Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan

otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

pemerintahan yang baik (good governance). Tata kelola pemerintahan yang baik

ditandai dengan adanya transparansi dan akuntabilitas. Transparansi dibangun atas

dasar kebebasan memperoleh informasi (Mardiasmo, 2005: 18). Informasi yang

berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka

yang membutuhkan. Sesuai dengan teori agency, akuntabilitas publik

(Mardiasmo, 2005: 20) adalah kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk

memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan

segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada pemberi

amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta

pertanggungjawaban tersebut.

Sektor publik merupakan bagian yang mempunyai peranan vital dalam

hal pengelolaan keuangan negara. Berbeda dengan sektor swasta yang bertujuan

mencari laba, sektor publik lebih ditujukan kepada pemenuhan kebutuhan publik.

Pendanaan dalam sektor publik bersumber pada dana masyarakat, baik dari pajak

atau retribusi, biaya yang dikenakan atas jasa publik, laba perusahaan milik

negara, maupun sumber pendapatan lain yang sah menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Berlatar belakang hal tersebut, sektor publik diharapkan

1
2

dapat mengelola keuangan negara dengan transparan dan mampu mewujudkan

pelayanan publik dengan standar pelayanan minimal.

Kontrol terhadap penggunaan dana publik wajib dilakukan. Seperti di

sektor swasta, cara untuk mengontrol tersebut dilakukan salah satunya dengan

menyusun anggaran. Dalam sektor publik, anggaran yang disusun bernama

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (disingkat APBN untuk pemerintah

pusat) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (disingkat APBD untuk

pemerintah daerah). Anggaran tersebut agar dapat berfungsi sebagaimana

mestinya harus disusun dengan sungguh-sungguh dan tidak semata-mata sebagai

formalitas.

Dalam APBD dapat diketahui bahwa pendapatan yang diperoleh daerah

digunakan untuk membiayai belanja daerah. Pendapatan sendiri dapat dibagi

menjadi dua kelompok besar, yaitu pendapatan yang diperoleh dari usaha mandiri

daerah (Pendapatan Asli Daerah-selanjutnya disingkat dengan PAD) dan transfer

dari pusat yang disebut Dana Perimbangan (terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana

Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus).

Otonomi daerah yang secara resmi diberlakukan di Indonesia mulai 1

Januari 2001 yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2001 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi dengan UU No. 32

Tahun 2004 dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang telah direvisi dengan UU No. 33

Tahun 2004, menghendaki daerah untuk berkreasi mencari sumber penerimaan

yang dapat membiayai pengeluaran pemerintah dalam rangka menyelenggarakan


3

pemerintahan dan pembangunan. Otonomi daerah bertujuan untuk mewujudkan

kemandirian daerah sehingga daerah bebas untuk mengatur dirinya tanpa ada

campur tangan pemerintah pusat.

Pemberlakuan Undang -undang otonomi daerah yakni Undang-Undang

Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dimaksudkan agar terciptanya

kemandirian keuangan daerah. Kemandirian keuangan daerah yang dimaksud

adalah seberapa besar tingkat kemandirian pemerintah daerah dalam hal

pendanaan atau mendanai segala aktivitasnya. Tingkat kemampuan keuangan

daerah dapat ditinjau salah satunya dari besar kecilnya penerimaan daerah

khusus nya pendapatan asli daerah

Sesuai asas money follows function, penyerahan kewenangan daerah juga

diikuti dengan penyerahan sumber-sumber pembiayaan yang sebelumnya masih

dipegang oleh Pemerintah Pusat. Dengan demikian Daerah menjadi mampu untuk

melaksanakan segala urusan pemerintahannya sendiri karena sumber-sumber

pembiayaan sudah diserahkan kepada pemerintah daerah. Apabila mekanisme

tersebut sudah terwujud maka cita-cita kemandirian Daerah dapat direalisasikan.

Sumber-sumber pembiayaan yang diserahkan kepada daerah itu nantinya akan

dimanifestasikan lewat struktur PAD yang kuat. PAD inilah sumber pembiayaan

yang memang benar-benar digali dari daerah itu sendiri sehingga dapat

mencerminkan kondisi riil daerah, apabila struktur PAD kuat, maka dapat

dikatakatan daerah tersebut mempunyai kemampuan pembiayaan yang juga kuat

sehingga dapat mewujudkan kemandirian keuangan daerah (Muliana, 2008).

Pada daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang rendah cenderung


4

mengalami tekanan fiskal yang kuat (Adi, 2006). Rendahnya kapasitas ini

mengindikasikan tingkat kemandirian keuangan daerah yang masih rendah.

Sehingga dalam upaya peningkatan tingkat kemandirian keuangan daerah

pemerintah daerah dituntut untuk mengoptimalkan potensi pendapatan yang

dimiliki dan salah satunya dengan memberikan porsi belanja daerah yang lebih

besar untuk sektor-sektor produktif. Pergeseran komposisi belanja ini ditujukan

untuk peningkatan investasi modal. Wong (2004) menemukan bahwa

pembangunan infrastruktur industri mempunyai dampak yang nyata terhadap

kenaikan pajak daerah. Semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu

meningkatkan kualitas layanan publik dan pada gilirannya mampu meningkatkan

tingkat partisipasi (kontribusi) publik terhadap pembangunan yang tercermin dari

adanya peningkatan PAD (Mardiasmo, 2002).

Namun terdapat kendala dalam implementasi otonomi daerah, yaitu

adanya kesenjangan fiskal antar daerah. Untuk itu, pemerintah pusat memberikan

bantuan (transfer) kepada pemerintah daerah, salah satunya dengan pemberian

dana alokasi umum (DAU). Realitas menunjukkan bahwa pemerintah daerah

belum dapat sepenuhnya lepas dari pemerintah pusat di dalam mengatur rumah

tangga daerah, yang ditunjukkan dengan adanya ketergantungan yang lebih besar

kepada dana alokasi umum (DAU) dibandingkan pendapatan asli daerah untuk

diukur kemandirian daerahnya. Dominannya peran transfer relatif terhadap PAD

dalam membiayai belanja pemerintah daerah sebenarnya tidak memberikan

panduan yang baik bagi pemerintahan terhadap aliran transfer itu sendiri (Rizky

dan Suryo, 2009). Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian dari Nagathan dan
5

Sigvagnanam (1999) yang menemukan pengaruh negatif antara besarnya DAU

dan tax effort daerah. Dalam hal ini pemerintah daerah cenderung

mempertahankan penerimaan DAU dikarenakan jumlahnya yang sangat besar

daripada mengupayakan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah daerah itu

sendiri.

Sarug dan Sagbas (2008) menemukan bahwa dana transfer ke pemerintah

daerah (intergovermental transfer) dapat menjadi subtitusi ataupun dapat menjadi

stimulus dalam belanja daerah. Apabila efek substitusi ditemukan maka

pemerintah daerah akan mengeluarkan pengeluaran yang lebih sedikit

dibandingkan dengan dana transfer dari pemerintah pusat yang mereka terima

yang dapat menyebabkan penurunan penerimaan pajak. Sebaliknya apabila efek

stimulus yang ditemukan, diharapkan pemerintah daerah dapat meningkatkan

upaya pajak daerahnya. Akan tetapi pemberian DAU yang seharusnya menjadi

stimulus peningkatan kemandirian daerah, justru direspon berbeda oleh daerah,

daerah tidak menjadi lebih mandiri semakin bergantung pada pemerintah pusat

(Adi, 2008). Pemberian DAU yang semula bertujuan untuk mengurangi

kesenjangan horizontal, justru menjadi disinsentif bagi daerah untuk

mengupayakan peningkatan kapasitas fiskal daerahnya. Upaya pajak menjadi

lebih rendah, harapan adanya peningkatan kemandirian daerah justru menjadi

semakin jauh.

Tabel 1.1

Kemandirian Keuangan Daerah Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat

Tahun 2011-2013
6

No Tahun Realisasi PAD Realisasi Pendapatan Daerah KKD

1. 2011 Rp 153,271,649,974 Rp 1,955,142,904,011 7.48

2. 2012 Rp 198,650,518,839 Rp 2,042,977,659,292 9.72

3. 2013 Rp 291,062,396,559 Rp 2,453,398,748,635 11.87

Dari sisi penerimaan APBD Pemerintah Daerah Provinsi Jawa

Barattahun 2011-2013, penerimaan daerah yang berasal dari Dana Perimbangan

merupakan yang terbesar. Dari sisi pengeluaran, anggaran terbesar diperuntukan

bagi belanja rutin namun dari data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

(DJPK) pengalokasian belanja modal Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Baratrata-

rata dari tahun ke tahun cenderung meningkat, hal ini mengindikasikan upaya

Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Baratdalam meningkatkan kualitas pelayanan

publik melalui investasi modal diantaranya pembangunan dan perbaikan sektor

pendidikan, kesehatan, transportasi. Dengan terpenuhinya fasilitas pelayanan

publik maka masyarakat akan merasa nyaman dan dapat menjalankan usahanya

dengan efektif dan efisien sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kontribusi

publik terhadap pajak.

Marizka (2013) dengan objek pemerintah kabupaten/kota di Sumatera

Barat menunjukkan bahwa bahwa PAD berpengaruh signifikan positif dan DAK

berpengaruh signifikan negatif terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah,


7

sedangkan DAU dan Dana Bagi Hasil (DBH) tidak berpengaruh signifikan

terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah. Selain itu, penelitian Tahar dan

Zakhiya (2011) dengan objek 56 pemerintah kabupaten/kota di Pulau Kalimantan

menunjukkan bahwa PAD berpengaruh signifikan positif terhadap kemandirian

daerah, sedangkan DAU berpengaruh signifikan negatif dan signifikan terhadap

kemandirian daerah sementara PAD, DAU dan kemandirian daerah tidak

berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.

Dian Budi Susanti, dkk (2016) melakukan penelitian mengenai pengaruh

Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus

terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah bahwa PAD, DAU dan DAK

secara bersama-sama berpengaruh positif signifikan terhadap Tingkat

Kemandirian Keuangan Daerah. PAD berpengaruh positif signifikan terhadap

Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah. DAU berpengaruh positif signifikan

terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah. DAK tidak berpengaruh

terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah.

Farida (2017) melakukan penelitian Pengaruh Pendapatan Asli Daerah,

Dana Alokasi Umum Dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Tingkat Kemandirian

Keuangan Daerah Dan Dampaknya Terhadap Alokasi Belanja yang diambil

kesimpulan bahwa, PAD dan DAU berpengaruh terhadap kemandirian keuangan,

sedangkan DAK tidak berpengaruh terhadap kemandirian keuangan. PAD

berpengaruh terhadap alokasi belanja modal, sedangkan DAU dan DAK tidak

berpengaruh terhadap alokasi belanja modal. Kemandirian keuangan berpengaruh

terhadap alokasi belanja modal.


8

Berlatar belakang masalah tersebut, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) Dan

Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Kemandirian Keuangan

DaerahPemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat”.

1.2 Identifikasi dan Rumusan Masalah

1.2.1 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat diidentifikasi masalah sebagai

berikut:

1. Masih adanya sumber pendapatan potensial yang dapat digali oleh

Pemerintah Daerah yangberada di luar wewenang Pemerintah Daerah.

2. Rendahnya tingkat hidup dan ekonomi masyarakat yang tercermin dalam

pendapatan per kapita.

3. Kurang mampunya Pemerintah Daerah dalam menggali sumber-sumber

pendapatan yang ada.

1.2.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan identifikasi masalah diatas, dapat dirumuskan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Kondisi Dana Alokasi Umum di Pemerintah Daerah Provinsi

Jawa Barat.

2. Bagaimana Kondisi Pendapatan Asli Daerah di Pemerintah Daerah

Provinsi Jawa Barat.

3. Bagaimana Kemandirian Keuangan Daerah di Pemerintah Daerah Provinsi


9

Jawa Barat.

4. Seberapa besar pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan

Asli Daerah (PAD) terhadap Kemandirian Daerah di Pemerintah Daerah

Provinsi Jawa Barat.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hal-hal sebagai

berikut:

1. Kondisi Dana Alokasi Umum di Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat;

2. Kondisi Pendapatan Asli Daerah di Pemerintah Daerah Provinsi Jawa

Barat;

3. Kemandirian Keuangan Daerah di Pemerintah Daerah Provinsi Jawa

Barat;

4. Besarnya pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli

Daerah (PAD) terhadap Kemandirian Keuangan Daerah di Pemerintah

Daerah Provinsi Jawa Barat secara simultan dan parsial.

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat berguna baik secara teoretis maupun

secara praktis.

1. Secara teoretis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam pengembangan khasanah ilmu

pengetahuan terutama terkait dengan ilmu akuntansi pemerintahan,


10

sehingga dapat menjadi bahan perbandingan bagi penelitian selanjutnya

terkait dengan masalahDana Alokasi Umum (DAU),Pendapatan Asli

Daerah (PAD), dan kemandirian daerah pada pemerintahan daerah.

2. Secara praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai masukan bagi pihak terkait

berikut:

a. Pembuat kebijakan terhadap penyelenggaraan anggaran khususnya di

Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat.

b. Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Baratdalam mengelola DAU dan

PAD secara efektif, berbasis kinerja sesuai dengan tujuan dan

sasarannya .

c. Pemangku kepentingan (stake holders) di bidang pemerintahan dalam

menetapkan standar anggaran pemerintahan.

Anda mungkin juga menyukai