Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebijakan yang diambil oleh Pemerintah dalam bentuk Peraturan Perundang-

Undangan tentu diharapkan memberikan dampak positif kepada masyarakat sesuai

dengan tujuan pengambilan kebijakan tersebut. Sehingga dalam proses perumusan

kebijakan sampai dengan menetapkan, dilakukan proses panjang demi terciptanya

Undang-undang yang mampu mengakomodir setiap kepentingan kelompok masyarakat

yang menjadi sasaran kebijakan.

Dalam pelaksanaannya, kebijakan tentu memerlukan pelaksana dan sasaran.

Sebagian besar pelaksana kebijakan adalah organisasi pemerintah yang dimiliki oleh

negara. Namun tidak jarang juga sebuah kebijakan memaksa organisasi swasta untuk

melaksanakan kebijakan, dan organisasi pemerintah yang mengawasi pelaksanaan

kebijakan tersebut. Dalam setiap organisasi terdiri atas berbagai kelompok dan individu

yang memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam melaksanakan setiap

kebijakan yang telah ditetapkan. Selain organisasi pemerintah, sasaran kebijakan juga

merupakan kelompok masyarakat yang didalamnya terdiri atas individu-individu.

Individu dalam organisasi jelas memiliki karakteristik dan kemampuan yang

berbeda dalam memahami kebijakan, menerapkan kebijakan sampai dengan

mengevaluasi kebijakan apakah kebijakan mencapai tujuan atau tidak. Individu yang

menjadi sasaran juga tentu akan berbeda dalam menerima kebijakan yang dilaksanakan

oleh pemerintah. Sehingga pengaruh individu dalam pelaksanaan kebijakan sangat

besar.
Setiap individu dalam organisasi akan saling berhubungan dan berinteraksi

dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Interaksi yang terjadi akan

mempertemukan perilaku-perilaku dari masing-masing individu. Perilaku setiap

individu tidak akan pernah bisa sama, karena secara mendasar manusia membawa

perilaku masing-masing. Sehingga tugas dari organisasi lah yang memastikan setiap

perilaku individu dapat diarahkan kepada pencapaian tujuan atau visi dan misi dari

organisasi.

Memperhatikan penjelasan diatas, perilaku individu merupakan dasar dalam

pencapaian tujuan organisasi. Sehingga dapat disimpulkan, perilaku individu juga

merupakan komponen paling penting yang menentukan suatu kebijakan atau undang-

undang dapat terlaksana dan diterima dengan baik atau tidak. Mengingat pentingnya

perilaku individu dalam penerapan undang-undang, tentu dalam proses formulasi

kebijakan harus memperhatikan perilaku individu atau kelompok maupun perilaku

organisasi.

Salah satu masalah yang bisa saja terjadi adalah penolakan terhadap rancangan

undang-undang yang diasumsikan akan merugikan masyarakat. Namun beberapa

individu atau kelompok bisa saja mendukung penetapan rancangan undang-undang

tersebut. Salah satu contoh pro kontra terhadap rancangan undang-undang adalah RUU

pemasyarakatan, dimana terdapat dua hal yang menjadi perhatian berbagai kelompok.

Pertama adalah pembebasan bersyarat pelaku kejahatan luar biasa yang salah satunya

adalah korupsi. Kedua adalah pasal dimana Narapidana berhak mendapatkan

pendidikan, pengajaran, dan kegiatan rekreasional serta kesempatan mengembangkan

potensi.
Pasal terkait pembebasan bersyarat pelaku kejahatan luar biasa dan hak

narapidana mendapatkan kegiatan rekreasional tanpa penjelasan yang pasti memberikan

penafsiran oleh masing-masing individu atau kelompok maupun organisasi. Sehingga

RUU ini menjadi salah satu rancangan undang-undang yang membuat berbagai

perilaku individu menyeruak untuk menyampaikan keinginannya.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, rumusan masalah adalah bagaimana

perilaku individu organisasi dalam menanggapi rancangan undang-undang

pemasyarakatan.

1.3. Tujuan

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh

perilaku individu organisasi dalam menanggapi rancangan undang-undang

pemasyarakatan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. PERILAKU INDIVIDU ORGANISASI

Perilaku individu adalah sebagai suatu fungsi dari interaksi antara individu dengan

lingkungannya. Individu membawa tatanan dalam organisasi berupa kemampuan,

kepercayaan pribadi, pengharapan, kebutuhan, dan pengalaman masa lainnya.

Perilaku individu juga dapat disebut sebagai perilaku atau interaksi yang dilakukan

oleh manusia atau individu di lingkungannya, perilaku setiap individu sangatlah berbeda

dan hal ini dipengaruhi oleh lingkungan dimana individu tersebuut tinggal, perilaku yang

berbeda mengakibatkan berbedanya kebutuhan setiap individu, untuk itu perlunya suatu

organisasi agar kebutuhan yang berbeda tersebut dapat terpenuhi dengan bekerja sama

antar individu. Perilaku individu akan membentuk pada perilaku organisasi.

Organisasi diciptakan oleh manusia untuk mencapai suatu tujuan, dan pada saat

yang sama manusia juga membutukan Organisasi untuk mengembangkan dirinya. Oleh

sebab itu antara organisasi dengan manusia memiliki hubungankan yang saling

membutuhkan dan menguntungkan.

Karakteristik individu dalam organisasi, antara lain :

a. Karakteristik Biografis

1. Umur

Hubungan antara usia dan kinerja diperkirakan akan terus menjadi isu yang

penting dimasa yang akan datang. Hal ini disebabkan setidaknya oleh 3 alasan,

yaitu keyakinan yang meluas bahwa kinerja merosot seiring dengan usia, realita

bahwa angkatan kerja mulai me-nua, dan mulai adanya perundang-undangan

yang melarang segala macam bentuk pensiun yang bersifat perintah.


2. Jenis Kelamin

Dari segi jenis kelamin, umumnya tidak ada perbedaan yang konsisten antara pria

dan wanita dalam hal kemampuan memecahkan masalah, keterampilan analisis,

dorongan kompetitif, motivasi, sosiabilitas, produktivitas pekerjaan, kepuasan

kerja, atau kemampuan belajar. Namun hasil studi menunjukkan bahwa wanita

lebih bersedia mematuhi wewenang, dibandingkan pria yang lebih agresif.

3. Status Perkawinan

Hasil riset menunjukkan bahwa karyawan yang menikah lebih sedikit absensinya,

mengalami pergantian yang lebih rendah, dan lebih puas terhadap pekerjaan

mereka. Dengan adanya perkawinan, karyawan memiliki peningkatan tanggung

jawab yang besar seperti memiliki pekerjaan tetap atau kehidupan yang mapan.

4. Masa Kerja

Masa kerja adalah peramal yang cukup baik mengenai kecenderungan karyawan

seperti diatas. Karyawan yang telah menjalankan suatu pekerjaan dalam masa

tertentu, produktivitas dan kepuasannya akan meningkat, sementara tingkat

kemangkiran berkurang, dan kemungkinan keluar masuk karyawan lebih kecil.

b. Kemampuan

Merupakan suatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam

suatu pekerjaan, diantaranya kemampuan fisik yang merupakan kemampuan dalam

melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan, dan

keterampilan, serta kemampuan dalam hal intelektual. Kemampuan dibagi menjadi :

1. Kemampuan fisik, yaitu kemampuan tugas-tugas yang menuntut stamina,

keterampilan, kekuatan, dan karakteristik serupa.

2. Kemampuan intelektual, yaitu kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan

berbagai aktivitas mental, menalar, dan memecahkan masalah. Individu dalam


sebagian besar masyarakat menempatkan kecerdasan, dan untuk alasan yang

tepat, pada nilai yang tinggi. Individu yang cerdas juga lebih mungkin menjadi

pemimpin dalam suatu kelompok. Tujuh dimensi yang paling sering disebutkan

yang membentuk kemampuan intelektual adalah :kecerdasan angka, pemahaman

verbal, kecepatan persepsi, penalaran induktif, penalaran deduktif dan visualisasi

spasial.

Selain karakteristik, menurut Robbin (2003) Perilaku individu berpengaruh pada

organisasi karena beberapa faktor sebagai berikut :

1. Persepsi

Persepsi (perception) diartikan sebagai cara individu menganalisis dan

mengartikan pengamatan indrawi mereka dengan tujuan untuk memberikan makna

terhadap lingkungan sekitar mereka. Seorang individu akan memandang segala

sesuatu dengan persepsi mereka sendiri yang mungkin saja berbeda dengan persepsi

orang lain. Ada beberapa faktor yang dianggap mempengaruhi pembentukan persepsi

seseorang, yaitu :

 Faktor Penerima Persepsi (receiver), berupa sikap individu, kesukaan, motif

individu, pengalaman, dan penghargaan.

 Faktor Target yang dipersepsikan, berupa suara, ukuran, gerakan, latar belakang,

dan kesamaan.

 Faktor Situasi, berupa waktu, tempat, dan kondisi social ketika proses

penganalisaan terjadi.

2. Nilai

Nilai adalah keyakinan dasar akan segala sesuatu yang dianggap baik dan benar.

Robbins (2003) membagi nilai menjadi dua, yaitu nilai instrumental dan nilai
terminal. Nilai instrumental adalah nilai-nilai yang dianut dalam berperilaku untuk

mencapai suatu tujuan tertentu. Sementara nilai terminal adalah nilai-nilai dari suatu

tujuan yang dianggap baik dan ingin dicapai.

3. Sikap

Sikap atau attitude diartikan sebagai pernyataan evaluasi atau penilaian terhadap

suatu objek, orang atau peristiwa. Sikap berbeda dari perilaku. Sikap masih berupa

penilaian abstrak. Penilaian tersebut menjadi kongkrit dalam perilaku. Misal kita

mempunyai sikap bahwa korupsi itu tidak baik, penilaian kita tersebut menjadi nyata

ketika kita mewujudkan sikap tersebut ke dalam perilaku tidak melakukan korupsi.

Robbins (2003) mengungkapkan ada tiga komponen yang membangun sikap, yaitu :

 Komponen Kognitif. Komponen ini merupakan komponen inti dari sikap yang

berupa penjelasan atau kepercayaan tentang suatu hal.

 Komponen Afektif. Merupakan komponen sikap yang bersifat emosional atau

bagaimana seseorang merasakan sesuatu hal. Seperti apakah ia merasa senang atau

tidak.

 Komponen Perilaku. Yaitu intense untuk berperilaku tertentu terhadap seseorang atau

suatu hal yang didasarkan pada keyakinan dan perasaan yang dimiliki individu terhadap

seseorang atau suatu hal tersebut.

2.2. RANCANGAN UNDANG-UNDANG PEMASYARAKATAN

Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara

perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan, Benda Sitaan dan Barang Rampasan

berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara petugas pemasyarakatan,

aparat penegak hukum lainnya, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup,
kehidupan, dan penghidupan dengan mengedepankan prinsip perlindungan hukum dan

penghormatan hak asasi pelanggar hukum.

Warga Binaan Pemasyarakatan dalam Sistem Pemasyarakatan dimaknai tidak

hanya mencakup narapidana, tetapi juga meliputi tahanan, anak didik pemasyarakatan,

dan klien pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka

membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya yang

menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga

dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam

pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung

jawab. Perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan didasarkan pada asas

pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan,

penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan

satu-satunya penderitaan, terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan

orang-orang tertentu, dan tercapainya reintegrasi sosial.

Sistem Pemasyarakatan inilah yang menjadi dasar bagi institusi Pemasyarakatan

dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Pemasyarakatan merupakan alat negara yang

mempunyai peran dalam penegakan hukum untuk memberikan pelayanan tahanan,

pembinaan narapidana, pembimbingan klien pemasyarakatan, dan pengentasan anak

didik pemasyarakatan, serta pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan negara dalam

rangka memberikan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Pemasyarakatan

adalah bagian yang integral dalam sistem peradilan pidana yang menyelenggarakan

fungsi penegakan hukum di bidang perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan,

benda sitaan, dan barang rampasan. Pemasyarakatan menjalankan perannya sejak proses
adjudikasi, adjudikasi, hingga post-adjudikasi, yang mana pada setiap tahapan ini,

Pemasyarakatan mempunyai tugas dan kewenangan yang diatur secara jelas dan tegas.

Pelaksanaan fungsi Pemasyarakatan ditopang oleh lima unit pelaksana teknis, yaitu

Rumah Tahanan Negara (Rutan), Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara

(Rupbasan), Balai Pemasyarakatan (Bapas), Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), dan

Lembaga Pendidikan Khusus Anak (LPKA)..

Untuk memperkuat pelaksanaan fungsi Pemasyarakatan, mengembengkan

kapasitas petugas pemasyarakatan merupakan satu hal yang utama. Oleh karena itu,

rekruitmen, pendidikan dan pelatihan, dan pembinaan petugas pemasyarakatan harus

dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan. Selain itu, ketersediaan sarana

dan prasarana pada UPT Pemasyarakatan pun menjadi aspek yang diatur dalam undang-

undang ini. Sarana dan prasarana ini dikembangkan dengan mengedepankan

keberfungsian yang terintegrasi antara aspek ruang gerak, kesehatan, keselamatan, dan

keamanan, serta kebutuhan pelaksanaan tugas.

Dalam undang-undang ini diatur pula hak dan kewajiban warga binaan

pemasyarakatan. Hak menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya,

hak mendapatkan perawatan, hak melanjutkan pendidikan dan pengajaran, dan hak

menyampaikan keluhan adalah beberapa hak yang dimiliki oleh warga binaan

pemasyarakatan. Sedangkan kewajiban yang harus dilaksanakan diantaranya adalah

mengikuti setiap program yang diselenggarakan, mematuhi ketentuan dan tata tertib yang

berlaku, dan menjaga kebersihan lingkungan.


Untuk menjaga integritas petugas pemasyarakatan, undang-undang ini memuat

tentang kode etik petugas pemasyarakatan. Kode etik ini sebagai pedoman bagi petugas

dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Partisipasi masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, adalah hal

penting dalam mendukung pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Pembentukan Dewan

Pertimbangan Pemasyarakatan pun sebagai wujud adanya kertebukaan terhadap

partisipasi masyarakat.

Adanya pengaturan yang bersifat komprehensif tentang pelaksanaan sistem

pemasyarakatan diharapkan agar pelaksanaan tugas Pemasyarakatan dapat dilakukan

secara efektif, efisien, terpadu, terorganisir dengan baik, dan bersifat komprehensif.

Selain itu, pengaturan ini juga untuk memperkuat posisi Pemasyarakatan dalam system

peradilan pidana. Pemasyarakatan harus mempu menjalankan perannya dalam proses

penegakan hukum, sejak pada tahap pra-adjudikasi, adjudikasi, hingga post-adjudikasi.

Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

perlu diubah dan diganti. Perubahan ini agar rencana penguatan sistem kelembagaan,

budaya kerja, pola pendekatan penanganan tahanan dan narapidana, modernisasi

teknologi informasi dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan, serta partisipasi

masyarakat menjadi jelas dan dapat dilaksanakan secepatnya.

Pada kenyataanya, rancangan undnag-undang permasyarakatan yang sudah

diajukan ditunda pengesahannya oleh DPR dan Pemerintah karena berkaitan dengan

Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang menjadi polemik

beberapa waktu lalu. Karena RUU Pemasyarakatan akan erat hubungannya dengan

RKUHP yang lebih menjadi sorotan akhir-akhir ini.


2.3. PERILAKU INDIVIDU DALAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG

PEMASYARAKATAN

Setiap rancangan undang-undang tentu akan menimbulkan pro dan kontra, karena

keterbatasan proses formulasi dalam menyerap setiap aspirasi. Begitu juga yang terjadi

dalam salah satu rancangan undang-undang yang cukup menjadi pembahasan menjelang

berakhirnya periode pertama pemerintahan presiden Jokowi.

Individu, kelompok maupun organisasi yang mendukung rancangan undang-

undang ini beranggapan bahwa RUU Pemasyarakatan akan membawa dampak yang

lebih baik dalam sistem pemasyarakatan di Indonesia. Beberapa alasan adanya dukungan

terhadap RUU Pemasyarakatan adalah sebagai berikut :

1. RUU Pemasyarakatan memiliki target program menekan angka residivis. Dengan

adanya RUU Pemasyarakatan akan mengatur penguatan peran pembimbingan Balai

Pemasyarakatan (Bapas) terhadap narapidana yang sedang dalam pengawasan,

menjalankan pidana, dan bebas bersyarat. Bapas memiliki peran besar dalam

membantu mengantisipasi narapidana untuk mengulangi perbuatannya lagi. Sehingga

harapannya masyarakat binaan dari awal proses peradilan (tahap praadjudikasi sampai

dengan tahap pascaadjudikasi) sampai dengan bebas bersyarat selalu didampingi oleh

balai pemasyarakatan agar potensi menjadi resedivis jauh berkurang.

2. RUU Pemasyarakatan di anggap akan memberikan perlindungan khusus terhadap

kelompok rentan. Kelompok rentan seperti anak, perempuan dalam fungsi reproduksi

(hamil – menyusui), lansia, dan disabilitas dalam Pasal 61 RUU Pemasyarakatan akan

diberikan perlakuan khusus untuk lebih diperhatikan.

3. RUU Pemasyarakatan di anggap lebih menekankan modernisasi tata kelola

pemasyarakatan dengan menggunakan teknologi informasi. RUU Pemasyarakatan

telah mengatur tentang pengembangan manajemen, kelembagaan, sumber daya


manusia dengan menggunakan teknologi informasi. Sehingga permasyarakatan

kedepan akan lebih modern dalam pelaksanaannya.

4. RUU Pemasyarakatan diyakini bisa mengurangi jumlah hunian lapas (over kapasitas)

dengan kebijakan cuti mengunjungi keluarga. Hak ini tentu diberikan berdasarkan

kriteria narapidana berada dalam lapas kategori minimum dan sudah berperilaku

baik sesuai Pasal 10 RUU Pemasyarakatan. Hal ini memang memantik perselisihan,

namun perolehan cuti tentunya harus juga memenuhi syarat yang telah di tetapkan.

Selain dukungan, tentu terdapat penolakan terhadap RUU Pemasyarakatan.

Penolakan ini sebagian besar oleh penafsiran terhadap pasal berikut ini :

1. Hak narapidana pada pasal 9, dimana narapidana berhak untuk rekreasional. Rekreasi

disini akan selalu ditafsir oleh beberapa kelompok sebagai kegiatan hiburan.

Walaupun aturan lebih rinci terkait pasal ini belum ditentukan, namun asumsi liar

kelompok masyarakat atau berbagai organisasi sudah menganggap pasal ini sebagai

pasal hadiah bagi para narapidana.

2. Hak cuti mengunjungi dan dikunjungi keluarga dan cuti bersyarat bagi narapidana

yang tercantum pada pasal 10 juga membuat penolakan terhadap RUU

Pemasyarakatan ini semakin kuat. Beberapa kelompok bersikap bahwa cuti bersyarat

adalah karpet merah bagi para karuptor untuk bisa keluar lebih cepat dari masa

tahanan yang seharusnya diterima.

Adanya dukungan dan penolakan dari berbagai kelompok dan organisasi tentu

memiliki landasan pemikiran, faktor dan karakteristik dari individu pada kelompok

tersebut. Untuk itu kita dapat melihat berbagai latar belakang adanya dukungan maupun
penolakan terhadap RUU Pemasyarakatan ini berdasarkan karakteristik dan faktor yang

dimiliki oleh perilaku individu pada kelompok atau organisasi tersebut.

Pertama, berdasarkan karakteristik biografis. Perilaku individu yang didasari oleh

umur, jenis kelamin dan status perkawinan. Berdasarkan umur, para lansia akan melihat

pasal 61 dimana adanya perlakuan khusus kepada mereka yang sudah lanjut usia.

Sehingga akan mendukung RUU ini mengingat kondisi lansia jika harus menjadi

narapidana. Hal ini akan bertolak belakang dengan perilaku individu organisasi pemuda,

dimana mereka akan lebih konsen pada urusan bagaimana memberikan hukuman yang

berat dan atau lama kepada para pelaku kejahatan. Pasal 61 juga menjadi dasar perilaku

individu berdasarkan jenis kelamin, perilaku individu organisasi wanita akan mendukung

bagaimana pelaksanaan pemasyarakatan mulai memberikan perhatian khusus bagi

tahanan wanita. Sementara perilaku individu organisasi pria lebih cenderung netral.

Selanjutnya status perkawinan juga akan membuat perilaku yang berbeda dalam

memandang RUU Pemasyarakatan. Seseorang yang sudah bekeluarga akan

menunjukkan perilaku mendukung terhadap pasal cuti mengunjungi keluarga, karena

sudah merasakan bagaimana pentingnya keluarga dalam hidup mereka. Sehingga

perilaku individu dalam organisasi akan sangat berbeda antara yang sudah menikah

dengan yang belum menikah. Perilaku individu yang belum menikah tidak akan

memperhatikan bagaimana cuti untuk menemui keluarga merupakan hal yang penting.

Kedua adalah karakteristik kemampuan, perilaku individu yang memiliki

kemampuan intelektual yang lebih baik. akan melihat RUU Pemasyarakatan ini dengan

porsi yang seimbang. Sehingga lebih melihat manfaat RUU ini daripada hanya sekedar

asumsi liar yang berkembang, sedangkan aturan ini masih harus dijabarkan dengan

peraturan lebih lanjut. Sementara perilaku individu organisasi yang kurang intelektualnya

akan dengan mudah termakan provokasi dan isu bahwa RUU Pemasyarakatan membawa
dampak buruk dalam penegakan hukum di indonesia. Sehingga sebagian perilaku

individu akan menolak RUU Pemasyarakatan, walaupun belum pernah membaca secara

utuh RUU ini.

Ketiga adalah faktor persepsi, perilaku individu organisasi akan sangat terpengaruh

pada persepsi. Pengalaman, latar belakang, kondisi sosial dan motif setiap individu akan

sangat berpengaruh dalam menanggapi RUU ini. Seseorang dengan pengalaman dan

kondisi sosial yang pernah berhubungan dengan narapidana akan mendukung RUU ini.

karena perilaku ini didasari bahwa individu tersebut mengetahui bagaimana kondisi

sistem pemasyarakatan kita yang harus segera di benahi. Sementara persepsi seseorang

yang tidak memiliki pengalaman dan pergaulan sosial dengan narapidana atau proses

sistem pemasyarakatan akan menolak dengan asumsi bahwa RUU ini justru semakin

memudahkan para pelaku kejahatan.

Keempat adalah faktor sikap, perilaku individu organisasi juga didasari oleh sikap.

Walaupun sikap masih berupa penilaian abstrak, namun akan menjadi dasar sesorang

berprilaku sebagai individu di organisasi. Apakah menolak RUU ini atau mendukung

RUU ini untuk segera di sah kan. Sikap ini tentu tetap berkaitan dengan karakteristik dan

persepsi seseorang. Karena karakteristik dan persepsi akan membentuk sikap yang

selanjutkan akan diwujudkan dengan perilaku.

Akhirnya keempat landasan tersebut akan saling berkaitan untuk membentuk

perilaku individu dalam mendukung pengesahan RUU Pemasyarakatan atau menolak

RUU dengan berbagai alasan. Perilaku individu akan bersatu dan tergabung membentuk

perilaku organisasi, dan tugas para manajer untuk tetap mengarahkan berbagai perilaku

individu menjadi perilaku organisasi yang sesuai dengan visi dam misi yang telah

ditetapkan. Namun tetap harus kita sadari bahwa setiap kebijakan publik yang diambil

oleh pemerintah tidak akan pernah mampu menyenangkan seluruh masyarakat.


BAB III

PENUTUP

Perilaku individu berdasarkan pembahasan di atas dapat di pastikan memberikan

dampak atau pengaruh yang besar terhadap penerimaan atau penolakan terhadap suatu

rancangan undang-undang. Bahkan tidak terlepas hanya pada satu rancangan undang-undang,

seluruh rancangan undang-undang maupun undang-undang yang sudah sah dipastikan

memiliki dukungan dan perlawanan karena perilaku individu organisasi yang berbeda-beda.

Begitu juga terhadap RUU Pemasyarakatan, adanya karakteristik dan faktor dalam

membentuk suatu perilaku individu juga akan berpengaruh pada pandangan individu

organisasi terhadap RUU Pemasyarakatan. Perilaku individu yang memiliki kesamaan

karakteristik umur, jenis kelamin, status perkawinan dan kemampuan akan membentuk

perilaku organisasi untuk menyetujui atau meminta dilakukan perubahan terhadap RUU

Pemasyarakatan.

Selain karakteristik, faktor persepsi dan sikap juga akan membentuk perilaku individu

dalam memandang RUU Pemasyarakatan. Persepsi yang dilatarbelakangi oleh kondisi sosial

dan pengalaman menjadi awal mula terbentuknya sikap individu dalam mendukung atau

menolak rancangan kebijakan publik yang akan diproses oleh pemerintah. Pada akhirnya,

tugas manajer atau pimpinan agar setiap perilaku individu dapat disatukan membentuk

perilaku organisasi apakah mendukung RUU Pemasyarakatan atau meminta perbaikan RUU

agar memperhatikan masukan dari organisasi tersebut.

Anda mungkin juga menyukai