Bamus sehingga ia dapat di golongkan telah menjalankan representasi

substantif, beberapa kasus dan kegiatan telah peneliti temukan yang dapat di

gunakan untuk menggambarkan fungsi mereka sebagai sebuah jalur aspirasi

masyarakat Betawi dan sebagai sebuah saluran representasi masyarakat. Yang

pertama adalah dengan menjadikan budaya Betawi sebagai substansi dalam

representasi yang dilakukan Bamus

Jika kita melihat berdasarkan program kerja maka telah dapat disimpulkan bahwa

Bamus telah menjalankan tugasnya sebagai sebuah institusi yang menjalankan

fungsi-fungsi representasi terkhusus pola representasi substantif. Dari dua kasus di

atas telah dapat menggambarkan bagaimana dan apa yang menjadi dasar

kepentingan Bamus untuk berjuang dan bekerja. Tetapi kemudian mungkin kita

akan dapat kesimpulan lain yang berbeda ketika kita mencoba untuk melihat dan

menghubungkannya dengan hambatan yasng telah di jelaskan di atas yang terjadi

dalam proses representasi aspirasi ini.

Berdasarkan penjelasan di atas, jika di sederhanakan maka hambatan yang

terjadi dalam proses representasi ini yaitu, tidak adanya aturan tertulis mengenai

kewenangan dan kuasa yang di berikan oleh masyarakat kepada Bamus,

penokohan yang sangat kuat dalam tubuh organisasi, dimana keseganan dan

82
peng”kultusan seorang tokoh masyarakat Betawi menjadi sumber kepercayaan

masyarakat untuk mempercayakan kepentingannya di perjangkan oleh Bamus.

Kedua hal ini menjadi hambatan yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pola

representasi yang di jalankan Bamus nantinya.

Hambatan yang pertama adalah tentang kewenangan dan kuasa yang tidak

tercantum dalam aturan tertulis, maka kemudian representasi subtsatnsi menjadi

seusatu yang tidak selamanya dan selalu berjalan dalam mekanisme ini, karena

kuasa yang tidak terikat ini masyarakat dapat memilih dan memiliki hak kapan

dan bagaimana ia membutuhkan Bamus untuk memperjuangkan kepentingannya.

Ketika mereka rasa Bamus tidak mampu, maka mereka akan memilih jalan lain

untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Meskipun secara simbolik, Bamus tetap

menjadi cerminan mereka sebagai sebuah entitas keBetawian. trust atau

kepercayaan ini kemudian sangat erat kaitannya dengan representasi simbolik,

dimana masyarakat membutuhkan symbol-simbol yang mampu membuat mereka

mempercayai dan rela untuk menaruh aspirasinya ke dalam Bamus, selain itu

kehadiran symbol-simbol ini juga membuat Bamus mampu mengikat masyarakt

agar tidak berpaling untuk mempercayakan masalahnya kepada pihak lain.

Kembali ke soal kewenangan tadi, selama ini bukan tidak pernah hal ini terjadi

dimana masyarakat kehilangan kepercayaan kepada Bamus. Pernah ada kasus

dimana FBR sebagai salah satu ormas terbesar di Betawi tidak mengakui

keberadaan Bamus di karenakan mereka tidak percaya Bamus mampu benar-benar

secara murni memperjuangkan kepentingan masyarakat Betawi. Ketidakpercayaan

ini di landasi karena, FBR merasa, elit dan kelompok terbatas lah yang memegang

83
kuasa penuh di Bamus dimana kepentingan masyarakat tidak mungkin untuk

terserap dan di perjuangkan. Semalinkan kepentingan elit tersebut lah yang

dijadikan sebagai sebuah cerminan seluruh aspirasi masyarakat (representasi

simbolik). Hal ini kemudian berkaitan dengan hambatan yang kedua dimana

simbolisasi figur menjadi sesuatu yang sangat kuat dan telah mengakar kuat dalam

tubuh Bamus sendiri. dimana tokoh dijadikan panutan dan cerminan tentang kuasa

yang di berikan oleh masyarakat (lihat bab 2, tentang sumber daya kuasa Bamus).

Hal ini kemudian sangat riskan untuk menimbulkan terjadinya apa yang di

khawatirkan terjadi dalam seluruh mekanisme representasi. Seperti kasus FBR di

atas, meskipun mungkin keluhan ini hanya berasal dari satu ormas di antara

puluhan ormas yang telah bergabung dengan Bamus, tetapi hal tersebut seakan

memberikan gambaran bahwa ada kemungkinan besar untuk terjadinya sebuah

keadaan yang menajdikan Bamus justru lebih cenderung menjalankan pola-pola

representasi simbolik.

Melalui penokohan tersebut, kemudian ada scenario dimana setiap tokoh

mewakili organisasi dan masyarakat yang mendukungnya. Misalkan, bang dayat s

sebagai perwakilan LKB (lembaga kebudayaan Betawi). Ia di tasbihkan sebagai

pembawa kepentingan LKB secara mutlak, meskipun mungkin disadari atau tidak

mungkin ada kepentingan pribadi yang masuk kedalamnya. Penegasan bahwa

setiap tokoh yang duduk di kepengurusan Bamus telah membawa kepentingan

masyarakat yang di wakilinya masing-masing, menjadi sesuatu yang

memberatkan untuk menjelaskan Bamus telah menjalankan proses representasi

substantif secara utuh dan menyeluruh. Meskipun ada substansi yangs sejalan

84
dengan keinginan masyarakat yang di perjuangkan oleh Bamus kepada

pemerintah, tetapi mekanisme aturan main yang ada dalam struktur

kemasyarakatan Betawi umumnya dan Bamus khususnya dimana masyarakat

dalam mengakses Bamus harus melalui tokoh-tokoh tersebut, maka menjadi

sebuah hal yang niscaya representasi substansi berjalan sesuai kaidah yang di

gambarkan oleh Pitkin meskipun bukan tidak mungkin hal tersebut dapat tetap di

jalankan

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Bamus sebagai sebuah

organisasi yang menjalankan fungsi-fungsi representasi telah menjalankan pola

representasi substantif secara prosedural, tetapi simbol-simbol dan penokohan

terhadap elit terbatas menjadi hal utama yang terdapat dalam tubuh Bamus yang

mengindikasikan bahwa ada kecenderungan bagi Bamus untuk lebih sering

menjalankan peran dalam koridor simbolisasi representasi.

Menelaah apakah sebuah institusi representasi (intermediary) menjalankan

pola-pola representasi substansi ataukah simbolik, tidak dapat digambarkan hanya

dengan melihat apa yang tersirat dalam kerja organisasi tersebut. Meskipun ia

telah berjalan di dalam koridor kepentingan maysarakt, tetapi ada petimbangan

lain yaitu mekanisme dan aturan main bagaimana kepentingan itu sampai ke meja

organisasi tersebut sebelum akhirnya disampaikan ke meja pemerintah. Aturan

main partisipasi menjadi sebuah poin penting yang sangat berpengaruh dan

berhubungan dengan pola-pola representasi yang di perkenalkan oleh Pitkin di

atas.

85
Bab IV

Bamus dan Pemerintah:

Proses Penyampaian Aspirasi Kepada Pemerintah

4.1 Pengantar

Dalam bab ini akan di jelaskan tentang bagaimana aspirasi masyarakat

yang sebelumnya telah terkumpul di Bamus di sampaikan dan di perjuangkan

hingga meja pemerintah kota Jakarta. Termasuk di dalamnya strategi apa saja

yang di lakukan oleh Bamus dan hambatan yang di terima

Pembahasan akan di mulai dengan jalur yang di pilih Bamus untuk

mengakses pemerintah kota Jakarta. Peneliti membagi dua jalur ini, yaitu jalur

formal kelembagaan melalui dinas pariwisata dan kebudayaan DKI Jakarta, dan

jalur nonformal dengan pendekatan personal melalui gubernur Jakarta. Setelah itu

akan dijelaskan bagaimana mekanisme kerja kedua belah pihak yaitu Bamus dan

pemerintah termasuk didalamnya akan di jabarkan kasus yang melibatkan

hubungan antara Bamus dan pemerintah tadi. Ini permasalahan dari bab ini adalah

melacak bagaimana strategi Bamus untuk menciptakan akses kepada pemerintah

dan membangun hubungan dengan pemerintah, yang akan dimulai dengan

pembahasan mengenai jalur yang dipilih oleh Bamus untuk melakukan

pendekatan dengan pemerintah.

86
4.2 Jalan yang Dipilih Bamus Untuk Mengakses Pemerintah

Peneliti menemukan fakta bahwa ada dua jalan yang di gunakan Bamus

untuk mengakses pemerintah guna memperjuangkan aspirasi masyarakat Betawi.

Yaitu jalan melalui dinas pariwisata dan kebudayaan dan jalan melalui gubernur

Jakarta. Meskipun secara prosedur dan aturan mainnya, Bamus secara resmi

hanya menjadikan dinas pariwisata sebagai saluran mereka untuk menyampaikan

masalah-masalah keBetawian sedangkan jalan melalui gubernur Jakarta hanyalah

bersifat pendekatan secara personal dan bukan merupakan sebuah jalur resmi,

pendekatan ini dilakukan utuk memudahkan realisasi aspirasi masyarakat Betawi

oleh pemerintah mengingat adanya kelemahan yang terjadi jika melalui jalur

formal kelembagaan dinas pariwisata dan kebudayaan DKI Jakarta.

4.2.1 Pendekatan kelembagaan melalui dinas pariwisata dan kebudayaan

Pendekatan sintitusional memiliki maksud bahwa Bamus secara formal

menghubungi loembaga terkait dari pemerintah kota Jakarta untuk menyampaikan

apa yang sebelumnya telah menjadi masalah di masyarakat Betawi. Jalur

kelembagaan formal ini tergambar melalui konsep hubungan institusi formal dan

informal. Perlu di ketahui, di kota Jakarta pihak yang berwenang untuk mengurus

hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan adalah dinas pariwisata dan

kebudayaan provinsi Jakarta. Termasuk Betawi yang menjadi bagian dari setiap

program kerja dari dinas pariwisata dan kebudayaan ini,. Tetapi kemudian

muncullah Bamus yang memiliki fungsi khusus sebagai pejuang kepentingan

masyarakat Betawi yang seharusnya menjadi konstentrasi dari dinas pariwisata

87
dan kebudayaan. Kemunculan Bamus di tempatkan sebagai pelengkap dari dinas

pariwiata dan kebudayaan provisnis DKI Jakarta, dikarenakan ada keterbatasan

ruang lingkup kerja dari lembaga tersebut jika harus lebih mengurus Betawi yang

membutuhkan perhatian khusus di kota Jakarta. Selain karena institusi kedinasan

yang lebih bersifat top down, tanpa bisa masyarakat ikut serta dalam setiap

pemutusan program kerja dinas pariwisata dan kebudayaan, ruang lingkup yang

luas yang tidak hanya mengurus masalah Betawi melainkan seluruh aspek

kehidupan masyarakat Jakarta yang terkait dengan budaya dan pariwisata

sehingga tidak mungkin untuk masyarakat Betawi mendapatkan perhatian secara

khusus dari pemerintah. Jika dihubungkan dengan konsep hubungan antara

informasl institution dan formal institusion yang di gagas oleh levitsky, dimana

Bamus di tempatkan sebagai sebuah informal institution dan dinas pariwisata dan

kebudayaah provinsi DKI Jakarta sebagai formal institution nya, maka pola yang

dapat menggambarkan hubungan keduanya adalah complementary yaitu saling

melengkapi.

Menurut Teori Steven Levitsky, seperti yang telah penulis jelaskan pada

bagian landasan teori interaksi komunitas terhadap negara akan menimbulkan

dampak berupa fenomena sosial dan politik yang berbeda di setiap tempat dan

waktunya sebagai akibat dari interaksi tersebut sedikitnya terdapat empat pola

relasi yang terjadi antara institusi informal (komunitas) terhadap institusi formal

(dalam hal ini negara), diantaranya :

88
1. Complementary, di mana dalam tipologi ini institusi informal melengkapi

institusi formal (negara.)

2. Substitusi, di mana dalam pola ini institusi informal menggantikan institusi

formal negara yang dikarenakan institusi negara tidak berjalan efektif.

3. Accomodating, pola relasi ini terjadi bilamana apabila kapasitas Negara

berjalan efektif, namun pola relasi antara komunitas terhadap negara bersifat

menjauh sehingga muncul akomodasi institusi komunitas terhadap institusi

negara. Hal ini berarti institusi komunitas dapat menciptakan peraturan yang

bersumber dari norma / nilai komunitas untuk mengatur perilaku anggota atau

warganya, dengan secara tidak langsung merubah nilai substantif dari peraturan

formal. Sehingga yang terjadi adalah peraturan komunitas itumenegakkan aturan

formal negara.

4. Pola yang terakhir dalam institusi ini adalah competing, pola seperti ini erjadi

bilamana kapasitas negara tidak efektif, tetapi pola relasi antara komunitas

terhadap negara bersifat menjauh yang akhirnya memnyebabkan institusi

komunitas berkompetisi dengan institusi negara. Selain itu pola relasi ini muncul

dikarenakan institusi formal (negara) tidak berdaya menjalankan fungsinya

sehingga muncul perlawanan dan pelanggaran terhadap peraturanperaturan

formal. 29

Bila melihat skema kerja Bamus dari awal pembentukannya hingga

sekarang termasuk adanya pergeseran fungsi dan peran dalam dirinya, maka dapat

di lihat dengan jelas bahwa pola relasi yang terbangun adalah bersifat

29
Helmke Gretchen, Levitsky Steven, Political Science Informal Institutions And Democracy(
Lesons From Latine America. 2006) 6

89
complementary yaitu sebagai pelengkap dari institusi Negara yang telah ada yang

tidak mampu menjalankan fungsi-fungsi kerja yang di butuhkan untuk

mengakomodasi kepentingan dan keinginan masyarakat. Hal tersbeut dapat kita

lihat dalam table kerja Bamus dimana sebenarnya urusan kebudayaan telah di

pegang oleh dinas pariwisata dan kebudayaan pemerintah provinsi DKI Jakarta

dimana Negara melalui isntitusi tersebut menjalankan fungsinya untuk melakukan

pengembangan, pemeliharan dan pemberdayaan bidang yang menjadi

konsentrasinya. Tetapi kemudian hal tersebut di rasa kurang oleh masyarakat

untuk mencakup unsur-unsur keBetawian secara khusus. Karena sifat dari sebuah

institusi formal kelembagaan adalah fokus kerja yang bersifat umum tidak hanya

pada satu bagian atau satu wilayah cakupan saja. Maka keberadaan sebuah

lembaga yang mampu melengkapi dinas pariwisata dan kebudayaan tadi khusus

untuk menunjang kepentingan masyarakat Betawi dan budaya Betawi mutlak di

butuhkan. Selain itu keberadaan saluran baru itu juga di akui telah menjadikan

masyarakat memiliki jalur kepentingan mandiri yang dapat di percaya dan mampu

mebawa kepentingan tersebut hingga akhirnya menuju pemerintah.

Jalur representasi melalui dinas pariwisata dan kebudayaan provinsi

Jakarta merupakan jalur umum yangs sering dipakai dan telah tercatat dalam

peraturan tertulis yang tercantum dalam tata aturan kerja organisasi Bamus no 12

tahun 2004 yang menjelaskan, jika Bamus menjadikan dinas pariwisata dan

kebudayaan sebagai mitra kerja setiap program dan menjadi saluran utama bagi

Bamus untuk menyampaikan segala masalah keBetawian kepada pemerintah.

Menurut aturan tersebut, peneliti simpulkan keberadaan Bamus hanya berperan

90
sebagai pengumpul aspirasi dair masyarakat Betawi yang tidak mampu dilakukan

oleh dinas pariwisata dan kebudayaan pemerintah provinsi DKI Jakarta.

Sedangkan proses hingga menjadi sebuah keputusan tetap harus melalui tahapan-

yahapan proses kelembagaan yang umum terjadi dalam struktur pemerintahan

formal.

Kelebihan pendekatan memalui jalur ini adalah, Bamus berada di posisi

yang jelas baik berupa tugas yang harus di jalankan maupun kemana Bamus harus

membawa aspirasi yang telah mereka kumpulkan dari mayarakat. Sehingga tidak

ada saat dimana Bamus kebingungan harus kemana membawa setiap

permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Betawi. Selain itu, karena bersifat

mitra dan bagian tidak langsung dari dinas pariwisata dan kebudayaan, maka

terkadang Bamus mendapatkan bantuan atau subsidi bagi setiap program kerja

yang akan di jalankan.

Tetapi terkait dengan proses representasi dan perjuangan aspirasi Bamus

menemukan titik hambatan dan kelemahan di jalur resmi ini. Yaitu terkait dengan

posisi tawar Bamus di hadapan dinas pariwisata da kebudayaan, meskipun Bamus

menempatkan dinas pariwisata dan kebudayaan provinsi DKI Jakarta sebagai

mitra kerja, tetapi tidak sebaliknya bagi dinas pariwisata dan kebudayaan

menganggap Bamus adalah isntrumen pembantu dalam pelaksanaan fungsi dan

peran kelembagaan yang di embannya. Perbedaan dan benturan logika ini ternyata

peneliti temukan memang banyak terjadi di setiap hubungan antara sebuah

institusi formal dan informal. Dimana bagi institusi informal, kesetaraan dan

pengakuan akan posisinya menjadi focus yang di inginkannya sedangkan bagi

91
institusi formal logika kuasai dan yang menguasai menjadi sebuah hal wajib

ketika terjadi hubungan dengan pihak manapun. Selain itu ternyata ada keadaan

yang peneliti temukan di lapangan bahwa Bamus sendiri akhirnya memiliki

ketergantungan pada dinas pariwisata dan kebudayaan tadi, dimana telah

dijelaskan di atas sebagai mitra, pemerintah melalui dinas pariwisata dan

kebudayaan memberikan subsidi bagi setiap program kerja Bamus. Peneliti

merasa Bamus tidak sepenuhnya dapat terlepas dari subsidi tersebut, bahkan

peneliti menemukan data lain yang menguatkan akan hal ini yaitu adanya subsidi

tahunan rutin dari pemerintah melalui dinas tadi hamper sebesar satu milyar

rupiah.

Kesimpulannya adalah, melalui pendekatan ini jalur representasi aspirasi

disalurkan melalui satu pihak yang berwenang akan hal tersebut yang mewakili

pemerintah untuk menjawab dan menindaklanjuti aspirasi kepentingan yang

masuk. Dapat dikatakan, pendekatan ini adalah yang umum terjadi dan pasti

dilakukan oleh siapapun lembaga yang memfungsikan diri sebagai sebuah jalur

representasi non formal. Tetapi dalam kasus Bamus ini peneliti menemukan

sebuah kenyataan bahwa selain mengakses melalui jalur ini, Bamus juga

melakukan pendekatan secara intensif yang bersifat non formal yaitu pendekatan

personal melalui pemimpin daerah yaitu gubernur DKI Jakarta.

4.2.2 Pendekatan personal melalui gubernur Jakarta

Tidak dapat dipungkiri kedudukan seorang pemimpin tetap memiliki

pengaruh sentral di struktur kepemerintahan. Begitupula di wilayah Jakarta,

92
keberadaan gubernur masih memiliki pengaruh yang sangat besar dalam system

kepemerintahan daerah. Mengingat posisinya tersebut, maka Bamus memiliki

kepentingan untuk mendayagunakan akses langsung terhadap gubernur Jakarta

sehingga setiap masalah yang di bawa oleh Bamus akan lebih di prioritaskan

untuk di tindaklanjuti lebih jauh dalam realisasi kebijakan. Apa yang menjadikan

pendekatan ii mungkin terjadi adalah adanya kenyataan bahwaBamus di pimpin

oleh orang-orang yang menjadi tokoh-tokoh penting di seluk beluk kota Jakarta.

Posisi Gubernur Jakarta yang memiliki peran penting dan kuasa di kota

Jakarta coba di manfaatkan oleh Bamus untuk dapat memudahkan perjuangannya

untuk merubah aspirasi masyarakat Betawi menjadi sebuah kebijakan. Salah satu

yang memudahkan akses Bamus secara personal kelembagaan dengan gubernur

Jakarta adalah dengan memberikan dukungan terhadap bakal calon gubernur

Jakarta yag di anggap memiliki perhatian dan konsentrasi lebih terhadap

permasalahan keBetawian. selain itu posisi gubernur Jakarta juga sangat sentral

bagi Bamus, hal ini di ungkap oleh ketua `Pengurus Pusat Persatuan Masyarakat

Jakarta M.H Tamrin (Permata MHT) H. A Sjarief Mustafa yang menyatakan

bahwa “Pemimpin Bamus mendatang harus sejalan dengan pola pikir gubernur

DKI Jakarta yang notabene perwakilan dari masyarakat Betawi. Hal ini penting,

agar terbangun sinergi yang baik antara Bamus dengan kebijakan pemprov DKI

Jakarta. 30 Melalui pernyataan tersebut peneliti saat itu berkesimpulan bahwa

posisi gubernur menjadi sangat penting bagi keberadaan Bamus dan menjadi hal

yang penting ketika Bamus berusaha sebisa mungkin untuk “merebut” posisi
30
H. A Sjarief Mustafa Ketua Permata MHT. Wawacara tanggal 15 oktober 2011. Pukul 10.00.
kantor pengurus permata MHT, Taman Ismail Marzuki Jakarta.

93
gubernur dan menempatkan orang-orang yang mendukung Bamus dan masyarakat

Betawi pada umumnya.

Hal itu di dasarkan kepada kesulitan yang sekiranya akan muncul ketika

Jakarta tidak di pimpin oleh seseorang yang mengerti dan menaruh perhatian pada

kehidupan masyarakat Betawi. Selain tidak ada program yang di canangkan untuk

masyarakat Betawi secara langsung, Bamus juga mengalami kesulitan untuk

merealisasikankepentingan masyarakat Betawi menjadi kebijakan pemerintah

karena masalah keBetawian yang di angkat tidak menjadi sebuah isu prioritas

oleh pemerintah yang harus segera di tindak lanjuti menjadi sebuah program dan

keputusan . Oleh karena alasan itu Bamus dengan tegas dan terbuka

“memperjuangkan untuk mendapatkan” kursi kepemimpinan provinsi Jakarta

melalui calon-calon yang di dukung untuk menjadi gubernur DKI Jakarta.

Dukungan dalam perncalonan ini buka dimaksudkan sebagai bentuk control

Bamus terhadap pemerintah. Semua ini sebagai salah satu cara bagaimana

kedepanya nanti Bamus dapat leluasa berhubungan dan menghubungkan diri

dengan pemerintah. Dengan menempatkan dan mendukung calon yang terpilih

nantinya secara tidak langsung Bamus akan mendapatkan sebuah keuntungan

sepertiadanya keselarasan program yang sejalan antara program Bamus dengan

pemerintah sehingga proses perjuangan kepentingan masyarakat Betawi dapat

bekerja tapa harus melalui tahapan-tahapan panjang kelembagaan di pemerintah

Jakarta.

Selain itu sebagai salah satu strategi yang dilakukan oleh Bamus untuk

memudahkan fungsinya sebagai lembaga represesntasi masyarakat Betawi. Kursi

94
kepemimpinan di daerah Jakarta dianggap sebagai posisi strategis dan sangat

menguntungkan bagu keberlangsungan dan kemajuan Betawi. Dengan

menempatkan wakil secara langsung maka kesulitan-kesulitan mencari saluran

kepemerintah bisa diciptakan dan dapat di akses setiap saat. Melalui program

individu gubernur yang berasal lingkungan dekat Bamus atau masyarakat Betawi

maka perjuangan masyarakat Betawi dapat dikatakan telah mencapai puncak,

dimana suara gubernur diharapkan dapat membawa suara Bamus dan masyarakat

Betawi dalam setiap rencana kerja pemerintah dan kepentingan keBetawian akan

tegambarakan secara langsung melalui visi misi pemimpin dan di realisasikan

melalui program-program pemerintah daerah DKI Jakarta.

Setelah diketahui jalan mana saja yang di tempuh oleh Bamus untuk

berhubungan dengan pemerintah maka selanjutnya akan dijelaskan mengenai

ruang keterlibatan yang di sediakan oleh pemerintah bagi Bamus.

4.3 Ruang Keterlibatan Bamus dalam Pemerintah

Ruang keterlibatan ini memiliki masud adalah sebuah keadaan dimana ada

kemungkinan bagi sebuah aktor representasi terlibat dan masuk kedalam

pemerintahan . berbeda dengan jalur pendekatan dimana aktorrepresesntasi yang

mencari jalan untuk berhubungan dengan pemeritah, ruang keterlibatan ini adalah

jalan yang di sediakan oleh pemerintah yang membuka dirinya untuk

berhubungan dengan sebuah aktor representasi

Dalam kasus badan musyawarah masyarakat Betawi, keterlibatan Bamus

sebenarnya secara abstrak merupakan ruang yang memang telah di sediakan oleh

95
pemerintah. Ruang tersebut sengaja di bentuk karena juga adanya keinginan dari

pemerintah yang membutuhkan keberadaan ruang untuk Bamus bergerak

didalamnya, karena hal itu pulalah yang mendasari alasan pemerintah untuk

membentuk Bamus dari awal. 31 Sehingga tidak ada proses lebih jauh tentang

bagaimana Bamus membangun dan memperkuat relasi dan posisinya dengan

pemerintah. Hal ini berbeda jika Bamus lahir, tumbuh dan berkembang dari

masyarakat secara keseluruhan, proses melibatkan diri dengan pemerintah dari

sebuah organisasi yang membawa jiwa representasi di dalamnyamenjadi salah

satu fokus penting lebih jauh sebelum masuk dalam penjelasan fungsinya sebagai

sebuah representasi. Meskipun demikian tidak menutup kenungkinan untuk

Bamus tetap dapat di gambarkan dengan tiga pola yang menggambarkan

kehadiran sebuah organisasi non pemerintah dalam Negara.

“ Sebagai sebuah organisasi diluar pemerintah badan musyawarah Betawi

sama sekali tidak memiliki pandangan untuk menjadi musuh dari Negara

karena kesalahan seluruh lembaga representasi non formal lain adalah

ketegasan pandangan mereka tentang hubungan dengan Negara yang harus

selalu terbangun dengan perlawanan dan sikap yang berseberangan”. 32

Bamus dapat di gambarkan bahwa ada ruang yang di sediakan oleh

Negara bagi organisasi non pemerintah untuk mengakses dirinya secara langsung.

Bamus tidak memiliki kuasa untuk menpengaruhi seluruh kebijakan-kebijakan

31
Lihat sejarah terbentuknya dan berdirinya Bamus BAB II
32
Wawancara: Bang Amar. Pengurus Badan Musyawarah Masyarakat Betawi. Wawancara
tanggal : 15 juli 2011, Pukul 16:00. Gedung Prasda Sasana Karya Lt. 6 Jl. Suryo Pranoto, Harmoni
Jakarta Pusat

96
pemerintah kota Jakarta. Ia hanya memiliki hak untuk mengakses setiap kebijakan

yang kira-kira memiliki dampak langsung maupun tidak bagi masyarakat Betawi,

cara- cara penyampaiannya pun tidak dengan memasukkan materi program dan

melibatkan diri dalam penyusunan kebijakan, tetapi lebih kepada dengan jalan-

jalan himbauan dan usulan kepada pemerintah. Selain itu Bamus juga bukanlah

lembaga Negara formal ataupun organisasi non pemerintah yang telah di

lembagakan secara formal oleh pemerintah.

4.4 Hubungan KerjaBamus dengan Pemerintah dalam Proses Representasi

Meskipun sebagai sebuah lembaga representasi masyarakat, badan

musyawarah Betawi lebih banyak menyibukkan dirinya dengan hubungan mereka

dengan pemerintah. Selain karena alas an teknis dari latar belakang para pengurus

dan petinggi Bamus yang bersifat ekslusif sehingga tidak memungkinkan dirinya

untuk sering melibatkan diri bercampur aduk dengan masyarakat Betawi secara

langsung.

4.4.1 Interaksi Bamus dan Negara dalam Fungsi Represesntasi Bamus

Sebaliknya interaksi yang dibangun dengan Negara lebih di intensifkan

mengingat peran yang di pikul oleh Bamus memaksa dirinya untuk selalu

menunjukkan sikap yang baik dengan pemerintah. Di jelaskan bahwa sebuah aktor

non Negara seperti badan musyawarah Betawi ini biasanya sangat tidak percaya

dan bersikap kritis pada pemerintah serta sangat berhati-hati di dalam menjalin

hubungan dekat lebih jauh. Karena hal tersebutlah yang menjadikan alasan

mereka terbentuk. Sudah menjadi sebuah pola pikir yang harus di bangun oleh

97
organisasi non pemerintah bahwa pemerintah selalu salah dan berada di sisi

kepentingan masyarakat menjadi lebih penting di bandingkan terus berupaya

untuk membangun relasi komunikasi dengan pemerintah. Mereka biasa

menggunakan cara-cara representasi lain untuk menyampaikan aspirasi

masyarakat tanpa harus memasukkan diri kedalam pemerintah yang menjadi

sasaran tembak. Cara yang di tempuh dapat melalui demonstrasi ataup cara-cara

provokatif lain yang berusaha untu membangun opini publik tentang satu isu yang

tidak di perhatikan oleh pemerintah.

Berbeda dengan yang di jelaskan sebelumnya, Bamus sendiri sama sekali

tidak mengharamkan terjalinnya hubungan baik dengan pemerintah , justru ia

dengan sengaja membuka ruang diskusi dan keterlibatan organisasi dengan

pemerintah secara langsung. Banyak hal yang telah di lakukan, salah satu yang

jelas terlihat adalah penunjukkan wakil dari bsadan musyawarah Betawi untuk

duduk di kepemerintahan kota Jakarta melalui pencalonan gubernur provinsi DKI

Jakarta. Dengan menempatkan wakil di pemerintahan tersebut telah menjadikan

Bamus sebagai sebuah organisasi pemerintah yang bergerak di masyarakat tapi

berada di dalam area negara meskipun ia tidak termasuk tergabung dalam

kelembagaan Negara ataupun institusi negara.

Hal ini terasa tidak asing jika melihat kebelakang sejak awal dari pendirian

badan musyawarah Betawi ini yang justru di prakarsai oleh pemerintah. Badan

musyawarah Betawi yang di bentuk oleh pemerintah, menjadikannya sebagai

satu-satunya organisasi kemasyarakat Betawi yang lahir dan tumbuh berkembang

tidak melalui perjuangan dari masyarakat yang di latar belakangi permasalahan

98
masyarakat Betawi secara umum saat itu. Badan msuyawarah Betawi juga

menjadi satu-satunya organisasi yang menjadi muara bagi kehidupan Betawi yang

telah di akui oleh pemerintah. Pada awal pembentukannya, sulit bagi Bamus

untuk menarik berbagai organisasi massa Betawi yang telah terbentuk jauh

sebelum dirinya untuk tergabung dan menjadikan Bamus sebagai sebuah paying

tertinggi dari seluruh struktu masyarakat Betawi. Namun dengan sumber daya

kuasa yang telah di limpahkan oleh pemerintah kepadanya, pada akhirnya hanya

adadua pilihan yang dapat di pilih oleh seluruh elemen masyarakat Betawi, yaitu

bergabung di bawah naungan Bamus dengan jaminan adanya akses secara

langsung kepada pemerintah untuk setiap aspirasi yang di perjuangkan atau

memilih untuk tetap berjalan sendiri tetapi dengan konsekuensi tidak tuntasnya

perjuangan aspirasi karena ia hanya akan berakhir di tingkatan masyarakat tidak

pernah akan sampai kepada meja pemerintah.

Dalam fungsinya sebagai lembaga representasi, Bamus sama sekali tidak

pernah mengangkat isu tentang demokrasi, birokrasi atau tata kelembagaan

Negara. Dalam interaksinya badan musyawarah Betawi lebih menekankan pada

isu penguatan hak-hak sipil dan penguatan struktural hubungan antara masyarakat,

Bamus dan pemerintah. Pemilihan isu tentang hak-hak kemasyarakatn Betawi

mulai dari sosial, politik, ekonomi, hukum menjadi konsentrasi utama keberadaan

Bamus sebagai aktor representasi. semua dapat di lihat dari kecenderungan Bamus

yang hanya memiliki program kerja tentang isu keBetawian. Hal ini juga tidak

terlepas dari posisi Bamus di struktur kemasyarakatam Betawi dan siapa saja

mereka yang ada di bawah naungannya.

99
Selain itu telah di jelaskan di atas bahwa salah satu pendekatan yang di

lakukan oleh Bamus adalah melalui pendekatan personal gubernur Jakarta, maka

Penempatan dukungan terhadap pemimpin di Jakarta menjadi salah satu cara agar

memudahkan hubungan antara badan musyawarah masyarakat Betawi dengan

pemerintah nantinya baik secara relasi organisasional maupun pemikiran. Karena

misalpun calon tersebut berasal dari keanggotaan Bamus, tetapi setelah menjabat

sebagai gubernur kota Jakarta, secara langsung status kepengurusan dan

keanggotaan di Bamus terhapus sehingga seluruh program dan kebijakan yang

nantinya di tempuh oleh pemerintah yang dipimpin oleh wakil oleh Bamus yang

terpilih tetap menjadi program pribadi dari gubernur, dan Bamus sama sekali

tidak melibatkan diri secara pribadi dengan individu dalam setiap kebijakan yang

di ambil itu. Pelibatan diri Bamus kedalam pemerintah bersifat organisasional dan

fungsional dimana ia berusaha untuk mengintervensi setiap kebijakan dengan

memasukan kepentingan masyarakat Betawi dan memastikan kepentingan

tersebut tertuang dalam poin-poin kebijakan yang telah di tetapkan nantinya.

Inilah sasaran utama dari perjuangan Bamus, dimana Bamus memastikan ada

poin-poin dalam setiap kebijakan kota Jakarta yang memastikan terjaminnya hak-

hak dan keberadaan Betawi sebagai masyarakat asli kota Jakarta.

Dibawah ini contoh beberapa kegiatan yang melibatkan kerjasama antara Bamus

dan pemerintah

100
a. Musyawarah besar Bamus Betawi Lima Tahunan

Acara ini merupakan kegiatan rutin dan selalu dilakukan oleh

Bamus. dalam musyawarah lima tahunan ini Bamus mengevaluasi kinerja

pengurus yang telah di berikan mandate untuk memimpin Bamus selama

satu periode termasuk nantinya selain itu dalam musyawarah besar ini juga

akan dilakukan pemilihan pemimpin dan pengurus baru dalam tubuh

Bamus. keterlibatan pemerintah dalam acara ini adalah, selain secara

personal gubernur datang dan mengikuti rangkaian acara. Pemerintah juga

memberikan alokasi dana yang besarannya tidak tentu sebagai sebuah

subsidi bagi kebudayaan Betawi. Hal ini tertulis dalam anggaran rumah

tangga Bamus pasal 4 tentang musyawarah besar, bahwa ada alokasi dana

bantuan dari pihak lain termasuk di dalamnya pemerintah.

Untuk lebih jelas, penulis akan merinci berbagai kegiatan umum yang

melibatkan Bamus dan pemerintah di dalamnya melalui bagan di bawah ini

Tabel 1.3

Kegiatan Bamus Pemerintah

Musyawarah Besar Penyelenggara dan Ada alokasi bantuan dana


Bamus Betawi pelaksana acara untuk setiap mubes lima
(5 Tahun an) tahunan Bamus Betawi
dengan besaran
menyesuaikan
Kirab Budaya Betawi Termasuk program kerja Melalui dinas
(HUT Kota Jakarta) utama Bamus setiap kebudayaan dan

101
tahun pariwisata provinsi DKI
Jakarta, menjadikan
program ini sebagai salah
satu rencana kerja dari
pemerintah

KTT Asean (Asean Sebagai perwakilan untuk Memberikan ruang


Summit) 2011 Memperkenalkan dan khusus bagi Betawi,
menunjukkan identitas ke missal dengan
Betawian di Jakarta penggunaan berbagai
atribut keBetawian dalam
rangkaian acara
Sumber: Arsip Dinas Kebudayaan dan pariwisata Jakarta

Selain hubungan dalam program kerja Bamus, interaksi Bamus dengan

pemerintah juga berbentuk pemberian wewenang dan kuasa yang seharusnya

menjadi kewajiban pemerintah kota Jakarta kepada Bamus. kewenangan ini

diberikan oleh pemerintah dengan dasar bahwa Bamus memiliki kapasitas lebih

untuk dapat menyelesaikannya.

4.4.2 Pemberian Kuasa dan Kewenangan Oleh Pemerintah Kepada Bamus

Sebagai salah satu contoh kasus pemberian kuasa dan kewenangan oleh

Bamus kepada Bamus adalah ketika Bamus menjadi Penengah dalam setiap

konflik yang terjadi antara FBR Forkabi

Konflik antara FBR dan Forkabi bukan sekali dua kali telah terjadi.

Konflik ini telah menjadi konflik tahunan dimana setiap tahun pasti terjadi

benturan antara kedua ormas besar Betawi tersebut. Konflik ini kemudian meluas

102
bukan hanya sebatas konflik dalam lingkungan masyarakat Betawi tetapi juga

masyarakat kota Jakarta secara luas jika dilihat dari akibat dan kerugian yang

selalu di timbulkan ketika konflik terjadi. Sehingga pemerintah merasa

bertanggung jawab untuk mengontrol kedua ormas ini untuk menghindari

terjadinya konflik yang berkepanjangan. Disinilah keberadaan Bamus di

butuhkan, pemerintah telah memfungsikan Bamus sebagai penengah antar kedua

ormas tersebut dan memberikan wewenang untuk mengambil tindakan ketika

konflik terjadi nantinya. Kewenangan ini lebih di tujukan kepada posisi Bamus

yang dirasa lebih strategis untuk menjadi penengah dengan segala latar belakang

dan sumber daya kuasa atas masyarakat Betawi yang dimilikinya di bandingkan

dengan pemerintah kota Jakarta. Oleh karena itu untuk urusan penghapusan

konflik, selama ini tidak pernah di beritakan (selain tindak kriminal yang muncul

akibat dari konflik) karena kuasa telah di pegang oleh Bamus.

Dengan demikian selain menjadi alat representasi aspirasi juga, pada

prakteknya sebuah organisasi Represesntasi juga dapat di fungsikan sebagai pihak

yang diberikan mandatoleh pemerintah sesuai kondisi dan situasi saat itu.

4.5 Halangan dan Rintangan dalam Proses Penyampaian Aspirasi Kepada

Pemerintah

Telah di jelaskan di dalam bab sebelumnya Kesulitan sebuah institusi

representasi berasal dari relasi kuasa yang terjadi antara ia dan konstituen di

dalamnya. Penegasan kuasa atas konstituen dalam sebuah organisasi

representasi tidak di atus secara tata aturan baku tertulis, keakuan dan kuasa

103
tersebut terjadi karena ada kesukarelaan dari masyarakat untuk bersedia

mempercayakan kepentingannya kepada sebuah lembaga. Faktor kepercayaan

menjadi tulang punggung dari kuasa yang didapat oleh sebuah organisasi

intermedari. Hal ini nyatanya bisa menjadi sebuah bom waktu di masa depan

nanti, yaitu tidak adanya aturan tertulis yang menegaskan kuasa antara organisasi

dengan seluruh elemen masyarakat. Hal ini jugaluput dari pehatian dari Bamus,

karena hal tersebut suatu saat dapat terjadi yang bisa saja pada akhirnya

menghilangkan peran dari badan musyawarah masyarakat Betawi sebagai payung

tertinggi dan tempat berkumpulnya masyarakat Betawi. Oleh karena itu salah satu

cara untuk tetap memperkuat posisi dari Bamus adalah dengan menjadikan simbol

penokohan yaitu para tokoh yang di hormati dan disegani dalam struktur

kemasyarakat Betawi untuk memimpin organisasi. Tetapi masalah bukan berarti

berhenti disini, jika suatu saat penokohan itu hilang maka bukan tidak mungkin

Bamus kehilangan pengakuan dari masyarakat Betawi sehingga fungsi nya

sebagai pengumpul aspirasi hilang karena tidak mendapatkan kepercayaan lagi

dari masyarakat, oleh karena itu penegasan symbol ini sangat menjadi perhatian

Bamus sebagai salah satu penguat posisi mereka dalam masyarakat Betawi

sehingga pengakuan kuasa atas dirinya tetap terjaga.

Hal ian yang kemudian menjadi konsentrasi Bamus untuk di perjuangkan

adalah mengenai posisi tawar ia di depan pemerintah, dimana sedapat mngkin

nantinya keterlibatan Bamus dalam kebijakan tentang keBetawian bukan hanya

sekedar mengusulkan secara pasif tetapi juga dapat mempengaruhi lebih jauh lagi

sehingga materi dan realisasi dalam bentuk keputusan pemerintah ataupun

104
kebijakan daerah sesuai dengan apa yang di harapkan oleh Bamus dan masyarakat

Betawi. Hal ini selalu menjadi sebuah permasalahan klasik yang terjadi dalam

setiap organisasi yang menjalankan fungsi-fungsi representasi. Dimana

membangun hubungan dengan pemerintah menjadi kesulitan tersendiri selain

pengakuan kuasa dari masyarakat tadi. Kebanyakan dari mereka mengalami

kegagalan menjalankan fungsi representasi ketika ada ketidakmampuan untuk

membangun hubungan dengan pemerintah. Meskipun misalkan nantinya

hubungan itu telah di bangun, ada masalah lain yang tidak kalah lebih penting dari

itu semua, yaitu membentuk posisi tawar dengan pemerintah sehingga

memudahkan ia merepresentasikan kepentingan-kepentingan untuk di

realisasikan dalam program pemerintah. Dalam kasus penguatan posisi tawar ini,

Bamus Betawi telah melakukan berbagai upaya, salah satunya dengan mendukung

calon gubernur (lihat bab IV pendekatan personal). Logikanya dengan mendukung

calon, diharapkan nantinya ada kesamaan visi misi yang sejalan dengan Bamus,

maka secara tidak langsung pembukaan keran jalur representasi telah dilakukan.

Secara umum konsep representasi Alternatif ternyata memiliki banyak “masalah”

yang harus di hadapi. Secara konsep, representasi Alternatif telah memunculkan

udara baru bagi tersendatnya jalur representasi formal yang telah ada. Sehingga

tidak akan pernah terjadi misslink antara masyarakat dan Negara. Tetapi perlu di

sadari atau tidak, dalam prakteknya tidaklah semudah seperti apa yang telah

dijelaskan oleh konsep-konsep organisasi sebagai jalur representasi Alternatif.

Kompeksitas tokoh, kompleksitas kepentingan menjadi masalah lain yang sulit di

jelaskan diluar dari berbagai kesulitan utama yang muncul dalam menjalankan

105
fungsi-fungsi representasi di atas. Dengan demikian perlu ada sebuah penegasan

ulang tentang batasan dari sebuah organisasi untuk dapat dikatakan sebagai

sebuah institusi representasi terlepas dari bayang-bayang Negara dan masyarakat.

106
BAB V

Penutup

Kesimpulan

Setelah melakukan penelitian dan analisis dalam naskah penulisan ini.

Maka penulis menarik dua kesimpulan besar yaitu terkait dengan Bamus Betawi

itu sendiri dan kesimpulan mengenari representasi

A. Bamus Betawi

Banyak cara tentang bagaimana awal kelahiran dari Sebuah organisasi

representasi, mulai dari forum-forum sukarela yang terbentuk oleh masyarakat

karena kesamaan latar belakang dan masalah. Tetapi ada juga organisasi

internediari yang juga terbentuk dari usulan pihak lain seperti pemerintah. Badan

musyawarah Betawi meskipun di tempatkan sebagai aktor representasi yang

memperjuangkan kepentingan-kepentingan masyarakat Betawi tetapi

pembentukannya justru berasal dari ide pemerintah. Hal ini ternyata bisa

memunculkan hal-hal yang menjadi kebalikan logika yang justru nantinya

menjadi keuntungan bagi posisinya sebagai aktor representasi, akan tetapi di satu

sisi juga menimbulkan kekhawatiran tersendiri terkait posisinya nanti.

Keuntungannya adalah, karena ia di bentuk oleh Negara, maka badan musyawarah

masyarakat Betawi tidak perlu lagi memperjuangkan ruang agar ia mampu

berinteraksi dengan pemerintah karena secara langsung pemerintah telah

mengakui keberadaan peran dan fungsinya. Berbeda dengan sebuah kelompok

107
yang lahir dari inisiatif masyarakat bawah dimana ia harus berjuang mati-matian

terlebih dahulu agar keberadaannya bisa diakui pemerintah. Karena sebagai

sebuah organisasi representasi bukan hanya hubungan dengan masyarakat saja

yang harus di bentuk dengan baik, hubungan dengan pemerintah pun harus terjaga

untuk meningkatkan posisi tawar yang membantu penyampaian aspirasi nantinya.

Tetapi di sisi lain muncul juga kekhawatiran dari masyarakat bahwa organisasi

representasi yang lahir atas inisiatif pemerintah tidak lebih dari sebuah kelompok

yang hanya menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah. Kenetralan pada isu

yang wajib dimiliki oleh seluruh aktor representasi di khawatirkan tidak terjadi

karena adanya pengaruh dari pemerintah dalam organisasi. Tetapi dalam Bamus,

di luar beberapa hal :gelap” yang masih tertutp kabut kelam, konsistensi dia

sebagai jalur aspirasi tetap terjaga dengan baik dan mampu menempatkan diri

sebagaimana sebuah aktor representasi sesungguhnya, meskipun ia pada awalnya

sebuah kelompok yang di bentuk oleh pemerintah.

Tetapi ada satu kecenderungan yang mampu di gambarkan oleh satu kasus

badan musyawarah masyarakat Betawi ini yaitu kurangnya kuasa internal antara

organisasi dengan seluruh anggota yang tergabung dalam badan musyawarah

Betawi ini. Kekuasaan yang di bangun karena pengakuan terhadap keberadaan

menjadi sesuatu yang rentan ketika kepercayaan itu suatu saat hilang oleh

berbagai hal. Selama ini Bamus bisa bertahan dengan cara menempatkan tokoh-

tokoh masyarakat Betawi yang di segani , elit-elit organisasi massa Betawi dan

individu-individu lain yang memiliki pengaruh besar di masyarakat Betawi

khususnya dan kota Jakarta pada umumnya, sebagai petinggi dan pengurus

108
organisasi badan musyawarah masyarakat Betawi. Dengan sumber daya yang

dimiliki oleh para tokoh tersebut Bamus memainkan perannya sebagai induk dari

organisasi masyarakat Betawi. Tetapi Sekalipun Bamus di posisikan sebagai

induk dari seluruh organisasi keBetawian, tetapi kontrolnya terhadap organisasi

pendukung dapat di katakan lemah atau justru sama sekali tidak ada. Selama ini

kuasa Bamus hanya berbentuk seremonial melalui himbauan dan anjuran-anjuran

tanpa adanya dasar hukum yang mengikat. Selebihnya organisasi-organisasi

pendukung tetap berjalan sendiri-sendiri seperti sebelum keberadaan Bamus. Dan

badan musyawarah Betawi sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa.

Penjelasan tentang aktor representasi ternyata tidak hanya terbatas pada

pemahaman tentang fungsinya sebagai jembatan aspirasi antara masyarakat

dengan pemerintah. Tetapi di balik itu juga banyak hal yang dapat di jelaskan

lebih jauh tentang posisi ia di dalam tubuh internal yang ternyata tidak lebih baik

keadaannya daripada hubungannya dengan pihak luar. Komplektisitas aktor dalam

sebuah aktor representasi beprngaruh besar pada peran dari organisasi itu untuk

memainkan fungsinya sebagai sebuah aktor representasi. Ternyata kelemahan

utama dari organisasi yang memposisikan dirinya sebagai aktor representasi

justru juga dapat berasal dari relasi kuasa internal mereka sendiri, dimana

penegasan posisi tawar dan kuasa di dalam tubuh organisasi menjadi sebuah hal

yang rumit mengingat banyaknya organisasi yang tergabung dengan latar

belakang masing-masing. Tetapi hal itu bisa di tutupi dengan relasi ekternal yang

di bangun oleh sebuah organisasi representasi untuk memperkuat posisinya

melalui sumber daya-sumber daya yang di dapat melalui relasi dengan aktor luar.

109
B . Representasi

Terbentuknya sebuah aktor representasi tidak harus berasal dari inisiatif

atau keinginan masyarakat. Selama ia menjalankan tugas-tugas intermediasi

aspirasi dan merepresentasikannya maka secara sederhana ia telah menjalankan

fungsi-fungsi representasi. Di satu sisi ada kemudahan konsep tentang sebuah

aktor representasi yang sangat sederhana, tetapi di sisi lain hal itu

menggambarkan hingga kini masih ada kesulitan untuk menentukan batas aktor

representasi secara fisik bukan secara fungsional, karena sebuah organisasi yang

di sebut sebagai sebuah aktor representasi nyatanya dapat leluasa di tafsirkan

berbeda antara satu orang dengan orang yang lainnya, misal sebagai sebuah

ormas, komunitas atau justru institusi pemerintah. Tetapi itu tidak bisa terlepas

dari karakteristik objek kajian ilmu sosial yang sangat tidak memungkinkan untuk

di dapatkan objektifitas fenomena lapangan, semua masih dapat di tafsirkan

berbeda secara subjektif tergantung bagaimana orang itu memandang sebuah

fenomena dari objek yang di kaji. Termasuk dalam penelitian ini, mungkin jika

melihat Bamus sebagai aktor representasi secara kelembagaan tidak akan di

dapatkan kesimpulan akhir, tetapi jika kita melihat Bamus dari fungsinya maka

dapat di simpulkan bahwa Bamus telah menjalankan fungsi-fungsi representasi

meskipun ia lahir bukan berasal dari bawah (masyarakat).

110
DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam.2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Gramedia : Jakarta

Chandra Eka, dkk. Mermbangun Forum Warga Implementasi partisipasi &


penguatan masyarakat sipil, Akatiga, Bandung.2003

Clark, John.1995. NGO dan Pembangunan Demokrasi. Tiara Wacana:


JogJakarta

Dwiyanto, at.all. (2003).Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi


Daerah, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan – Kemitraan Bagi Pembaruan
Tata Pemerintahan di Indonesia.
Helmke Gretchen, Levitsky Steven, Political Science Informal Institutions
And Democracy: Lesons From Latine America. 2006.
Henry Benedict Tam, Communitarianism : A new agenda for politics and
citizenship, Macmillan Press Ltd. London, 1998
John Harris, Kristian Stokke, and Olle Tornquist (2004). Politicising
Democracy: The Local Politics of Democratisation, Palgrave, Macmillan.

Marzuki, 1977. Metodologi riset. BPFE UII. Yogyakarta

Michael A. Riff ( Ed), 1995. Kamus Ideologi Politik Modern. Pustaka


Pelajar : Yogyakarta,

Milton J.Esman & Norman T. Upoff1984.Local Organizations:


Representasies In Rural Development. Cornell University Press.London

O,Donnel, Guillermo dan Schmitter, Philllip C. Transisi menuju


demokrasi kemungkinan dan ketidakpastian, LP3ES, Jakarta, 1994.

Pitkin, Hanna Fenichel (1967). The Concept of Refresentation, University


of California, Barkeley.
Ramlan Surbakti,1992. memahami Ilmu politik. PT. Gramedia Widia
sarana Indonesia: Jakarta,

111
Sanit, Arbi. “ Organisasi politik, Organisasi Massa dan Politik
Demokratisasi Masyarakat”, dalam Prisma No 6 1998

Arsip dan Dokumen

Anggaran dasar dan Anggaran Rumah Tangga Bamus Betawi 2008-2012

Badan Pusat Statistik. Arsip tetang Jumlah Penduduk DKI Jakarta. Sensus
Penduduk Tahun 1971, 1980, 1990, 2000 dan Survey Penduduk Antar Sensus
(Supas) 1985, 1995,2005.

Dinas Pariwisata Dan Kebudayaan DKI Jakarta. Program Kerja Tahunan.


2009, 2010.

Hasil Musyawarah Besar Badan musyawarah masyarakat Betawi tahun


1990, 2000.

Internet

“Mendefinisikan Forum Warga”. Artikel tanggal 05 juli 2010. Di akses pada 04


april 2011. www.kaukustujuhbelas.org

Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si. Jenis dan Metode Penelitian Kualitatif. 01
Jun1 2010. http://mudjiarahardjo.com

Pangyi Sarwi. Profesionalisme dan Korporatisme di Dalam Organisasi-Organisasi


Militer. (http://www.pangisyarwi.com accesed on February 3, 2012)

Sugiyah. Sundariningrum : “Teori dan Pengertian Partisipasi”


(http://www.celoteh.herobo.com/katagori/artikel-pendidikan/52-teory-dan-
pengertian-partisipasi-.html accesed on April 2, 2012)

Sumber lain

Dwipayana, Ari Tipologi Relasi komunitas terhadap Negara, Yang


Disarikan Dari Teori Steven Levitsky Tentang Political Science Informal
Institutions And Democracy: Lesons From Latine America

112
Zulfikar. Nizam, Skripsi S1: “Pola Relasi Antara Negara dan Forum
Komunikasi Masyarakat Code Selatan Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat
Code Selatan” . Yogyakarta: UGM, 2011

113

Anda mungkin juga menyukai