Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

DISEKSI AORTA

Disusun oleh:

Elson

01073180093

Pembimbing:

dr. Samsul Bakhri, Sp. JP

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE NOVEMBER – JANUARI 2020
JAKARTA
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 2

2.1 Definisi ..................................................................................................... 2

2.2 Epidemiologi ............................................................................................ 2

2.3 Anatomi aorta ........................................................................................... 3

2.3.1 Aorta Ascenden ................................................................................. 4

2.3.2 Arcus Aorta ....................................................................................... 5

2.3.3 Aorta descenden ................................................................................ 6

2.4 Histologi aorta ........................................................................................ 13

2.5 Etiologi dan faktor risiko ........................................................................ 14

2.6 Patofisiologi............................................................................................ 14

2.7 Klasifikasi ............................................................................................... 16

2.8 Manifestasi klinis ................................................................................... 17

2.9 Diagnosis ................................................................................................ 19

2.10 Tatalaksana ............................................................................................. 26

2.11 Prognosis ................................................................................................ 28

BAB III KESIMPULAN ...................................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 31


BAB I
PENDAHULUAN

Diseksi aorta adalah sebuah kondisi dimana terjadi robekan pada tunica
intima aorta yang mengakibatkan darah mengalir ke dalam dinding aorta. Robekan
tersebut menyebabkan nyeri yang hebat dan juga bila tidak ditangani dapat
mengakibatkan ruptur aorta dan juga kematian.

Data epidemiologi menunjukkan diseksi aorta merupakan sebuah penyakit


yang relatif langka dengan angka kejadian sekitar 3 – 4 kasus setiap 100.000
penduduk setiap tahunnya. Meskipun tergolong cukup langka, diseksi aorta yang
tidak segera ditangani dengan tepat memiliki tingkat mortalitas yang tinggi.
Sebenarnya pasien yang mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat dapat
menurunkan mortalitas secara signifikan. Keterlambatan dan ketidaktepatan
diagnosis seringkali terjadi sehingga menyebabkan pasien meninggal.

Keterlambatan dan ketidaktepatan diagnosis seringkali terjadi karena


gambaran klinis pasien yang dapat menyerupai sindrom coroner akut atau masalah
lain pada paru. Atas pertimbangan tersebut, referat ini dibuat dengan tujuan untuk
dapat membantu tenaga kesehatan dalam mengenali dan menangani diseksi aorta
dengan baik.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi1
Diseksi aorta dapat didefinisikan sebagai robekan pada tunica intima
sehingga menyebabkan darah mengalir masuk ke dalam dinding aorta.
Diseksi aorta merupakan sebuah bagian dari spektrum yang dinamakan
acute aortic syndrome.

2.2 Epidemiologi1
Menurut sebuah penelitian diperkirakan kejadian diseksi aorta
sekitar 3 – 4 kasus untuk setiap 100.000 penduduk setiap tahunnya2. Angka
ini diperkirakan lebih rendah dari yang sebenarnya dikarenakan kesulitan
daripada diagnosis diseksi aorta2. Sebuah penelitian lain menemukan angka
yang serupa yaitu 5 – 30 kasus setiap 1 juta penduduk1. Tingkat kematian
diseksi aorta cukup tinggi yaitu ditemukan lebih dari 50% pasien meninggal
dalam waktu 30 hari3. Sebuah penelitian lain menemukan tingkat kematian
yang lebih tinggi terutama pada diseksi aorta tipe A. 50% pasien dengan
diseksi aorta tipe A memiliki kemungkinan meninggal pada hari ketiga dan
hampir 80% meninggal pada akhir minggu kedua4. Pada diseksi aorta tipe
B angka kematiannya lebih rendah namun tetap signifikan yaitu 10 – 70%
pada hari ke-304. Angka epidemiologi mengenai diseksi aorta di Indonesia
sejauh ini masih belum ada, kemungkinan dikarenakan kelangkaan penyakit
ini. Salah satu penyebab tingginya mortalitas dari penyakit ini adalah
keterlambatan diagnosis. Diseksi aorta adalah kondisi yang membutuhkan
penanganan bedah segera sehingga kecepatan dan ketepatan diagnosis
sangatlah penting. Sebuah penelitian menemukan tingkat kesalahan
diagnosis awal mencapai 35% dan bagi mereka yang terdiagnosis dengan
tepat, terdapat keterlambatan rata-rata selama 4.3 jam5. Beberapa penyebab
dari keterlambatan dan ketidaktepatan diagnosis adalah manifestasi klinis
pasien yang atipikal sehingga menyerupai sindrom koroner akut atau
masalah pada paru5.

2
2.3 Anatomi aorta6,7

Gambar 1. Anatomi Aorta

Secara umum, aorta dimulai dari bagian atas ventrikel kiri dengan
diameter sekitar 3cm dan kemudian naik (ascending) lalu melengkung (arch)
ke arah posterior dan lateral dan kemudian tepat pada pangkal paru kiri turun
(descending) pada sisi kiri lateral kolumna vertebralis. Aorta kemudian
masuk ke rongga abdomen melalui hiatus diafragmatikus dan berakhir pada
tingkat L4. Aorta secara garis besar dapat dibagi menjadi aorta ascenden,
arcus aorta, dan aorta descenden.

3
2.3.1 Aorta Ascenden
Aorta ascenden memiliki panjang sekitar 5 cm, menyusun
bagian atas dari basis ventrikel kiri, setinggi batas bawah kartilago
kosta ke-3 di belakang kiri pertengahan sternum; aorta melintas ke
atas secara oblik, ke depan, dan ke kanan, searah aksis jantung,
setinggi batas atas dari kartilago kosta ke-2. Pada pangkal asalnya,
berlawanan dengan segmen valvula aortikus, terdapat tiga dilatasi
kecil disebut sinus aortikus. Saat pertemuan aorta ascenden dengan
arcus aorta kaliber pembuluh darah meningkat, karena bulging
dinding kanannya. Segmen dilatasi ini disebut bulbus aortikus, dan
pada potongan transversal menunjukkan bentuk yang oval. Aorta
ascenden terdapat dalam perikardium.

Gambar 2. Sinus Aorta


Aorta ascenden dilindungi oleh trunkus arteria pulmonalis
dan aurikula dekstra dan lebih tinggi lagi terpisah dari sternum oleh
perikardium, pleura kanan, margo anterior dari pulmo dekstra,
jaringan ikat longgar, dan sisa dari jaringan timus; di posterior aorta
bersandar pada atrium sinistra dan arteri pulmonaris dekstra. Pada
sisi kanan, aorta berdekatan dengan vena cava superior dan atrium
dekstra; pada sisi kiri dengan arteri pulmonaris.
Aorta ascenden hanya memiliki satu cabang yaitu arteri
coroner yang menyalurkan darah ke jantung. Percabangan ini
terdapat tepat di atas pangkal valvular semilunaris.

4
2.3.2 Arcus Aorta

Gambar 3. Arcus aorta


Arcus aorta dimulai setinggi batas atas artikulasi
sternokostalis ke-2 pada sisi kanannya, dan berjalan ke atas, ke
belakang, dan ke kiri di depan trachea; kemudian mengarah ke
belakang pada sisi kiri trachea dan akhirnya turun lewat sisi kiri
tubuh pada setinggi vertebra thoracic ke-4 berlanjut menjadi aorta
descenden. Sehingga terbentuk dua kurvatura: aorta yang
melengkung ke atas serta yang melengkung ke depan dan ke kiri.
Batas atasnya kira-kira 2,5 cm di bawah batas superior manubrium
sterni.
Arcus aorta dilindungi oleh pleura di anterior dan margo
anterior dari pulmo. Saat pembuluh melintas ke belakang sisi kirinya
bersentuhan dengan pulmo sinistra dan pleura. Melintas ke bawah
pada sisi kiri bagian tersebut pada arcus terdapat 4 nervus: nervus
frenikus sinistra, kardiakus superior cabang nervus vagus sinistra,
cabang nervus kardiakus superior dari trunkus simpatikus sinistra,
dan trunkus vagus sinistra. Saat nervus terakhir tadi melintasi arcus

5
ia memberikan cabang rekuren, yang melingkar di bawah pembuluh
dan melintas ke atas pada sisi kanan. Vena interkostalis melintas
oblik ke atas dan ke depan pada sisi kiri arcus, di antara nervus
frenikus dan vagus. Pada sisi kanan terdapat pleksus kardiakus
profunda, nervus rekuren sinistra, esofagus, dan duktus torasikus;
trachea berada di belakang kanan dari pembuluh. Di atas adalah
arteri brakiosefalika, karotis komunis sinistra, dan arteri subklavia
sinistra, yang muncul dari lengkungan arcus dan bersilangan
berdekatan di pangkalnya dengan vena inominata sinistra. Di bawah
adalah bifurkasio arteri pulmonalis, bronkus sinistra, ligamentum
arteriosum, bagian superfisial dari pleksus kardiakus, dan nervus
rekuren sinistra. Ligamentum arteriosum menghubungkan arteri
pulmonari sinistra dengan arcus aorta
Arcus aorta memiliki 3 cabang yaitu arteri brakiosefalika,
karotis komunis sinistra, dan subklavia sinistra. Arteri
brakiosefalika kemudian bercabang menjadi arteri karotis komunis
dextra dan subklavia dextra.

2.3.3 Aorta descenden


Aorta descenden dibagi menjadi dua bagian sesuai dengan
rongga tubuh yang dilewatinya. Kedua bagian tersebut adalah aorta
thoracalis dan abdominalis

6
Gambar 4. Aorta thoracalis

Aorta thoracalis terdapat dalam cavum mediatinum posterior.


Dimulai pada batas bawah dari vertebra thoracic ke IV yang
merupakan lanjutan dari arcus aorta, dan berakhir di depan batas
bawah dari vertebra thoracic ke XII pada hiatus aorticus diafragma.
Dalam perjalanannya ia terdapat di sisi kiri kolumna vertebralis; ia
mendekati garis tengah saat turun; dan, saat terminasinya berada
tepat di depan kolumna vertebralis.

Aorta thoracalis memiliki banyak cabang yaitu:

 Cabang pericardial
Terdiri dari pembuluh darah kecil yang terdistribusi pada
permukaan posterior pericardium.
 Arteri bronchialis
Terdapat satu arteri bronchialis dextra berasal dari aorta
intercostalis pertama dan terdapat dua arteri bronchialis
sinistra yang berasal dari aorta thoracalis. Bagian superior
arteri bronchialis sinistra muncul berlawanan dengan

7
vertebra thoracic ke V, bagian inferior terdapat tepat
dibawah bronchus sinistra. Tiap-tiap pembuluh berjalan di
bagian belakang masing-masing bronchus, bercabang
disepanjang tube bronchus, memvaskularisasinya. Juga pada
jaringan jaringan longgar pulmo, limfonodi bronchialis, dan
esophagus.
 Arteri esofageal
Terdapat empat atau lima arteri esofageal yang berasal dari
bagian depan aorta, dan turun oblik ke bawah menuju
esophagus, membentuk rantai anastomosis sepanjang
esofagus dan beranastomosis juga dibagian atas dengan
cabang esophageal dari arteri thyroidea inferior dan dibagian
bawah dengan arteri phrenica inferior sinistra dan arteri
gastrica inferior.
 Cabang mediastinal
Cabang mediastinal terdiri dari sejumlah pembuluh darah kecil yang
menyalurkan darah untuk kelenjar getah bening dan jaringan ikat
longgar pada mediastinum posterior.
 Arteri interkostalis
Terdapat sembilan pasang arteri interkostalis aorta yang berasal dari
bagian belakang aorta. Arteri interkostalis dekstra lebih panjang
dibanding yang sinistra sesuai dengan posisi aorta yang berada di
sebelah kiri vertebra. Tiap arteri dibagi menjadi cabang anterior dan
posterior.
 Arteri subkostalis
Arteri ini berada di bawah tulang iga terakhir. Masing-
masingnya melintasi batas bawah dari costae XII dibelakang
ginjal dan didepan m. Quadratus lumborum, ditemani
dengan nervus thoracicus XII, kemudian bergabung dengan
aponeurosis posterior dari m. Transversus abdominis, dan
melintas didepan otot tersebut dan m. Obliquus internus.
Arteri ini beranastomosis dengan arteri epigastrica superior,

8
intercostalis inferior, dan lumbalis. Tiap arteri subcostalis
memberi cabang posterior yang mirip distribusinya dengan
ramus posterior arteri intercostalis.
 Cabang phrenicus superior
Merupakan pembuluh kecil yang berasal dari bagian bawah
aorta thoracica; terdistribusi ke bagian posterior dari
permukaan atas diafragma, dan beranastomosis dengan arteri
musculophrenicus dan pericardiophrenicus.

Gambar 5. Aorta abdominalis

9
Aorta abdominalis dimulai pada hiatus aortikus diafragma,
di depan batas bawah dari korpus vertebrae thoracic terakhir dan
turun didepan kolumna vertebralis, berakhir pada korpus vertebra
lumbalis ke IV, sedikit ke kiri dari garis tengah tubuh, kemudian
terbagi menjadi dua arteri iliaca comunis. Aorta semakin berkurang
ukurannya dengan semakin banyak ia mempercabangkan pembuluh
darah.

Sama seperti aorta thoracalis, aorta abdominalis memiliki


banyak cabang yang dibagi ke dalam tiga cabang besar yaitu cabang
visceral, parietal, dan terminal.

Cabang visceral kemudian dibagi menjadi:

 Arteri celiaca
Arteri ini mempercabangkan tiga cabang besar yaitu arteri gastrica
sinistra, hepatica, dan splenica.
 Arteri mesenterika superior
Arteri ini mempercabangkan arteri pancreaticoduodenalis inferior,
intestinalis, ileocolica, dan colica dextra.
 Arteri mesenterika inferior
Arteri ini mempercabangkan arteri colica sinistra, sigmoidea, dan
hemorrhoidalis superior.
 Arteri suprarenalis media
Arteri ini merupakan dua pembuluh darah kecil yang melewati
bagian lateral dan sedikit keatas, melintasi crura diafragmatika, ke
glandula suprarenalis, dimana kemudian beranastomosis dengan
cabang suprarenal dari arteri phrenica inferior dan arteri renalis.
 Arteri renalis
Arteri ini adalah dua pembuluh besar, yang muncul dari tiap sisi
aorta, tepat dibawah arteri mesenterika superior. Tiap-tiapnya
melintasi crus diafragma, sehinga membentuk sudut hampir tegak
lurus dengan aorta. Sisi kanan lebih panjang daripada sisi kiri dan
sisi kiri lebih tinggi daripada sisi kanan. Sebelum mencapai hilus

10
renalis, tiap arteri bercabang menjadi empat atau lima cabang kecil.
Tiap arteri juga mempercabangkan suprarenalis superior.

 Arteri spermatika internus


Arteri ini panjang berasal dari aorta bagian depan sedikit dibawah
arteri renalis. Tiap-tiapnya melintas turun oblik dan lateral
dibelakang peritoneum, bersandar pada m. Psoas major. Tiap-
tiapnya menyilang oblik diatas ureter dan bagian bawah arteri iliaca
eksternus untuk mencapai anulus inguinalis, kemudian melewatinya
dan merupakan salah satu penyusun corda spermatica disepanjang
canalis inguinalis menuju skrotum. Ia memvaskularisasi ductus
deferens, epididimys, bagian belakang tunica albuginea, testis,
ureter, dan m. Cremaster.
 Arteri ovaria
Arteri pada wanita yang serupa dengan arteri spermatica internus
pada pria, memvaskularisasi ovarium. Asal dan jalurnya sama
dengan arteri spermatica interna.
Cabang parietal dibagi menjadi:
 Arteri phrenica inferior
Dua arteri kecil yang memvaskularisasi diafragma. . Ia dapat berasal
terpisah dari bagian depan aorta, terkadang salah satunya berasal
dari aorta dan yang lain dari arteri renalis; tetapi jarang muncul
terpisah dari aorta. Mendekati bagian belakang tendo central
diafragma tiap pembuluh terbagi menjadi cabang medial dan lateral.
Cabang medial melintas kedepan dan beranastomosis dengan
sesamanya disisi yang berlawanan, dan dengan arteri
musculophrenicus dan pericardiophrenicus. Cabang lateral melintas
pada sisi thorax, dan beranastomosis dengan arteri intercostalis
bawah, dan dengan arteri musculophrenicus, ia juga memberi
cabang ke vena cava inferior dan esophagus. Tiap-tiap pembuluh
subcostal memberi cabang suprarenalis superior menuju kelenjar
suprarenal. Spleen dan liver juga menerima beberapa cabangnya.

11
 Arteri lumbalis
Merupakan satu seri dengan arteri interkostalis. Mereka biasanya
berjumlah empat pada tiap sisi, dan berasaldari bagian belakang
aorta, berlawanan dengan vertebra lumbalis ke IV. Kadang juga
terdapa tpasangan ke V yang berukuran kecil yang berasal dari arteri
sacralis media. Mereka beranastomosis dengan arteri intercostalis
inferior, subcostalis, iliolumbalis, iliaca circumflexi profunda, dan
epigastrica inferior. Cabang-cabang—pada sela antara processus
transversus tiap arteri lumbalis mempercabangkan ramus posterior
yang terdistribusi ke otot dan kulit punggung, ia kemudian menjadi
cabang spinal yang memasuki canalis vertebralis dan terdistribusi
sama dengan cabang spinal ramus posterior arteri intercostalis.
Cabang muscular dibentuk dari tiap arteri lumbalis dan dari ramus
posterior dari otot tetangganya.
 Arteri sacralis media
Pembuluh darah kecil, yang muncul dari belakang aorta, sedikit
diatas bifurcatio. Ia turun pada garis tengah didepan vertebra
lumbalis ke IV dan V, sacrum dan coccyx, dan berakhir pada glomus
coccygeum (coccygeal gland). Dari situ ia melintas ke permukaan
belakang rectum.

12
2.4 Histologi aorta6,7

Gambar 6. Histologi aorta


Aorta terdiri dari tunica intima, media, dan adventisia. Intima adalah
lapisan paling dalam, tipis, rumit, dan dilapisi endotel yang mudah cedera.
Lapisan media bertanggung jawab dalam menjaga kekuatan dan ketahanan
aorta karena tersusun dari lapisan menyilang jaringan elastik. Komposisi ini
memungkinkan aorta memiliki daya regang. Lapisan media juga memiliki
sangat sedikit otot polos dan kolagen diantara lapisan elastik sehingga
memberi keuntung dalam meningkatkan daya regang dan elastisitas. Hal ini
berbeda dengan arteri perifer yang memiliki lebih banyak otot polos dan
kolagen diantara lapisan elastik. Lapisan terluar adalah adventisia yang
tersusun dari kolagen. Vasa vasorum yang mensuplai darah ke lapiran luar
dinding aorta berada di lapisan adventisia. Nervus vaskularis juga berada di
adventisia sehingga pada peregangan akut dinding aorta seperti pada
keadaan diseksi aorta akan menyebabkan nyeri bagi pasien.

13
2.5 Etiologi dan faktor risiko
Penyebab dari diseksi aorta adalah adanya sobekan pada tunica
intima yang menyebabkan darah masuk ke dalam dinding aorta4. Sobekan
ini disebut sebagai entry tear dan pathognomonic untuk diseksi aorta4. Hal
ini dapat disebabkan oleh dinding aorta yang lemah sehingga rentan sobek
ketika dihadapkan dengan tekanan darah yang tinggi4.

Faktor risiko dari diseksi aorta ada yang bersifat congenital dan
acquired. Kelainan kongenital yang paling sering berhubungan dengan
diseksi aorta adalah Sindrom Marfan4. Selain daripada kelainan kongenital
tersebut, kelainan lain seperti Sindrom Ehlers-Danlos, Sindrom Turner,
stenosis aorta kongenital, dan katup aorta bicuspid8. Beberapa faktor risiko
acquired adalah hipertensi tidak terkontrol, infeksi sifilis, dan riwayat
operasi jantung sebelumnya, terutama yang menyangkut katup aorta4. Usia
tua di atas 60 dan jenis kelamin laki-laki juga merupakan faktor risiko dari
diseksi aorta4.

2.6 Patofisiologi4,9
Seperti telah disebutkan sebelumnya, diseksi aorta terjadi akibat
adanya sobekan pada tunica intima dan menyebabkan darah menglair masuk
ke dalam dinding aorta. Sobekan ini disebut dengan entry tear. Lokasi
sobekan hampir selalu terdapat pada bagian proksimal dari aorta thoracalis
namun sobekan sekunder atau re-entry tears dapat terjadi pada bagian distal
aorta thoracalis atau bahkan aorta abdominalis. Lebih spesifik, entry tear
paling sering terjadi 10cm dari katup aorta diikuti dengan sebelah distal dari
arteri subklavia sinistra, dan terakhir pada arcus aorta. Proses ini
menyebabkan terbentuknya saluran kedua yang disebut dengan false lumen
(FL). Seiring dengan perjalanan penyakit, FL menyebar ke bagian distal
secara spiral atau tegak lurus. FL juga dapat menyebar ke bagian proksimal
sampai ke katup aorta. TL dilapisi oleh tunica intima sedangkan FL terdapat
di dalam media.
Sobekan ini menimbulkan nyeri pada pasien karena pada tunica
adventisia terdapat nervus vaskularis. Seringkali, saluran normal atau yang

14
disebut dengan true lumen (TL) tertekan oleh FL dan menyebabkan
terhambatnya aliran darah ke bagian proksimal hingga menyebabkan
iskemia jaringan yang diperdarahi (aortic insufficiency). Diseksi aorta juga
dapat menutup ostia coronaria sehingga menyebabkan infark miokardium.
Komplikasi paling ditakutkan dari diseksi aorta adalah tersobeknya aorta
secara keseluruhan sehingga terjadi hemopericardium dan cardiac
tamponade.
Diseksi aorta sebenarnya adalah bagian dari sebuah spektrum yang
dinamakan acute aortic syndrome (AAS). Selain dari diseksi aorta, terdapat
2 kondisi lain dalam sindrom ini yaitu hematoma intramural dan penetrating
aortic ulcer. Hematoma intramural terjadi akibat adanya ruptur dari vasa
vasorum yang mengakibatkan pendarahan pada tunica intima. Intramural
hematoma dipikirkan adalah awal dari diseksi aorta dan pada 20% kasus
intramural hematoma ditemukan berkembang menjadi diseksi aorta. Pada
penetrating aortic ulcer terdapat sobekan pada atheroma di dinding aorta
yang menembus tunica media. Hal ini menyebabkan perdarahan ke dalam
tunica media.

Gambar 7. Acute aortic syndrome

15
2.7 Klasifikasi4,9
Klasifikasi yang sering digunakan membagi diseksi aorta secara
anatomis. Terdapat dua sistem klasifikasi yang sering digunakan yaitu
klasifikasi DeBakey dan klasifikasi Stanford.

Klasifikasi DeBakey
Tipe I Ascending and descending
Tipe II thoracic aorta
Tipe IIIa Only ascending thoracic aorta
Tipe IIIb Only descending aorta
Descending aorta and
abdominal aorta
Klasifikasi Stanford
Tipe A Ascending aorta with/without
descendent aorta
Tipe B Descendent aorta only
Tabel 1. Klasifikasi diseksi aorta

Gambar 8. Klasifikasi diseksi aorta

16
Klasifikasi DeBakey yang membagi menjadi IIIa dan IIIb sangat
berguna dalam menentukan prognosis setelah dilakukan tindakan
pembedahan. Selain klasifikasi DeBakey, klasifikasi Stanford juga cukup
populer terutama di luar kalangan bedah. Stanford tipe A sama dengan
DeBakey tipe I dan II sedangkan Stanford tipe B sama dengan DeBakey tipe
IIIa dan IIIb. Hampir 75% dari seluruh kasus diseksi aorta adalah Stanford
tipe A. Stanford tipe B dapat disertai komplikasi yaitu rupture aorta,
malperfusi, dan/atau diseksi aorta membesar secara cepat baik ke arah
proksimal atau distal.

2.8 Manifestasi klinis10


Manifestasi Klinis Presentase
 Nyeri dada 80%
 Nyeri punggung 70%
 Nyeri mendadak 85%

 Nyeri yang berpindah <15%

 Regurgitasi aorta 40-75%

 Tamponade jantung <20%


10-15%
 Infark miokard
15%
 Sinkope
<10%
 Koma

Tabel 2. Manifestasi klinis diseksi aorta akut

Beberapa manifestasi klinis dari diseksi aorta adalah:

 Nyeri dada/pungung
Nyeri dada adalah gejala yang paling sering pada AD akut. Onset
mendadak nyeri dada dan / atau nyeri punggung yang parah adalah
fitur yang paling khas. Rasa sakit dapat berupa tajam, merobek,
seperti pisau, dan biasanya berbeda dari penyebab lain dari nyeri
dada; onset yang tiba-tiba adalah karakteristik yang paling spesifik.
Situs paling umum nyeri adalah dada (80%), sedangkan nyeri

17
punggung dan perut masing-masing dialami 40% dan 25% dari
pasien. Nyeri dada ke arah anterior lebih sering dikaitkan dengan
Tipe A AD, sedangkan pasien dengan diseksi tipe B lebih sering
dengan rasa sakit di bagian belakang atau perut. Presentasi klinis dari
kedua jenis AD dapat sering tumpang tindih. Rasa sakit dapat
bermigrasi dari titik asal ke situs lain, mengikuti alur diseksi yang
meluas melalui aorta.
 Regurgitasi aorta
Regurgitasi aorta di AD meliputi pelebaran pangkal aorta dan anulus,
robekan anulus atau puncak katup , perpindahan ke bawah dari satu
puncak ke bawah garis penutupan katup, kehilangan tahanan puncak,
dan gangguan fisik dalam penutupan katup aorta oleh flap intima.
Tamponade perikardial dapat diamati pada <20% pasien dengan AD
akut tipe A.
 Iskemia miokard
Iskemia miokard atau infark ditemukan pada 10-15% pasien dengan
AD. Pada kasus obstruksi koroner yang lengkap, EKG dapat
menunjukkan elevasi segmen ST. Selain itu, iskemia miokard dapat
diperburuk oleh regurgitasi aorta akut, hipertensi atau hipotensi, dan
syok pada pasien dengan atau tanpa adanya penyakit arteri koroner.
Hal ini dapat menjelaskan pengamatan bahwa sekitar 10% dari
pasien yang dengan akut tipe B AD memiliki tanda-tanda iskemia
pada EK. Jika dinilai secara sistematis, peningkatan troponin dapat
ditemukan sampai dengan 25% dari pasien yang dirawat dengan
Tipe A AD. Baik peningkatan troponin dan kelainan EKG, yang
dapat berfluktuasi dari waktu ke waktu, dapat membuat dokter
kesulitan untuk mendiagnosis sindrom koroner akut dan
keterlambatan diagnosa dan pengelolaan AD akut.
 Gagal jantung kongestif
Gagal jantung kongestif dalam keadaan AD umumnya berkaitan
dengan regurgitasi aorta. Meskipun lebih sering terjadi pada AD tipe
A,gagal jantung juga dapat ditemui pada pasien dengan AD Tipe B ,

18
hal ini menunjukkan etiologi tambahan gagal jantung, seperti
iskemia miokard, disfungsi diastolik yang sudah ada, atau hipertensi
yang tidak terkendali. Data register menunjukkan bahwa komplikasi
ini terjadi pada < 10% dari kasus AD.
 Efusi pleura
Efusi pleura luas yang dihasilkan dari perdarahan aorta yang menuju
ke mediastinum dan ruang pleura jarang terjadi karena biasanya
pasien tidak dapat bertahan hidup hingga tiba di rumah sakit. Efusi
pleura kecil mungkin dapat terdeteksi pada 15-20% pasien dengan
AD, dengan pola perantara distribusi hampir sama Tipe A dan Tipe
B.
 Sinkop
Sinkop adalah gejala awal yang signifikan dari AD, terjadi sekitar
15% dari pasien dengan AD tipe A dan di 5% dari mereka yang
mengalami tipe B. Hal ini terkait dengan peningkatan risiko
kematian di rumah sakit karena seringkali hal ini terkait dengan
komplikasi yang mengancam jiwa, seperti tamponade jantung atau
diseksi pembuluh darah supra-aorta.
 Gagal ginjal
Gagal ginjal dapat terjadi saat serangan atau selama di rumah sakit
yang meningkat pada 20% pasien dengan AD akut tipe A dan sekitar
10% pada pasien dengan AD tipe B. Hal ini mungkin hasil dari
hipoperfusi ginjal atau infark, faktor sekunder untuk keterlibatan
arteri ginjal pada AD, atau mungkin karena hipotensi
berkepanjangan. Pengujian Serial kreatinin dan pemantauan output
urin diperlukan untuk deteksi dini kondisi ini.

2.9 Diagnosis10,11,12
Seperti pada umumnya, diagnosis ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, perlu
ditanyakan manifestasi klinis dari diseksi aorta. Manifestasi klinis yang

19
paling sering adalah nyeri dada dan/atau punggung. Perlu ditanyakan onset
dan karakteristik nyeri dimana pada diseksi aorta nyeri bersifat akut dan
terasa seperti ada sesuatu yang robek. Nyeri pada diseksi aorta dapat terjadi
pada dua tahap yaitu pada saat tunica intima mengalami robekan dan pada
saat terjadi ruptur aorta. Nyeri pada dada biasa terjadi pada Stanford tipe A
dan pada punggung biasa pada Stanford tipe B. Pasien yang datang dengan
nyeri dada akut dan memiliki riwayat hipertensi yang tidak terkontrol harus
meningkatkan kecurigaan terhadap diseksi aorta. Pada pemeriksaan fisik,
biasa ditemukan takikardi dan hipertensi. Bila pasien mengalami hipotensi,
patut dicurigai adanya ruptur aorta, tamponade jantung, regurgitasi aorta,
dan infark miokardium akut. Jika terjadi oklusi pada bagian aorta distal,
pulsasi ekstremitas dapat hilang. Murmur yang terdengar menandakan
adanya regurgitasi aorta. Terakhir, pasien dapat mengalami penurunan
kesadaran karena menurunnya aliran darah ke otak.
Ketika dicurigai pasien mengalami diseksi aorta, dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis. Umunya, diagnosis
diseksi aorta ditegakkan melalui pencitraan. Modalitas pertama adalah foto
rontgen thorax. Jika tidak ditemukan abnormalitas, pasien dengan kondisi
hemodinamik yang stabil dapat menjalani pemeriksaan CT-SCAN atau MRI.
Pada pasien dengan kondisi hemodinamik yang buruk pilihan modalitasnya
adalah ekokardiografi.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah:
 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, kimia darah, dan enzim jantung harus
dilakukan pada pasien dengan diseksi aorta. Pada pemeriksaan darah
lengkap dapat ditemukan leukositosis yang menandakan sebuah
kondisi stress. Penurunan haemoglobin dan hematokrit menandakan
adanya ruptur aorta dan harus diwaspadai. Pada pemeriksaan kimia
darah peningkatan blood urea nitrogen dan kreatinin menandakan
adanya gangguan pada arteri renalis. Peningkatan enzim jantung
menandakan adanya gangguan pada arteri coroner dan
menyebabkan iskemia miokardium. Pemeriksaan fibrin degradation

20
product (FDP) juga dapat membantu dalam menentukan patensi FL.
Nilai FDP yang lebih tinggi dari 12.6ug/mL menandakan lumen FL
paten sedangkan nilai FDP 5.6ug/mL atau lebih tinggi dapat
menandakan adanya thrombosis total pada FL.
Salah satu pemeriksaan penunjang yang memiliki tingkat
sensitivitas dan spesifitas cukup tinggi adalah smooth-muscle
myosin heavy-chain assay. Peningkatan lebih dari 2.5 dalam 24 jam
pertama memiliki tingkat sensitivitas 91% dan spesifisitas 98%.
 Foto rontgen

Gambar 9. Pelebaran mediastinum pada X-RAY Thorax AP


Walaupun tersedia dengan mudah dan umumnya berperan untuk
evaluasi di unit gawat darurat, foto thoraks mempunyai keterbatasan
dalam mengkonfirmasi suatu keadaan diseksi aorta, dengan
sensitivitas dan spesifitasnya masing-masing 64% dan 86%. Secara
klasik ditemukan pelebaran mediastinum atau adanya abnormalitas
kontur aorta pada 75% subjek dengan diseksi aorta. Jika dijumpai
gambaran kalsifikasi pada aorta, pemisahan jarak dari bagian yang
mengalami kalsifikasi pada tunika intima ke bagian terluar dari aorta
lebih dari 1 cm yang disebut sebagai ‘calcium sign’ merupakan suatu
gambaran sugestif walaupun bukan diagnosa pasti adanya diseksi
aorta.
Namun penting untuk diketahui 15% pasien-pasien diseksi aorta
memberikan gambaran foto thoraks yang normal. Petunjuk lain yang
berkaitan dengan adanya diseksi aorta ialah efusi perikard dan efusi

21
pleura serta adanya deviasi trakea keatas, namun temuan ini tidak
spesifik. Oleh karena itu adanya gambaran foto thoraks yang normal
tidak serta merta menyingkirkan diagnosis suatu sindroma akut aorta.
 CT scan

Gambar 10. Gambaran CT-SCAN pada diseksi aorta tipe A

22
Gambar 11. Gambaran CT-SCAN diseksi aorta tipe B
Generasi terbaru CT scan memberikan gambaran aorta yang
sangat baik pada sindroma aorta akut dengan sensitivitas lebih dari
95%. CT scan juga berguna dalam memvisualisasikan panjang aorta
dan percabangan pembuluh darah yang terkait, ada tidaknya

23
perdarahan pada rongga perikardium, efusi pleura, ulkus aorta yang
berpenetrasi dan hematom intramural.
CT scan sering digunakan sebagai pencitraan lanjutan awal
pada kasus-kasus diseksi aorta. Keterbatasan CT scan terletak pada
ketidakmampuannya dalam memberi gambaran fungsi jantung dan
katup katup, zat kontras yang bersifat nefrotoksik, dan terbatas
dalam mengidentifikasi robekan tunika intima yang kecil.
CT scan dengan resolusi yang tinggi dikombinasikan dengan
posisi pengambilan gambar secara transversal memberikan akurasi
yang tinggi dalam evaluasi pembuluh darah dimana aorta sendiri
terletak secara vertikal dalam tubuh. Pada diseksi aorta, CT scan
dapat membedakan lumen yang sebenarnya dengan lumen yang
palsu. Lumen yang sebenarnya biasanya kecil dan karena kecepatan
aliran darah lebih tinggi pada daerah ini dibandingkan lumen palsu
maka dijumpai gambaran penyangatan kontras pada CT scan dengan
kontras.
Pada pengambilan gambar secara potong lintang/cross
sectional lapisan yang mengalami diseksi membentuk sudut
terhadap lapisan terluar dari lumen yang salah membentuk gambaran
seperti paruh burung “beak sign”.
 MRI

Gambar 12. Gambaran MRI pada diseksi aorta

24
Walaupun alat ini menawarkan resolusi gambar yang sangat
baik dan mempunyai spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi, namun
MRI tidak sering digunakan sebagai studi pencitraan awal.
Ketidakmampuan memonitor pasien yang tidak stabil, ketersediaan
alat yang terbatas dan tidak kompatibel dengan alat-alat implan
ataupun prostesis merupakan hal- hal yang menjelaskan mengapa
alat ini jarang digunakan. Alat ini idealnya digunakan pada pasien
stabil yang membutuhkan pencitraan lebih tinggi
 Ekokardiografi
Dengan menggunakan efek dopler, aliran darah dapat dinilai
dan dikarakteristikkan apakah aliran tersebut laminer atau turbulen,
dimana arah dan kecepatan aliran juga dapat dinilai. Walaupun
kegunaannya untuk mengevaluasi jantung dan aorta bagian
proksimal, Transthoracic echocardiography (TTE) dapat
mengidentifikasi diseksi aorta pada segmen ini dan memungkinkan
klinisi secara cepat mengevaluasi komplikasi potensial yang terjadi,
seperti regurgitasi aorta, tamponade jantung dan gangguan fungsi
ventrikel kiri.
TTE dapat digunakan untuk skrining kejadian diseksi aorta
pada pasien- pasien yang datang dalam keadaan syok atau sinkop
yang tidak dijelaskan. Transesophageal echocardiography (TEE)
memberikan gambaran aorta yang sangat baik mulai dari pangkal
sampai dengan distal dari aorta pars descendens. Sebagai tambahan,
adanya color flow doppler memugkinkan penilaian aliran darah
diseluruh aorta dan aliran darah antara lumen yang sebenarnya
dengan pseudolumen. Sensitivitas dan spesifitas TEE dalam
mendiagnosis diseksi aorta mencapai 99% dan 89%
 Elektrokardiografi
Pemeriksaan EKG seringkali tidak dapat menunjang
diagnosis. Abnormalitas yang ditemukan pada EKG bersifat non-
spesifik dan seringkali justru normal. Abnormalitas pada EKG
seringkali menyerupai kelainan pada infark miokardium akut.

25
Implikasi dari ini adalah penting untuk membedakan diseksi aorta
dengan infark miokardium akut karena penanganan thrombolytic
yang biasa diberikan pada infark akut justru berbahaya bagi pasien
dengan diseksi aorta.

2.10 Tatalaksana10,13,14
Semua pasien diseksi aorta sebaiknya dirawat pada ruang ICU.
Terdapat dua pilihan dalam penanganan diseksi aorta yaitu terapi
farmakologis dan bedah. Pemilihan terapi dapat dibantu menggunakan
sistem klasifikasi DeBakey dan Stanford. Untuk pasien dengan diseksi aorta
ascendens (DeBakey tipe I dan II atau Stanford tipe A) pilihan terapi adalah
tindakan pembedahan segera. Untuk pasien dengan DeBakey tipe III terapi
pembedahan diindikasikan pada pasien dengan komplikasi seperti:
 Peningkatan diameter aorta (propagation)
 Peningkatan ukuran hematoma
 Ruptur atau impending ruptur.
 Perdarahan ke dalam rongga pleura
 Gangguan berat pada cabang utama aorta
 Nyeri yang tidak membaik dengan terapi farmakologis
 Pembentukan aneurism saccular.
Kontraindikasi dari tindakan pembedahan adalah:
 Cerebrovascular accident
 Disfungsi berat ventrikel kiri
 Koagulopati
 Kehamilan
 Riwayat infark miokardium dalam 6 bulan terakhir
 Aritmia berat
 Usia lanjut
 Gangguan katup berat
Tindakan pembedahan bertujuan untuk meringankan gejala,
mengurangi komplikasi, dan mencegah ruptur serta kematian. Kemajuan
teknologi dalam cardiopulmonary bypass circuit menurunkan tingkat

26
mortalitas operasi secara signifikan. Tingkat mortalitas operasi pada pasien
diseksi aorta ascenden biasanya kurang dari 10%.

Gambar 13. Prosedur TEVAR


Pada pasien yang tidak memungkinkan untuk menjalani operasi
terbuka, telah tersedia metode baru yang dinamakan thoracic endovascular
aortic repair (TEVAR). Metode ini menggunakan sebuah stent graft yang
dimasukkan ke dalam aorta melalui arteri femoralis. Stent graft yang
dikembangkan akan menutup entry tear dan menghilangkan aliran darah ke
dalam false lumen. Indikasi dari TEVAR adalah pasien dengan diseksi aorta
tipe B dengan komplikasi. Sebelum adanya TEVAR, terapi pilihan untuk
tipe B dengan komplikasi adalah operasi terbuka karena kondisi ini
membutuhkan penanganan bedah segera. Komplikasi yang menyertai tipe
ini seperti rupture aorta atau malperfusi meningkatkan mortalitas dari
tindakan bedah yang dapat mencapai 32.1%. Dengan adanya TEVAR
mortalitas 30 hari turun menjadi 2.8% dan survival rate 1 tahun 93.4%. Pada
pasien tipe B tanpa komplikasi, tujuan terapinya adalah untuk mencegah
adanya komplikasi sehingga terapi yang diberikan adalah farmakologis.
Akan tetapi, pada banyak pasien muncul aneurisma aorta pada tahap kronik
yang membutuhkan tindakan bedah sehingga TEVAR juga seringkali
dilakukan pada pasien tipe B tanpa komplikasi guna mencegah komplikasi
di kemudian hari. Untuk pasien tipe A, tindakan bedah terbuka memiliki
tingkat keberhasilan yang relative lebih baik. Mortalitas tindakan bedah
untuk pasien tipe A berada pada angka 10.6%. Maka dari itu, TEVAR hanya
dilakukan pada pasien tipe A risiko tinggi dengan komorbiditas lain yang
tidak memungkinkan menjalani operasi terbuka.

27
Terapi farmakologis bertujuan utama untuk menurunkan tekanan
darah, shearing forces, dan kontraktilitas miokardium guna mengurangi
robekan pada tunica intima. Terapi farmakologis yang menjadi pilihan
adalah:
 B-blocker
B-blocker yang biasa digunakan adalah Esmolol, Propranolol, atau
Labetalol. Pemberian B-blocker dititrasi sampai mencapai target laju
nadi 60x/menit.
Jika pasien memiliki kontraindikasi pemberian b-blocker, dapat
diberikan calcium channel blocker sebagai penggantinya. CCB yang
dapat diberikan adalah Diltiazem.
Kontraindikasi terhadap b-blocker antara lain adalah
hipersensitivitas, asma berat, gagal jantung tidak terkompensasi,
PPOK, dan hipotensi.
 Antihipertensi
Obat antihipertensi yang dapat diberikan adalah Nitroprusside yang
diberikan secara IV drip dengan target MAP 60 – 70mmHg
 Analgetik
Analgetik yang dapat diberikan berasal dari golongan opiate seperti
Fentanyl yang diberikan secara IV sebanyak 50-100ug.

2.11 Prognosis6,9
Tanpa pengobatan, resiko kematian selama fase inisial dari diseksi
aorta akut sangat tinggi. Secara umum diyakini, sekitar 10-15% pasien
meninggal pada 15 menit pertama kejadian. Sekitar 50% bertahan hidup
dalam 48 jam, dan hanya 10% yang dapat bertahan setelah 3 bulan. Tanpa
pengobatan, hanya 8% pasien dengan diseksi aorta pars ascendens yang
bertahan lebih dari 1 bulan, dan 75% pasien-pasien diseksi aorta pars
descendens yang dapat bertahan selama 1 bulan.
Prognosis pasien-pasien dengan diseksi aorta akut telah membaik
secara signifikan sebagai hasil dari diagnosa yang lebih dini dan lebih akurat,
terapi medis yang efektif dan teknik bedah yang semakin baik. Pada sebuah
penelitian yang mengamati pasien-pasien diseksi aorta yang mendapatkan

28
terapi medis hanya 43% pasien-pasien dengan diseksi tipe A yang bertahan
hidup 1 bulan pertama pasca kejadian diseksi dan 91% pasien –pasien
dengan diseksi tipe B. Angka harapan hidup selama 5 tahun pada pasien-
pasien yang selamat dari kejadian diseksi aorta yang kemudian mendapat
terapi medis, menunjukkan tidak ada perbedaan antara tipe A dan B.
Beberapa faktor dapat mempengaruhi prognosis jangka panjang pada
pasien-pasien yang mendapatkan pengobatan; hal ini termasuk usia, ada
tidaknya komplikasi serius sebelum pemberian terapi,dan ukuran diameter
aorta pars descendens (> 5 cm).

29
BAB III
KESIMPULAN

Manifestasi paling sering dari diseksi aorta adalah nyeri dada dan/atau
punggung yang terjadi secara akut dengan karakteristik seperti dirobek. Faktor
risiko yang paling sering terjadi pada pasien dewasa adalah hipertensi sehingga
pasien yang datang dengan karakteristik nyeri tersebut disertai riwayat hipertensi
yang tidak terkontrol patut menimbulkan kecurigaan terhadap diseksi aorta. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan takikardi, hiper/hipotensi, dan murmur.

Ketika dicurigai pasien menderita diseksi aorta, pemeriksaan penunjang


yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium dan pencitraan. Harus
dilakukan pemeriksaan darah lengkap, kimia darah, dan enzim jantung bagi semua
pasien yang dicurigai menderita diseksi aorta. Diagnosis biasanya ditegakkan oleh
pencitraan. Foto rontgen thorax AP biasa menjadi pilihan pertama karena mudah
dan murah untuk dilakukan. Akan tetapi, karena sensitivitas dan spesifitas foto
rontgen yang rendah bila tidak ditemukan kelainan diagnosis diseksi aorta belum
dapat disingkirkan. Disarankan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut seperti
CT-SCAN, MRI, atau ekokardiografi.

Terdapat dua pilihan tatalaksana yaitu terapi farmakologis dan pembedahan.


Terapi farmakologis adalah pilihan pertama pada pasien dengan diseksi aorta tipe
B tanpa komplikasi dan bertujuan menurunkan laju nadi dan tekanan darah.
Tindakan pembedahan adalah pilihan pertama pada diseksi aorta tipe A. Selain dari
tindakan pembedahan, terdapat metode minimally invasive yaitu TEVAR dengan
indikasi utama pada pasien tipe B dengan komplikasi.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Erbel R et al. 2014 ESC Guidelines on the diagnosis and treatment of aortic
disease : Document covering acute and chronic aortic diseases of the
thoracic and abdominal aorta of the adult. The Task Force for the Diagnosis
and Treatment of Aortic Diseases of the European Society of Cardiology
(ESC). Eur Heart J. 2014l35(41)2873-926.
2. Lemaire S. Epidemiology of thoracic aortic dissection. Nat Rev Cardiol.
2011;8(2):103-13.
3. Melvinsdottir I, Lund S, Agnarsson B, Sigvaldason K, Gudbjartsson T,
Geirsson A. The incidence and mortality of acute thoracic aortic dissection:
results from a whole nation study. Eur J Cardiothorac Surg.
2016;50(6):1111-17.
4. Criado F. Aortic dissection, a 250-year perspective. Tex Heart Inst J.
2011;38(6):694-700.
5. Strauss C, Kebede T, Porten B, Garberich R, Calcaterra D, Manunga J,
Harris K. Why the delay? Identification of factors which delay diagnosis of
acute aortic dissection. Jour Minnea Heart Inst Found. 2017;1(1):13-8.
6. Elefteriades J, Olin J, Halperin J, Ziganshin B. Diseases of The Aorta. In:
Fuser V, Harrington R, Narula J, Eapen Z, editors. Hurst’s The Heart, 14e.
14th ed. New York: McGraw-Hill Medical; 2013.
7. Standring S, Gray H. Anatomy. Gray's anatomy. 41st ed. Edinburgh:
Churchill Livingstone; 2015.
8. Redington A, Smallhorn J, Therrien J, Webb G. Congenital heart disease in
the adult and pediatric patient. In: Zipes D, Libby P, Bonow R, Mann D,
Tomaselli G, Braunwald E. Braunwald’s Heart Disease: A textbook of
Cardiovascular Medicine. 11th ed. Philadelphia:Elsevier;2019.
9. Mussa F, Horton J, Moridzadeh R, Nicholson J, Santi T, Eagle K. Acute
aortic dissection and intramural hematoma. JAMA. 2016;316(7):754-63.

31
10. Erbel R et al. 2014 ESC Guidelines on the diagnosis and treatment of aortic
disease : Document covering acute and chronic aortic diseases of the
thoracic and abdominal aorta of the adult. The Task Force for the Diagnosis
and Treatment of Aortic Diseases of the European Society of Cardiology
(ESC). Eur Heart J. 2014l35(41)2873-926.
11. Leitman M, Suzuki K, Wengrofsky A. Early recognition of acute thoracic
aortic dissection and aneurysm. World J Emerg Surg. 2013;8(1):47.
12. Hagiwara , Shimbo T, Kimira A, Sasaki R, Kobayashi K, Sato T. Using
fibrin degradation products level to facilitate diagnostic evaluation of
potential acute aortic dissection. J Thromb Thrombolysis. 2013;35(1):15-22.
13. Hiratzka L et al. 2010
ACCF/AHA/AATS/ACR/ASA/SCA/SCAI/SIR/STS/SVM guidelines for
the diagnosis and management of patients with Thoracic Aortic Disease: a
report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines, American Association for
Thoracic Surgery, American College of Radiology, American Stroke
Association, Society of Cardiovascular Anesthesiologists, Society for
Cardiovascular Angiography and Interventions, Society of Interventional
Radiology, Society of Thoracic Surgeons, and Society for Vascular
Medicine. Circulation. 2010;121(13):e266-369.
14. Uchida T, Sadahiro M. Thoracic endovascular aortic repair for acute aortic
dissection. Ann Vasc Disc. 2018;11(4):464-72.

32

Anda mungkin juga menyukai