Anda di halaman 1dari 48

Daftar Isi

BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
BAB II ....................................................................................................................................... 2
ANATOMI PEMBULUH DARAH JANTUNG ...................................................................... 2
BAB III ...................................................................................................................................... 4
SINDROM KORONER AKUT ................................................................................................. 4
BAB IV .................................................................................................................................... 27
TATALAKSANA DAN KOMPLIKASI SINDROM KORONER AKUT .............................. 27
BAB III .................................................................................................................................... 46
KESIMPULAN........................................................................................................................ 46
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... 47
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit kardiovaskular menyebabkan 17.9 juta kematian di seluruh dunia, setidaknya


31% dari seluruh kematian di seluruh dunia. Sekitar 75% kematian akibat penyakit
kardiovaskular terjadi pada negara – negara dengan pendapatan rendah, dan 85% kematian
akibat penyakit kardiovaskular disebabkan oleh serangan jantung atau stroke1.
Sindrom Koroner Akut/SKA adalah salah satu penyebab kematian dan morbiditas
tersering penyakit kardiovaskular. Di seluruh dunia, infark miokardial menyebabkan kematian
7 juta orang di seluruh dunia, dan menyebabkan 129 juta orang hidup dengan disabilitas seumur
hidupnya2. Menurut data WHO, terdapat 4 juta kematian setiap tahunnya pada 49 negara di
benua Eropa dan Asia Utara akibat sindrom koroner akut. Pada tahun 2016, American Heart
Association (AHA) melaporkan lebih dari 15.65 juta orang di atas usia 20 tahun di Amerika
Serikat memiliki SKA. Prevalensi ini meningkat dengan bertambahnya usia pada kedua
gender, pria dan wanita2.
SKA sendiri terdiri atas 3 tipe, yaitu STEMI (ST – Elevated Myocardial Infacrt),
NSTEMI (Non - ST Elevated Myocardial Infarct), dan UA (Unstable Angina). Ketiganya
memiliki gejala yang serupa namun memiliki konsekuensi dan tata laksana yang berbeda –
beda. Karena menyebabkan mortalitas dan morbiditas yang tinggi, SKA harus dianggap
sebagai kegawat daruratan medis. Oleh sebab itu, penting bagi tenaga medis untuk mengetahui
dan mendeteksi dini SKA untuk menentukan pemeriksaan fisik, penunjang, dan tata laksana
yang tepat.

1
BAB II

ANATOMI PEMBULUH DARAH JANTUNG

Gambar 2.1: Arteri koroner dari bagian anterior3

2 arteri koroner jantung berasal dari sinus aorta pada bagian awal aorta asenden dan
memberikan suplai ke otot – otot dan jaringan jantung. Kedua arteri ini mengelilingi jantung
melalui sulkus koroner, dengan cabang marginal dan interventrikular, dalam sulkus
inerventrikular, memanjang hingga bagian apeks jantung. Arteri koroner terdiri atas arteri
koroner kanan dan kiri3.
Arteri koroner kanan bercabang dari sinus aorta kanan ke aorta asenden, melewati
bagian anterior dan ke kanan melewati aurikula kanan dan truncus pulmonal, Kemudian
pembuluh darah ini turun secara bertikal antara atrium kanan dan ventrikel kanan pada sulkus
koroner. Pada bagian inferior jantung, pembuluh darah ini berbelok secara posterior dan
berlanjut di dalam sulkus ke permukaan diafragma dan basal jantung. Pada bagian ini, terdapat
cabang – cabang berupa (1) cabang atrial, melewati aurikula kanan dan aorta asenden,
membentuk cabang sinu – atrial nodal, (2) cabang marginal kanan, (3) cabang kecil ke nodus
atrioventrikel, saat arteri koroner kanan berlanjut ke bagian diafragma jantung, (4) cabang
interventrikel posterior, pada sulkus interventrikel posterior3.

2
Arteri koroner kanan memberikan suplai darah ke atrium kanan dan ventrikel kanan,
nodus sinu – atrial dan atrioventrikular, septum interatrial, bagian pada atrium kiri dan 1/3 dari
septum interventrikel.
Arteri koroner kiri bercabang dari sinus aorta kiri dari aorta asenden melewati truncus
pulmonal dan aurikula kiri sebelum masuk ke sulkus koroner. Pada bagian posterior truncus
pulmonal, arteri membagi menjadi 2 cabang, yaitu arteri interventrikular anterior dan
sirkumfleks3.
(1) cabang interventrikel anterior (left anterior descending artery – LAD) mengikuti
bagian kiri truncus pulmonal dan turun secara oblik ke arah apkes jantung. Terdapat 2 cabang
diagonal sepanjang permukaan anterior ventrikel kiri3. (2) cabang sirkumfleks berlanjut ke
bagian kiri sulkus koroner ke bagian diafragma jantung. Sebuah cabang yang besar disebut
dengan arteri marginal kiri juga bercabang dari arteri ini3.

3
BAB III

SINDROM KORONER AKUT


3.1. Definisi Acute Coronary Syndrome (Sindrom Koroner Akut/SKA)

Sindrom koroner akut adalah kondisi gawat darurat yang mengancam jiwa
pasien yang dapat terjadi tiba – tiba pada pasien yang memiliki kelainan arteri koroner.
Sindrom ini meliputi gejala klinis dari angina pektoris hingga terjadinya infark
miokardium akut yang sifatnya ireversibel. Semua SKA memiliki patofisiologi yang
serupa, namun memiliki gejala dan tanda klinis yang berbeda – beda.

3.2. Epidemiologi

Pada tahun 2016, American Heart Association (AHA) melaporkan lebih dari
15.65 juta orang di atas usia 20 tahun di Amerika Serikat memiliki coronary heart
disease2. Prevalensi ini meningkat dengan bertambahnya usia bagi wanita dan pria. Di
Amerika Serikat sendiri setiap 42 detik seseorang akan mengalami infark miokardium.
Kematian akibat penyakit kardiovaskular meningkat secara signifikan sejak
tahun 1990, kematian berdasarkan usia meningkat hingga 22% dalam periode yang
kurang lebih sama, akibat adanya peningkatan usia demografik dan akibat kematian di
seluruh dunia2.

3.3. Patogenesis Sindrom Koroner Akut

Lebih dari 90% SKA disebabkan oleh disrupsi plak aterosklerotik dengan
agregasi platelet dan terbentuknya trombus intrakoroner4. Trombus mentransformasi
sebuah lokasi penyempitan plak menjadi oklusi berat atau komplit, dan gangguan aliran
darah menyebabkan ketidakseimbangan antara supply dan demand oksigen. Bentuk
SKA tergantung pada obstruksi pembuluh darah koroner dan berkaitan dengan luas
iskemia. Trombus yang menyebabkan oklusi sebagian menyebabkan sindrom unstable
angina (UA) dan non – ST – elevation myocardial infarction (NSTEMI). Trombus yang
mengobstruksi seluruh arteri koroner menyebabkan iskemia miokardium berat dan
nekrosis yang lebih berat dengan manifestasi ST – elevation myocardial infarction
(STEMI)4.

4
Trombus yang menyebabkan SKA dibentuk akibat interaksi plak aterosklerosis,
endothelium arteri koroner, platelet yang bersirkulasi, dan tonus vasomotor pada
dinding pembuluh darah yang mengganggu mekanisme antitrombotik.
Hemostasis Normal
Saat pembuluh darah normal mengalami kerusakan, permukaan endothel
terganggu dan jaringan ikat trombogenik rusak. Hemostasis primer adalah mekanisme
utama yang mengatasi perdarahan. Proses ini dimulai dalam beberapa detik setelah
kerusakan pembuluh darah dan dimediasi oleh platelet yang bersirkulasi, yang
kemudian menempel pada kolagen dalam lapisan subendothelium dan mengalami
agregasi membentuk sumbatan platelet. Saat sumbatan endothelial terbentuk, paparan
terhadap faktor – faktor jaringan subendothelial merangsang kaskade koagulasi,
menyebabkan proses homeostasis sekunder. Dalam homeostasis sekunder, proses
koagulasi protein plasma teraktivasi pada lokasi trauma dan membentuk gumpalan
fibrin. Gumpalan ini menguatkan sumbatan oleh platelet. Sistem homeostatik normal
mengurangi pendarahan dari pembuluh darah yang rusah, namun terdapat perbedaan
antara respons fisiologis dan patologis trombosis pembuluh koroner yang diaktivasi
oleh disrupsi plak atherosklerotik.

Mekanisme Anti – Trombotik Endogen4


Pembuluh darah normal termasuk pembuluh darah koroner memiliki
mekanisme proteksi yang berfungsi untuk mencegah trombosis dan oklusi.

Inaktivasi Faktor Pembekuan4


Inhibitor alami manusia meregulasi proses koagulasi untuk mencegah
formasi gumpalan dan menjaga aliran darah agar tetap lancar. Faktor yang
paling penting adalah antitrombin, protein C dan S, serta tissue factor pathway
inhibitor (TFPI). Antitrombin adalah protein plasma yang berikatan dengan
trombin dan faktor pembekuan lainnya, menyebabkan inaktivasi dan
memfasilitasi pembersihannya dari sirkulasi. Efektivitas antitrombin
meningkatn 1000 kali lipat bila berikatan dengan heparan sulfat.
Protein C/protein S/trombomodulin membentuk sistem antikoagulan
alami yang berfungsi menginaktivasi faktor akselerasi dari jalur koagulasi
(contoh: faktor Va dan VIIIa). Protein X disintesis pada liver dan bersirkulasi
dalam bentuk yang tidak aktif. Trombomodulin adalah reseptor thrombin –

5
binding yang biasanya ada di dalam sel endotel. Trombin yang berikatan dengan
trombomodulin tiak dapat mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Kompleks
trombin – trombomodulin mengaktivasi protein C. Aktivasi protein C
mendegradasi faktor Va dan VIIa, menginhibisi koagulasi. Adanya protein S
dalam sirkulasi meningkatakan fungsi inhibisi protein C.
TFPI adalah protease inhibitor serine plasma yang diaktivasi melalui
faktor koagulasi Xa. Kombinasi faktor Xa – TFPI berikatan dengan dan
menyebabkan inaktivasi kompleks tissue factor dengan faktor VIIa yang
merangsang jalur koagulasi ekstrinsik. TFPI berfungsi sebagai inhibitor
negative feedback yang mengganggu koagulasi.

Lisis Gumpalan Fibrin4


Tissue plasminogen activator (tPA) adalah protein yang disekresi oleh
sel endotel sebagai respons terhadap banyak faktor yang merangsang formasi
bekuan. tPA menyebabkan pemecahan protein plasminogen untuk membentuk
plasmin aktif yang mendegradasi gumpalan fibrin. Ketika tPA berikatan dengan
fibrin dalam membentuk gumpalan, fungsi tPA dalam mengubah plasminogen
menjadi plasmin meningkat.

Inhibisi Platelet Endogen dan Vasodilatasi4


Prostasiklin disintesis dan disekresi oleh sel endotel. Prostasiklin
meningkatkan jumlah platelet AMP siklik dan menginhibisi aktivasi platelet
dan agregasi. Prostasiklin juga menginhibisi koagulasi melalui fungsi
vasodilatasi. Vasodilatasi membantu mencegah terjadinya trombosis dengan
mengaugmentasi aliran darah dan mengurangi stres. Sementara itu, nitrit oksida
(NO) yang disekresikan oleh sel endotel menginhibisi aktivasi platelet dan
berfungsi sebagai vasodilator poten.

3.4. Patogenesis Trombosis Koroner

Lesi aterosklerosis dapat menyebabkan gangguan pada mekanisme fisiologis


yang mencegah terbentuknya trombus dalam pembuluh darah. Oleh sebab itu, lesi ini
dapat menyebabkan trombosis koroner dan oklusi pembuluh darah. Aterosklerosis
berkontribusi dalam formasi trombus dengan (1) ruptur plak, yang menyebabkan

6
paparan terhadap substansi trombogenik, dan (2) disfungsi endotel dengan hilangnya
fungsi protektif antitrombotik dan vasodilatasi yang normal4. Ruptur plak
aterosklerosis merupakan penyebab penting dalam trombosis arteri koroner. Hal ini
disebabkan oleh (1) faktor kimiawi yang mendestabilitasi lesi aterosklerosis dan (2)
stres fisik pada lesi. Plak ateroklerosis memiliki inti lipid – laden yang dikelilingi oleh
kapsul eksternal4. Substansi yang dihasilkan dari sel inflamasi dalam plak dapat
merusak integritas kapsul fibrotik. Salah satu contohnya adalah sel limfosit yang
menginhibisi sintesis kolagen oleh sel otot halus dan menyebabkan gangguan pada
integritas kapsul fibrotik. Sel - sel dalam lesi aterosklerosis memproduksi enzim yang
mendegradasi matriks intersitital, yang kemudian mengganggu stabilitas plak. Plak
dengan kapsul yang rusak akan sangat mudah ruptur, terutama pada regio dengan
tekanan stres yang tinggi (akibat stres fisik yang tinggi seperti pada tekanan darah
tinggi.
Sindrom koroner akut dapat terjadi setelah aktivitas fisik yang berat atau emosi.
Aktivasi sistem saraf simpatetik pada situasi seperti ini menyebabkan peningkatan
tekanan darah, nadi, dan kontraksi ventrikel. Akibat aktivasi simpatetik, lesi
aterosklerotik mengalami stres, menyebabkan ruptur. Setelah terjadinya ruptur plak,
terjadi formasi trombus. Paparan tissue factor dari plak aterosklerosis menyebabkan
aktivasi jalur koagulasi, sementara itu platelet teraktivasi oleh kolagen subendotel.
Aktivasi platelet menyebabkan keluarnya konten seperti fasilitator agregasi platelet
(adenosin difosfat dan fibrinogen), aktivator kaskade koagulasi (faktor Va), dan
vasokonstriktor (tromboxan dan serotonin). Aktivasi komponen – komponen koagulasi
ini menyebabkan trombus intrakoroner, pendarahan intraplak, dan vasokonstriksi yang
menyebabkan penyempitan lumen pembuluh darah turbulensi aliran darah yang
menyebabkan stres dan aktivasi platelet lebih lanjut.
Disfungsi endotelium pada penyakit aterosklerotik jantung koroner
meningkatkan risiko formasi trombus. Pada disfungsi endotel, penurunan jumlah
vasodilator (seperti NO dan prostasiklin) serta inhibisi agregasi platelet menyebabkan
penurunan proteksi melawan trombosis.

7
Gambar 3.1: Mekanisme formasi trombus dalam pembuluh darah koroner4

Disfungsi endotelium menyebabkan penurunan fungsi agregasi platelet dan


vasokonstriksi oleh platelet. Pada proses formasi trombus, vasokonstriksi dibantu oleh
produk yang dihasilkan platelet (tromboxan dan serotonin) dan trombin dalam
gumpalan yang terbentuk. Respon normal dari kompleks pletelet – vaskular adalah
vasodilatasi, karena produk platelet menstimulasi produksi NO dan prostasiklin.
Penurunan sekresi kedua substansi ini menyebabkan vasokonstriksi. Pada disfungsi
endotelium, trombin pada clot adalah konstriktor pembuluh darah yang poten.
Vasokonstriksi menyebabkan stres torsional yang menyebabkan ruptur plak atau secara
transien mengoklusi pembuluh darah yang stenosis. Penurunan jumlah aliran darah
pada pembuluh darah koroner yang disebabkan oleh vasokonstriksi mencegah protein
koagulasi untuk disirkulasi, meningkatkan trombogenesis.

Trombosis Koroner4
Formasi trombus intrakoroner menyebabkan beberapa outcome:

8
1) Trombus menambah jumlah lesi ateroma melalui proses fibrotik atau dapat lisis
melalui mekanisme fibrinolitik. Proses rekuren asimtomatis ini menyebabkan
stenosis pembuluh koroner bertambah besar.
2) Ruptur plak yang bertambah besar menyebabkan peningkatan terpaparnya kolagen
subendotel dan tissue factor, diikuti dengan formasi trombus yang lebih besar lagi
dan menyebabkan obstruksi lumen pembuluh darah. Obstruksi ini menyebabkan
iskemia berat dan menyebabkan sindrom koroner akut4.
3) Trombus intraluminal pada area dengan disrupsi plak mengoklusi pembuluh darah,
aliran darah pada area setelah oklusi berkurang, menyebabkan iskemia
berkepanjangan dan menyebabkan infark miokardium (ST – elevation).
4) Apabila trombus hanya mengoklusi sebagian lumen pembuluh darah, durasi dam
tingkat keparahan iskemia akan berkurang dan NSTEMI (Non – ST evelation
myocardial infarct) atau UA (Unstable angina) akan terjadi4. Perbedaan antara
NSTEMI dan UA adalah derajat iskemia dan bila proses ini cukup berat untuk
menyebabkan nekrosis, yang diindikasikan melalui adanya biomarker pada serum.
NSTEMI dan UA memiliki penanganan yang serupa4.
5) Oklusi total pembuluh darah koroner dapat menyebabkan NSTEMI. Pada kasus
seperti ini, pembuluh darah kolateral melimitasi nekrosis, sehingga STEMI (ST –
elevation myocardial infarct) tidak terjadi4.

Penyebab Non – Aterosklerotik Sindrom Koroner Akut


Mekanisme selain formasi trombus akut dapat memperparah sindrom koroner
akut, terutama pada pasien usia muda atau orang yang tidak memiliki faktor risiko
koroner. Contoh penyebab sindrom koroner akut adalah emboli iatrogenik atau infeksi
katup jantung, inflamasi dari vaskulitis, gangguan jaringan ikat, atau wanita
peripartum. Pada beberapa kasus, spasme koroker dapat menyebabkan penurunan
aliran darah dan menyebabkan infark. Penyalahgunaan kokain dapat meningkatkan
tonus simpatetik dengan mencegah uptake norepinefrin dan meningkatkan pengeluaran
katekolamin adrenal yang menyebabkan vasospasme. Hal ini mengurangi perfusi
oksigen ke jaringan. Sindrom koroner akut juga dapat terjadi akibat peningkatan
kebutuhan oksigen akibat stimulasi simpatetik kokain.

9
Tabel 3.1: Penyebab sindrom koroner akut4

Patologi dan Patofisiologi


STEMI atau NSTEMI terjadi akibat iskemia miokardium yang menyebabkan
nekrosis iosit. UA juga dapat menyebabkan MI bila penyebabnya tidak ditangani
dengan baik. Secara patologis, nekrosis yang menyebabkan infark miokardium dapat
diklasifikasikan.
1) Infark transmural menyebar hingga seluruh ketebalan miokardium dan
disebabkan akibat oklusi arteri epikardial yang berkepanjangan4.
2) Infark subendokardial melibatkan lapisan paling dalam miokardium. Lapisan
subendokardium sangat rentan terhadap iskemia karena lokasinya dekat dengan
tekanan paling tinggi dari ruang ventrikel, pembuluh darah kolateral yang memberi
aliran juga sedikit, dan pembuluh darah yang memperdarahi lapisan ini harus
melewati lapisan yang tebal.
Proses infark adalah akumulasi proses – proses yang telah terjadi sebelumnya,
yang diawali dengan iskemia yang berprogresi dari fase kematian sel yang reversibel
hingga ireversibel. Sel miokardium yang secara langsung disuplai oleh pembuluh darah
akan mati lebih cepat, dan jaringan di sekitarnya dapat tidak mengalami nekrosis,
karena mendapatkan suplai darah dari pembuluh darah lain di sekitarnya. Bila tidak
ditangani secara cepat, sel – sel miokardium di sekitarnya dapat ikut mati, karena
kebutuhan oksigen terus meningkat, dan area infark akan meluas4.
Luas jaringan yang mengalami infark berkaitan dengan (1) massa miokardium
yang diperfusi oleh pembuluh darah yang teroklusi, (2) durasi dan tingkat keparahan
gangguan aliran darah pembuluh darah koroner, (3) kebutuhan oksigen pada area yang

10
terganggu, (4) kemampuan pembuluh darah sekitar dalam memberikan aliran darah, (5)
derajat respon jaringan dalam memodifikasi proses iskemik4.
Gangguan patofisiologis dalam proses infark miokardium dibagi menjadi 2,
yaitu perubahan awal pada proses infark akut dan perubahan akhir dalam proses
penyembuhan miokardium.

Perubahan Awal Infark Miokardium


Perubahan awal infark miokardium adalah berupa perubahan histologi dan
perubahan fungsional berkurangnya suplai oksigen dan penurunan kontraktilitas
miokardium. Perubahan ini terjadi dalam waktu 2 – 4 hari4.
A) Perubahan Selular
Oklusi pembuluh darah menyebabkan penurunan jumlah oksigen dalam
miokardium. Hal ini mengaktivasi metabolisme anaerobik. Mitokondria tidak dapat
mengoksidasi lemak atau produk glikolisis, sehingga produksi fosfat turun secara
dramatis dan glikolisis anaerobik menyebabkan akumulasi asam lemak. Hal ini
menyebabkan penurunan pH. Berkurangnya adenosin trifosfat (ATP) mengganggu
Na+ - K+ - ATPase transmembran dan menyebabkan peningkatan konsentrasi Na+
intrasel dan dan K+ ekstraselular. Peningkatan Na+ intraselular menyebabkan
edema selular. Keluarnya K+ dari sel menyebabkan peningkatan K+ yang
mengganggu potensial listrik transmembran, menyebabkan aritmia. Kalsium
intraselular yang terakumulasi dalam miosit yang rusak menyebabkan kerusakan
sel melalui aktivasi lipase degradatif dan protease. Perubahan – perubahan
metabolik ini mengurangi fungsi miokardial dalam 2 menit pasca oklusi trombus.
Dalam 20 menit, kerusakan sel yang permanen terjadi dan ditandai oleh defek
membran. Enzim proteolitik lepas dari membran sel miosit, merusak miokardium
sekitarnya dan menyebabkan keluarnya makromolekul ke dalam sirkulasi darah
yang berfungsi sebagai clinical marker infark akut.
Edema miokardium terjadi dalam 4 – 12 jam, saat permeabilitas vaskular
dan tekanan onkotik intraselular meningkat. Perubahan histologi awal kerusakan
permanen adalah wavy myofibers yang muncul setlah edema intraselular
memisahkan sel miokardial yang ditarik oleh jaringan sekitarnya. Contraction
bands dapat terlihat pada perbatasan area infark: sarkomer yang tertarik dan
tergabung terlihat sebagai pita eosinofilik. Respons inflamasi akut dengan infiltrasi

11
neutrofil dimulai kurang lebih dalam 4 jam. Dalam waktu 18 – 24 jam, nekrosis
koagulasi dapat terlihat.
B) Perubahan morfologi kasar
Perubahan morfologi akan muncul 18 – 24 jam setelah oklusi pembuluh darah.

Gambar 3.2: Hipoksia miokardial4


Perubahan Akhir Infark
Perubahan patologis akhir yang terjadi dalam proses MI adalah (1) clearing
miokardium yang nekrosis dan (2) deposisi kolagen untuk membentuk jaringan skar.
Kerusakan miosit yang permanen tidak beregenerasi dan digantikan dengan
jaringan fibrosis. Makrofag menginvasi miokardium yang terinflamasi setelah infiltrasi
neutrofil dan menggantikan jaringan nekrosis. Proses ini disebut dengan yellow
softening, karena jaringan ikat ini rusak dan digantikan dengan sel miokardial. Proses
fagositik dengan dilatasi dan penipisan area infark menyebabkan kelemahan struktural
dinding ventrikel dan ruptur. Fibrosis dan terbentuknya skar terjadi dalam 7 hari4.

Perubahan Fungsional
1) Gangguan Kontraktilitas dan Compliance4

12
Kerusakan sel miokardial yang fungsional pada infark menyebabkan
gangguan kontraktilitas ventrikel. Cardiac output terganggu karena sel – sel dengan
fungsi kontraktilitas rusak. Lokasi miokardium yang mengalami penurunan
kontraktilitas disebut dengan hipokinetik, segmen yang tidak berkontraksi disebut
dengan akinetik, serta regio diskinetik merupakan area fungsional yang menonjol
saat kontraksi. Pada saat sindrom koroner akut terjadi, ventrikel kiri terkompromi
akibat disfungsi diastolik. Iskemia juga mengganggu relaksasi diastolik, yang
mengurangi compliance ventrikular dan menyebabkan peningkatan tekanan
pengisian ventrikel.
2) Disfungsi miokardium – stunned myocardium4
Iskemia miokardial transien menyebabkan disfungsi kontraktilitas. Stunned
myocardium adalah jaringan yang memiliki disfungsi sistolik berkepanjangan
setelah episode iskemia berat dan mengalami perbaikn kontraktilitas setelah
beberapa hari – minggu kemudian. Disfungsi kontraktilitas pada segmen ventrikel
dapat terlihat setelah proses infark. Stunned myocardium bukan proses nekrotik,
karena fungsinya akan membaik seiring berjalannya waktu.
3) Ischemic Preconditioning4
Proses iskemia yang singkat pada bagian miokardium dapat
menyebabkannya resisten terhadap proses iskemik selanjutnya disebut dengan
ischemic preconditioning. Pasien yang mengalami IM pada angina mengalami
mortalitas dan morbiditas yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak
mengalami ischemic preconditioning.
4) Ventricular Remodeling
Perubahan geometri terjadi pada otot ventrikel yang mengalami infark dan
non – infark dapat terjadi dan disebut dengan ventricular remodeling. Ekspansi
infark dapat terjadi pada awal serangan MI, di mana segmen yang terganggu akan
mengalami pembesaran. Ekspansi infark mengebabkan penipisan dan dilatasi zona
nekrotik jaringan. Ekspansi infark ini menyebabkan kerusakan karena dapat
memperbesar ventrikel, meningkatkan stres dinding jantung, mengganggu fungsi
kontraktilitas sistoril, dan meningkatkan risiko formasi aneurisma.
Remodeling ventrikel juga menyebabkan dilatasi segmen miokardial yang
tidak rusak, sehingga menyebabkan stres yang berlebihan. Pembesaran ini
bertujuan untuk mengkompensasi sel – sel yang sudah rusak, namun lama kelamaan
dapat menyebabkan aritmia ventrikel karena dan gagal jantung.

13
3.5. Manifestasi Klinis SKA
Tabel 3.2: Gejala infark miokardial4

Unstable Angina (UA)


UA memiliki presentasi klinis berupa akselerasi gejala iskemik dalam 1 dari 3:
(1) crescendo pattern, di mana pasien yang mengalami keluhan angina stabil kronis
menunjukkan peningkatan frekuensi, durasi, dan intensitas episode iskemik, (2)
episode angina yang terjadi saat istirahat tanpa provokasi, atau (3) episode angina baru
yang dideskrikpsikan sebagai sangat berat, pada pasien tanpa gejala penyakit arteri
koroner sebelumnya. Presentasi klinis UA berbeda dari angina kronik stabil yang
memiliki gejala klinis nyeri dada yang terprediksi, singkat, non – progresif, dan terjadi
hanya pada saat eksersi atau stres emosional. UA dapat berkembang menjadi MI bila
tidak ditangani dengan baik.

Infark Miokardial Akut


Secara kualitatif, nyeri dada menyerupai angina pectoris, lebih berat, lama dan
mengalami radiasi. Gejala diakibatkan lepasnya mediator sel miokardium yang iskemi
yang merangsang ujung saraf lokal. IM akut persisten dan menyebabkan nekrosis. Rasa

14
tidak nyaman di dada dapat dirasakan di regio lain C7 melalui dermatom T4, termasuk
leher, bahu dan tangan. Gejala biasanya memiliki onset yang cepat dan semakin berat,
sehingga pasien merasa hidupnya terancam. Nyeri tidak hilang dengan istirahat dan
tidak terlalu berespon terhadap nitrogliserin sublingual. Meskipun biasanya nyeri dada
akibat MI akut sangat berat, 25% pasien dapat memiliki gejala asimtomatis, biasanya
terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus akibat neuropati.
Akibat nyeri yang sangat berat, respon simpatetik susunan saraf pusat
memberikan reaksi. Gejala sistemik diakibatkan lepasnya katekolamin ke dalam aliran
darah dapat berupa diaforesis (berkeringat), takikardia, dan kulit dingin serta lembab
akibat vasokonstriksi. Pada MI yang melibatkan area miokardium yang luas, penurunan
kontraktilitas ventrikel kiri menyebabkan penurunan stroke volume dan menyebabkan
peningkatan volume diastolik dan tekanan dalam ventrikel kiri meningkat. Peningkatan
tekanan pada ventrikel kiri dan kekakuan dalam ruang jantung menyebabkan gangguan
pada atrium kiri dan vena pulmonal. Hal ini menyebabkan penurunan compliance paru
– paru dan menstimulasi reseptor sekitar kapiler. Stimulasi reseptor jukstakapiler
menyebabkan refleks yang menyebabkan pernafasan cepat dan dangkal sehingga
menyebabkan pestepsi dyspnea4.
Pemeriksaan fisik tergantung pada lokasi infark. Suara S4 pada auskultasi
menandakan kontraksi atrium akibat gangguan pada ventrikel kiri. Suara S3 pada
auskultasi menunjukkan adanya overload volume yang terjadi akibat gagalnya fungsi
sistolik ventrikel kiri. Murmur sistolik dapat muncul apabila disfungsi otot papiler
menyebabkan gangguan fungsi katup mitral, atau bila infark ruptur melalui septum
interventrikular dan menyebabkan defek septum ventrikel.
Nekrosis sel – sel miosit menyebabkan respon inflamasi sistemik. Sebagai
respon terhadap kerusakan sel, sitokin seperti interleukin – 1 (IL -1) dan tumor necrosis
factor (TNF) dilepaskan oleh makrofag dan endotel pembuluh darah. Mediator ini
menyebabkan berbadai respon seperti demam.

3.6. Diagnosis Banding


Terdapat banyak gejala yang serupa dengan MI, di antaranya tertera pada tabel 3.3.

15
Tabel 3.4: Kondisi yang dapat menjadi diagnosis banding SKA

16
Tabel 3.5: Gejala SKA4

17
3.7. Diagnosis Sindrom Koroner Akut
Diagnosis sindrom koroner akut dilakukan berdasarkan:
1) Gejala pasien
Gejala yang dirasakan oleh pasien perlu ditanyakan secara mendalam untuk
membedakannya dengan nyeri dada akibat penyebab – penyebab lain. Pada UA,
diagnosis klinis perlu dilakukan, dibantu dengan abnormalitas transien ST pada
EKG (depresi ST dan/atau inversi gelombang T), dan tidak adanya biomarker pada
serum nekrosis miokardium. Non – ST segment elevation MI dibedakan dengan UA
dari deteksi biomarker serum dan hasil EKG yang menunjukan abnormalitas
gelombang ST atau T.
2) Abnormalitas EKG
Pada UA atau NSTEMI, depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T
dapat terlihat. Hasil EKG seperti ini biasanya transien dan hanya terjadi pada
episode nyeri dada dalam UA atau persisten pada NSTEMI.
EKG pada STEMI berubah seiring dengan waktu: pertama elevasi segmen
S, beberapa jam kemudian diikuti dengan inversi gelombang T dan terbentuknya
gelombang Q4.
3) Biomarker Serum
Nekrosis jaringan miokardial menyebabkan disrupsi sarkolema, sehingga
biomarker masuk ke dalam interstitium jantung dan dialirkan ke seluruh tubuh.
Biomarker pada serum yang dapat terdeteksi berupa troponin dan creatine kinase
MB (CK – MB). Pada STEMI dan NSTEMI, biomarker ini meningkat4.
A) Troponin4
Troponin adalah protein regulator pada sel otot yang mengontrol
interaksi miosin dan aktin. Terdapat 3 jenis, yaitu TnC, TnI, dan TnT. Jantung
membentuk troponin I dan troponin T. Peningkatan jumlah troponin I dan T
sensitif terhadap deteksi MI karena pada orang sehat biomarker ini tidak ada di
dalam darah.

18
Gambar 3.3: Evaluasi biomarker dalam serum untuk infark miokardial
akut4
Kondisi lain yang menyebabkan peningkatan troponin adalah inflamasi
jantung atau gangguan lain pada jantung yang sifatnya akut. Pada IM, enzim
troponin akan meningkat dalam 3 – 4 jam setelah munculnya gejaka hingga
puncaknya pada 18 – 36 jam, lalu akan menurun secara perlahan dan masih
dapat terdeteksi hingga 10 – 14 hari setelah IM.
B) Creatine Kinase
Enzim creatine kinase (CK) mentransfer grup fosfat dari creatine
phosphate ke ADP, menghasilkan ATP. CK ditemukan di otot skeletal, otak,
dan organ – organ lainnya, maka CK dapat terdeteksi pada kondisi trauma pada
organ – organ ini. Terdapat 3 isoensim CK, yaitu CK – MM (banyak di otot
skeletal), CK – BB (banyak di otak), dan CK – MB (banyak di dalam jantung).
CK – MB paling banyak dideteksi di dalam otot jantung, namun dapat
ditemukan di tempat lain seperti otot skeletal, uterus, prostat, susu, diafragma
dan lidah.
Rasio CK – MB dan total CK perlu dihitung untuk mendiagnosis IM.
>2.5% biasanya menunjukkan adanya MI.
Level CK – MB dalam serum meningkat 3 – 8 jam pasca infark,
puncaknya pada 24 jam dan kembali ke semla dalam 48 – 72 jam4.

3.8. NSTEMI dan UAP

19
Penderita penyakit jantung koroner harus dievaluasi risiko mortalitas, SKA baru
atau ulangan, atau yang memerlukan revaskularisasi yang darurat.
3.8.1. Stratifikasi Risiko NSTEMI dan UAP
Terdapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk menentukan risiko
perdarahan, yaitu menggunakan skor TIMI (Thrombolysis in Myocardial
Infarction), GRACE (Global Registry of Acute Coronary Event), dan
CRUSADE (Can Rapid Risk Stratification of Unstable Angina Patients
Suppress Adverse Outcome with Early Implementation of the ACC/AHA
guideline). Tujuan stratifikasi risiko ini adalah untuk menentukan pilihan
penggunaan antitrombotik, terutama pada pasien dengan NTEMI.
1) Stratifikasi risiko TIMI (Thrombolysis in Myocardial Infarction)5
Stratifikasi risiko TIMI ditentukan oleh jumlah skor dari 7 variabel.
Variabel tersebut adalah usia > = 65 tahun, > = 3 risiko, stenosis koroner >=
50%, deviasi segment ST pada EKG, terdapat 2 kali keluhan angina dalam
24 jam yang lalu, peningkatan marka jantung, dan penggunaan aspirin
dalam 7 hari terakhir. Stenosis koroner > = 50% merupakan variabel yang
sulit terdeteksi. Jumlah skor 0 – 2 merupakan risiko rendah (risiko kejadian
kardiovaskular <8.3%); skor 3 – 4: risiko menengah (risiko kejadian
kardiovaskular 19.9%), skor 5 – 7: risiko tinggi (risiko kejadian
kardiovaskular hingga 41%). Stratifikasi TIMI divalidasi untuk
memprediksi kematian 30 hari dan 1 tahun pada spektrum SKA.

Tabel 3.6, 3.7: Skor TIMI untuk NSTEMI dan UA5

20
2) Skor GRACE (Global Registry of Acute Coronary Events)5
Klasifikasi GRACE menginklusi variabel berupa usia, kelas Killip,
tekanan darah sistolik, deviasi segmen ST, cardiac arrest, kreatinin serum
biomarker jantung, dan frekuensi denyut jantung. Klasifikasi ini bertujuan
untuk memprediksi mortalitas saat dilakukan perawatan di rumah sakit dan
dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit. Prediksi kematian di rumah
sakit dapat menggunakan skor risiko GRACE <=108 dianggap memiliki
risiko rendah (risiko kematian <1%) dan skor risiko GRACE 109 – 140 dan
> 140 berurutan mempunyai risiko kematian menengah (1 – 3%) dan tinggi
(>3%). Klasifikasi GRACE digunakan untuk memprediksi kematian di
rumah sakit dan dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit5.

21
Tabel 3.8: Skor GRACE5

22
Tabel 3.9: Skor GRACE5

3) Stratifikasi risiko berdasarkan Killip


Klasifikasi ini merupakan klasifikasi indikator klinis gagal jantung
sebagai komplikasi infark miokardium akut, bertujuan untuk melihat
prognosis dalam 30 hari.

23
Tabel 3.10: Klasifikasi Killip5

4) Stratifikasi risiko berdasarkan CRUSADE


Stratifikasi risiko perdarahan perlu diperhitungkan pada pasien dengan
NSTEMI. CRUSADE bleeding risk score memiliki variabel – variabel berupa
kadar hematokrit, creatinine clearance, laju denyut jantung, jenis kelamin, tanda
gagal jantung, penyakit vaskular, diabetes, dan tekanan darah sistolik.

Tabel 3.11: Risiko perdarahan CRUSADE5

24
25
Tabel 3.12: Stratifikasi risiko berdasarkan skor CRUSADE5

26
BAB IV

TATALAKSANA DAN KOMPLIKASI SINDROM KORONER


AKUT

Tata laksana sindrom koroner akut berupa inisiasi terapi yang cepat untuk melimitasi
jaringan miokardial yang sudah rusak dan meminimalisir komplikasi yang terjadi. Terapi harus
merusak trombus intrakoroner yang menyebabkan sindroma dan menyediakan terapi anti –
iskemik yang mengembalikan keseimbangan suplai oksigen dan penggunaan oksigen.
Terdapat perbedaan yang signifikan dalam penatalaksanaan pasien dengan STEMI, NSTEMI
dan UA. Pasien dengan STEMI biasanya memiliki oklusi total pembuluh darah koroner dan
harus dilakukan terapi reperfusi yang cepat dibandingkan dengan NSTEMI dan UA.

4.1. Tata Laksana Gawat Darurat

Diagnosis Awal
Tata laksana termasuk diagnosis inisial perlu dilakukan segera. Diagnosis
dibuat berdasarkan dengan gejala yang konsusten dengan iskemia miokardial dan tanda
(pada EKG). Anamnesis riwayat lain seperti riwayat penyakit jantung koroner, nyeri
dengan radiasi hingga ke leher, dagu, atau lengan kiri. Gejala lainnya dapat berupa
sesak nafas, muntah, lemas, palpitasi, dan sinkop.6
1. EKG 12 – Lead
Hal pertama yang wajib dilakukan pada pasien yang dicurigai dengan MI
adalah memasang alat EKG 12 - lead dan diinterpretasikan secepatnya. Sebaiknya
EKG 12 – lead dikaliberasi standar 10 mm/mV6. Pasien yang dicurigai dengan
iskemia miokardial dan terdapat ST – segment elevation pada EKG harus menjalani
reperfusi secepatnya. ST – segment elevation. Kriteria ST – elevation: Setidaknya 2
lead yang berkaitan mengalami elevasi segmen ST ≥ 2.5 mm pada laki – laki < 40
tahun, dan ≥ 2 mm pada laki – laki ≥ 40 tahun; atau ≥ 1.5 mm pada wanita di lead
V2 – V3 dan/atau ≥1 mm pada lead lainnya [tidak ada hipertrofi ventrikel kiri atau
left bundle branch block (LBBB)]6. Pada pasien yang dicurigai memiliki infark
bagian inferior perlu menggunakan lead prekordial kanan (V3R dan V4R) untuk
mendeteksi adanya infark ventrikel kanan. Depresi segmen ST pada lead V1 – V3

27
menunjukkan adanya iskemia miokardial, terutama bila gelombang T positif, dan
konfirmasi dilakukan dengan elevasiu segmen ST ≥ 0.5 mm pada lead V7 – V96.
Tabel 4.1: Kriteria ST – elevation6

2. Meredakan Nyeri, Sesak Nafas, dan Kecemasan Pasien6


Meredakan nyeri sangat penting dilakukan untuk meredakan kecemasan
pasien dan mengurangi aktivasi simpatetik yang menyebabkan vasokonstriksi dan
meningkatkan kerja jantung. Untuk meredakan nyeri, titrasi morfin intravena dapat
dilakukan, namun berkaitan dengan rendahnya uptake, penurunan kerja dan
hilangnya efek agen antiplatelet oral (seperti clopidogrel, ticagrelor dan prasugrel).
Pada pasien yang sesak dan hipoksia dengan saturasi oksigen arteri SaO2 <
90%, oksigen harus diberikan.
3. Henti Jantung
STEMI onset awal dapat menyebabkan kematian karena menyebabkan
fibrilasi ventrikel. Pasien pasca henti jantung atau elevasi segmen ST harus
mempertimbangkan PCI primer. Pada pasien yang mengalami henti jantung,
angiografi < 2 jam harus dilakukan secepatnya. Pada pasien yang mengalami
NSTEMI dan mengalami henti jantung perlu dirawat di ruang intensive cardiac
care unit (ICCU), mengeksklusikan penyebab non – kardiogenik lain dan bila dapat
dikerjakan, dilakukan echocardiography segera.
Pasien yang tidak sadar saat sampai di rumah sakit perlu dirawat di ruang
ICCU dan menjalani terapi temperatur tertarget (therapeutic hypothermia) antara
32 – 36 °C selama setidaknya 24 jam.
4. Tata laksana Umum

28
Prinsip utama tata laksana SKA adalah mengembalikan aliran darah koroner
dengan trombolitik/primary catheterization inhibitor (PCI) untuk menyelamatkan
jantung dari infark miokardium, membatasi luasnya infark miokard, dan
mempertahankan fungsi jantung. Terapi awal yang perlu diberikan adalah morfin,
oksigen, nitrat, dan aspirin (MONA)5,6:
 Oksigen diberikan bila SaO2 <90%.
 Aspirin oral 160 – 320 mg.
 Dosis awal clopidogrel 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharan 75
mg/hari adalah dosis yang terbukti efektif berdasarkan penelitian klinis.
 Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sbulingual bagi pasien dengan nyeri dada. Jika
nyeri dada tidak hilang dengan 1 kali pemberian, dapat diulang setiap 5 menit
sekali maksimal 3 kali. Nitrogliserin intravena diberikan bila pasien tidak
responsif terhadap terapi 3 dosis NTG sublingual. Bila NTG tidak ada, ISDN
(Isosorbid dinitrat) dapat dipakai.
 Morfin sulfat 1 – 5 mg IV dapat diulang setiap 10 – 30 menit, bagi pasien yang
tidak responsif dengan terapi 3 dosis NTG.

29
Gambar 4.2.: Algoritma terapi sindrom koroner akut4
4.2. Tata laksana NSTEMI dan Unstable Angina (UA)
Terapi umum
Pasien perlu perawat di rumah sakit, diutamakan dirawat di ruang intensif
koroner. Pasien perlu melakukan tirah baring (bed rest), diberikan oksigen. Morfin
diberikan bila pasien masih mengeluhkan nyeri dada setelah diberikan nitrogliserin.
1) Pemasangan infus intravena: Dekstrosa 5% atau NaCl 0.9%
2) Aktivias: Istriahat di tempat tidur
3) Diet: Puasa hingga nyeri hilang, kemudian berikan diet cair.
4) Medikamentosa:
a. Oksigen nasal, direkomendasikan pada pasien dengan SaO2 <90%
b. Mengatasi nyeri: Pemberian nitrat sublingual. Bila 3 kali tidak membaik,
diberikan nitrogliserin drip atau morfin 2.5 mg intravena, diulang 5 menit

30
sekali sampai dosis total 20 mg atau petidin 25 – 50 mg intravena atau
tramadol 25 – 50 mg intravena.
c. Aspirin 80 – 325 mg hisap/telan.
d. Heparin intravena, target aPTT 1.5 – 2.5 kontrol. Diberikan 3 – 5 hari.
e. Nitrat oral atau topikal setelah nitrogliserin sublingual.
f. Penghambat reseptor adenosine diphosphate (ADP)
g. Beta – blocker

Obat – obatan yang diperlukan dalam menangani SKA NSTEMI dan UA5:
a) Anti Iskemia
a. Beta – blocker
Merupakan obat anti – iskemik yang berfungsi menurunkan kebutuhan
oksigen miokardium dengan mengurangi detak jantung, tekanan darah, dan
kontraktilitas. Beta – blocker baik digunakan untuk meningkatkan perfusi
koroner karena memperpanjang diastolik. Beta – blocker baik digunakan untuk
pasien dengan UA atau NSTEMI, apalagi bila memiliki hipertensi dan/atau
takikardia. Beta – blocker diberikan di 24 jam pertama. Kontraindikasi
pemberiannya adalah pasien dengan gangguan konduksi atrioventrikular, asma
bronkial atau disfungsi akut ventrikel kiri. Selain itu, pasien dengan gagal
jantung atau risiko syok kardiogenik, hipotensi, blok jantung, bronkospasme
sebaiknya tidak diberikan beta – blocker5. Pasien dengan skor Killip >IIIa tidak
direkomendasikan untuk diberikan terapi ini.

Tabel 4.2.: Jenis dan dosis beta – blocker pada SKA5

b. Nitrat5

31
Nitrat membantu mendilatasi vena sehingga pre – load dan volume
akhir diastolik ventrikel kiri menurun. Oleh sebab itu dapat membantu
mengurangi demand oksigen miokardium. Efek lain adalah mendilatasi
pembuluh darah koroner. Nitrat memiliki fungsi yang baik dapat mengurangi
keluhan nyeri dada.
Pasien dengan UA dan NTEMI mendapatkan nitrat sublingual setiap 5
menit sampai maksimal 3 kali pemberian. Bila ada kontraindikasi dapat
diberikan secara intravena. Nitrat intravena diberikan pada pasien dengan
iskemia persisten, gagal jantung, atau hipertensi selama 48 jam pertama
NSTEMI/UA.
Kontraindikasi pemberian nitrat adalah bila tekanan sistolik <90 mmHg
atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia (<50 x/menit), takikardia, atau
infark ventrikel kanan.

Tabel 4.3: Jenis dan dosis nitrat5

c. Calcium channel blocker/CCB5


Nifedipine dan amlodipin menyebabkan vasodilatasi arteri tanpa
mempengaruhi nodus SA atau AV. Verapamil dan diltiazem dapat mengganggu
nodus SA dan AV. Pilihan CCB untuk SKA adalah golongan dihidropiridin.

32
Tabel 4.4.: Jenis dan dosis CCB5

b) Anti – Platelet
 Aspirin diberikan pada semua pasien tanpa kontraindikasi, dosisnya adalah 150 –
300 mg, dengan dosis pemeliharaan 75 – 100 mg/hari.
 Penghambat reseptor ADP harus diberikan dengan aspirin selama 12 bulan,
kontraindikasinya adalah pendarahan berlebih.
 Penghambat pompa proton (PPi) diberikan pada pasien dengan riwayat pendarahan
saluran cerna, ulkus peptikum. Pasien risiko tinggi: usia 65 tahun, infeksi H. pylori.

Tabel: 4.5: Antiplatelet pada IM


c) Penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa5
Agen ini diberikan pada pasien SKA yang mendapatkan DAPT dengan risiko
tinggi (peningkatan troponin, trombus).
d) Anti – koagulan
Pemberian anti – koagulan disarankan pada pasien yang mendapatkan anti =
platelet. Pilhan anti – koagulan dilakukan dengan cara menentukan risiko perdarahan.
Dibandingkan dengan yang lain, Fondaparinux memiliki keamanan yang sangat baik.
Pada awal pemberian Fondaparinux, wajib ditambahkan bolus UFH (85 IU/kg
diadaptasi, atau 60 IU pada pasien yang mendapatkan penghambat GP Iib/IIIa)5. Bila
Fondaparinux tidak tersedia, dapat diberikan Enoxaparin (1 mg/kg 2 kali sehari).

33
Sementara itu, heparin tidak terfraksi diberikan dengan target aPTT 50 – 70 detik atau
heparin berat molekul rendah dapat diberikan bila fondapzarinux dan enoxsaparin tidak
tersedia.
Tabel 4.6: Tabel jenis dan dosis antikoagulan pada IM5

e) ACE – Inhibitor dan Penghamat Reseptor Angiotensin (ARB)


ACE inhibitor diindikasikan untuk penggunaan jangka panjang, terutama pada
pasien yang memiliki fraksi ejeksi ventrikel kiri <40%, pasien diabetes mellitus,

hipertensi, dan gagal ginjal kronik. ARB merupakan alternatif yang dapat digunakan
bila ACE tidak ditoleransi dengan baik. Kontraindikasi adalah hipotensi, shock,
stenosis arteri renalis, perburukan fungsi ginjal dan alergi obat.
Tabel: 4.6: Jenis dan dosis penghambat ACE untuk IM
f) Statin
Statin berfungsi menghambat enzim HMG – CoA reduktase, membatasi sintesis
kolesterol, dan menurunkan LDLD – Kolesterol. Statin harus diberikan pada pasien
dengan UAP/STEMI dan yang sudah menjalani terapi revaskularisasi. Target kadar
kolesterol LDL adalah <100 mg/dL sebelum keluar rumah sakit dilanjutkan hingga <70
mg/dL saat keluar rumah sakit.

34
Tabel 4.7: Jenis dan dosis statin intensitas tinggi.5

4.3. Tata laksana STEMI


Diagnosis kerja infark miokard harus ditegakkan dengan adanya nyeri dada
selama 20 menit, yang tidak membatik dengan nitrogliserin. Riwayat penjalaran nyeri
ke leher, rahang bawah, atau lengan kanan mendukung diagnosis ini. Pada pasien ini
diperlukan pengawasan EKG. Diagnosis harus dibuat secepatnya dengan interpretasi
EKG 12 sadapan, setidaknya 10 menit dari saat pasien tiba. Target yang ingin dicapai
untuk memastikan keberhasilan terapi adalah kontak medis pertama hingga perekaman
EKG <10 menit, fibrinolisis <30 menit, dan PCI primer <90 menit.

35
Tabel 4.8: Rekomendasi waktu optimal pada STEMI5

36
Gambar 4.3: Gambaran target terapi saat pasien masuk pertama kali hingga intervensi6

Gambar 4.4: Gambaran waktu pasien – fasilitas kesehatan6

4.3.1. Terapi Reperfusi5


PCI atau percutaneous coronary intervention primer adalah strategi tata
laksana yang diutamakan pada pasien dengan STEMI dalam 12 jam mulainya
gejala, dan 2 jam setelah diagnosis STEMI, atau adanya left bundle branch
block (LBBB)5,6. Dalam beberapa situasi di mana PCI primer tidak dapat
dilakukan, terapi fibrinolisis dapat dilakukan. Terapi fibrinolisis dapat
dilakukan dengan administrasi bolus fibrinolitik dalam 10 menit setelah
diagnosis STEMI. Setelah administrasi bolus tersebut, pasien harus tetap
dibawa ke rumah sakit yang memiliki fasilitas PCI. Rescue PCI dilakukan bila
fibrinolitik gagal dilakukan (pada kondisi di mana resolusi segmen ST <50%
dalam 60 – 90 menit setelah administrasi fibrinolitik), atau pada kondisi
ketidakstabilan hemodinamik, instabilitas elektrik, iskemia yang memburuk,
atau nyeri dada yang persisten. Bila terapi fibrinolisis berhasil,
direkomendasikan untuk melakukan angiografi koroner rutin. Sementara itu,

37
early PCI diindikasikan stelah fibrinolisis yang berhasil (2 – 24 jam setelah
fibrinolisis).
Pada beberapa kondisi, primary PCI dapat dipikirkan untuk dilakukan
pada pasien yang datang dengan gejala sudah > 12 jam, di antaranya: (1) adanya
bukti iskemia pada EKG, (2) perubahan atau nyeri rekuren dan perubahan EKG,
(3) nyeri yang terus – menerus atau rekuren, gejala dan tanda – tanda gagal
jantung, shock, atau aritmia maligna.
4.3.2. Terapi Medikamentosa Periprosedural5,6
Pasien yang akan menjalani PCI primer sebaiknya diberikan terapi
antiplatelet ganda berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP sebelum
melakukan angiografi. Aspirin oral (160 – 320 mg), ditambahkan dengan
penghambat reseptor ADP:
1. Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg 2 kali
sehari).
2. Atau boleh diberikan clopidogrel (dosis loading 600 mg diikuti 75 g/hari),
bila ticagrelor tidak tersedia.
Antikoagulan intravena harus digunakan pada PCI primer5:
1. Heparin tidak terfraksi, digunakan pada pasien yang tidak mendapatkan
bivarlirudin atau enoxaparin.
2. Enoxaparin IV (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP IIb/IIIa) dapat
dipilih.
3. Fondaparinux tidak disarankan untuk PCI primer.
4. Fibrinolisis tidak disarankan untuk pasien yang akan menjalani PCI
primer.

38
Tabel 4.9: Jenis dan obat antiplatelet dan antikoagulan pada pasien PCI primer5

4.3.3. Terapi Fibrinolitik


Fibrinolitik adalah usaha reperfusi yang penting bila tidak ada fasilitas
PCI primer yang tersedia. Fibrinolitik diberikan dalam 12 jam sejak onset gejala
bila tidak memiliki kontraindikasi.
Agen spesifik terhadap fibrin lebih baik digunakan (tenecteplase,
alteplase, reteplase). Pada fibrinolitik perlu juga diberikan aspirin oral.
Clopidogrel diberikan sebagai tambahan. Anti – koagulan direkomenasikan
untuk pasien yang diobati hingga revaskularisasi atau selama 5 hari di rumah
sakit. Obatnya berupa:
1. Enoxaparin subkutan
2. Heparin tidak terfraksi (bolus intravena)
3. Fondaparinux intravena bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan selama 24
jam, pada pasien yang mendapatkan streptokinase.

39
Tabel 4.10: Dosis fibrinolitik dan ko - terapi antitrombotik5

40
Gambar 4.5: Langkah pemberian fibrinolitik STEMI5

41
Tabel 4.11: Kontraindikasi terapi fibrinolitik5
4.3.4. Oksigen5
Pada pasien dengan STEMI, saturasi oksigen perlu diberikan, pada pasien
yang mengalami hipoksemia (SaO2 <90%) dan edema pulmonal SaO2 <90%.
Saturasi dipertahankan >95%.
4.3.5. Statin5
Statin direkomendasikan pada semua pasien, dengan pilihan statin
intensitas tinggi. Target LDL adalah < = 70 mg/dL, atau reduksi 50% bila kadar
awal 70 – 135 mg/dL.
4.3.6. Terapi Jangka Panjang5,6
Terapi jangka panjang yang disarankan adalah:
1) Pengendalian faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, merokok.
2) Terapi anti – platelet dengan aspirin dosis rendah (75 – 100 mg)
3) DAPT (Aspirin dengan penghambat reseptor ADP) hingga 12 bulan setelah
STEMI.
4) Pengobatan oral beta – blocker pada pasien gagal ginjal atau disfungsi ventrikel
kiri.
5) Mengontrol dengan memeriksakan profil lipid puasa setelah STEMI.
6) Statin intensitas tinggi diberikan tanpa memandang nilai kolesterol awal,
asalkan tidak ada kontra indikasi atau intoleransi.
7) ACE inhibitor diberikan 24 jam sejak STEMI pada pasien gagal ginjal,
disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark anterior. ARB dapat
digunakan.

42
8) Aldosterone antagonist diberikan bila fraksi ejeksi <40%, gagal ginjal, atau
diabetes.
4.4. Komplikasi SKA
Komplikasi Sindrom Koroner Akut:

Gambar 4.6: Komplikasi IM4

A. STEMI
1. Disfungsi miokardial
2. Gagal jantung
3. Kerusakan mekanik
B. Unstable Angina
1. Kematian 5% - 10%
2. Progresi ke infark 10% - 20%

1. Iskemia Rekuren4,5
Angina post – infark dapat terjadi pada 20% - 30% pasien yang mengalami IM.

43
2. Aritmia4,5
Aritmia sering terjadi pada IM akut dan menjadi penyebab kematian yang
sering pada pasien dengan SKA pre – rumah sakit. Biasanya aritmia akibat SKA
dapat di atasi dalam rawat inap. Mekanisme yang berkaitan dengan aritmia pasca
IM berkaitan dengan:
1. Interupsi aliran darah pada struktur yang berkaitan dengan jalur konduksi.
2. Akumulasi produk metabolik toksik (asidosis metabolik) dan konsentrasi ion
yang abnormal.
3. Stimulasi otonom (simpatetik dan parasimpatetik)
4. Obat – obatan yang menyebabkan aritmia (contoh: dopamin)

Tabel 4.12: Sistem konduksi dan pembuluh darah yang terkait4

3. Disfungsi Miokardium4,5
a. Gagal jantung kongestif
Kerusakan fungsi kontraktilitas ventrikel dan elastisitas miokardium
menyebabkan gagal jantung. Aritmia akibat IM juga dapat menyebabkan
gagal jantung sebagai komplikasi mekanis. Diagnosis dilakukan secara
klinis pada fase akut dan subakut STEMI dibantu dengan gejala dyspnea,
sinus takikardia, suara jantung ketida, ronki, dan bukti – bukti objektif
disfungsi otot jantung.
b. Shock kardiogenik

44
Merupakan penurunan cardiac output dan hipotensi yang
menyebabkan perfusi inadekuat pada jaringan perifer. Hipotensi
menyebabkan infark dan mengganggu oksigen miokardium.
4. Hipotensi4,5
Ditandai dnegan tekanan darah sistolik < 90 mmHg, akibat gagal jantung,
aritmia, atau hipovolemia.
5. Kongesti paru
Ditandai dengan dispnea dan ronki basah paru pada segmen basal,
berkurangnya oksigen arterial dan kongesti paru.

45
BAB III

KESIMPULAN

Sindrom koroner akut atau SKA meliputi UA, NSTEMI, dan STEMI. Sebagian besar
kejadian SKA diperburuk oleh trombus intrakoroner pada lokasi yang tertutup dengan plak
aterosklerotik. Ruptur plak akan menyebabkan formasi trombus melalui aktivasi platelet dan
kaskade koagulasi. Oleh sebab itu, terjadi penurunan jumlah vasodilator dan mediator anti –
trombotik akibat disfungsi endotel. Spektrum SKA dapat dibedakan berdasarkan tingkat
keparahan iskemia dan nekrosis. STEMI berkaitan dengan trombus yang sifatnya oklusif dan
menyebabkan iskemia parah dengan nekrosis. Sementara itu, SKA tanpa elevasi ST (NSTEMI
dan UA) biasanya disebabkan oleh trombus yang oklusif namun hanya sebagian dengan derajat
iskemia yang lebih ringan. Dibandingkan dengan UA, NSTEMI tidak dapat menyebabkan
nekrosis miokardial.
SKA dapat menyebabkan berbagai komplikasi, termasuk di dalamnya adalah
perubahan mekanik dan biokimia yang menyebabkan kerusakan kontraktilitas sistol,
penurunan compliance, dan meningkatkan risiko aritmia. Infark pada otot jantung
menyebabkan respon inflamasi yang menyebabkan formasi jaringan ikat. Iskemia transien
tanpa infark dapat menyebabkan stunned miokardium. Diagnosis SKA dapat dilakukan dengan
menganalisa riwayat pasien, perubahan pada EKG, dan adanya biomarker dalam serum.
Tata laksana akut UA dan NASTEMI adalah terapi anti - iskemik (beta – blocker,
nitrat) untuk memperbaiki suplai oksigen dan permintaan oksigen, serta terapi antitrombotik
untuk membantu melepaskan trombus (aspirin, antikoagulan). Angiografi koroner awal dengan
revaskularisasi sangat baik digunakan pada pasien dengan risiko tinggi. Sementara itu, tata
laksana STEMI adalah berupa strategi reperfusi dengan obat – obatan fibrinolitik atau
penggunaan intervensi kateter. Obat – obatan lain yang penting adalah terapi anti – platelet,
antikoagulan, beta – blocker dan nitrat.
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien paska SKA adalah aritmia, blok
atrioventrikular, dan bundle branch block. Pada kondisi disfungsi ventrikel, gangguan seperti
shock kardiogenik dan gagal jantung dapat terjadi. Bila terdapat gangguan pada pergerakan
otot jantung, maka terdapat risiko tinggi untuk terbentuknya trombus.
Setelah dipulangkan dari rumah sakit, terdapat beberapa terapi farmakologi yang harus
diberikan, di antaranya adalah obat yang menurunkan risiko terbentuknya trombosis (aspirin

46
dan klopidogrel), iskemia berulang (seperti beta – blocker), menurunkan risiko aterosklerosis
progresif (seperti statin), dan menurunkan risiko ventricular remodeling (ACE – inhibitor).

DAFTAR PUSTAKA

1. Cardiovascular diseases (CVDs) [Internet]. World Health Organization. 2019 [cited


23 April 2019]. Available from: https://www.who.int/cardiovascular_diseases/en/
2. Sanchis-Gomar F, Perez-Quilis C, Leischik R, Lucia A. Epidemiology of coronary
heart disease and acute coronary syndrome. Annals of Translational Medicine.
2016;4(13):256-256.
3. Drake R, Vogl W, Mitchell A. Gray's basic anatomy. Edinburgh: Churchill
Livingstone; 2012.
4. Lilly L. Pathophysiology of heart disease. Baltimore, MD: Wolters Kluwer/Lippincott
Williams & Wilkins; 2011.
5. PEDOMAN TATA LAKSANA SINDROM KORONER AKUT. 4th ed. Jakarta;
2018.
6. Ibanez B, James S, Agewall S, Antunes M, Bucciarelli-Ducci C, Bueno H et al. 2017
ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients
presenting with ST-segment elevation. European Heart Journal. 2017;39(2):119-177.
7. Roffi M, Patrono C, Collet J, Mueller C, Valgimigli M, Andreotti F et al. 2015 ESC
Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients presenting
without persistent ST-segment elevation. European Heart Journal. 2015;37(3):267-
315.

47

Anda mungkin juga menyukai