Anda di halaman 1dari 3

Bersatu dalam Manunggal Sakato

Padang, 29 Januari 2008

Manunggal Sakato adalah istilah lokal bagi


gotong-royong di Nagari (Desa) Sungai
Beringin, Kabupaten Lima Puluh Kota,
Sumatera Barat (Sumbar). Membangun rumah
bagi warga miskin sangat berpotensi
menggalang keakraban dan kerjasama
antarwarga.

Terbukti, rumah yang sangat tidak layak huni sekali pun, bisa diubah menjadi
rumah semi permanen tipe 36 dengan dibekali stimulan dana Bantuan Langsung
Masyarakat (BLM) kegiatan sosial sebesar Rp 4 juta. Padahal, budget untuk
sebuah rumah mencapai Rp 15 juta.

Gotong-royong dalam pengerjaan adalah salah satu solusinya, sehingga mekanisme


kerja kepanitiaan dapat direkatkan dengan kearifan lokal.

Sistem kekerabatan antar suku dijadikan sebagai basis dalam pengorganisasian


kerja kepanitiaan. Sebagai contoh, jika rumah yang dibangun adalah rumah warga
suku Sikumbang, maka sebagian besar anggota panitia adalah para datuk yang
merupakan tetua adat dari suku tersebut.

Datuk tinggal memerintahkan kepada anak-kemenakan (kaum yang memiliki


hubungan sedarah) untuk bekerja meski mereka berlainan nagari. Sistem kerja
yang dilakukan bersandar pada falsafah Manunggal Sakato, yaitu gotong-royong
dalam lingkup satu desa. Pembagian tugas dan waktu setiap kelompok pun
ditentukan dalam musyawarah di tingkat nagari.

Jadi, dalam pelaksanaannya masing-masing kelompok memiliki tugas spesifik.


Misalnya, terdapat kelompok yang bertugas mencari dan menebang kayu di hutan,
mengolah kayu, membuat dinding, membuat atap hingga tugas penyedia jasa
konsumsi dan akomodasi layaknya panitia profesional sebagaimana cita-cita
PNPM-P2KP.

Sukses tidaknya kegiatan menjadi


tanggungjawab bersama panitia yang
beranggotakan para penghulu (tetua adat) suku
tersebut. Selain mendongkrak kepedulian
antarsuku, pola ini juga mendorong para tetua
adat untuk bekerja semaksimal mungkin,
karena hasilnya sangat prestisius bagi suku
dalam menciptakan atmosfir kompetisi sehat.

Pemerintah Kabupaten Lima Puluh Kota menyambut gembira hal tersebut.


Bahkan, mekanisme semacam ini diadopsi oleh Bappeda Lima Puluh Kota, yang
dalam APBD 2007 menganggarkan rehabilitasi bagi 10 unit rumah tidak layak
huni untuk masing-masing nagari sebesar Rp 2 juta per rumah.

Untuk nagari yang telah memiliki BKM, kegiatan rehabilitasi rumah akan
disinergikan dengan Perencanaan Jangka Menengah Program Penanggulangan
Kemiskinan (PJM Pronangkis) BKM setempat, khususnya BLM tahap II dan III.

Rapat koordinasi Forum BKM, wali nagari dan Bappeda Kabupaten Lima Puluh
Kota pada 22 Juni 2007 sepakat bahwa pola semacam ini akan terus dikembangkan
dalam kegiatan-kegiatan sosial yang didanai oleh pemda melalui Satuan Kerja
Pejabat Daerah (SKPD) atau dari sumber dana lainnya.

Selanjutnya, pemeliharaan hasil kegiatan akan dilaksanakan dengan pola Goro


Manunggal Sakato dan kepanitiaan kaum. Bahkan, untuk kegiatan KSM Ekonomi
bergulirpun direncanakan dengan memanfaatkan tanggung renteng kaum atau
suku.
Kekerabatan kaum atau suku adalah kondisi obyektif dalam struktur masyarakat
Minangkabau, sehingga kegiatan sosial P2KP relevan untuk disinergikan dengan
adat setempat, sambil tetap memegang teguh prinsip-prinsip kemasyarakatan dan
nilai-nilai kemanusiaan yang diperjuangkan. Tuah Manunggal Sakato adalah
perwujudan dari pengagungan modal sosial komunitas. (Bajang Ahmadi, TA
Sosialisasi KMW VI P2KP-3 Sumbar/Tim Sosialisasi KMP P2KP-3; Firstavina)

Anda mungkin juga menyukai