Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini perekonomian dunia kembali dihadapkan pada terjadinya krisis ekonomi.
Tingginya tingkat krisis diindikasikan dengan laju inflasi yang cukup tinggi. Sebagai dampak
atas inflasi, penurunan tabungan, kurangnya investasi, semakin tingginya capital outflow, serta
terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Berbekal dari pengalaman krisis yang melanda Indonesia
di pertengahan 2008 yang lalu, menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya pemahaman
mengenai pengaruh perubahan-perubahan di tingkat global pada perekonomian nasional
Kebijakan fiskal merupakan kebijakan ekonomi yang dibuat pemerintah untuk
mengarahkan kondisi perekonomian menjadi lebih baik melalui pengeluaran dan pendapatan
(berupa pajak) pemerintah. Perubahan tingkat dan komposisi pajak dan pengeluaran pemerintah
dapat mempengaruhi variabel-variabel berikut diantaranya permintaan agregat dan tingkat
aktifitas ekonomi, pola persebaran sumber daya, dan distribusi pendapatan.
Kebijakan fiskal diharapkan dapat meningkatkan produksi nasional (PDB) dan
pertumbuhan ekonomi, memperluas lapangan kerja dan mengurangi pengangguran serta
menstabilkan harga barang khususnya mengatasi inflasi.
Dengan adanya pemberian otonomi daerah yang lebih luas maka pola perencanaan akan
mengalami perubahan yakni lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dan pertumbuhan
ekonomi daerah berdasarkan kemampuan daerah yang bersangkutan.
Oleh karena itu diperlukan suatu kajian fiskal regional yang dapat mengarahkan daerah
untuk dapat merencanakan program yang komprehensif meliputi kerangka regional dan sektoral.
Dengan berubahnya orientasi pola perencanaan sektoral yang dititikberatkan pada pencapaian
pertumbuhan regional, alokasi dana proyek sektoral diarahkan pada perkembangan
perekonomian daerah sehingga fungsi dana sektoral berubah menjadi penyeimbang
pembangunan pada masing-masing daerah.

1
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan utama dari makalah ini disamping sebagai salah satu penilaian dari mata kuliah
‘Perekonomian Indonesia’ adalah untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian daerah.
Selain itu, melalui laporan ini mahasiswa bisa mengkaji lebih dalam mengenai potensi
ekonomi daerah yang bermanfaat bagi perkembangan perekonomian Indonesia Selanjutnya
tujuan penulisan adalah sebagai upaya optimalisasi dan revitalisasi fungsi otonomi daerah
Selanjutnya, manfaat penyusunan makalah ini juga dapat menjadi sumber informasi yang
berguna bagi para pembuat kebijakan, stakeholders maupun masyarakat pada umumnya.

1.3 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian daerah otonom dan otonomi daerah?
2. Apa tujuan otonomi daerah?
3. Apa saja asas otonomi daerah?
4. Dasar Hukum Dan Landasan Teori Otonomi Daerah?
5. Bagaimana pembentukan daerah otonom?
6. Bagaimana sejarah pembentukan otonomi daerah di Indonesia?
7. Apa saja tujuan dan prinsip otonomi daerah?
8. Dampak Pelaksanaan Otonomi Daerah?
9. Pengaruh Otonomi Daerah Dalam Perekonomian Daerah?
10. Pengoptimalan Otonomi Daerah di Indonesia?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian daerah otonom dan otonomi daerah


Otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti
aturan. Berdasarkan asal-usul istilah tersebut, para ahli memberikan pengertian otonomi sebagai
pengundangan sendiri, mengatur atau memerintah sendiri. Dengan demikian, kata otonomi dapat
diartikan sebagai kemerdekaan dan kebebasan menyelenggarakan pemerintahan. Beberapa
pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa :
a. F. Sugeng Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk mengatur
dan mengurus rumah tangga daerah.
b. Ateng Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau
kemandirian tetapi bukan kemerdekaan (tidak terikat atau tidak bergantung kepada orang
lain atau pihak tertentu). Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian
kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
c. Syarif Saleh, berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah
daerah sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.

Pendapat lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah
adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara
informal berada di luar pemerintah pusat. Sedangkan Philip Mahwood (1983) mengemukakan
bahwa otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri
yang keberadaannya terpisah dengan otoritas (kekuasaan atau wewenang) yang diserahkan oleh
pemerintah guna mengalokasikan sumber sumber material yang substansial (sesunggguhnya
atau yang inti) tentang fungsi-fungsi yang berbeda.
Menurut pasal 1 ayat (1) UUD 1945, Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang
berbentuk republik. Negara kesatuan adalah suatu negara dimana hanya ada satu negara dan
satu pemerintahan, yaitu pemerintahan pusat yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam
pemerintahan. Negara Kesatuan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Negara kesatuan yang menerapkan prinsip sentralisasi kewenangan, yaitu semua urusan
negara diatur negara dan diurus oleh pemerintah pusat.

3
b. Negara kesatuan yang menerapkan prinsip desentralisasi, yaitu pemerintah daerah memiliki
kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan kebutuhan
dan potensi daerah.
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan negara kita adalah negara kesatuan yang
menerapkan prinsip desentralisasi pemerintahan. Otonomi daerah merupakan wujud dari
penerapan prinsip desentralisasi. Pasal 1 Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
wilayah, berwenang mengatur dan mengurus pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah maka mengubah tatanan ketatanegaraan yang
bersifat sentralistik, otoriter menjadi desentralisasi dan demokratis. Otonomi daerah yang
mandiri dan demokratis diharapkan dapat mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya sehingga
pelayanan kepada masyarakat dapat berlangsung dengan lebih baik.

2.2 Tujuan otonomi daerah


Ada empat aspek yang menjadi tujuan desentralisasi atau otonomi daerah dalam menata
jalannya pemerintahan yang baik, (Mahfud, 2006:229).
Dalam hal politik, untuk mengikutsertakan, menyalurkan inspirasi dan aspirasi masyarakat,
baik untuk kepentingan daerah sendiri maupun untuk mendukung kebijakan nasional dalam
rangka pembangunan proses demokrasi lapisan bawah.
Dalam hal manajemen pemerintahan, untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat
dengan memperluas jenis-jenis pelayanan dalam berbagai bidang kebutuhan masyarakat.
Dalam hal kemasyarakatan, untuk meningkatkan partisipasi serta untuk menumbuhkan
kemandirian masyarakat, dengan melakukan usaha empowerment masyarakat, sehingga

4
masyarakat makin mandiri dan tidak terlalu banyak tergantung pada pemberian pemerintah serta
memiliki daya saing yang kuat dalam proses pertumbuhan.
Dalam hal ekonomi pembangunan, untuk melancarkan pelaksanaan program pembangunan
guna tercapainya kesejahteraan rakyat yang makin meningkat.

2.3 Asas-asas otonomi daerah


Dalam penerapannya, terdapat asas-asas yang menjadi pedoman pelaksanaan otonomi
daerah. Tiga asas dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu asas desentralisasi, tugas pembantuan
dan dekonsentrasi.
a. Asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang penyelenggaraan pemerintahan oleh
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Asas dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat
kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah
tertentu.
c. Asas tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa
dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah
kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

2.4 Dasar Hukum Dan Landasan Teori Otonomi Daerah


a. Dasar Hukum

Tidak hanya pengertian tentang otonomi daerah saja yang perlu kita bahas.Namun ada
dasar-dasar yang bisa menjadi landasan. Ada beberapa peraturan dasar tentang pelaksanaan
otonomi daerah,yaitu sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat 1 hingga ayat 7.
2) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 yang mengatur tentang pemerintahan daerah.
3) Undang-Undang No.33 Tahun 2004 yang mengatur tentang sumber keuangan negara.

Selain berbagai dasar hukum yang mengatur tentang otonomi daerah,saya juga menulis
apa saja yang menjadi tujuan pelaksana otonomi daerah,yaitu otonomi daerah harus bertujuan
untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat yang berada di wilayah otonomi tersebut

5
serta meningkatkan pula sumber daya yang di miliki oleh daerah agar dapat bersain dengan
daerah otonom lainnya.
b. Landasan Teori
Berikut ini ada beberapa yang menjadi landasan teori dalam otonomi daerah .
1. Asas Otonomi
Berikut ini ada beberapa asas otonomi daerah yang kami tuliskan di sini. Asas-asas tersebut
sebagai berikut:
 Asas tertib penyelenggara negara
 Asas Kepentingan umum
 Asas Kepastian Hukum
 Asas keterbukaan
 Asas Profesionalitas
 Asas efisiensi
 Asas proporsionalitas
 Asas efektifitas
 Asas akuntabilitas
2. Desentralisasi
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi
dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya
desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi
sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai
penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia,
desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan
adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan pardigma pemerintahan di Indonesia.
Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan
sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dasar
pemikiran yang melatarbelakanginya adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan
keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan
pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan
relevansi antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus
6
tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan nasional, dari
segi sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan
pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya sumber-sumber daya
pemerintah secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.
3. Sentralisasi
Sentralisasi dan desentralisasi sebagai bentuk penyelenggaraan negara adalah persoalan
pembagian sumber daya dan wewenang. Pembahasan masalah ini sebelum tahun 1980-an
terbatas pada titik perimbangan sumber daya dan wewenang yang ada pada pemerintah pusat
dan pemerintahan di bawahnya. Dan tujuan “baik” dari perimbangan ini adalah pelayanan
negara terhadap masyarakat.
Di Indonesia sejak tahun 1998 hingga baru-baru ini, pandangan politik yang dianggap
tepat dalam wacana publik adalah bahwa desentralisasi merupakan jalan yang meyakinkan,
yang akan menguntungkan daerah. Pandangan ini diciptakan oleh pengalaman sejarah selama
masa Orde Baru di mana sentralisme membawa banyak akibat merugikan bagi daerah.
Sayang, situasi ini mengecilkan kesempatan dikembangkannya suatu diskusi yang sehat
bagaimana sebaiknya desentralisasi dikembangkan di Indonesia. Jiwa desentralisasi di
Indonesia adalah “melepaskan diri sebesarnya dari pusat” bukan “membagi tanggung jawab
kesejahteraan daerah”.
Sentralisasi dan desentralisasi tidak boleh ditetapkan sebagai suatu proses satu arah
dengan tujuan pasti. Pertama- tama, kedua “sasi” itu adalah masalah perimbangan. Artinya,
peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan selalu merupakan dua hal yang
dibutuhkan. Tak ada rumusan ideal perimbangan. Selain proses politik yang sukar ditentukan,
seharusnya ukuran yang paling sah adalah argumen mana yang terbaik bagi masyarakat.
Agar otonomi daerah dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan, maka harus disusun
peraturan dan perundang-undangan sebagai landasan atau dasar hukum. Apa yang menjadi dasar
hukum pelaksanaan otonomi daerah ? Pelaksanaan otonomi daerah berpedoman pada konstisusi
(hukum dasar) negara yang tertulis, yaitu UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
a. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen kedua
1. Pasal 18
2. Pasal 18A

7
3. Pasal 18B
b. Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/2000, tentang Rekomendasi Kebijakan dalam
Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
c. Undang-Undang
1. UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
2. UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara antara Pemerintah
Pusat dan Daerah
2.5 Pembentukan daerah otonom
Dalam pembahasan di atas telah disinggung bahwa daerah otonom, merupakan kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah, berwenang mengatur dan mengurus
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Wilayah negara kita dibagi atas daerah-daerah provinsi, kabupaten dan kota yang
mempunyai pemerintahan daerah sendiri. Untuk menjadi sebuah daerah otonom harus memenuhi
berbagai persyaratan, yaitu syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan.
a. Syarat administratif
Suatu daerah akan menjadi daerah otonom jika memenuhi syarat administratif. Syarat
administratif untuk provinsi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan
bupati/walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi tersebut. Persetujuan DPRD
provinsi induk dan gubernur, serta mendapat rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
Sedangkan syarat administratif untuk kabupaten/kota adalah adanya persetujuan DPRD
kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang bersangkuatan, persetujuan DPRD provinsi dan
gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
b. Syarat teknis
Sebuah daerah otonom tentu membutuhkan sumber daya yang mampu menjadi tumpuan
bagi hidup, tumbuh dan berkembangnya daerah tersebut sebagai syarat teknis pembentukan
daerah. Syarat teknis pembentukan daerah otonom meliputi kemampuan ekonomi, jumlah
penduduk, potensi daerah, luas daerah, sosial budaya, politik, dan pertahanan keamanan yang
memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
c. Syarat fisik

8
Syarat fisik pembentukan daerah otonom berhubungan dengan cakupan wilayah daerah
tersebut. Untuk membentuk daerah otonom provinsi paling sedikit terdiri dari lima
kabupaten/kota. Untuk pembentukan kabupaten paling sedikit tujuh kecamatan, sedang untuk
pembentukan kota sedikitnya terdapat empat kecamatan. Syarat fisik juga berhubungan dalam
lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan.
Suatu daerah otonom dapat mengalami pemekaran jika telah memenuhi syaratsyarat
tertentu. Pemekaran satu daerah menjadi dua atau lebih dapat dilakukan setelah mencapai batas
minimal usia penyelenggaraan pemerintahan. Sebaliknya, suatu daerah yang tidak mampu
menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan/ atau digabung dengan daerah lain.

2.6 Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia

1. Warisan Kolonial

Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad No. 329 yang memberi
peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri. Kemudian
staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S. 181/1905. Pada tahun 1922,
pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah undang-undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini
dibentuk sejumlah provincie, regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang
semuanya menggantikan locale ressort. Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang merupakan
persekutuan asli masyarakat setempat (zelfbestuurende landschappen).
Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan sejumlah
kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan demikian, dalam masa
pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi pemerintahan.

2. Masa Pendudukan Jepang

Ketika menjalar PD II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai Korea Utara
ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil menaklukkan
pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta Belanda di Daerah
Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar tiga setengah tahun berhasil
melakukan perubahan-perubahan yang cukup fundamental dalam urusan penyelenggaraan
pemerintahan daerah di wilayah-wilayah bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa
mengeluarkan undang-undang (Osamu Seire) No. 27/1942 yang mengatur penyelenggaraan
9
pemerintahan daerah. Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki
kewenangan. Penyebutan daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut
bersifat misleading.

3. Masa Kemerdekaan

a. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945


Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitik beratkan pada asas dekonsentrasi,
mengatur pembentukan KND (komite Nasional Daerah) di keresidenan, kabupaten, kota
berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian daerah
terdiri atas dua macam yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan yakni:
1) Provinsi
2) Kabupaten/kota besar
3) Desa/kota kecil.
UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja.
Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki penjelasan.
b. Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU Nomor
22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam UU itu
dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:
1) Propinsi
2) Kabupaten/kota besar
3) Desa/kota kecil
4) Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.
c. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah swatantra.
Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangga
sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu:
1) Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya
2) Daerah swatantra tingkat II
3) Daerah swatantra tingkat III.
UU No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya
sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.
10
d. Periode Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959
Penpres No. 6 Tahun 1959 yang berlaku pada tanggal 7 November 1959 menitikberatkan
pada kestabilan dan efisiensi pemerintahan daerah, dengan memasukkan elemen-elemen baru.
Penyebutan daerah yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri dikenal dangan daerah
tingkat I, tingkat II, dan daerah tingkat III.
Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan otonomi daerah pada masa ini, bahwa
kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat, terutama dari kalangan pamong praja.
e. Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:
1) Provinsi (tingkat I)
2) Kabupaten (tingkat II)
3) Kecamatan (tingkat III)
Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan kebijaksanaan
politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi antarjawatan pemerintah pusat
di daerah, melakukan pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan
kepadanya oleh pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai
tugas memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani
peraturan dan keputusan yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di
luar pengadilan.
f. Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah tangganya
berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah, yaitu daerah tingkat
I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut tingkatannya menjadi:
1) Provinsi/ibu kota negara
2) Kabupaten/kotamadya
3) Kecamatan
Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II
berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi aspirasi
masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan bertanggung
jawab.
g. Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

11
Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih
mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22 tahun 1999
adalah sebagai berikut:
1.Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan
berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
2.Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah
provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah
kabupaten dan daerah kota.
3.Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
4.Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.
Secara umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan masyarakat
daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi
masyarakat.
h. Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah
yang dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa dengan berlakunya UU ini, UU No.
22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru ini
memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten dan provinsi, antara
provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah.
Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan
di bawahnya, demikian juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan
kemitraan dan sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin di pertegas dan di perjelas.

2.7 Tujuan dan Prinsip Otonomi Daerah

1. Tujuan Otonomi Daerah

Menurut pengalaman dalam pelaksanaan bidang-bidang tugas tertentu sistem Sentralistik


tidak dapat menjamin kesesuaian tindakan-tindakan Pemerintah Pusat dengan keadaan di daerah-
daerah. Maka untuk mengatasi hal ini, pemerintah kita menganut sistem Desentralisasi atau
Otonomi Daerah. Hal ini disebabkan wilayah kita terdiri dari berbagai daerah yang masing-

12
masing memiliki sifat-sifat khusus tersendiri yang dipengaruhi oleh faktor geografis (keadaan
alam, iklim, flora-fauna, adat-istiadat, kehidupan ekonomi dan bahasa), tingkat pendidikan dan
lain sebagainya. Dengan sistem Desentralisasi diberikan kekuasaan kepada daerah untuk
melaksanakan kebijakan pemerintah sesuai dengan keadaan khusus di daerah kekuasaannya
masing-masing, dengan catatan tetap tidak boleh menyimpang dari garis-garis aturan yang telah
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Jadi pada dasarnya, maksud dan tujuan diadakannya
pemerintahan di daerah adalah untuk mencapai efektivitas pemerintahan.
Otonomi yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah ini bersifat mandiri dan
bebas. Pemerintah daerah bebas dan mandiri untuk membuat peraturan bagi wilayahnya.
Namun, harus tetap mempertanggungjawabkannya dihadapan Negara dan pemerintahan pusat.
Selain tujuan diatas, masih terdapat beberapa point sebagai tujuan dari otonomi daerah.
Dibawah ini adalah beberapa tujuan dari otonomi daerah dilihat dari segi politik, ekonomi,
pemerintahan dan sosial budaya, yaitu sebagai berikut.
a. Dilihat dari segi politik, penyelenggaraan otonomi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan
kekuasaan dipusat dan membangun masyarakat yang demokratis, untuk menarik rakyat ikut serta
dalam pemerintahan dan melatih diri dalam menggunakan hak-hak demokrasi.
b. Dilihat dari segi pemerintahan, penyelenggaraan otonomi daerah untuk mencapai pemerintahan
yang efisien.
c. Dilihat dari segi sosial budaya, penyelenggaran otonomi daerah diperlukan agar perhatian lebih
fokus kepada daerah.
d. Dilihar dari segi ekonomi, otonomi perlu diadakan agar masyarakat dapat turut berpartisipasi
dalam pembangunan ekonomi di daerah masing-masing.
Untuk mencapai tujuan otonomi daerah tersebut, sebaiknya dimulai dari diri sendiri. Para
pejabat harus memiliki kesadaran penuh bahwa tugas yang diembannya merupakan sebuah
amanah yang harus dijalankan dan dipertanggungjawabkan. Selain itu, kita semua juga memiliki
kewajiban untuk berpartisipasi dalam rangka tercapainya tujuan otonomi daerah. Untuk
mewujudkan hal tersebut tentunya bukan hal yang mudah karena tidak mungkin dilakukan secara
instan. Butuh proses dan berbagai upaya serta partisipasi dari banyak pihak. Oleh karena itu,
diperlukan kesungguhan serta kerjasama dari berbagai pihak untuk mencapai tujuan ini.

13
2. Prinsip Otonomi Daerah
Atas dasar pencapaian tujuan diatas, prinsip-prinsip yang dijadikan pedoman dalam
pemberian Otonomi Daerah adalah sebagai berikut (Penjelasan UU No. 32 Tahun 2004) :
a. Prinsip Otonomi Daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah
diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah diluar yang menjadi
urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-undang ini. Daerah memliki kewenangan
membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
b. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan
bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan
pemerintah daerah dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya
telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan
kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama
dengan daerah lainnya, adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggunjawab adalah
otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud
pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

2.8 Dampak Pelaksanaan Otonomi Daerah


Segala sesuatu yang ada di dunia ini pasti ada dua hal yang saling bertentangan, seperti
halnya sisi-sisi pada koin yang saling bertolak belakang. Otonomi daerah tidak disangkal
memang suatu perubahan yang positif bagi bangsa, yaitu dari kontradiktif asas sentralisasi yang
membuat suatu daerah tidak bisa berkembang sebagaimana mestinya. Dan juga tidak melupakan
hal lain dari sesuatu itu adalah hal yang negatif, Otonomi Daerah mempunyai dampak positif dan
juga berdampak negatif, yang dampak negatif itu sangat erat kaitannya dengan perkembangan
korupsi di negeri ini.
1. Dampak positif
Memang tidak dapat disangkal bahwa pengadaan Otonomi Daerah merupakan suatu hal
yang membanggakan karena daerah-daerah yang memiliki potensi dari segi alam maupun
sumber daya manusianya bisa berkembang, dan bisa membawa nama daerah tersebut menasional

14
bahkan internasional. Dapat dipastikan bahwa salah satu dampak positif dari pelaksanaan
Otonomi Daerah adalah biaya birokrasi lebih efisien.
Dari segi ekonomi bisa terlihat dari bertambahnya pendapatan daerah yang juga diikuti
oleh pendapatan masyarakat. Pereokonomian daerah meningkat disebabkan oleh pemanfaatan
SDA secara maksimal.
Segi sosial budaya juga menunjukkan kemajuan dengan semakin dikenalnya budaya
setempat diluar daerah. Sehingga kebudayaan daerah dapat menjadi kebanggaan daerah tersebut.
Dilihat dari segi keamanan dan politik, Otonomi Daerah merupakan salah satu cara
mempersatukan NKRI. Otonomi Daerah merupakan solusi tepat bagi daerah-daerah yang merasa
terdeskriminasi dengan sentralisasi pemerintah. Dengan Otonomi Daerah, daerah dapat
berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
2. Dampak negatif
Dampak negatif dari Otonomi daerah bisa disebut juga dengan masalah yang timbul dari
pelaksanaan Otonomi daerah sejauh ini.
Adanya kecenderungan pemerintah daerah untuk mengeksploitasi rakyat melalui
pengumpulan pendapatan daerah (pungutan liar). Keterbatasan sumberdaya dihadapkan dengan
tuntutan kebutuhan dana (pembangunan dan rutin operasional pemerintahan) yang besar. Hal
tersebut memaksa Pemerintah Daerah menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya
memperluas dan atau meningkatkan objek pajak dan retribusi. Padahal banyaknya pungutan
hanya akan menambah biaya ekonomi yang akan merugikan perkembangan ekonomi daerah.
Pemerintah daerah yang terlalu intensif memungut pajak dan retribusi dari rakyatnya hanya akam
menambah beratnya beban yang harus ditanggung warga masyarakat.
Penggunaan dana anggaran yang tidak terkontrol. Hal ini dapat dilihat dari pemberian
fasilitas yang berlebihan kepada pejabat daerah. Pemberian fasilitas yang berlebihan ini
merupakan bukti ketidakarifan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah.
Rusaknya Sumber Daya Alam. Rusaknya sumber daya alam ini disebabkan karena adanya
keinginan dari Pemerintah Daerah untuk menghimpun pendapatan asli daerah (PAD), di mana
Pemerintah Daerah menguras sumber daya alam potensial yang ada, tanpa mempertimbangkan
dampak negatif/kerusakan lingkungan dan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable
development). Selain itu, adanya kegiatan dari beberapa orang Bupati yang menetapkan
peningkatan ekstraksi besar-besaran sumber daya alam di daerah mereka, di mana ekstraksi ini

15
merupakan suatu proses yang semakin mempercepat perusakan dan punahnya hutan serta
sengketa terhadap tanah. Akibatnya terjadi percepatan kerusakan hutan dan lingkungan yang
berdampak pada percepatan sumber daya air hampir di seluruh wilayah tanah air. Eksploitasi
hutan dan lahan yang tak terkendali juga telah menyebabkan hancurnya habitat dan ekosistem
satwa liar yang berdampak terhadap punahnya sebagian varietas vegetasi dan satwa langka serta
mikro organisme yang sangat bermanfaat untuk menjaga kelestarian alam.
Bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah. Praktik korupsi di daerah tersebut terjadi
pada proses pengadaan barang-barang dan jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga
sebuah barang dianggarkan jauh lebih besar dari harga barang tersebut sebenarnya di pasar
Pemerintahan kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang diperoleh dari
hutan milik negara dan perusahaan perkebunaan bagi budget mereka.

2.9 Pengaruh Otonomi Daerah Dalam Perekonomian Daerah


Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan paradigma pembangunan
nasional dari paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan secara lebih
adil dan berimbang. Perubahan paradigma ini antara lain diwujudkan melalui diberlakukannya
otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diatur dalam satu paket
undang-undang yaitu Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah dan
Undang-Undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah.

Kebijakan pemberian otonomi daerah dan desentralisasi yang luas, nyata, dan bertanggung
jawab kepada daerah merupakan langkah strategis dalam dua hal. Pertama, otonomi daerah dan
desentralisasi merupakan jawaban atas permasalahan lokal bangsa Indonesia berupa ancaman
disintegrasi bangsa, kemiskinan, ketidakmerataan pembangunan, rendahnya kualitas hidup
masyarakat, dan masalah pembangunan sumber daya manusia (SDM). Kedua, otonomi daerah
dan desentralisasi fiskal merupakan langkah strategis bangsa Indonesia untuk menyongsong era
globalisasi ekonomi dengan memperkuat basis perekonomian daerah. Hal-hal yang mendasar
dalam undang-undang ini adalah kuatnya upaya untuk mendorong pemberdayaan masyarakat,
pengembangan prakarsa dan kreativitas, peningkatan peran serta masyarakat, dan pengembangan
peran dan fungsi DPRD. UU ini memberikan otonomi secara penuh kepada daerah kabupaten
dan kota untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi
16
masyarakatnya. Artinya, saat sekarang daerah sudah diberi kewenangan penuh untuk
merencanakan, melaksanakan, mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi kebijakan-
kebijakan daerah. Dengan semakin besarnya partisipasi masyarakat ini, desentralisasi kemudian
akan mempengaruhi komponen kualitas pemerintahan lainnya. Salah satunya berkaitan dengan
pergeseran orientasi pemerintah, dari command and control menjadi berorientasi pada tuntutan
dan kebutuhan publik. Orientasi yang seperti ini kemudian akan menjadi dasar bagi pelaksanaan
peran pemerintah sebagai stimulator, fasilitator, koordinator dan entrepreneur (wirausaha) dalam
proses pembangunan. Otonomi Daerah dalam Perekonomian Oleh karena itu, pemberian
otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas sektor
publik di Indonesia. Dengan otonomi, daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber
pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian
(sharing) dari pemerintah pusat dan menggunakan dana publik sesuai dengan prioritas dan
aspirasi masyarakat. Dengan kondisi seperti ini, peranan investasi swasta dan perusahaan milik
daerah sangat diharapkan sebagai pemacu utama pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
daerah (enginee of growth). Daerah juga diharapkan mampu menarik investor untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi daerah. Selain itu, pemberian otonomi daerah juga diharapkan dapat
memberikan keleluasaan kepada daerah dalam membangun daerahnya melalui usaha-usaha yang
sejauh mungkin mampu meningkatkan partisipasi aktif masyarakatnya, karena pada dasarnya
pelaksanaan otonomi daerah mengandung tiga misi utama, yaitu :

a. Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah

b. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat

c. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi)
dalam proses pembangunan daerah.

Dengan demikian, upaya untuk memantapkan kemandirian pemerintah daerah yang


dinamis dan bertanggung jawab, serta mewujudkan pemberdayaan dan otonomi daerah dalam
lingkup yang lebih nyata, maka diperlukan aksi nyata pula dalam melaksanakan tiga misi
tersebut. Di samping itu, diperlukan juga upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas,
dan profesionalisme sumber daya manusia dan lembaga-lembaga publik di daerah dalam
mengelola sumber daya daerah. Dan upaya-upaya untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya
daerah harus dilaksanakan secara komprehensif dan terintegrasi mulai dari aspek perencanaan,
17
pelaksanaan, dan evaluasi sehingga otonomi yang diberikan kepada daerah akan mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dari aspek perencanaan, daerah sangat membutuhkan
aparat daerah (baik eksekutif maupun legislatif) yang berkualitas tinggi, bervisi strategik dan
mampu berpikir strategik, serta memiliki moral yang baik sehingga dapat mengelola
pembangunan daerah dengan baik. Partisipasi aktif dari semua elemen yang ada di daerah sangat
dibutuhkan agar perencanaan pembangunan daerah benar-benar mencerminkan kebutuhan
daerah dan berkaitan langsung dengan permasalahan yang dihadapi daerah. Dari aspek
pelaksanaan, pemerintah daerah dituntut mampu menciptakan sistem manajemen yang mampu
mendukung operasionalisasi pembangunan daerah. Salah satu aspek dari pemerintahan daerah
yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran
daerah. Anggaran Daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan
instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah. Sebagai instrumen kebijakan, APBD
menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah
daerah. APBD digunakan sebagai alat untuk menentukan besarnya pendapatan dan pengeluaran,
membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di
masa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi
kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari
berbagai unit kerja. Dalam kaitan ini, proses penyusunan dan pelaksanaan APBD hendaknya
difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan program dan aktivitas yang menjadi
preferensi daerah yang bersangkutan. Untuk memperlancar pelaksanaan program dan aktivitas
yang telah direncanakan dan mempermudah pengendalian, pemerintah daerah dapat membentuk
pusat-pusat pertanggungjawaban (responsibility centers) sebagai unit pelaksana. Untuk
memastikan bahwa pengelolaan dana publik (public money) telah dilakukan sebagaimana
mestinya, perlu dilakukan evaluasi terhadap hasil kerja pemerintah daerah. Evaluasi dapat
dilakukan oleh pihak internal yang dapat dilakukan oleh internal auditor maupun oleh eksternal
auditor, misalnya auditor independen. Untuk menciptakan transparansi dan akuntabilitas publik,
pemerintah daerah perlu membuat laporan keuangan yang disampaikan kepada publik.
Pengawasan dari semua lapisan masyarakat dan khususnya dari DPRD mutlak diperlukan agar
otonomi yang diberikan kepada daerah tidak “kebablasan” dan dapat mencapai tujuannya.
Dengan demikian, diharapkan mekanisme perumusan kebijakan yang akomodatif terhadap
aspirasi masyarakat daerah dapat dibangun, sehingga keberadaan otonomi daerah akan lebih

18
bermakna dan pada akhirnya akan meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat. Sejalan
dengan itu, pemerintah daerah harus dapat mendayagunakan potensi sumber daya daerah secara
optimal. Karena dengan demikian akan menciptakan berkurangnya tingkat ketergantungan
pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Selain itu, daerah dituntut mampu meningkatkan
profesionalisme aparatur pemerintah daerah serta melaksanakan reformasi akuntansi keuangan
daerah dan manajemen keuangan daerah. Tetapi yang paling penting lagi ialah daerah mampu
melaksanakan perencanaan strategik secara benar, sehingga akan memacu terwujudnya otonomi
daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab, yang dapat memperkokoh basis
perekonomian daerah serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dalam menghadapi era
perekonomian global

2.10 Pengoptimalan Otonomi Daerah di Indonesia


Sebelum membahas tentang cara mengoptimalkan pelaksanaan Otonomi Daerah, perlu
halnya untuk mengetahui apa yang menyebabkan pelaksanaan Otonomi daerah di Indonesia
tidak optimal, diantaranya:
1. Lemahnya pengawasan dari pusat maupun check and balances. Dengan demikian, hal
yang tidak dihekendaki oleh pemerintah pusat atau rakyat sekalipun.
2. Pemahaman terhadap Otonomi Daerah yang belum sepenuhnya, baik oleh aparat maupun
oleh warga masyarakat menyebabkan pelaksanaan Otonomi Daerah menyimpang dari
tujuan mewujudkan masyarakat yang aman, damai dan sejahtera.
3. Keterbatasan sumber dana dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana (pembangunan
dan rutin operasional pemerintahan) yang besar, memaksa Pemda menempuh pilihan
yang membebani rakyat, misalnya memperluas dan atau meningkatkan objek pajak dan
retribusi, dan juga menguras sumberdaya alam yang tersedia.
4. Kesempatan seluas-luasnya yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan
mengambil peran, juga sering disalah artikan, seolah-olah merasa diberi kesempatan
untuk mengekspolitasi sumber daya alam dengan cara masing-masing semaunya sendiri.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang seharusnya berperan mengontrol dan
meluruskan segala kekeliruan implementasi Otonomi Daerah tidak menggunakan peran
dan fungsi yang semestinya, bahkan seringkali mereka ikut terhanyut dan berlomba
mengambil untung dari perilaku aparat dan masyarakat yang salah. Semua itu terjadi
19
karena Otonomi Daerah lebih banyak menampilkan nuansa kepentingan pembangunan
fisik dan ekonomi.
6. Kurangnya pembangunan sumber daya manusia / Sumber Daya Manusia (moral, spiritual
intelektual dan keterampilan) yang seharusnya diprioritaskan. Sumber Daya Manusia
berkualitas ini merupakan kunci penentu dalam keberhasilan pelaksanaan Otonomi
Daerah. Sumber Daya Manusia yang tidak/belum berkualitas inilah yang menyebabkan
penyelenggaraan Otonomi Daerah tidak berjalan sebagaimana mestinya, penuh dengan
intrik, konflik dan penyelewengan serta diwarnai oleh menonjolnya kepentingan pribadi
dan kelompok.
Hal-hal yang dapat mengoptimalkan pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia adalah:.
1. Manusia sebagai subjek dari Otonomi Daerah harus merupakan manusia yang
berkualitas.
2. Keuangan sebagai sumber biaya dalam pelaksanaan Otonomi Daerah harus tersedia
dengan cukup dan pengelolahan dana secara transparan.
3. Prasarana, sarana dan peralatan harus tersedia dengan cukup dan memadai.
4. Organisasi dan manajemen harus baik.
Dari semua hal yang ada diatas, hal yang terpenting adalah manusia yang baik, karena yang
menentukan berhasil tidaknya Daerah Otonom tersebut adalah dari pelakunya.
Selain itu, untuk mengoptimalkan pelaksanaan Otonomi Daerah harus ditempuh berbagai cara,
seperti:
1. Memperketat mekanisme pengawasan kepada Kepala Daerah.
Hal ini dilakukan agar Kepala Daerah yang mengepalai suatu daerah otonom akan
terkontrol tindakannya sehingga Kepala Daerah tersebut tidak akan bertindak sewenang-
wenang dalam melaksanakan tugasnya tersebut. Berbagai penyelewengan yang dapat
dilakukan oleh Kepala Daerah tersebut juga dapat dihindari dengan diperketatnya
mekanisme pengawasan ini.
2. Memperketat pengawasan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pengawasan terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat dilakukan oleh Badan
Kehormatan yang siap mengamati dan mengevaluasi sepak terjang anggota Dewan.
3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib menyusun kode etik untuk menjaga martabat
dan kehormatan dalam menjalankan tugasnya.

20
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Otonomi Daerah berasal dari bahasa yunani yaitu authos yang berarti sendiri
dan namos yang berarti undang-undang atau aturan. Otonomi dalam makna sempit dapat
diartikan sebagai “mandiri”. Sedangkan makna yang lebih luas diartikan sebagai “berdaya”.

21
Otonomi daerah, memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang
dimilikinya secara optimal. Dimana untuk mewujudkan keadaan tersebut, berlaku proposisi
bahwa pada dasarnya segala persoalan sepatutnya diserahkan kepada daerah untuk
mengidentifikasikan, merumuskan, dan memecahkannya, kecuali untuk persoalan-persoalan
yang memang tidak mungkin diselesaikan oleh daerah itu sendiri.
Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan
pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
Ada beberapa peraturan dasar tentang pelaksanaan otonomi daerah,yaitu sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat 1 hingga ayat 7.
2) Undang-Undang No.32 Tahun 2004 yang mengatur tentang pemerintahan daerah.
3) Undang-Undang No.33 Tahun 2004 yang mengatur tentang sumber keuangan negara.

Beberapa tujuan dari otonomi daerah dilihat dari segi politik, ekonomi, pemerintahan dan
sosial budaya, yaitu sebagai berikut.
Dilihat dari segi politik, penyelenggaraan otonomi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan
kekuasaan dipusat dan membangun masyarakat yang demokratis, untuk menarik rakyat ikut serta
dalam pemerintahan dan melatih diri dalam menggunakan hak-hak demokrasi.
a. Dilihat dari segi pemerintahan, penyelenggaraan otonomi daerah untuk mencapai
pemerintahan yang efisien.
b. Dilihat dari segi sosial budaya, penyelenggaran otonomi daerah diperlukan agar perhatian
lebih fokus kepada daerah.
c. Dilihat dari segi ekonomi, otonomi perlu diadakan agar masyarakat dapat turut
berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi di daerah masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA

Marbun, B. (2005). Otonomi Daerah 1945‐2005 Proses dan Realita Perkembangan Otda Sejak
Zaman Kolonial sampai Saat Ini. Jakarta: Pustaka Sinar harapan.

Nazara, C.M. (2006). Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pemekaran Provinsi Banten.Skripsi
pada FEM IPB Bogor: tidak diterbitkan.

Salam, D. (2004). Otonomi Daerah, Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber
Daya. Bandung: Djambatan.

22
Sam, C. dkk. (2008). Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.

Widarta. (2001). Cara Mudah Memahami Otonomi Daerah. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.

23

Anda mungkin juga menyukai