Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Dr. HM. Zainuddin, MASenin, 11 November 2013 . in Wakil Rektor I . 19746 views
Istilah Masyarakat Madani tiba-tiba menjadi populer dalam masyarakat kita. Tidak tahu dari
mana asal-usulnya, siapa yang pertama kali melansir istilah tersebut sulit untuk dilacak.
Tapi Komaruddin Hidayat menganggap istilah itu dipopulerkan oleh Nurcholish Majid
dengan Paramadina-nya. Sementara ada yang mengatakan, istilah tersebut diperkanalkan
oleh Anwar Ibrahim tokoh reformis dari Malaysia. Gerakan Emil Salim dan kawan-kawan
pada awal-awal reformasi untuk bersama-sama mengecam rezim Orde Baru juga
menamakan diri dengan Gerakan Madani. Apakah Masyarakat Madani diterjemahkan
dari Civil Society? Inipun masih debatable. Yang jelas dapat dipastikan, bahwa istilah
tersebut adalah khas Indonesia. Tidak diketemukan dalam kamus-kamus bahasa Arab
maupun ensiklopedianya. Dalam literatur Arab istilah al-Mujtama’ al-Madany juga tidak
dijumpai, yang lazim digunakan adalah al-Mujtama’ al-Islamy, masyarakat Islam.
Kata Madany yang diderivasi dari kata Madinah yang lantas melahirkan
kata Tamaddun, berarti peradaban. Dengan demikian yang digunakan dari Masyarakat
Madani adalah masyarakat yang memiliki peradaban vis a vis Badawah, penduduk desa
yang masih primitif, badui. M.A. Jabbar Beg (1980) dalam Islamic and Western Concept of
Civilization menjelaskan, bahwa term Madani (Madaniyah) yang berarti peradaban
(civilization) digunakan pertama kali pada akhir abad 19 dan abad 20 oleh sarjana muslim,
Farid Wajdi dengan karyanya Al-Madaniyyah wal-Islam dan Abduh dengan karyanya Al-
Islam wal-Nashraniyyah Ma al-’Ilmy wal-Madaniyyah. Lebih lanjut Beg menjelaskan bahwa
sebelum Abduh kata Madaniyyah sudah digunakan oleh Al-Farabi (w.339 H) dalam judul
karyanya, Al-Siyasah wal-Madaniyyah. Hanya kata ini oleh Al-Farabi diartikan urban,
kehidupan kota, sementara Abduh secara kongkrit mengartikan peradaban (civilization).
Kaitan antara kata latin civitas dan civilization adalah sangat mirip dengan kata Madinah
dan Madaniyyah. Ini merupakan kenyataan bahwa orang-orang kota pada umumnya
mengutamakan peradaban atau lebih dulu memiliki peradaban dan peradaban tumbuh dan
muncul di kota. Kemudian istilah tamaddun digunakan oleh penulis sejarah Arab
kenamaan, Jurji Zaidan dengan karyanya Tarikh al-Tamaddun al-Islamy. Sementara Ibn
Khaldun menggunakan istilah ‘umran dan hadharah. Dengan demikian istilah
‘umran, hadharah, madani dan tamaddun memiliki kedekatan dan akar kata yang
sama. Dari sudut historis tidak terlalu sulit untuk melacak terjadinya akulturasi budaya,
termasuk bidang bahasa-politik dalam masyarakat Islam. Fenomena ini tak terkecuali
merembes ke dalam istilah-istilah sosial kemasyarakatan Islam. Perkembangan masyarakat
Eropa (Barat) dengan kemampuan teknologi mutakhirnya di berbagai bidang, termasuk
jargon-jargon dan idiom bahasa yang digunakan secara langsung atau tidak berpengaruh
terhadap perkembangan kehidupan masyarakat Islam, terutama dalam interaksi sosialnya.
Seperti yang dijelaskan Azra (1995) bahwa sebelum masa modern dalam pengalaman
banyak masyarakat, sebenarnya tidak pernah terdapat keterputusan substansial antara
bahasa agama dan politik. Bahkan didapati terjadinya tarik-menarik dan adanya semacam
hubungan dialektis antara keduanya. Berbeda dengan Azra, Lewis (1994) menyimpulkan
bahwa dalam tradisi Islam agak kesulitan untuk menyebut istilah masyarakat atau “warga
negara” dalam konotasi yang sepadan dengan tradisi di Eropa (Barat). Penggunaan istilah-
istilah politik yang diadopsi oleh Islam dari istilah-istilah Yunani pada puncak abad
pertengahan merupakan akar historis istilah-istilah politik yang ada dalam tradisi bahasa
politik Islam dewasa ini. Kota atau madinah diterjemahkan dari bahasa Yunani, polis,
sementara kata polites, warga negara, tidak ada padanan yang tepat, meskipun biasanya
kata madani digunakan sebagai padanannya. Lepas dari adanya sikap apologi atau tidak
oleh umat Islam dalam penggunaan istilah masyarakat madani ini, yang jelas munculnya
istilah ini dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk kembali membentuk suatu struktur
atau tatanan masyarakat yang sesuai dengan prinsip-prinsip masyarakat madinah yang
telah dibangun oleh Nabi. Membangun Masyarakat Beradab Adalah merupakan
dalil sosial, bahwa dalam setiap masyarakat terdapat pemimpin dan yang dipimpin,
penguasa dan rakyat, serta muncul stratifikasi sosial yang berbeda. Demikian pula pada
zaman pra-Islam (Jahiliyyah) muncul kelas sosial yang timpang, yaitu kelas elit-penguasa
dan kelas bawah yang tertindas. Kelas bawah ini seringkali menjadi ajang penindasan dari
kelompok elit. Pada masa jahiliyah kekuasaan dan konsep kebenaran milik penguasa.
Konsentrasi kekuasaan dan kebenaran di tangan penguasa tersebut mengakibatkan
terjadinya manipulasi nilai untuk memperkuat dan memperkokoh posisi mereka sekaligus
menindas yang lemah. Proses seperti ini berlangsung cukup lama tanpa ada perubahan
yang berarti. Dalam kondisi seperti itu, terdapat dua stratifikasi sosial yang berbeda, yaitu
maysarakat kelas atas (elit) yang hegemonik, baik sosial maupun ekonomi bahkan
kekerasan fisik sekalipun dan kelas bawah (subordinate) yang tak berdaya.
Demikianlah setting sosial-politik yang terjadi pada masyarakat Arab (Makkah-
Madinah) pra-Islam. Dan seperti kata Guillaume (1956:11), komunitas Yahudilah yang
telah mendominasi kekuasaan politik dan ekonomi saat itu, hingga kemudian nabi
Muhammad datang merombak struktur masyarakat yang korup tersebut. Nabi hadir
membawa sistem kepercayaan alternatif yang egaliter dan membebaskan. Karena
ajaran yang disampaikan nabi membawa pesan bahwa segala ketundukan dan kepatuhan
hanya diberikan kepada Allah, bukan kepada manusia. Karena kebenaran datang dari
Allah, maka kekuasaan yang sebenarnya juga berada pada kekuasaan-Nya, bukan kepada
raja. Secara empirik kemudian nabi melakukan gerakan reformasi dengan mengembalikan
kekuasaan dari tangan raja (kelompok elit) kepada kekuasaan Allah melalui sistem
musyawarah. Kehadiran nabi tersebut membawa angin segar bagi “masyarakat baru” yang
mendambakan sebuah kondisi sosial masyarakat yang adil dan beradab. Karena apa yang
dibawa nabi sebetulnya sistem ajaran yang menegakkan nilai-nilai sosial: persamaan hak,
persamaan derajat di antara sesama manusia, kejujuran dan keadilan (akhlaq hasanah).
Selain itu, sesuai posisinya sebagai pembawa rahmat, nabi terus berjuang merombak
masyarakat pagan-jahiliyah menuju masyarakat yang beradab, atau dalam bahasa al-
Qur’an disebut min-’l-Dhulumat ila-’l-Nur (lihat QS. Al-Baqarah:257, al-Maidah:15, al-Hadid:
9, al-Thalaq:10-11 dan al-Ahzab:41-43). Selama kurang lebih 23 tahun (dari periode
Makkah ke Madinah) nabi telah melakukan reformasi secara gradual untuk menegakkan
Islam, sebagai sebuah agama yang memiliki perhatian besar terhadap tatanan masyarakat
yang ideal. Dan masyarakat yang dibangun nabi saat itu adalah masyarakat pluralistik yang
terdiri dari berbagai suku, agama dan kepercayaan. Masyarakat seperti yang dikehendaki
dalam rumusan piagam Madinah adalah masyarakat yang memiliki kesatuan kolektif dan
ingin menciptakan masyarakat muslim yang berperadaban tinggi, baik dalam konteks relasi
antar manusia maupun dengan Tuhan. Kasih sayang terhadap golongan yang lemah
seperti kaum feminis, para janda dan anak-anak yatim menunjukkan komitmen moralnya
sebagai seoarang pemimpin umat yang plural. Dalam kesempatan pidato terakhirnya di
padang Arafah, beliau berpesan kepada para pengikutnya supaya memperlakukan kaum
wanita dengan baik dan bersikap ramah terhadap mereka. “Surga di bawah telapak kaki
ibu”, jawab nabi ketika salah seorang sahabat bertanya tentang jalan pintas masuk surga.
Kalimat tersebut diulang sampai tiga kali. Salah satu sifat pemaaf dan toleransi nabi yang
luar biasa adalah tampak pada kasus Hindun, salah seorang musuh Islam yang dengan
dendam kusumatnya tega memakan hati Hamzah, seoarng paman nabi sendiri dan
pahlawan perang yang terhormat. Kala itu orang hampir dapat memastikan bahwa nabi
tidak akan pernah memaafkan seorang Hindun yang keras kepala itu. Ternyata tak diduga-
duga ketika kota Makkah berhasil dikuasai oleh orang Islam dan Hindun yang menjadi
tawanan perang itu pada akhirnya dimaafkan. Melihat sikap nabi yang begitu mulia tersebut
dengan serta merta Hindun sadar dan menyatakan masuk Islam seraya menyatakan,
bahwa Muhammad memang seorang rasul, bukan manusia biasa. Tidak hanya itu
saja, sikap politik nabi yang sangat sulit untuk ditiru oleh seorang pemimpin modern adalah,
pemberian amnesti kepada semua orang yang telah berbuat kesalahan besar dan berlaku
kasar kepadanya. Tetapi dengan sikap nabi yang legowo dan lemah lembut itu justru
membuat mereka tertarik dengan Islam, sebagai agama rahmatan lil-’alamin. Seperti yang
dicatat oleh Akbar S. Ahmed (1992) seorang penulis sejarah Islam kenamaan dari
Pakistan, bahwa penaklukan Makkah oleh nabi yang hanya menelan korban kurang dari 30
jiwa manusia itu merupakan kemenangan perang yang paling sedikit menelan korban jiwa
di dunia dibanding dengan kemenangan beberapa revolusi besar lainnya seperti Perancis,
Rusia, Cina dan seterusnya. Hal ini bisa dipahami karena perang dalam perspektif Islam
bukan identik dengan penindasan, pembunuhan dan penjarahan, seperti yang dituduhkan
sebagian kaum orientalis selama ini, melainkan lebih bersifat mempertahankan diri. Oleh
sebab itu secara tegas nabi pernah menyatakan: “Harta rampasan perang tidak lebih baik
dari pada daging bangkai”. Demikian juga larangannya untuk tidak membunuh kaum
perempuan, anak-anak dan mereka yang menyerah kalah. Nilai-nilai islami yang tercermin
dalam figur nabi yang melampaui batas ikatan primordialisme dan sektarianisme
memberikan rasa aman dan terlindung bagi masyarakat yang pluralistik. Perkawinan nabi
dengan seorang istri dari luar rumpun keluarga, kecintaannya terhadap Bilal, seorang
budak kulit hitam yang menjadi muazzin pertama Islam dan pidatonya pada kesempatan
haji wada’ di Arafah yang menentang pertikaian suku dan kasta telah membuktikan sikap
arif dan bijak kepemimpinannya. Oleh sebab itu seperti yang dikatakan oleh Ashgar Ali
(1993), bahwa konsep jihad (berjuang) dalam perspektif Islam tidak memaksa orang untuk
memeluk Islam sebagai sebuah agama, melainkan berjuang untuk memerangi
kemungkaran dan mengakhiri penindasan oleh orang kuat (al-mustakbirin) terhadap orang
lemah (al-mustadh’afin). Semua utusan Tuhan (nabi) digambarkan dalam al-Qur’an sebagai
pembela al-mustadh’afin untuk menghadapi al- mustakbirin, seperti Musa yang
digambarkan sebagai pembebas bangsa Israel dari penindasan raja Fir’aun, sebagaimana
frman Allah: “Dan Kami hendak memberi karunia bagi orang-orang yang tertindas di bumi
itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang
mewarisi bumi”. (Q.S.28:5). Nabi Muhammad diperintahkan oleh Allah ke dunia untuk
membebaskan masyarakat Arab dari krisis moral dan sosial. Secara tegas beliau berani
memberantas praktek-praktek akumulasi kekayaan yang diperoleh secara ilegal (baca:
KKN) oleh konglomerat Arab saat itu. Dan gerakan reformasi nabi itulah yang kemudian
membuat mereka berang dan merasa terancam kepentingannya. Sampai-sampai beliau
dan keluarganya diboikot dari hubungan kerja dan pergaulan. Oleh sebab itu seperti
penilaian Ashgar maupun Ahmad Amin, bahwa pada hekikatnya kelompok hartawan
Makkah bukan tidak mau menerima ajaran tauhid yang dibawa nabi, atau penentangannya
terhadap penyembahan berhala, melainkan yang sangat dirisaukan oleh mereka adalah
gerakannya yang mengarah kepada “ancaman” praktek monopolistik dan eksploitatif yang
mereka lakukan. Pengaruh reformasi nabi Muhammad betul-betul mengguncang dunia dan
dengan waktu yang relatif singkat (kurang lebih 23 tahun) mampu mewujudkan sebuah
masyarakat ideal, masyarakat yang secara sosiologis berada dalam kelas kesejajaran atau
kalau menurut Ashgar Ali, “masyarakat tanpa kelas”. Status manusia tidak diukur oleh
kekayaan maupun jabatan, melainkan diukur oleh kesalehannya. Peristiwa hijrah nabi dari
Makkah ke Madinah pada tahun 622 M juga merupakan peristiwa monumental bagi lahirnya
sebuah nation state . Peristiwa tersebut pada hakikatnya merupakah sebuah perjalanan
panjang menuju pembentukan masyarakat Islam yang demokratis dan terbuka. Jika periode
Makkah adalah periode penanaman akidah dan etika Islam, maka periode Madinah sebagai
periode pembentukan sistem kehidupan masyarakat secara luas. Setidaknya ada empat
langkah yang ditempuh nabi dalam membentuk masyarakat Islam saat
itu: Pertama, mendirikan masjid yang diberi nama Baitullah (rumah Allah). Masjid inilah
yang kemudian menjadi sentral kegiatan umat Islam, mulai dari praktek ritual (beribadah),
mengadili perkara, majlis ta’lim, bahkan jual-beli pernah dilakukan di kawasan masjid
tersebut. Hanya mengingat kondisi yang tak memungkinkan, maka pada akhirnya harus
dipindahkan. Masjid tersebut juga merupakan pusat pertemuan kaum muslimin dari seluruh
wilayah Islam. Kedua, mempersatukan kelompok Anshar dan Muhajirin yang berselisih. Ali
ra. dipilih sebagai saudara beliau sendiri, Abu Bakar dipersaudarakan dengan Kharijah Ibn
Zuhair dan Ja’far Ibn Abi Thalib dipersaudarakan dengan Muaz Ibn Jabbal. Demikianlah
nabi telah mempersatukan tali persaudaraan mereka. Dengan demikian terciptalah
persaudaraan yang berdasarkan agama, sebagai pengganti dari persaudaraan yang
berdasarkan ras dan suku sebagaimana yang telah dipraktekan orang-orang Jahiliyyah
sebelumnya. Ketiga, perjanjian saling membantu antara kaum muslimin dengan non-
muslim. Penduduk Madinah saat itu terdiri dari tiga golongan: kaum muslimin, Yahudi (yang
terdiri dari Bani Nadhir dan Quraidhah) dan bangsa Arab yang masih pagan (penyembah
berhala). Karena itu nabi mempersatukan mereka dalam satu masyarakat yang terlindung,
sebagaimana yang terumuskan dalam Piagam Madinah. Keempat, meletakkan dasar
politik, ekonomi dan sosial bagi terbentuknya “masyarakat baru”. Hijrah nabi pada tahun
622 M menunjukkan permulaan kegiatan politiknya. Namun beliau tidak dengan tiba-tiba
mendapatkan kekuatan poltik yang begitu besar itu, melainkan tumbuh dengan perlahan-
perlahan. Konsesi-konsesi dengan warga Madinah yang akan beliau masuki (ketika beliau
masih berada di Makkah) berarti pendirian badan politik baru, yang didalamnya terdapat
kelonggaran untuk merealisasikan potensi politik dari pemikiran Al-Qur’an. Itulah sosok
Muhammad, orang pertama yang memikirkan proses perubahan yang terjadi dalam
masyaralat Makkah secara serius, radikal dan humanistik. Beliau tidak sekadar menyeru
orang untuk men-tauhid-kan Allah, melainkan juga membangun masyarakat baru yang
demokratis, berperadaban, dan tidak korup. Tidak berlebihan jika Michael Hart dalam
laporan penelitiannya: The 100: A Ranking of Most Influential in History, menempatkan
beliau sebagai tokoh peringkat pertama yang paling berpengaruh di dunia. “Islam (yang
dibawa Muhammad) memang tidak menciptakan dunia moderen, tetapi Islam merupakan
agama yang mungkin paling tepat dan cocok untuk dunia moderen”. Demikian ungkap
Gellner.
REFERENSI
https://www.uin-malang.ac.id/blog/post/read/131101/membangun-masyarakat-madani.html
Sebelum menjadi Masyarakat Madani
Semua orang mendambakan kehidupan yang aman, damai dan sejahtera
sebagaimana yang di cita-citakan masyarakat Indonesia, yaitu adil dan
makmur bagi seluruh lapisan masyarakat. Untuk mencapainya berbagai
sistem kenegaraan muncul, seperti demokrasi. Cita-cita suatu masyarakat
tidak mungkin dicapai tanpa mengoptimalkan kualitas sumber daya manusia.
Hal ini terlaksana apabila semua bidang pembangunan bergerak secara
terpadu yang menjadikan manusia sebagai subjek. Pengembangan
masyarakat sebagai sebuah kajian keilmuan dapat menyentuh keberadaan
manusia yang berperadaban. Pengembangan masyarakat merupakan sebuah
proses yang dapat merubah watak, sikap, dan perilaku masyarakat ke arah
pembangunan yang dicita-citakan.
Indikator dalam menentukan kemakmuran suatu bangsa sangat tergantung
pada situasi dan kondisi serta kebutuhan masyarakatnya. Akhir-akhir ini
masyarakat Indonesia mencuatkan suatu kemakmuran yang didambakan
yaitu terwujudnya Masyarakat Madani. Munculnya istilah masyarakat madani
pada era reformasi ini, tidak terlepas dari kondisi politik negara yang
berlangsung selama ini. Sejak Indonesia merdeka, masyarakat belum
merasakan makna kemerdekaan yang sesungguhnya.Pemerintah atau
penguasa belum banyak member kesempatan bagi semua lapisan
masyarakat mengembangkan potensinya secara maksimal.
Bangsa Indonesia belum terlambat mewujudkan Masyarakat Madani, asalkan
semua potensi sumber daya manusia mendapat kesempatan berkembang
dan dikembangkan. Mewujudkan masyarakat madani banyak tantangan yang
harus dilalui. Untuk itu perlu adanya strategi peningkatan peran dan fungsi
masyarakat dalam mengangkat martabat manusia menuju masyarakat
madani itu sendiri.
Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal
bukan pada peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang
menghiasi masyarakat ideal ini. Seperti pelaksanaan amar ma’ruf nahi
munkar yang sejalan dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan yang
kesatuan yang ditunjuk oleh ayat sebelumnya (lihat, QS. Ali Imran [3]: 105).
Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui Ilahi
adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik sebagaimana yang
tercermin dalam QS An-Nahl [16]: 125.
Dalam rangka membangun “Masyarakat Madani modern”, meneladani Nabi
bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat
berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti
menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan
kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan
agama, dan sifat-sifat luhur lainnya.
Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak
mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak
meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk
dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar
kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat
Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam
hanya menunggu waktu saja.
Defini Masyarakat Madani
Masyarakat Madani adalah masyarakat yang beradab dalam membangun,
menjalani, dan memaknai kehidupannya. Istilah Masyarakat Madani
diperkenalkan oleh mantan wakil perdana meteri Malaysia yakni Anwar
Ibrahim. Menurut Anwar Ibrahim, arti masyarakat madani adalah sistem
sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan
antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat.
Masyarakat Madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru
karena adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi
di hampir seluruh aspek kehidupan. Kebijakan pemerintah yang otoriter,
menyebabkan organisasi-oranisasi kemasyarakatan tidak memiliki
kemandirian, tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap jalanya pemerintahan.
Kebijakan ini juga berlaku terhadap masyarakat politik (political societies),
sehingga partai-partai politik pun tidak berdaya melakukan kontrol terhadap
pemerintah dan tawar-menawar dengannya dalam menyampaikan aspirasi
rakyat. Hanya ada beberapa organisasi keagamaan yang memiliki basis
sosial besar yang agak memiliki kemandirian dan kekuatan dalam
mempresentasikan diri sebagai unsur dari Masyarakat Madani,
seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurrahman
Wahid dan Muhammadiyah dengan motor Prof. Dr. Amien Rais.
Pemerintah sulit untuk melakukan intervensi dalam pemilihan pimpinan
organisasi keagamaan tersebut karena mereka memiliki otoritas dalam
pemahaman ajaran Islam. Pengaruh politik tokoh dan organisasi keagamaan
ini bahkan lebih besar daripada partai-partai politik yang ada.
Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966–1998) dan menampilkan
Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi telah
mempopulerkan konsep Masyarakat Madani karena presiden beserta
kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai
kesempatan. Bahkan, Presiden Habibie telah membentuk satu tim, dengan
Keputusan Presidan Republik Indonesia, Nomor 198, tentang Pembentukan
Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani. Tim tersebut diberi
tugas untuk membahas masalah-masalah pokok yang harus disiapkan untuk
membangun Masyarakat Madani Indonesia, yaitu di antaranya: Pertama,
menghimpun tentang transformasi ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya
serta pemikiran dampak globalisasi terhadap berbagai aspek kehidupan
bangsa. Kedua, merumuskan rekomendasi serta pemikiran tentang upaya
untuk mendorong transformasi bangsa menuju Masyarakat Madani. Konsep
Masyarakat Madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama
yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak
cocok lagi.
Soeharto terpaksa harus turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 oleh tekanan
dari gerakan Reformasi yang sudah bosan dengan pemerintahan
militer Soeharto yang otoriter. Gerakan Reformasi didukung oleh negara-
negara Barat yang menggulirkan konsep civil society dengan tema pokok Hak
Asasi Manusia (HAM).
Presiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI (Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia), suatu bentuk pressure group dari kalangan Islam,
dimana ia duduk sebagai Ketua Umumnya. Kemudian konsep Masyarakat
Madani mendapat dukungan luas dari para politisi, akademisi, agamawan,
dan media massa karena mereka semua merasa berkepentingan untuk
menyelamatkan gerakan Reformasi yang hendak menegakkan prinsip-prinsip
demokrasi, supremasi hukum, dan HAM. Tetapi untuk segera masuk
kewilayah kehidupan Masyarakat Madani ternyata tidak mudah, karena pola
kehidupan masyarakat yang diimpikan itu masih perlu disosialisasikan kepada
masyarakat.
Selain itu secara kultural, tantangan sosial budaya yang cukup berat adalah
pluralisme masyarakat indonesia. Pluralisme tidak hanya berkaitan denagan
budaya saja, tetapi juga persoalan sosial, politik, dan ekonomi masyarakat.
Oleh karena itu diperlukan proses panjang dan waktu serta menuntut
komitmen masing-masing warga bangsa untuk mereformasi diri secara total
menuju terwujudnya Masyarakat Madani, dan juga menuntut berbagai upaya
perubahan untuk mewujudkan Masyarakat Madani, baik yang berjangka
pendek maupun yang berjangka panjang.
Pertama, perubahan jangka pendek, menyangkut perubahan pada
pemerintah, politik, ekonomi dan hukum. Pada bidang pemerintahan,
masyarakat pada era reformasi menuntut terciptanya pemerintahan bersih
yang menjadi prasyarat untuk tumbuh dan berkembangnya Masyarakat
Madani, sehingga terwujud pemerintahan yang berwibawa, bebas dari
korupsi, kolusi dan nepotisme yaitu pemerintahan yang dapat dipercaya,
dapat diterima dan dapat memimpin. Pada bidang politik, terutama diarahkan
kepada hidupnya kembali kehidupan demokrasi yang sehat sesuai dengan
tuntutan konstitusi 1945 serta adanya upaya dari pemerintah dan masyarakat
untuk mencapai tingkat kesepakatan maksimal dalam memberi makna sistem
demokrasi. Dimensi demokrasi dari pemerintah yaitu terciptanya tingkat
keseimbangan relatif dan saling cek dalam hubungan kekuasaan eksekutif,
legislatif dan yudikatif. Sedangkan dimensi demokrasi dari masyarakat adalah
terciptanya kesepakatan nilai untuk kesetaraan di depan hukum dan
pemerintah, kesetaraan dalam kompetisi dan kontestasi politik, kemandirian
dan kemampuan menyelesaikan berbagai konflik dengan cara-cara damai,
yang mencerminkan ciri-ciri Masyarakat Madani. Pada bidang ekonomi,
menuntut kehidupan ekonomi yang lebih merata dan bukan hanya untuk
kepentingan sekelompok kecil anggota masyarakat. Dalam bidang hukum,
reformasi menuntut ketaatan kepada hukum untuk semua orang bukan hanya
untuk kepentingan penguasa. Setiap orang sama didepan hukum dan dituntut
untuk kedisipinan yang sama terhadap nilai-nilai hukum yang dikesepakati.
Sehingga diharapkan terbentuknya lenbaga penegak hukum yang
mencerminkan berlakunya supremasi hukum dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menuju suatu tatanan Masyarakat
Madani atau civil society Indonesia. Dalam bidang jurnalistik, terciptanya
kebebasan pers.
Kedua, perubahan dalam jangka panjang, meliputi bidang kebudayaan dan
pendidikan. Reformasi budaya menuntut perkembangan kebhinnekaan
budaya Indonesia, maka kebudayaan daerah merupakan dasar bagi
perkembangan identitas bangsa Indonesia, oleh sebab itu harus dibina dan
dikembangkan. Pengembangan budaya daerah akan memberikan
sumbangan bagi perkembangan rasa persatuan bangsa Indonesia yang
menunjang ke arah identitas bangsa Indonesia yang kuat dan benar, yang
mencerminkan masyarakat plural sebagai ciri Masyarakat Madani. Pada
bidang pendidikan, penyiapan sumber daya manusia yang berwawasan dan
berperilaku madani melalui pendidikan, karena konsep Masyarakat Madani
merupakan bagian dari tujuan pendidikan nasional. Semua pihak mutlak
setuju, bahwa pendidikan amat penting bagi ikhtiar membangun manusia
berkualitas, yang ditandai dengan peningkatan kecerdasan, pengetahuan dan
keterampilan, karena pendidikan sendiri merupakan wahana strategi bagi
usaha untuk meningkatkan mutu kehidupan manusia, yang ditandai dengan
membaiknya derajat kesejahtaraan, menurunnya kemiskinan, dan
terbentuknya berbagai pilihan dan kesempatan mengembangkan diri menuju
Masyarakat Madani.
Selanjutnya, munculnya wacana civil society di Indonesia banyak disuarakan
oleh kalangan “tradisionalis” (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh
kalangan “modernis”. Hal ini bisa dipahami karena pada masa tersebut, NU
adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara,
bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan. Di kalangan NU
dikembangkan wacana civil society yang dipahami sebagai masyarakat non-
negara dan selalu tampil berhadapan dengan negara. Kebangkitan
wacana civil society dalam NU diawali dengan momentum kembali ke khittah
1926 pada tahun 1984 yang mengantarkan Gus Dur sebagai Ketua Umum
NU.
Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah
problem tentang prospek Masyarakat Madani di kalangan NU karena NU
yang dulu menjadi komunitas non-negara dan selalu menjadi kekuatan
penyeimbang, kini telah menjadi “negara” itu sendiri. Hal tersebut memerlukan
identikasi tentang peran apa yang akan dilakukan dan bagaimana NU
memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Bahwa timbulnya civil
society pada abad ke-18 dimaksudkan untuk mencegah lahirnya negara
otoriter, maka NU harus memerankan fungsi komplemen terhadap tugas
negara, yaitu membantu tugas negara ataupun melakukan sesuatu yang tidak
dapat dilakukan oleh negara, misalnya pengembangan pesantren.
Sementara, Gus Dur harus mendukung terciptanya negara yang demokratis
supaya memungkinkan berkembangnya Masyarakat Madani, dimana negara
hanya berperan sebagai ‘polisi’ yang menjaga lalu lintas kehidupan beragama
dengan rambu-rambu Pancasila.
Indonesia?
Untuk mewujudkan Masyarakat Madani di Indonesia dibutuhkan motivasi
yang tinggi dan partisipasi nyata dari individu sebagai anggota masyarakat.
Diperlukan proses dan waktu serta dituntut komitmen dan penuh kearifan
dalam menyikapi konflik yang tak terelakkan. Tuntutan untuk mewujudkan
Masyarakat Madani, tidak hanya dilakukan dengan seminar, diskusi,
penataran. Tetapi perlu merumuskan langkah-langkah yang sistematis dan
kontinyu yang dapat merubah cara pandang, kebiasaan dan pola hidup
masyarakat.
Daftar Pustaka
A Ubaidillah, Pendidikan Kewargagaan: Demokrasi, HAM, dan Masyarakat
Madani, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000).
Drs. Hujair AH. Sanaky, MSI., Paradigma Pendidikan Islam Membangun
Masyarakat Madani Indonesia, (Yogyakarta: Safira Insania Press, 2003).
https://rezaprama.com/mengenal-masyarakat-madani-tinjauan-di-indonesia/
Masyarakat Madani: Pengertian dan Contohnya
APRIL 2, 2018SIDIQDUMMY
Share this...
Masyarakat madani adalah masyarakat yang demokratis. Istilah ”madani” berasal dari
kata ”madaniah” yang berarti peradaban. Istilah ini secara historis merujuk pada ”kota
Nabi” di Arab yang bernama Yatsrib, yang kemudian menjadi Madinah. Karakteristik
kehidupan sosial di Madinah pada masa Nabi yang dianggap ideal menginspirasi
pengorganisasian sosial modern yang ideal pula dengan nama ”masyarakat madani”.
Dalam wacana publik, pengertian masyarakat madani tidak pernah habis diperdebatkan
dan dikontestasikan. Penggunaan istilah tersebut juga sering kali diterjemahkan ke
dalam istilah lain yang cukup bervariasi. Pembaca barang kali sudah akrab dengan
istilah masyarakat demokratis, masyarakat sipil, masyarakat warga, masyarakat
beradab, atau istilah dalam bahasa Inggris civil society. Kesemua istilah tersebut sering
digunakan secara bergantian dengan maksud yang sama.
Postingan ini akan membahas tentang apa itu masyarakat madani. Pengertian dan
contohnya akan dipaparkan guna membantu membaca memahami definisi masyarakat
madani dan apakah berbeda dengan istilah lain seperti yang sudah disebutkan di atas.
Ciri-ciri atau karakteristik masyarakat madani juga akan disebutkan sebagai bagian dari
keseluruhan ulasan.
Perlu ditegaskan di sini, istilah masyarakat madani merupakan istilah modern, meskipun
inspirasinya berasal sejak zaman Nabi. Dalam konteks modern, masyarakat madani
berada dalam sebuah sistem sosial yang demokratis.
Dari kedua definisi yang disampaikan oleh para pakar di atas, kita menemukan
kesamaan diantara keduanya, yaitu keswadayaan dan independensi dihadapan negara
atau pemerintah. Jadi, masyarakat sipil atau masyarakat madani dikarakteristikkan
dengan kemampuan masyarakat sebagai entitas sosial yang otonom dari pemerintah.
Selain itu, masyarakat juga hidup bersama dengan nilai-nilai yang dianut bersama.
Masyarakat sipil, dalam konteks tersebut memiliki kekuatan sendiri, sebagaimana
negara yang memiliki kekuatan sendiri. Namun demikian, masyarakat sipil berada
dalam sebuah sistem besar yang demokratis.
♦ Kedua, adanya seperangkat nilai, norma dan aturan bersama yang dipatuhi seluruh
masyarakat.
♦ Ketiga, adanya gerakan-gerakan perlindungan hak-hak warga, konsumen, kaum
minoritas, dan korban kekerasan.
Selain itu, masyarakat sipil juga mampu berkontribusi ke dalam dirinya dengan
melakukan pemberdayaan masyarakat sehingga muncul warga berdaya. Apa saja
contoh masyarakat sipil di sekitar kita? Berikut beberapa diantaranya.
Beberapa contoh diatas merupakan contoh masyarakat sipil. Kita sudah bisa terka
masyarakat sipil di Indoenesia cukup banyak jumlahnya. Apakah masyarakat sipil sudah
menciptakan kehidupan yang demokratis tentu saja persoalan lain. Dalam sistem
demokrasi kita bisa bayangkan rentannya demokrasi jatuh pada otoriatrianisme dan
totalitarianisme tanpa adanya peran masyarakat sipil.
Namun demikian perlu dicatat bahwa antara masyarakat sipil dan korporasi sering kali
beririsan, sehingga hubungannya samar-samar. Sebagai sebuah entitas yang memiliki
kekuatan mandiri, masyarakat sipil lebih kerap dihadapkan dengan negara. Dalam
upaya mencapai kehidupan yang demokratis, ketiga entitas tersebut harus memiliki
kekuatan yang relatif seimbang.
http://sosiologis.com/masyarakat-madani
Pengertian Masyarakat Madani Menurut Para
Ahli
Oleh Dosen Pendidikan 3Diposting pada 08/11/2019
Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa
masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban
maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada
prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan
dengan kestabilan masyarakat.
Civil society menurut Cicero ialah suatu komunitas politik yang beradab seperti
yang dicontohkan oleh masyarakat kota yang memiliki kode hukum sendiri.
Dengan konsep civility (kewargaan) dan urbanity (budaya kota), maka dipahami
bukan hanya sekadar konsentrasi penduduk, melainkan juga sebagai pusat
peradaban dan kebudayaan.
Filsuf yunani Aristoteles (384-322 M) yang memandang masyarakat sipil
sebagai suatu sistem kenegaraan atau identik dengan negara itu sendiri,
pandangan ini merupakan
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani
adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari
akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan
mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya
memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk
mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya.
Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang
sebagai dokumen usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan
dapat berkembang dalam setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan
motivasi utama dalam masyarakat madani adalah Alquran.
2. Demokrasi
Demokrasi adalah prasyarat lain mutlak bagi keberadaan masyarakat madani
yang asli (genuine). Tanpa masyarakat madani yang demokratis mungkin tidak
terwujud.Demokrasi tidak akan berjalan stabil bila tidak ada dukungan nyata
dari masyarakat.Secara demokrasi umum adalah tatanan sosial dan politik
yang bersumber dan dibuat oleh, dari, dan untuk warga.
3. Tenggang Rasa
Toleransi adalah sikap saling menghormati dan menghormati perbedaan
pendapat.
4. Kemajemukan
Pluralitas atau pluralisme merupakan prasyarat lain untuk masyarakat madani.
Pluralisme tidak hanya dipahami sebagai suatu sikap harus mengakui dan
menerima kenyataan bahwa beragam sosial, tetapi harus disertai dengan sikap
yang tulus untuk menerima perbedaan sebagai sesuatu yang alami dan kasih
karunia Allah yang positif bagi masyarakat.
5. Keadilan Sosial
Keadilan sosial adalah keseimbangan dan pembagian yang proporsional
terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang meliputi semua aspek
kehidupan: ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan kesempatan.Dengan arti
lain, keadilan sosial adalah hilangnya monopoli dan konsentrasi salah satu
aspek hidup yang dilakukan oleh kelompok atau golongsn tertentu.
Baca Juga Artikel yang Mungkin Berkaitan : 8 Pengertian Struktur
Lembaga Pemerintah Negara Indonesia
2. Pers
Pers adalah lembaga yang berfungsi untuk mengkritik dan menjadi bagian dari
kontrol sosial yang dapat menganalisa dan menerbitkan berbagai kebijakan
pemerintah yang berkaitan dengan warga negara. Selain itu, pers juga
diharapkan untuk menyajikan berita secara obyektif dan transparan.
4. Perguruan Tinggi
Perguruan Tinggi adalah di mana kampus aktivis (dosen dan mahasiswa) yang
merupakan bagian dari kekuatan sosial dan masyarakat madaniyang bergerak
melalui jalan moral Porce untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan
mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah.
Namun, setiap gerakan membuatnya harus berada di jalur yang benar dan
memposisikan diri pada nyata dan realitas yang benar-benar objektif dan
bersuara bunga masyarakat.
5. Partai Politik
Partai politik merupakan wahana bagi warga negara untuk dapat menyalurkan
aspirasi politik politiknya.Partai menjadi tempat ekspresi politik warga negara
sehingga partai politik merupakan prasyarat bagi pembentukan masyarakat
madani.
Baca Juga Artikel yang Mungkin Berkaitan : Pengertian Dan Tujuan
Pendidikan Kewarganegaraan
Masyarakat Madani Dalam Islam
Membangun masyarakat dalam kacamata Islam adalah tugas jama’ah,
kewajiban bagi setiap muslim. Islam memiliki landasan kuat untuk melahirkan
masyarakat yang beradab, komitmen pada kontrak sosial (baiat pada
kepemimpinan Islam) dan norma yang telah disepakati bersama (syariah).
Bangunan sosial masyarakat muslim itu ciri dasarnya: ta’awun (tolong-
menolong), takaful (saling menanggung), dan tadhomun (memiliki solidaritas).
Dan bila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada
yang dapat menolaknya. Dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain
Dia,”(QS Ar-Ra’d [13]: 11).
Baca Juga Artikel yang Mungkin Berkaitan : Intervensi Adalah
Setiap warga negara berada dalam posisi yang sama, memilik kesempatan
yang sama, bebas menentukan arah hidupnya, tidak merasa tertekan oleh
dominasi negara, adanya kesadaran hukum, toleran, dan memahami hak dan
kewajibannya sebagai warga negara. Masyarakat madani sukar tumbuh dan
berkembang pada rezim Orde Baru karena adanya sentralisasi kekuasaan
melalui korporatisme dan birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan,
terutama terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan profesi
dalam wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan
sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut tidak memiliki kemandirian dalam
pemilihan pemimpin maupun penyusunan program-programnya, sehingga
mereka tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.
Reformasi bukan merupakan gerakan chaos yang liar tak terkendali dan tanpa
rencana serta tidak memberikan dampak positif terhadap kondisi masa kini,
justru sebaliknya merupakan sebuah gerakan yang terencana, sistematis dan
terukur serta memiliki parameter yang jelas terhadap perubahan yang akan
dilakukan dan ukuran yang jelas terhadap dampak yang ditimbulkannya.
Daftar Pustaka:
1. Suito, Deny. 2006. Membangun Masyarakat Madani. Centre For Moderate Muslim
Indonesia: Jakarta.
2. Sosrosoediro, Endang Rudiatin. 2007. Dari Civil Society Ke Civil Religion. MUI: Jakarta.
3. Sutianto, Anen. 2004. Reaktualisasi Masyarakat Madani Dalam Kehidupan. Pikiran
Rakyat: Bandung.
https://www.dosenpendidikan.co.id/masyarakat-madani/