Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

TEKNOLOGI PELAYANAN KEBIDANAN


“TEKNOLOGI TERAPAN DALAM PELAYANAN PADA BAYI DAN BALITA ”

DOSEN PEMBIMBING
Desi Widiyanti, M.Keb

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 4
1. Della Nofriantika
2. Kharinda Anjelly Fanratami
3. Intan Maharani
4. Lutfia Syahda Kumala
5. Putri Belinda Permatasari
6. Septi Novia
7. Talitha Vindi
8. Vonny Safa Cornella

POLTEKKES KEMENKES BENGKULU


PRODI D4 KEBIDANAN TINGKAT III
JURUSAN KEBIDANAN
T.A 2019/2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang masih memberikan
kita kesehatan, sehingga saya dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini dengan judul
“Teknologi Terapan Dalam Pelayanan Pada Bayi Dan Balita”.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Teknologi Pelayanan
Kebidanan . Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu kami dalam menyusun makalah ini. Kami juga berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang sangat kami harapkan dari para
pembaca guna untuk meningkatkan dan memperbaiki pembuatan makalah pada tugas yang
lain dan pada waktu mendatang.

Bengkulu, Oktober 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.. .....................................................................


DAFTAR ISI .....................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A Latar Belakang ..........................................................................
B Rumusan Masalah .....................................................................
C Tujuan Masalah .........................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Obat dan Vaksin……………………………………………..
B. Alat - Alat Yang Digunakan………………………………..
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………….……...
B. Saran …………………………………………………..….....
DAFTAR PUSTAKA……………………………………….....…...
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah kesehatan merupakan salah satu masalah yang tidak dapat dilepaskan dari
kehidupan pedesaan. Masih banyak desa-desa terutama desa tertinggal yang jauh dari
perilaku hidup sehat. Sementara itu, kesehatan merupakan salah satu variable pengukur
indeks pembangunan manusia, dan mayoritas masyarakat indonesia tinggal di pedesaan
sehingga menjadi hal yang wajar jika indeks pembangunan manusia masih bernilai sangat
rendah. Kesehatan merupakan aspek penting dan menjadi salah satu kebutuhan yang
mendasar dalam kehidupan masyarakat menjadi salah satu hak yang seharusnya
didapatkan oleh semua masyarakat termasuk masyarakat desa.
Keterbatasan financial menjadi hambatan masyarakat desa dalam mengakses sarana
kesehatan. Selain itu umumnya program ataupun teknologi kesehatan dari pihak luar
kadang kala tidak sesuai dengan keadaan masyarakat desa serta sulit diterapkan oleh
masyarakat desa. Oleh karena itu perlu adanya Teknologi Tepat Guna (TTG) kesehatan
yang dapat membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatannya.
Teknologi tepat guna adalah teknologi yang didesain dengan mempertimbangkann
aspek lingkungan, etika budaya, sosial, dan ekonomi. Ciri-ciri Teknologi Tepat Guna
adalah mudah diterapkan, mudah dimodifikasi, untuk kegiatan skala kecil, sesuai dengan
perkembangan budaya masyarakat.
Adanya teknologi tepat guna kesehatan diharapkan dapat menjembatani masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan akan hidup sehat. Maka, perlu kiranya melihat kondisi
penerangan teknologi tepat guna, khususnya bidang kesehatan yang berkembang
dimasyarakat dan melihat sejauh mana teknologi tersebut berhasil mewujudkan kondisi
masyarakat yang sehat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja obat dan vaksin pada teknologi terapan dalam pelayanan pada bayi dan
balita?
2. Apa saja alat-alat yang digunakan pada teknologi terapan dalam pelayanan pada bayi
dan balita?

C. Manfaat
1. Untuk mengetahui apa saja obat dan vaksin untuk bayi dan balita
2. Untuk mengetahui apa saja alat-alat yang digunakan pada teknologi terapan dalam
pelayanan pada bayi dan balita
BAB II
PEMBAHASAN

A. OBAT DAN VAKSIN


Lima Imunisasi Dasar Lengkap (Lil)
1. Pengertian Imunisasi
Imunisasi merupakan suatu program yang dengan sengaja memasukkan
antigen lemah agar merangsang antibodi keluar sehingga tubuh dapat resisten
terhadap penyakit tertentu.
Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak
dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk
mencegah terhada penyakit tertentu.

2. Tujuan Imuniisas
Program imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan pada bayi agar
dapat mencegah penyakit dan kematian bayi serta anak yang disebabkan oleh
penyakit yang sering berjangkit. (Proverawati, 2010)
Tujuan pemberian imunisasi adalah diharapkan anak menjadi kebal terhadap
penyakit sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta dapat
mengurangi kecacatan akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.

3. Manfaat Imunisasi
a. Untuk Anak
Mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit dan kemungkinan cacat
atau kematian.
b. Untuk Keluarga
Menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak sakit. Mendorong
pembentukan keluarga apabila orang tua yakin bahwa anaknya akan menjalani
masa kanak- kanak yang nyaman.
c. Untuk Negara
Memperbaiki tingkat kesehatan, mrnciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk
melanjutkan pembangunan negara.

4. Jenis Imunisasi
a. Imunisasi Aktif
Merupakan pemberian suatu bibit penyakit yang telah dilemahkan (vaksin)
agar nantinya sistem imun tubuh berespon spesifik dan memberikan suatu ingatan
terhadap antigen ini, sehingga ketika terpapar lagi tubuh dapat mengenali dan
meresponnya. Contoh imunisasi aktif adalah imunisasi polio dan campak.
Dalam imunisasi aktif terdapat beberapa unsur-unsur vaksin, yaitu :
1) Vaksin dapat berupa organisme yang secara keseluruhan dimatikan,
eksotoksin yang didetoksifikasi saja, atau endotoksin yang terikat pada
protein pembawa seperti polisakarida, dan vaksin dapat juga berasal dari
ekstrak komponen-komponen organisme dari suatu antigen. Dasarnya adalah
antigen harus merupakan bagian dari organisme yang dijadikan vaksin.
2) Pengawet/stabilisator, atau antibiotik. Merupakan zat yang digunakan agar
vaksin tetap dalam keadaan lemah atau menstabilkan antigen dan mencegah
tumbuhnya mikroba. Bahan-bahan yang digunakan seperti air raksa atau
antibiotik yang biasa digunakan.
3) Cairan pelarut dapat berupa air steril atau juga berupa cairan kultur jaringan
yang digunakan sebagai media tumbuh antigen, misalnya telur, protein serum,
bahan kultur sel.
4) Adjuvan, terdiri dari garam aluminium yang berfungsi meningkatkan sistem
imun dari antigen. Ketika antigen terpapar dengan antibodi tubuh, antigen
dapat melakukan perlawanan juga, dalam hal ini semakin tinggi perlawanan
maka semakin tinggi peningkatan antibodi tubuh.

b. Imunisasi Pasif
Merupakan suatau proses peningkatan kekebalan tubuh dengan cara
memberikan zat immunoglobulin, yaitu zat yang dihasilkan melalui suatu proses
infeksi yang dapat berasal dari plasma manusia (kekebalan yang didapatkan bayi
dari ibu melalui plasenta) atau binatang (bisa ular) yang digunakan untuk
mengatasi mikroba sudah masuk dalam tubuh yang terinfeksi.
Contoh imunisasi pasif adalah penyuntikan ATS pada orang yang
mengalami luka kecelakaan. Contoh lain adalah yang terdapat pada bayi yang
baru lahir dimana bayi tersebut menerima berbagai jenis antibodi dari ibunya
melalui darah plasenta selama masa kandungan, misalnya antibodi terhadap
campak.

Jenis Vaksin Lima Imunisasi Lengkap


1) BCG

Imunisasi BCG merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah


terjadinya penyakit TBC yang berat sebab terjadinya penyakit TBC yang primer
atau yang ringan dapat terjadi walaupun sudah dilakukan imunisasi BCG. TBC
yang berat contohnya adalah TBC pada selaput otak, TBC milier pada seluruh
lapangan paru, atau TBC tulang. Vaksin BCG merupakan vaksin yang
mengandung kuman TBC yang telah dilemahkan.
Frekuensi pemberian imunisasi BCG adalah 1 dosis sejak lahir sebelum
umur 3 bulan. Vaksin BCG diberikan melalui intradermal/intracutan. Efek
samping pemberian imunisasi BCG adalah terjadinya ulkus pada daerah suntikan,
limfadenitis regionalis, dan reaksi panas.
2) Hepatitis B

Imunisasi hepatitis B merupakan imunisasi yang digunakan untuk


mencegah terjadinya penyakit hepatitis B. kandungan vaksin ini adalah HbsAg
dalam bentuk cair. Frekuensi pemberian imunisasi hepatitis B adalah 3 dosis.
Imunisasi hepatitis ini diberikan melalui intramuscular.

3) Polio

Imunisasi polio merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah


terjadinya penyakit poliomyelitis yang dapat menyebabkan kelumpuhan pada
anak. Kandungan vaksin ini adalah virus yang dilemahkan. Frekuensi pemberian
imunisasi polio adalah 4 dosis. Imunisasi polio diberikan melalui oral.
4) DPT

Imunisasi DPT merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah


terjadinya penyakit difteri, pertusis dan tetanus. Vaksin DPT ini merupakan
vaksin yang mengandung racun kuman difteri yang telah dihilangkan sifat
racunnya, namun masih dapat merangsang pembentukan zat anti (toksoid).
Frekuensi pemberian imuisasi DPT adalah 3 dosis. Pemberian pertama zat anti
terbentuk masih sangat sedikit (tahap pengenalan) terhadap vaksin dan
mengaktifkan organ-organ tubuh membuat zat anti. Pada pemberian kedua dan
ketiga terbentuk zat anti yang cukup. Imunisasi DPT diberikan melalui
intramuscular.
Pemberian DPT dapat berefek samping ringan ataupun berat. Efek ringan
misalnya terjadi pembengkakan, nyeri pada tempat penyuntikan, dan demam.
Efek berat misalnya terjadi menangis hebat, kesakitan kurang lebih empat jam,
kesadaran menurun, terjadi kejang, encephalopathy, dan syok.

5) Campak
Imunisasi campak merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah
terjadinya penyakit campak pada anak karena termasuk penyakit menular.
Kandungan vaksin ini adalah virus yang dilemahkan. Frekuensi pemberian
imunisasi campak adalah 1 dosis. Imunisasi campak diberikan melalui subkutan.
Imunisasi ini memiliki efek samping seperti terjadinya ruam pada tempat
suntikan dan panas.

5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Imunisasi


a. Status imun penjamu
1) Adanya antibodi spesifik pada penjamu keberhasilan vaksinasi, misalnya:
(1.Campak pada bayi; 2.Kolostrum ASI – Imunoglobulin A polio)
2) Maturasi imunologik : neonatus fungsi makrofag, kadar komplemen, aktifasi
optonin.
3) Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen kurang, hasil vaksinasi
ditunda sampai umur 2 tahun.
4) Cakupan imunisasi semaksimal mungkin agar anak kebal secara simultan,
bayi diimunisasi.
5) Frekuensi penyakit : dampaknya pada neonatus berat imunisasi dapat
diberikan pada neonatus.
6) Status imunologik (seperti defisiensi imun) respon terhadap vaksin kurang.

b. Genetik
Secara genetik respon imun manusia terhadap antigen tertentu baik,
cukup, rendah. Keberhasilan vaksinasi tidak 100%.

c. Kualitas vaksin
1) Cara pemberian. Misalnya polio oral, imunitas lokal dan sistemik.
2) Dosis vaksin (1.Tinggi hambatan respon, menimbulkan efek samping; 2.Jika
rendah, maka tidak merangsang sel imunokompeten)
3) Frekuensi pemberian. Respon imun sekunder Sel efektor aktif lebih cepat,
lebih tinggi produksinya, afinitas lebih tinggi. Frekuensi pemberian
mempengaruhi respon imun yang terjadi. Bila vaksin berikutnya diberikan
pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi, sedangkan antigen
dinetralkan oleh antibodi spesifik maka tidak merangsang sel
imunokompeten.
4) Ajuvan (1.Zat yang meningkatkan respon imun terhadap antigen;
2.Mempertahankan antigen agar tidak cepat hilang; 3.Mengaktifkan sel
imunokompeten)
5) Jenis vaksin. Vaksin hidup menimbulkan respon imun lebih baik.
6) Kandungan vaksin (1.Antigen virus; 2.Bakteri; 3.Vaksin yang dilemahkan
seperti polio, campak, BCG.; 4.Vaksin mati : pertusis.; 5.Eksotoksin :
toksoid, difteri, tetanus.; 6.Ajuvan: persenyawaan aluminium.; 7.Cairan
pelarut : air, cairan garam fisiologis, kultur jaringan, telur.)

6. Faktor Yang Dapat Merusak Vaksin Dan Komposisi Vaksin

a. Panas dapat merusak semua vaksin.


b. Sinar matahari dapat merusak BCG.
c. Pembekuan toxoid.
d. Desinfeksi / antiseptik : sabun.

7. Tatacara Pemberian Imunisasi

Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan dianjurkan mengikuti tata cara


seperti berikut:
a. Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila tidak
divaksinasi.
b. Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila terjadi
reaksi ikutan yang tidak diharapkan.
c. Baca dengan teliti informasi tentang yang akan diberikan dan jangan lupa
mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab dengan orang tua
atau pengasuhnya sebelum melakukan imunisasi.
d. Tinjau kembali apakah ada kontraindikasi terhadap vaksin yang akan
diberikan.
e. Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan
f. Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan dengan
baik.
g. Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan.
Periksa tanggal kadaluarsa dan catat hal-hal istimewa, misalnya adanya
perubahan warna yang menunjukkan adanya kerusakan.
h. Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan pula
vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal (catch up vaccination)
bila diperlukan.
i. Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai pemilihan
jarum suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan posisi penerima
vaksin.
j. Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal seperti berikut:
 Berilah petunjuk (sebaiknya tertulis) kepada orang tua atau pengasuh, apa
yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang biasa atau reaksi
ikutan yang lebih berat.
 Catat imunisasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan klinis.
 Catatan imunisasi secara rinci harus disampaikan kepada Dinas
Kesehatan bidang P2M.
 Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan vaksinasi
untuk mengejar ketinggalan, bila diperlukan.
 Dalam situasi vaksinasi yang dilaksanakan untuk kelompok besar,
pelaksanaannya dapat bervariasi, namun rekomendasi tetap seperti di atas
yang berpegang pada prinsip- prinsip higienis, surat persetujuan yang
valid, dan pemeriksaan/penilaian sebelum imunisasi harus dikerjakan.
1) Penyimpanan
Vaksin yang disimpan dan diangkut secara tidak benar akan kehilangan
potensinya. Instruksi pada lembar penyuluhan (brosur) informasi produk harus
disertakan. Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, bahwa vaksin harus
didinginkan pada temperatur 2-8oC dan tidak membeku. Sejumlah vaksin (DPT
dan hepatitis B) menjadi tidak aktif bila beku. Pengguna dinasehatkan untuk
melakukan konsultasi guna mendapatkan informasi khusus vaksin-vaksin
individual, karena beberapa vaksin (polio) dapat disimpan dalam keadaan beku.

2) Pengenceran
Vaksin kering yang beku harus diencerkan dengan cairan pelarut khusus
dan digunakan dalam periode waktu tertentu. Apabila vaksin telah diencerkan,
harus diperiksa terhadap tanda-tanda kerusakan (warna dan kejernihan). Perlu
diperhatikan bahwa vaksin campak yang telah diencerkan cepat mengalami
perubahan pada suhu kamar. Jarum ukuran
21 yang steril dianjurkan untuk mengencerkan dan jarum ukuran 23 dengan
panjang 25 mm digunakan untuk menyuntikkan vaksin.

3) Pembersihan Kulit
Tempat suntikan harus dibersihkan sebelum imunisasi dilakukan namun
apabila kulit telah bersih, antiseptik kulit tidak diperlukan.

4) Pemberian Suntikan
Sebagian besar vaksin diberikan melalui suntikan intramuskular atau
subkutan dalam. Terdapat perkecualian pada dua jenis vaksin yaitu polio
diberikan per-oral dan BCG diberikan dengan suntikan intradermal.

5) Teknik dan Ukuran Jarum


Para petugas yang melaksanakan vaksinasi harus memahami teknik dasar
dan petunjuk keamanan pemberian vaksin, untuk mengurangi risiko penyebaran
infeksi dan trauma akibat suntikan yang salah. Pada tiap suntikan harus digunakan
tabung suntikan dan jarum baru, sekali pakai dan steril. Sebaiknya tidak
digunakan botol vaksin yang multidosis, karena risiko infeksi. Apabila memakai
botol multidosis (karena tidak ada laternatif vaksin dalam sediaan lain) maka
jarum suntik yang telah digunakan menyuntikkan tidak boleh dipakai lagi
mengambil vaksin.
Tabung suntik dan jarum harus dibuang dalam tempat tertutup yang diberi
tanda (label) tidak mudah robek dan bocor, untuk menghindari luka tusukan atau
pemakaian ulang. Tempat pembuangan jarum suntik bekas harus dijauhkan dari
jangkauan anak-anak.
Sebagian besar vaksin harus disuntikkan ke dalam otot. Penggunaan jarum
yang pendek meningkatkan risiko terjadi suntikan subkutan yang kurang dalam.
Standar jarum suntik ialah ukuran 23 dengan panjang 25 mm, tetapi ada
perkecualian lain dalam beberapa hal seperti berikut :
a. Pada bayi-bayi kurang bulan, umur dua bulan atau yang lebih muda dan bayi-
bayi kecil lainnya, dapat pula dipakai jarum ukuran 26 dengan panjang 16
mm.
b. Untuk suntikan subkutan pada lengan atas, dapakai jarum ukuran 25 dengan
panjang 16 mm, untuk bayi-bayi kecil dipakai jarum ukuran 27 dengan
panjang 12 mm.
c. Untuk suntikan intradermal pada vaksin BCG dipakai jarum ukuran 25-27
dengan panjang 10 mm.

6) Arah Sudut Jarum pada Suntikan Intramuskular


Jarum suntik harus disuntikkan dengan sudut 45o sampai 60o ke dalam
otot vastus lateralis atau otot deltoid (lengan atas). Untuk otot vastus lateralis,
jarum harus diarahkan ke arah lutut dan untuk deltoid jarum harus diarahkan ke
pundak. Kerusakan saraf dan pembuluh vaskular dapat terjadi apabila suntikan
diarahkan pada sudut 90o. pada suntikan dengan sudut jarum 45o sampai 60o
akan mengalami hambatan ringan pada waktu jarum masuk ke dalam otot.
7) Tempat Suntikan yang Dianjurkan
Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi
pada bayi- bayi dan anak-anak umur dibawah 12 bulan. Regio deltoid adalah
alternatif untuk vaksinasi pada anak-anak yang lebih besar (mereka yang telah
dapat berjalan) dan orang dewasa.
Daerah anterolateral paha adalah bagian yang dianjurkan untuk vaksinasi
bayi-bayi dan tidak pada pantat (daerah gluteus) untuk menghindari risiko
kerusakan saraf ischiadica (nervus ischiadicus). Risiko kerusakan saraf ischiadica
akibat suntikan didaerah gluteus lebih banyak dijumpai pada bayi karena variasi
posisi saraf tersebut, masa otot lebih tebal,
sehingga pada vaksinasi dengan suntikan intramuskular di daerah gluteal dengan
tidak sengaja menghasilkan suntikan subkutan dengan reaksi lokal yang lebih
berat.
Sedangkan untuk vaksinasi BCG, harus disuntik pada kulit di atas insersi
otot deltoid (lengan atas), sebab suntikan-suntikan diatas puncak pundak memberi
risiko terjadinya keloid.

8) Posisi Anak dan Lokasi Suntikan


Vaksin yang disuntikkan harus diberikan pada bagian dengan risiko
kerusakan saraf, pembuluh vaskular serta jaringan lainnya. Penting bahwa bayi
dan anak jangan bergerak saat disuntik, walaupun demikian cara memegang bayi
dan anak yang berlebihan akan menambah ketakutan sehingga meningkatkan
ketegangan otot. Perlu diyakinkan kepada orang tua atau pengasuh untuk
membantu memegang anak atau bayi, dan harus diberitahu agar mereka
memahami apa yang sedang dikerjakan.
Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur dibawah 12 bulan
adalah :
a. Menghindari risiko kerusakan saraf ischiadica pada suntikan daerah gluteal.
b. Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap suntikan
secara adekuat.
c. Sifat imunogenesitas vaksin hepatitis B berkurang bila disuntikkan di daerah
gluteal.
d. Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuk pembengkakan di tempat
suntikan yang menahun.
e. Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian anterior.

9) Vastus Lateralis, Posisi Anak dan Lokasi Suntikan


Vastus lateralis adalah otot bayi yang tebal dan besar, yang mengisi bagian
anterolateral paha. Vaksin harus disuntikkan ke dalam batas antara sepertiga otot
bagian atas dan tengah yang merupakan bagian yang paling tebal dan padat.
Jarum harus membuat sudut 45o-60o terhadap permukaan kulit, dengan jarum
kearah lutut, maka jarum tersebut harus menembus kulit selebar ujung jari di atas
(ke arah proksimal) batas hubungan bagian atas dan sepertiga tengah otot.
Anak atau bayi diletakkan di atas meja periksa, dapat dipegang oleh orang
tua/pengasuh atau posisi setengah tidur pada pangkuan orang tua atau
pengasuhnya. Celana (popok) bayi harus dibuka bila menutupi otot vastus
lateralis sebagai lokasi suntikan, bila tidak demikian vaksin akan disuntikkan
terlalu bawah di daerah paha. Kedua tangan dipegang menyilang pelvis bayi dan
paha dipegang dengan tangan antara jempol dan jari-jari. Posisi ini akan
mengurangi hambatan dalam proses penyuntikan dan membuatnya lebih lancar.
Lokasi suntikan pada vastus lateralis :
a. Letakkan bayi di atas tempat tidur atau meja, bayi ditidurkan terlentang.
b. Tungkai bawah sedikit ditekuk dengan fleksi pada lutut.
c. Cari trochanter mayor femur dan condylus lateralis dengan cara palpasi, tarik
garis yang menghubungkan kedua tempat tersebut. Tempat suntikan vaksin
ialah batas sepertiga bagian atas dan tengah pada garis tersebut (bila tungkai
bawah sedikit menekuk, maka lekukan yang dibuat oleh tractus iliotibialis
menyebabkan garis bagian distal lebih jelas).
d. Supaya vaksin yang disuntikkan masuk ke dalam otot pada batas antara
sepertiga bagian atas dan tengah, jarum ditusukkan satu jari di atas batas
tersebut.
10) Deltoid, Posisi Anak dan Lokasi Suntikan
a. Posisi seorang anak yang paling nyaman untuk suntikan di daerah deltoid ialah
duduk di atas pangkuan ibu atau pengasuhnya.
b. Lengan yang akan disuntik dipegang menempel pada tubuh bayi, sementara
lengan lainnya diletakkan di belakang tubuh orang tua atau pengasuh.
c. Lokasi deltoid yang benar adalah penting supaya vaksinasi berlangsung aman
dan berhasil.
d. Posisi yang salah akan menghasilkan suntikan subkutan yang tidak benar dan
meningkatkan risiko penetrasi saraf.
Untuk mendapatkan lokasi deltoid yang baik membuka lengan atas
dari pundak ke siku. Lokasi yang paling baik adalah pada tengah otot, yaitu
separuh antara akromnion dari insersi pada tengah humerus. Jarum suntik
ditusukkan membuat sudut 45o-60o mengarah pada akromnion. Bila bagian
bawah deltoid yang disuntik, ada risiko trauma saraf radialis karena saraf
tersebut melingkar dan muncul dari otot trisep.

11) Pengambilan Vaksin dari Botol (Vial)


Untuk vaksin yang diambil menembus tutup karet atau yang telah
dilarutkan, harus memakai jarum baru. Apabila vaksin telah diambil dari vial
yang terbuka, dapat dipakai jarum yang sama. Jarum atau semprit yang telah
digunakan menyuntik seseorang tidak boleh digunakan untuk mengambil vaksin
dari botol vaksin karena risiko kontaminasi silang, vaksin dalam botol yang berisi
dosis ganda (multidosis) jangan digunakan kecuali tidak ada alternatif lain.

12) Penyuntikan Subkutan


Perhatian untuk suntikan subkutan :
a. Arah jarum 45o terhadap kulit.
b. Cubit tebal untuk suntikan subkutan.
c. Aspirasi semprit sebelum vaksin disuntikkan.
d. Untuk suntikan multipel diberikan pada bagian ekstrimitas berbeda.
13) Penyuntikan Intramuscular
Perhatian untuk penyuntikan intramuskular :
a. Pakai jarum yang cukup panjang untuk mencapai otot.
b. Suntik dengan arah jarum 45o-60o, lakukan dengan cepat.
c. Tekan kulit sekitar tempat suntikan dengan ibu jari dan telunjuk saat jarum
ditusukkan.
d. Aspirasi semprit sebelum vaksin disuntikkan, untuk meyakinkan tidak masuk
ke dalam vena. Apabila terdapat darah, buang dan ulangi dengan suntikan
baru.
e. Untuk suntikan multipel diberikan pada bagian ekstrimitas berbeda.

14) Pemberian Dua atau Lebih Vaksin pada Hari Yang Sama
Pemberian vaksin-vaksin yang berbeda pada umur yang sesuai, boleh
diberikan pada hari yang sama. Vaksin inactivated dan vaksin virus hidup,
khususnya vaksin yang dianjurkan dalam jadwal imunisasi, pada umumnya dapat
diberikan pada lokasi yang berbeda saat hari kunjungan yang sama. Misalnya
pada kesempatan yang sama dapat diberikan vaksin-vaksin DPT, hepatitis B, dan
polio.
Vaksin-vaksin yang berbeda tidak boleh dicampur dalam satu semprit.
Vaksin-vaksin yang berbeda yang diberikan pada seseorang pada hari yang sama
harus disuntikkan pada lokasi yang berbeda dengan menggunakan semprit yang
berbeda.

8. Jadwal Imunisasi
a. .BCG
1) Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 3 bulan. namun dianjurkan
pemberian imunisasi BCG pada umur antara 0-12 bulan.
2) Dosis 0,05 ml untuk bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1 ml untuk anak (>1
tahun).
3) Imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan.
4) Vaksin BCG tidak dapat mencegah infeksi tuberculosis, namun dapat
mencegah komplikasinya.
5) Apabila BCG diberikan pada umur lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji
tuberkulin terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberkulin
negatif.

b. Hepatitis B
1) Imunisasi hepatitis B-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam)
setelah lahir.
2) Imunisasi hepatitis B-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi
hepatitis B-1 yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapatkan respon
imun optimal, interval imunisasi hepatitis B-2 dengan hepatitis B-3 minimal 2
bulan, terbaik 5 bulan. Maka imunisasi hepatitis B-3 diberikan pada umur 3-6
bulan.
3) Departemen kesehatan mulai tahun 2005 memberikan vaksin hepatitis B-0
monovalen (dalam kemasan uniject) saat lahir, dilanjutkan dengan vaksin
kombinasi DTwP/hepatitis B pada umur 2-3-4 bulan. Tujuan vaksin hepatitis
B diberikan dalam kombinasi dengan DTwP untuk mempermudah pemberian
dan meningkatkan cakupan hepatitis B-3 yang masih rendah.
4) Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah memperoleh
imunisasi hepatitis B, maka secepatnya diberikan imunisasi hepatitis B
dengan jadwal 3 kali pemberian.

c. DPT
1) Imunisasi DPT primer diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DPT tidak boleh
diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8 minggu. Interval
terbaik diberikan 8 minggu, jadi DPT-1 diberikan pada umur 2 bulan, DPT-2
pada umur 4 bulan dan DPT-3 pada umur 6 bulan.
2) Dosis DPT adalah 0,5 ml, intramuskular, baik untuk imunisasi dasar maupun
ulangan.
3) Vaksin DPT dapat diberikan secara kombinasi dengan vaksin lain yaitu
DPT/Hepatitis B dan DPT/IPV.

d. Polio
1) Terdapat 2 kemasan vaksin polio yang berisi virus polio -1, 2, dan 3. (1.OPV,
hidup dilemahkan, tetes, oral.; 2.IPV, in-aktif, suntikan.)
2) Polio-0 diberikan saat bayi lahir sesuai pedoman PPI sebagai tambahan untuk
mendapatkan cakupan imunisasi yang tinggi.
3) Untuk imunisasi dasar (polio-2, 3, 4) diberikan pada umur 2,4, dan 6 bulan,
interval antara dua imunisasi tidak kurang dari 4 minggu.
4) OPV diberikan 2 tetes per-oral.
5) IPV dalam kemasan 0,5 ml, intramuscular. Vaksin IPV dapat diberikan
tersendiri atau dalam kemasan kombinasi (DPT/IPV).

e. Campak
Vaksin campak rutin dianjurkan diberikan dalam satu dosis 0,5 ml secara
subkutan dalam, pada umur 9 bulan.

9. Kontraindikasi Imunisasi
a. Analfilaksis atau reaksi hipersensitifitas yang hebat merupakan kontraindikasi
mutlak terhadap dosis vaksin berikutnya. Riwayat kejang demam dan panas lebih
dari 38oC merupakan kontraindikasi pemberian DPT, hepatitis B-1 dan campak.
b. Jangan berikan vaksin BCG kepada bayi yang menunjukkan tanda dan gejala
AIDS, sedangkan vaksin yang lain sebaiknya diberikan.
c. Jika orang tua sangat berkeberatan terhadap pemberian imunisasi kepada bayi
yang sakit, lebih baik jangan diberikan vaksin, tetapi mintalah ibu kembali lagi
ketika bayi sudah sehat.
VIT K

Vitamin K merupakan vitamin larut dalam lemak yang memiliki peranan penting
dalam mengaktifkan zat-zat yang berperan dalam pembekuan darah, di antaranya zat
yang dikenal sebagai protrombin dan faktor-faktor pembekuan. Ada tiga bentuk vitamin
K yang diketahui yaitu:
 Vitamin K1 (phytomenadione), terdapat pada sayuran hijau\
 Vitamin K2 (menaquinone), dihasilkan oleh bakteri normal usus (Bacteriodes
fragilis)
 Vitamin K3 (menadione), merupakan vitamin K sintetik
Dalam keadaan normal, bayi baru lahir relatif mengalami kekurangan vitamin K.
Hal ini disebabkan karena cadangan vitamin K bayi yang didapat dari ibu sangat terbatas,
selain itu sumber vitamin K yang didapat dari ASI hanya mengandung vitamin K dalam
kadar rendah.
Vitamin K dapat diproduksi oleh bakteri normal dalam saluran cerna, akan tetapi
pada bayi baru lahir kondisi saluran cerna masih dalam keadaan steril (tidak ada bakteri
normal usus) sehingga vitamin K tidak dapat diproduksi. Fungsi organ hati sebagai
tempat metabolisme vitamin K juga belum dapat berfungsi secara matang terutama pada
bayi kurang bulan.
Cara pemberian dapat dilakukan baik secara suntikan di otot (intra muskular)
ataupun di minum (oral)
 Suntikan di otot, dengan dosis tunggal 1 mg pada setiap bayi baru lahir
 Diminum, dengan dosis tunggal 2 mg diberikan tiga kali, yaitu pada saat bayi baru
lahir, pada umur 3-7 hari, dan pada umur 4-8 minggu.
B. Alat-Alat Yang Digunakan

1. Inkubator

Kelahiran bayi prematur adalah bayi yang belum cukup bulan untuk lahir tapi
diharuskan lahir karena adanya masalah dalam kandungan.Ketuban yang peceh lebih
cepat bisa membuat air ketuban terinfeksi kuman, jika terlalu lama dibiarkan lebih dari
18 jam, akibatnya bayi bisa sesak nafas. Penyebab pecahnya ketuban karena stres yang
dialami bayi dalam kandungan. Stresnya dapat disebabkan oleh infeksi.Selain itu lahir
prematur bisa jadi karena kontraksi sang ibu. Jika kontraksi terjadi sebelum waktunya,
bukan tak mungkin bayi akan lahir prematur. Karena bayi stres, katup mulut janin pun
jadi terbuka dan air ketuban bisa terminum oleh bayi, sehingga bayi akan mengalami
sesak nafas.

Ciri-ciri bayi prematur


Kebanyakan orang menilai bahwa semua bayi prematur memiliki ciri badan yang kecil
dan beratnya tidak sampai 2500 gram. Memang benar tapi bayi yang lahir normal pun
bisa saja memiliki badan yang kecil dan beratnya kurang. Mengapa? karena sang ibu
memiliki penyakit jantung, perokok, dan lain hal. Tapi secara fisik, bayi prematur bisa
dibedakan yakni dari kulitnya yang tipis, daun telinga jika ditekuk tidak mudah
kembali, serta garis-garis ditelapak kakinya tidak penuh.
Bayi yang lahir prematur harus dirawat dengan inkubator, sebab pengaturan suhu
tubuhnya belum stabil dan dia akan gampang kedinginan. Inkubator dapat menjaga
suhu sebuah ruangan agar suhu tetap konstan dan stabil. Suhu inkubator diatur dengan
disesuaikan dengan berat lahir atau usia kehamilan. Sesak nafas akibat pengembangan
paru-paru yang tidak bagus membuat bayi perlu diberi oksigen. Namun pemberian
oksigen terlalu lama akan menyebabkan retina bayi rusak. Setelah perawatan inkubator
berakhir, mata bayi perlu diperiksa secara berkala.
Jika sudah stabil, bayi akan dirawat oleh ibu dengan cara perawatan bayi lekat
atau perawatan metode ‘kanguru’. Metode ini, bayi membutuhkan sentuhan kasih
sayang dan akan mendapatkan kehangatan dari tubuh ibu atau ayahnya seperti saat
dalam kandungan.Namun alat inkubator yang cukup mahal ini, jumlahnya masih
kurang di negara-negara berkembang, dan tak terjangkau untuk beberapa rumah
sakit.Dengan mahalnya inkubator, seorang peneliti muda asal Inggris tengah membuat
inkubator dengan biaya yang rendah. Dia berharap inkubator buatannya dapat
digelembungkan. Roberts mahasiswa Teknik Desain, mengatakan proyek ini masih
dalam fase pengembangan, dan ia akan mendirikan perusahaan untuk memproduksi
inkubator secara massal.

b. Blue Light
Ikterus adalah warna kuning yang tampak pada putih mata (sklera) dan kulit
bayi baru lahir. Warna kuning itu pertanda terjadinya penumpukan bilirubin, yaitu
senyawa hasil pemecahan sel darah merah, bisa karena sel darah merah sudah tua
atau ada proses penghancuran yang abnormal. Semasa dalam kandungan, bilirubin
dikeluarkan melalui plasenta ibu. Setelah lahir, bayi harus mengeluarkannya sendiri.
Pengeluaran bilirubin oleh bayi memerlukan fungsi hati yang sempurna dan makanan
dalam usus yang membawanyakeluar sebagai feses.
Kadar bilirubin yang normal bergantung pada usia bayi. Contohnya, kadar
bilirubin 12 mg/dl pada bayi kurang dari 24 jam adalah abnormal. Tetapi kadar
tersebut pada bayi cukup bulan usia 3 hari adalah normal. Bila bayi tampak kuning,
perlu diperiksa kadar bilirubin untuk menentukan apakah kadarnya masih normal
atau sudah abnormal sehingga perlu terapi. Dianggap di atas normal bila kadar
biliburin lebih dari 12 mg/dl. Bila kadar bilirubin di atas normal, dokter akan
melakukan terapi sinar biru pada bayi kuning tersebut. Terapi ini dilakukan di rumah
sakit. Bayi diletakkan di bawah lampu yang memancarkan spektrum cahaya biru
dengan panjang gelombang tertentu (ukurannya sekitar 450 nanometer).

Fungsi terapi sinar biru ini akan mengubah bilirubin menjadi senyawa yang
larut dalam air sehingga dapat dikeluarkan dari tubuh bayi. Berapa lama bayi
menjalani terapi sinar biru tergantung pada kadar bilirubin, biasanya sekitar 2-4 hari.
Bila kadar bilirubin 12- 15 mg/dl, terapi dilakukan selama 2-3 hari. Bila kadarnya
mencapai 15-20 mg/dl terapi dilakukan selama 3-4 hari.

Biliblanket. Selain terapi sinar biru, dapat pula dilakukan dengan biliblanket,
yaitu selimut yang mengandung serat optik yang juga terdapat pada sinar biru.
Bedanya, selimut ini dapat langsung menutup tubuh bayi sehingga Anda dapat
langsung menyusui dan memeluknya. Di Indonesia juga tersedia biliblanket, namun
tidak begitu efektif dalam menurunkan kadar bilirubin. Yang paling efektif adalah
terapi sinar biru.
Tranfusi darah. Bila kadar bilirubin bayi baru lahir di atas 20 mg/dl, dokter
akan malakukan transfusi darah untuk menukar darah bayi. Karena, bilirubin yang
sangat tinggi berisiko tinggi masuk ke dalam otak sehingga terjadi gangguan pada
otak dan kualitas perkembangan bayi.
Gejala kuning:
 Kulit, selaput lendir (gusi, mata) berwarna kuning.
 Bayi rewel, mengantuk, lemas.
 Kurang aktif menyusu.
 Urin berwarna kuning tua (pekat).

Cara terapi:
 Bayi dalam boks disinar dari jarak 10 – 23,5 cm.
 Saat diterapi, mata bayi ditutup dengan kain kassa, agar retinanya aman.
 Selama menjalani terapi, bayi harus sering disusui karena ASI efektif dalam
melancarkan proses buang air kecil dan buang air besar, dan bayi terhindar dari
dehidrasi akibat efek panas sinar biru tersebut.
Belum ditemukan efek negatif dari terapi sinar biru terhadap kesehatan
bayi bila dilaksanakan dengan tepat. Terapi sinar biru masih dianggap aman dan
tidak mahal.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Teknologi dalam kesehatan mempunyai peran yang sangat penting,terutama
dalam memberikan kualitas atau mutu pelayanan kesehatan di tempat pelayanan
kesehatan. Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi seakan telah membuat
standar baru yang harus di penuhi. Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi
memberikan banyak pengaruh pada bidang kesehatan. Pengaruh tersebut dapat berupa
pengaruh positif maupun negatif. Dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat
membawa perubahan yang besar di masyarakat.

B. Saran
Tidak ada kata sempurna yang pantas untuk segala hal di dunia, begitu juga dengan
makalah yang telah kami susun, oleh karena itu bagi pihak terkait kami mengharapkan
kritik dan saran guna perbaikan dan semoga makalah ini dapat bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA

Proverawati, A. & Dwi Andhini, C. S., 2010. Imunisasi dan Vaksinasi. Yogyakarta: Nuha
Medika

Triana, V., 2016. Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian Imunisasi Dasar Lengkap Pada
Bayi Tahun 2015. Jurnal Kesehatan Mayarakat Andalas, Volume 10 No. 2, pp. 123-135.

Marimbi H, 2010. Tumbuh Kembang, Status Gizi dan Imunisasi Dasar Lengkap. Yogyakarta:
Nuha Medika.

Saifuddin AB. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Material dan Neonatal. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka; 2006.

W. K. Wardana and D. Trisuciyani, “Modifikasi Baby Incubator Transport.” 2015.

https://www.scribd.com/doc/217773265/Paper-Blue-Light-Therapy#scribd

Anonim, “Mengapa Bayi Prematur Harus Dirawat dengan Inkubator,” 2014. [Online]. Available:
http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/12/mengapa-bayi-prematurharus-dirawat-dengan-
inkubator.html. [Accessed: 29-Nov-2016].

Anda mungkin juga menyukai