Anda di halaman 1dari 48

REFERAT

UVEITIS ANTERIOR

Disusun Oleh :

Christy Yoshida Gultom

030.15.049

Pembimbing :

Laksma (Purn) dr. Bambang Renaldi, Sp.M

KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT MATA

RUMAH SAKIT TNI AL DR. MINTOHARDJO JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 28 OKTOBER – 30 NOVEMBER 2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala


kemudahan dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat
dalam Kepaniteraan Ilmu Penyakit Mata di RSAL dr. Mintohardjo Jakarta dengan
judul “Uveitis Anterior”

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada


Laksma (Purn) dr. Bambang Renaldi Sp.M selaku pembimbing atas
pengarahannya selama penulis belajar dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Mata.

Semoga referat ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan para
pembaca. Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan dan
masih perlu banyak perbaikan, oleh karena itu kritik dan saran diharapkan dari
pembaca dan pembimbing.

Jakarta, November 2019

Christy Yoshida Gultom

030.15.049
ii
LEMBAR PENGESAHAN

Referat yang berjudul:


“UVEITIS ANTERIOR”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Penyakit Mata di RSAL dr. Mintohardjo Jakarta
Periode 28 Oktober – 30 November 2019

Yang disusun oleh:


Christy Yoshida Gultom 030.15.049

Telah diterima dan disetujui oleh Laksma (Purn) dr. Bambang Renaldi, Sp.M
selaku dokter pembimbing Kepaniteraan Ilmu Penyakit Mata
RS TNI Angkatan Laut dr. Mintohardjo Jakarta

Jakarta, November 2019

Laksma (Purn) dr. Bambang Renaldi, Sp.M

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Organ penglihatan manusia terdiri atas banyak elemen yang saling
bersinergi untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Salah satu organ yang
berperan penting dalam melaksanakan fisiologis dari penglihatan adalah
suatu lapisan vaskular pada mata yang dilindungi oleh kornea dan sklera
disebut uvea.(1)

Uveitis merujuk pada inflamasi intraokuler yang dimana terjadinya


proses inflamasi secara kompleks, melibatkan terutama traktus uvealis
dengan atau tanpa melibatkan struktur intraokuler yang membatasinya.
Penyebab yang mendasari dari inflamasi intraokuler diantaranya mengenai
traktus uvealis, retina, lensa dan jaringan ocular lainnya. Uveitis dapat
mendasari terjadinya kebutaan pada negara-negara berkembang termasuk
India.(2)

Meskipun inflamasi dapat dikarenakan berbagai penyebab yang


bervariasi diantaranya karena infeksi, penyakit sistemik, proses autoimun
(terutama mediasi T-cell Th2 atau Th17), trauma, dan neoplasma oculi yang
primer atau sekunder secara klinis dengan adanya uveitis, gejala-gejalanya
sama dan berdampak pada penglihatan pasien.(2)

Morbiditas akibat uveitis terjadi karena terbentuknya sinekia posterior


sehingga menimbulkan peningkatan tekanan intra okuler dan gangguan pada
nervus optikus. Selain itu, dapat timbul katarak akibat penggunaan steroid.
Oleh karena itu, diperlukan penanganan uveitis yang meliputi anamnesis
yang komprehensif, pemeriksaan fisik dan oftalmologis yang menyeluruh,
pemeriksaan penunjang dan penanganan yang tepat.(6)

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Traktus Uvealis

Traktus uvealis terdiri dari iris, corpus cilliare, dan koroid. Bagian ini
merupakan lapisan vaskuler tengah mata dan dilindungi oleh sklera. Struktur
ini ikut mendarahi retina.(3)

Vaskularisasi uvea berasal dari arteri siliaris anterior dan posterior


yang berasal dari arteri oftalmika. Vaskularisasi iris dan badan siliaris
berasal dari sirkulus arteri mayoris iris yang terletak di badan siliaris yang
merupakan anastomosis arteri siliaris anterior dan arteri siliaris posterior
longus. Vaskularisasi koroid berasal dari arteri siliaris posterior longus dan
brevis.(7)

2.1.1 Iris

Iris adalah perpanjangan corpus cilliare ke anterior. Iris berupa


permukaan pipih dengan apertura bulat yang terletak di tengah, pupil.
Iris terletak bersambungan dengan permukaan anterior lensa,
memisahkan bilik mata depan dari bilik mata belakang, yang masing-
masing berisi aqueous humor. Didalam stroma iris terdapat sfingter
dan otot-otot dilator. Kedua lapisan berpigmen pekat pada permukaan
posterior iris merupakan perluasan neuroretina dan lapisan epitel
pigmen retina kearah anterior.(3)

Pendarahan iris didapat dari circulus major iris. Kapiler-kapiler


iris mempunyai lapisan endotel yang tak berlubang (nonfenestrated)
sehingga normalnya tidak membocorkan fluoresein yang disuntikkan
secara IV. Persarafan sensoris iris melalui serabut-serabut dalam nervi
cilliares.(3)

5
Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam
mata. Ukuran pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan
antara konstriksi akibat aktivitas parasimpatis yang dihantarkan
melalui nervus kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan oleh
aktivitas simpatis.(3)

Gambar 1. Bagian penampang mata(4)

Sumber:https://nei.nih.gov/health/uveitis/uveitis

2.1.2 Corpus Ciliare

Corpus ciliare yang secara kasar berbentuk segitiga pada


potongan melintang, membentang ke depan dari ujung anterior koroid
ke pangkal iris (sekitar 6 mm). corpus cilliare terdiri atas zona anterior
yang berombak-ombak, pars plicata (2 mm), dan zona posterior yang

6
datar, pars plana (4 mm). Processus ciliares berasal dari pars plicata.
Processus ciliare ini terutama terbentuk dari kapiler dan vena yang
bermuara ke vena-vena vorticosa. Kapiler-kapilernya besar dan
berlubang-lubang sehingga membocorkan fluoresein yang disuntikkan
secara intravena. (3)

Ada 2 lapisan epitel siliaris yaitu satu lapisan tanpa pigmen


disebelah dalam yang merupakan perluasan neuroretina ke anterior dan
satu lapisan berpigmen disebelah luar, yang merupakan perluasan
lapisan epitel pigmen retina. Procesus cilliares dan epitel siliaris
pembungkusnya berfungsi sebagai pembentuk aqueous humor.(3)

Muscullus cilliares tersusun dari gabungan serat-serat


longitudional, sirkular, dan radial. Fungsi serat-serat sirkular adalah
untuk mengerutkan dan relaksasi serat-serat zonula yang berorigo di
lembah-lembah di antara procesus cilliares. Otot ini mengubah
tegangan pada kapsul lensa sehingga lensa dapat mempunyai berbagai
focus baik untuk objek berjarak dekat maupun yang berjarak jauh
dalam lapangan pandang. Serat-serat longitudinal muscullus cilliaris
menyisip ke dalam anyaman trabekula untuk mempengaruhi besar
porinya.(3)

Pembuluh-pembuluh darah yang mendarahi corpus cilliaris


berasal dari circulus arteriosus major iris. Persarafan sensoris iris
melalui saraf-saraf siliaris.(3)

2.1.3 Koroid

Koroid adalah segmen posterior uvea, diantara retina dan sclera.


Koroid tersusun atas tiga lapis pembuluh darah koroid ; vesikuler
besar, sedang dan kecil. Semakin dalam pembuluh terletak di dalam
koroid, semakin lebar lumennya. Bagian dalam pembuluh darah koroid

7
dikenal sebagai koriokapilaris. Darah dari pembuluh koroid dialirkan
melalui empat vena vorticosa, satu di tiap kuadran posterior. Koroid di
sebelah dalam dibatasi oleh membran bruch dan disebelah luar oleh
sclera. Ruang suprakoroid terletak diantara koroid dan sclera. Koroid
melekat erat ke posterior pada tepi-tepi nervus opticus. Di sebelah
anterior koroid bergabung dengan corpus cilliares. Kumpulan
pembuluh darah koroid mendarahi bagian luar retina yang
menyokongnya.(3)

Gambar 2. Lapisan koroid(8)

Sumber: Riordan-Eva P. Anatomy & Embryology of the Eye In: Riordan-


Eva P, Whitcher JP, editors. General Ophthalmology 17th Ed. London:
McGraw Hill, 2007

8
2.2 Definisi Uveitis Anterior

Uveitis anterior merupakan radang iris dan badan siliar atau disebut
iridosiklitis. Uveitis sendiri adalah bentuk peradangan mata yang
mempengaruhi lapisan tengah jaringan di dinding mata (uvea). Uveitis sebagai
tanda bahaya karena seringkali datang secara tiba-tiba dan progresif, menjadi
lebih buruk dengan cepat. Kondisi uveitis ini dapat mempengaruhi satu atau
dua mata dan terutama mempengaruhi pada usai 20 tahun hingga 50 tahun
tetapi dapat juga mempengaruhi anak-anak. Uveitis bisa menjadi serius karena
menyebabkan kehilangan penglihatan yang permanen.(5)

2.3 Epidemiologi

Penderita umumnya berada pada usia 20-50 tahun. Setelah usia 70


tahun, angka kejadian uveitis mulai berkurang. Pada penderita berusia tua
umumnya uveitis diakibatkan oleh toksoplasmosis, herpes zoster, dan afakia.
Bentuk uveitis pada laki-laki umumnya oftalmia simpatika akibat tingginya
angka trauma tembus dan uveitis nongranulomatosa anterior akut. Sedangkan
pada wanita umumnya berupa uveitis anterior kronik idiopatik dan
toksoplasmosis.(9)

Sekitar 25% kebutaan di negara-negara berkembang disebabkan oleh


uveitis dan komplikasinya seperti katarak sekunder, glaucoma, edema macula
cystoids atau fotoreseptor retina atau kerusakan saraf optic. Di negara maju
sebaliknya kebutaan dari uveitis bervariasi dari 3% menjadi 10%. Di Eropa
kejadian tersebut diperkirakan antara 3% dan 7% dan di Amerika Serikat,
angka terbaru dari California mengungkapkan bahwa 10% kebutaan karena
uveitis. Perbedaan yang luar biasa dalam kejadian kebutaan antara negara
berkembang dan negara maju bisa disebabkan oleh perbedaan kondisi sosial
ekonomi atau akses keperawatan medis atau kesenjangan lain, perbedaan
etiologi yang mendasari, serta adanya infeksi terutama penyebab uveitis di
negara-negara berkembang, sedangkan uveitis idiopatik diyakini sebagai
proses kekebalan inflamasi organ spesifik adalah penyebab utama di negara-
negara maju.(1)

9
2.4 Etiologi
Berdasarkan spesifisitas penyebab:
 Penyebab spesifik infeksi
a. Uveitis tuberkulosis
Tuberkulosis dapat menyebabkan berbagai jenis uveitis, tetapi
memerlukan perhatian khusus bila terdapat keratic precipitate
granulomatosa atau granuloma koroid atau granuloma iris.
Granuloma-granuloma atau tuberkel, tersebut mengandung sel
epithelial dan sel raksasa. Nekrosis perkijuan yang khas ditemukan
pada pemeriksaan histopatologik. Walaupun infeksi berasal dari suatu
focus primer di suatu tempat di dalam tubuh, uveitis tuberkulosis
jarang ditemukan pada pasien-pasien tuberkulosis paru aktif. Temuan
yang khas pada pasien ini adanya mutton fat keratic precipitate, nodul
busacca dan posterior sinekia.(11)

b. Iridosiklitis heterokromik fuchs (Sindrom Uveitis Fuchs)


Iridosiklitis heterokromik fuchs adalah suatu kelainan yang
jarang, tidak sampai 5% dari semua kasus uveitis. Biasanya mengenai
dewasa muda, khususnya perempuan. Penyakit ini awalnya samar dan
muncul pada dekade ketiga atau keempat. Kemerahan, nyeri, dan
fotofobia hanya minimal. Pasien biasanya mengeluhkan penglihatan
kabur, yang disebabkan oleh katarak. Iris heterokromia, tampak jelas
pada cahaya alami, dapat tersembunyi dan sering kali paling jelas
terlihat di atas muskulus spinhcter pupil. Keratic precipitate pada
penyakit ini bentuknya stelata, kecil, dan tersebar di seluruh endotel.
Pada pemeriksaan akan idapatkan 1+ - 2+ sel flare. Pembuluh darah
teleangiektatik terlihat di sudut bilik mata pada gonioskopi. Sinekia
posterior jarang terjadi, tetapi bisa timbul pada beberapa pasien
pascaoperasi katarak. Suatu reaksi vitreus bisa ditemukan pada 10-
20% pasien. Hilangnya pigmen stroma cenderung menjadikan mata
yang berpigmentasi padat tampak hipokromik; sebaliknya, atrofi

10
stroma pada iris berpigmen-sedikit dapat menampakkan epitel
berpigmen di baliknya, di permukaan posterior iris, dan menyebabkan
hiperkromia paradoksikal. Secara patologis, iris dan korps silairis
menunjukkan atrofi sedang dengan depigmentasi berbentuk bercak
dan infiltrasi difus sel-sel plasma dan limfosit.
Akhirnya, katarak akan timbul pada sebagian besar pasien;
glaukoma lebih jarang, tetapi bisa terjadi pada 10-15% kasus.
Prognosisnya baik.(11)

c. Sarkoidosis
Sarkoidosis adalah penyakit granulomatosa kronik yang belum
diketahui penyebabnya; biasanya terjadi pada decade keempat atau
kelima kehidupan. Kelainan paru ditemukan pada lebih dari 90%
pasien. Nyatanya, hamper seluruh system organ tubuh dapat terlibat,
termasuk kulit, tulang, hati, limpa, system saraf pusat, dan mata.
Reaksi jaringan yang terjadi jauh lebih ringan daripada uveitis
tuberkulosis dan jarang disertai perkijaun. Rekasi alergi pada uji kulit
menukung diagnosis sarkoidosis. Bila kelenjar parotis terkena,
penyakit ini disebut demam uveoparotis (Heerfordt), bila kelenjar
lakrimal terkena disebut sindrom Mikulicz.
Uveitis terjadi pada sekitar 25% pasien sarkoidosis sistemik.
Sama halnya dengan tuberkulosis, setiap jenis uveitis bisa ditemukan,
tetapi sarkoid memerlukan perhatian khusus bila uveitisnya
granulomatosa atau terdapat flebitis retina, terutama pada pasien-
pasien ras kulit hitam.(11)

d. Toksoplasmosis okular
Toksoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma gondii, suatu
protozoa intrasel obligat. Lesi ocular mungkin didapat in utero atau
muncul sesudah infeksi sistemik. Gejala-gejala konstitusional
mungkin ringan dan mudah terlewatkan. Kucing peliharaan dan

11
spesies kucing lainnya berperan sebagai hospes definitive parasite ini.
Wanita-rentan yang terkena selama kehamilan dapat menularkan
penyakit ke janinnya, yang bisa berakibat fatal. Sumber infeksi pada
manusia adalah ookista di tanah atau debu di udara, daging kurang
matang yang mengadnugn bradiozit (parasite bentuk kista), dan
takizoit (bentuk proliferative) yang ditularkan melalui plasenta.
Pasien retinokoroiditis mengeluhkan floaters dan penglihatan kabur.
Pada kasus-kasus yang berat, dapat pula disertai nyeri dan fotofobia.
Lesi okularnya terdiri atas sejumlah daerah putih halus
retinokoroiditis nekrotik fokal yang bisa kecil atau besar, tungga atau
multiple. Lesi edema yang aktif sering didapatkan bersebelahan
dengan parut retina yang telah sembuh. Pada retina dapat terjadi
vaskulitis dan perdarahan. Edema macula kistoid bisa menyertai lesi
pada macula atau didekatnya. Iridosiklitis sering terlihat pada pasien-
pasien dengan infeksi berat dan tekanan intraokularnya bisa
meningkat.(11)

e. Sifilis
Sifilis merupakan penyebab uveitis yang jrang, tetapi dapat
disembuhkan. Peradangan intraocular hampir seluruhnya terjadi pada
infeksi stadium kedua dan ketiga, dan semua jenis uveits bisa terjadi.
Retinitis atau neuritis optic sering menyertai. Atrofi luas dan
hyperplasia epitel pigmen retina dapat terjadi pada stadium lanjut jika
peradangan dibiarkan tanpa diobati.(11)

f. Herpes virus
Uveitis yang disebabkan oleh virus herpes, biasanya
penyebabnya ada dua yaitu virus herpes simpleks dan virus varicella
zoster. Biasanya untuk mengetahui penyebab pasti di antara kedua
virus tersebut agak sulit. Namun biasanya virus herpes simpleks

12
mengenai anak-anak dan dewasa muda, sedangkan virus varicella
zoster mengenai orang lanjut usia atau orang yang
immunocompromised. Selain itu, virus herpes simpleks menimbulkan
vesikel-vesikel bergerombol di kulit penderita dan terdapat edema,
sedangkan vesikel yang ditimbulkan oleh virus varicella zoster
terpisah-pisah. Manifestasi klinis yang timbul biasanya hanya pada
satu mata (unilateral), penglihatan kabur, mata sakit dan merah,
fotofobia. Pada pemeriksaan akan didapatkan hipopion, hifema,
tekanan intraocular meningkat, iris atrofi sektoral, edema kornea.(3,11)

g. Reiter Syndrome
Biasanya mengenai dewasa muda laki-laki, di antara umur 15-
25 tahun. Trias dari penyakit ini adalah artritis, urethritis, dan
konjungtivitis. Pada pemeriksaan mata akan didapatkan mukopurulen
konjungtivitis, subepitelial keratitis.(3,11)

Gambar 3. Ulkus oral pada penyakit Sindrom Reiters(11)


Sumber : Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current
approach in diagnosis and management of anterior uveitis. Indian J
OPhtalmol.2010 Jan-Feb; 58(1):11-19

13
h. HLA-B27 Associated Uveitis
HLA-B27 mengacu pada spesifik genotype atau kromosom.
Mekanisme pencetus untuk uveitis anterior pada pasien dengan
genotype seperti ini tidak diketahui. Ada hubungan yang kuat dengan
ankylosing spondylitis, sindrom Reiter, Inflammatory bowel disease,
psoriasis, arthritis, dan uveitis anterior yang berulang.Sebanyak 50%
pasien spondylitis ankilosa akan mengalami uveitis anterior. Pasien
pria jumlahnya jauh lebih banyak. Uveitisnya bervariasi mulai dari
yang ringan hingga berat dan sering meninmbulkan nyeri, fotofobia
serta penglihatan kabur. Injeksi limbus umum ditemukan. Keratic
precipitate biasanya ada, tetapi bukan granulomatosa, noduli iris tidak
ada. Sinekia posterior, sinekia anterior perifer, katarak dan glaukoma
adalah komplikasi-komplikasi yang sering dijumpai pada peradangan
berat yang rekuren atau yang tidak terkontrol. Edema macula jarang
ada, tetapi bisa terjadi pada peradangan berat dan dapat mengenai
vitreus. Kekambuhan sering ditemukan dan dapat timbul pada mata
manapun; namun, kedua mata jarang terkena pada waktu bersamaan.
Di antara pasien-pasien uveitis anterior dengan HLA-B27 positif
tersebut, sekitar setengahnya akan mengalami komplikasi nonokular-
yang tersering adalah spondylitis ankilosa, tetapi bisa juga psoriatic
arthritis, penyakit Reiter, dan Inflammatory Bowel Disease.(3,11)

i. AIDS
Uveitis sering ditemukan pada pasien terinfeksi human
immunodeficiency virus (HIV) khususnya pada stadium penyakit
lanjut saat AIDS timbul. Jumlah limfosit T CD4 merupakan predictor
yang baik untuk risiko infeksi oprtunistik yang kebanyakan terjadi
pada jumlah kurang dari 100 sel/L. Uveitis paling sering terjadi pada
infeksi di segmen posterior mata. Retinitis sitomegalovirus-retinitis

14
geografik yang sering disertai perdarahan, mengenai 30-40% pasien
HIV-positif pada suatu waktu selama perjalanan penyakitnya sebelum
dimulainya terapi antiretroviral kombinasi. Virus herpes lain, seperti
aricella-zoster dan herpes simpleks juga bisa menimbulkan retinitis
yang tampilannya sangat mirip, tetapi biasanya dapat dibedakan
karena progresifitasnya yang sangat cepat. Organisme lain, misalnya t
gondii, Treponema pallidum, Cryptococcus neoformans,
mycobacterium tuberculosis, dan Mycobacterium avium-
intracellulare menginfeksi kurang dari 5% pasien HIV-positif;
namun, tetap harus dipertimbangkan, terutama bila terdapat riwayat
terinfeksi atau terpajan, ada koroiditis, atau bila retinitisnya tidak khas
ata tidak berespons terhadap terapi antiviral. Limfoma intraocular
terjadi pada kurang dari 1% pasien hiv-positif, tetapi harus dipikirkan
pada retinitis yang tidak khas atau tidak responsive dengan terapi
antiviral, khususnya bila ditemukan gejala-gejala neurologis.(3,11)

j. Histoplasmosis
Di beberapa derah di Amerika serikat yang endemis
histoplasmosis (derah ohio dan lembah sungai Mississipi) sering
didapatkan diagnosis koroiditis yang diduga disebabkan oleh
histoplasmosis. Lesi di macula bisa menimbulkan neovaskularisasi
subretina, suatu komplikasi yang harus diwaspadai pada setiap pasien
dengan dugaan histoplasmosis ocular yang mengalami penurunan
penglihatan atau disertai tanda-tanda adanya cairan atau perdarahan
subretina.(3,11)

k. Toksokariasis okular
Toksokariasis terjadi akibat infeksi Toxocara cati (parasite di
usus kucing) atau toxocara canis (parasite di usus anjing). Larva
migrane visceral adalah infeksi sistemik diseminata pada anak kecil.
Larva migrans visceral jarang mengenai mata. Toksokariasis ocular

15
dapat terjadi tanpa manifestasi sistemik. Anak-anak bisa terkena
penyakit ini karena berhubungan erat dengan binatang peliharaan
dank arena memakan tanah (pica) yang terkontaminasi dengan ovum
Toxocara. Telur yang termakan akan membentuk larva yang
menembus mukosa usus dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik dan
akhirnya sampai di mata. Parasit ini tidak menginfeksi saluran cerna
manusia
Penyakit ini biasanya unilateral. Larva Toxocara tinggal di
retina dan mati, menimbulkan reaksi radang hebat dan pembentukan
antibody toxocara setempat. Umumnya anak-anak dibawa ke dokter
mata karena mata merah, penglihatan kabur, pupil keputihan
(leukokoria).
Terdapat tiga gambaran klinis (1) granuloma posterior
setempat, biasanya di dekat caput nervi optici atau fovea; (2)
granuloma perifer yang mengenai pars plana, sering kali
menimbulkan massa yang menonjol yang menyerupai gundukan salju
uveitis intermediet, (3) endoftlmitis kronik.(3,11)

l. Behcet’s diseases/syndrome
Sebagian besar menyerang laki-laki dewasa muda dari bangsa
mediterania atau jepang. Penyakit behcet yang menyebabkan uveitis
anterior akut adalah sangat langka. Penyebab diduga suatu proses
imunologik tetapi virus sebagai penyebab tidak dapat disngkirkan.
Walaupun memiliki banyak gamabaran penyakit hipersensitivitas tipe
lambat, adanya perubahan mecolok kadar komplemen serum pada
permulaan serangan mengisyaratkan suatu gangguan kompleks imun.
Baru-baru ini pada pasien Behcet dapat dideteksi adanya kompleks
imun berkadar tinggi dalam darah. Sebagian besar pasien dengan
gejala mata positif untuk HLA-B51, suatu subtype HLA-B5.

16
Ditandai 4 kelainan yaitu:
 Uveitis (iridosiklitis, retinitis, retinokoriditis). Pada
dasarnya didapatkan peri arteritis dan end arteritis yang
menyebabkan vaskulitis obliteratif sehingga dpaat terjadi
iskemi retina, perdarahan retina, serta ablasi. Bila terdapa
hipopion maka hal ini merupakan gejala yang lebih lanjut.
 Kelainan pada rongga mulut berupa stomatitis aftosa yang
dapat mengenai bibir, lidah, mukosa bukal, palatum durum,
serta palatum molle.
 Kelainan kulit berupa eritema nodusum, folikulitis serta
hipersensitivitas kulit. Kelainan genital berupa ulserasi
pada alat genital pria atau wanita. Pengobatan sering berupa
pemberian imunosupresan multiple (missal: steroid,
siklosporin, dan azatioprin), walaupun demikian hasil akhir
penglihatan tetap buruk pada 25% kasus.(3,11)

m. Leptospirosis
Uveitis terjadi pada 10% pasien yang terinfeksi spirochaeta
leptospira. Manusia adalah pejamu aksidental, yan paling sering
terinfeksi akibat berkontak dengan atau menelan air yang terinfeksi.
Binatang liar dan peliharaan-pengerat, anjing, babi, dan sapi adalah
pejamu alam dan mengeluarkan sejumlah besar organisme infeksius
melalui urinenya. Petani, dokter hewan, dan orang-orang yang bekerja
atau berenang di air yang berasal dari daerah pertanian memiliki
risiko yang tinggi untuk terkena penyakit ini. Gejala-gejala
konstitusional yang sering timbul adalah demam, malaise, dan sakit
kepala. Pda pasien-pasien yang tidak diobati, insiden gagal ginjal dan
kematian dapat mencapai 30%. Uveitis bisa timbul dalam bentuk
apapun tetapi khasnya difus dan sering disertai hipopion serta
vaskulitis retina. Organisme hidup hanya dapat dibiakkan pada awal
infeksi.(3,11)

17
n. Onkosersiasis
Onkosersiasis disebabkan oleh Onchocerca volvulus. Penyakit
ini diderita sekitar 15 juta orang di Afrika dan amerika Tengah dan
merupakan penyebab utama kebutaan. Onkosersiasis ditularkan
oleh Simulim damnosum, lalat hitam yang berkembang biak di
daerah-daerah berarus deras sehingga terdapat istilah “buta
sungai”. Mikrofilaria yang dibawa lalat dari kulit, berkembang
menjadi larva dan menjadi cacing dewasa dalam 1 tahun. Parasit
dwasa membentuk nodul-nodul kulit dengan diameter 5-25 mm di
badan, paha, lengan, kepala an bahu. Mikrofilaria menyebabkan
rasa gatal, dan penyembuhan lesi kulit dapat menimbulkan
hilangnya elastisitas kulit serta depigmentasi kulit.
Kornea menampakkan keratitis numularis dan keratitis
sclerosis. Mikrofilaria yang berenang aktif di bilik mata depan
tmpak seperti benang-benang perak. Mikrofilaria yag mati
menimbulkan reaksi radang hebat seperti uveitis, vitritis, dan
retinitis yang berat. Mungkin terlihat retinokoroiditis folk. Atrofi
optic dapat terjadi sekunder akibat glaukoma.(3,11)

o. Sistiserkosis
Sistiserkosis adalah penyebab umum morbiditas ocular berat.
Penyakit ini endemic di Meksiko dan Negara-negara Amerika Tengah
dan Selatan lainnya; mata ikut tekena pada sepertiga pasien. Penyakit
ini ditimbulkan akibat termakannya telur Taenia solium atau oleh
peristalsis terbalik pada asus obstruksi usus karena cacing pita
dewasa. Telur menjadi matang dan embrio menembus mukosa usus,
masuk ke dalam sirkulasi. Larvanya merupakan cacing pita ersering
yang memasuki mata manusia.
Larva bisa mencapai ruang subretina, menimbulkan retinitis
akut dengan edema retina dan eksudat subretina ata ke rongga
vitreus, tempat solex yang tertanam membentuk sebuah kista

18
translusen dengan bintik putih padat. Larvanya dapat hidup dalam
mata sampai 2 tahun. Larva yang mati di dalam mata akan
menimbulkan reaksi peradangan hebat. Pergerakan larva dalam
jaringan ocular dapat merangsang erjadinya reaksi radang kronik
dan fibrosis. Sejumlah kecil kasus, mungkin terlihat latva di bilik
mata depan.(3,11)

Penyebab non spesifik atau reaksi hipersensitivitas


 Juvenille Rheumatoid Arthritis
Anterior uveitis terjadi pada penderita JRA yang mengenai
beberapa persendian. Sekitar 20% anak penderita arthritis idiopatik
juvenillis (JIA) disertai dengan iridosiklitis non-granulomatosa
bilateral kronik. JRA lebih banyak mengenai anak perempuan 4-5
kali lebih sering dibanding anak lelaki. Uveitis pada JIA biasanya
terdeteksi pada usia 5-6 tahun setelah timbulnya katarak
(leukokoria), perbedaan warna kedua mata (heterokromia),
perbedaan ukuran atau bentuk pupil (anisokor), atau gangguan
penjajaran mata (strabismus). Kelainan-kelainan ini sering kali
baru ditemukan pada uji penyaringan penglihatan di sekolah. Tidak
ada korelasi antara onset arthritis dan uveitis; uveitis dapat muncul
lebih dulu hingga 10 tahun sebelum arthritis. Lutut adalah sendi
yang paling sering terkena. Tanda utama penyakit ini adalah sel
dan flare dalam bilik mata depan, keratic precipitate putih
berukuran kecil sampai sedang dengan atau tanpa bintik-bintik
fibrin pada endotel, sinekia posterior-yang sering menimbulkan
seclusion pupil, dan katarak. Keratopati pita, glaukoma sekunder,
edema macula kistoid juga bisa ditemukan dan menimbulkan
penurunan penglihatan. Merupakan suatu anjuran pada semua anak
yang menderita JRA untuk diperiksa kemungkinan terdapatnya
uveitis anterior.(3,11)

19
Gambar 4 : Deformitas sendi pada RA(11)

Sumber :Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current approach in


diagnosis and management of anterior uveitis. Indian J OPhtalmol.2010 Jan-Feb;
58(1):11-19

 Uveitis Terinduksi Lensa


Uveitis terinduksi lensa (uveitis fakogenik) adalah suatu
penyakit autoimun terhadap antigen lensa. Hingga kini belum ada
data yang mendukung bahwa materi lensa itu sendirilah yang
toksik. Jadi, istilah uveitis fakotoksik sebaiknya dihindari. Kasus
klasik terjadi bila lensa mengalami katarak hipermatur; kapsul
lensa bocor dan materi lensa masuk ke bilik mata depan dan
belakang. Materi ini menimbulkan reaksi radang yang ditandai
dengan pengumpulan sel plasma, fagosit mononukear dan sedikit
sel polimorfonuklear. Gejala khas uveitis anterior, seperti nyeri,
fotofobia, dan penglihatan kabur sering ditemukan. Uveitis
teinduksi lensa dapat pula terjadi paska trauma pada lensa atau
paskaoperasi katarak dengan sisa materi lensa yang tertinggal.

20
Glaukma fakolitik adalah kompliksi umum pada uveitis terinduksi
lensa.(3,11)

 Oftalmia simpatika
Oftalmia simpatika adalah uveitis granulomatosa bilateral
yang jarang, tetapi menghancurkan, timbul 10 hari sampai
beberapa tahun setelah trauma tembus mata. Sembilan puluh
persen kasus terjadi dalam 1 tahun setelah trauma. Penyebabnya
tidak diketahui, tetapi penyakit ini agaknya berkaitan dengan
hipersensitivitas terhadap beberapa unsur dari sel-sel berpigmen di
uvea. Kondisi ini sangat jarang terjadi setelah bedah intraocular
yang tanpa komplikasi dan bahkan lebih jarang lagi
pascaendoftalmitis.
Mata yang cedera mula-mula meradang dan mata
sebelahnya (mata simpatik) meradang kemudian. Pasien biasanya
mengeluhkan fotofobia, kemerahan dan penglihatan kabur; namun,
adanya floaters bisa juga menjadi keluhan di awal. Uveitis
umumnya difus. Eksudat halus putih-kekuningan di lapisan dalam
retina (nodul dalen-Fuchs) kadang-kadang tampak di segmen
posterior. Juga ditemukan adanya ablasio retina serosa.(3,11)

 Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada
Terdiri dari peradangan uvea pada satu atau kdua mata yang
ditandai oleh iridosiklitis akut, koroiditis bercak dan pelepasan
serosa retina. Penyakit ini biasanya diawali oleh suatu episode
demam akut disertai nyeri kepala dan kadang-kadang vertigo.
Pada beberapa bulan pertama penyakit dilaporkan terjadi
kerusakan rambut atau timbul uban. Walaupun iridosiklitis awal
mungkin membaik dengan cepat, perjalanan penyakit di bagian
posterior sering indolen dengan efek jangka anjang berupa
pelepasan serosa retina dan gangguan penglihatan. Pada sindrom

21
Vogt-Koyanagi-Harada diperkiraka terjadi hipersensitivitas tipe
lambat terhadap struktur-struktu yang mengandung melanin. Tetapi
virus sebagai penyebab belum dapat disingkirkan. Diperkirakan
bahwa suatu gangguan atau cedera, infeksi atau yang lain,
menubah struktur berpigmen di mata, kulit, dan rambut sedemikian
rupa sehingga tercetus hipersensitivtas tipe lamabat terhadap
struktur-struktur tersebut. Barubaru ini diperlihatkan adanya bahan
larut dari segmen luar lapisan fotoreseptor retina (antigen-s retina)
yang mungkin menjadi autoantigennya. Pasien sindrom Vogt-
Koyanagi-Harada biasanya adalah orang-orang oriental yang
mengisyaratkan adanya disposisi imunogenetik.(3,11)

2.5 Klasifikasi
2.5.1 Berdasarkan asalnya
o Eksogen
 Traumatik uveitis
Trauma merupakan salah satu penyebab uveitis anterior,
biasanya terdapat riwayat trauma tumpul mata atau adneksa mata.
Luka lain seperti luka bakar pada mata, benda asing, atau abrasi
kornea dapat menyebabkan terjadinya uveitis anterior. Visual
aquity dan tekanan intraocular mungkin terpengaruh dan mungkin
juga terdapat darah pada anterior chamber.(3,11)

• Uveitis terinduksi IOL


Hal ini mungkin disebabkan karena adanya iritasi pada iris
karena terdapatnya manipulasi berlebihan saat operasi katarak.
Tetapi hal ini juga bisa disebabkan karena adanya reaksi
hipersensitivitas terhadap IOL sehingga sel-sel radang menyerang
IOL dan akhirnya berkumpullah sel radang dan menyebabkan
uveitis.(3,11)

22
o Endogen
• Idiopathic Anterior Uveitis
Istilah idiopatik dipergunakan pada uveitis anterior dengan
etiologi yang tidak diketahui apakah merupakan kelainan sistemik
atau traumatic. Diagnosis ini ditegakkan sesudah menyingkirkan
penyebab lain dengan anamnesis dan pemeriksaan. (3,11)

 Masquerade Syndrome

Merupakan keadaan yang mengancam seperti limfoma,


leukemia, retinoblastoma dan melanoma malignant dari koroid,
dapat menimbulkan uveitis anterior.(3,11)

2.5.2 Berdasarkan perjalanan penyakitnya


 Akut: Apabila serangan timbulnya mendadak, sembuh dalam
waktu kurang dari 3 bulan dan penderita sembuh sempurna di
luar serangan itu(1,2)
 Residif: Apabila terjadi serangan berulang disertai dengan
penyembuhan yang sempurna di antara serangan-serangan
tersebut. Biasanya penyembuhan sudah berlangsung tiga bulan
atau lebih(3,11)
 Kronis: Apabila terjadi serangan berulang tanpa pernah sembuh
di antara serangan tersebut dan biasanya menetap. (3,11)

2.5.3 Berdasarkan reaksi radang yang terjadi

Non granulomatosa: Diduga akibat alergi, karena tak pernah ditemukan


kumannya dan sembuh dengan pemberian kortikosteroid. Timbulnya sangat
akut. Reaksi vaskuler lebih hebat dari reaksi seluler sehingga injeksinya hebat.
Di iris tak tampak nodul. Sinekia posterior halus-halus oleh karena hanya
sedikit megandung sel. Cairan COA mengandung lebih banyak

23
fibrin daripada sel. Badan kaca tak bayak kekeruhan. Rasa sakit lebih hebat,
fotofobia dan bisus juga banyak terganggu. Pada stadium akut karena banyak
mengandung fibrin dapat terbentuk hipopion. Lebih banyak mengenai uvea
anterior. Patologi anatomis: di iris dan badan siliar didapatkan sel plasma dan
sel- sel mononuclear(3,11)
Granulomatosa: Terjadi karena invasi mikrobakteri yang patogen ke jaringan
uvea, meskipun kumannya sering tidak ditemukan sehingga diagnose
ditegakkan berdasarkan keadaan klinis saja. Timbulnya tidak akut. Reaksi
seluler lebih hebat daripada reaksi vaskuler. Karenanya injeksi siliar tidak
hebat. Iris bengkak, menebal, gambaran bergarisnya kabur. Di permukaannya
terdapat nodul busacca. Di pinggir pupil juga didapat nodul Koepe. Keratic
presipitat besar-besar, kelabu dan disebut mutton fat deposit. Coa keruh seperti
awan, lebih banyak sel daripada fibrin. Badan kaca keruh. Rasa sakit sedang,
fotofobia sedikit. Visus terganggu hebat oleh karena media yang dialui cahaya
banyak terganggu. Keadaan ini terutama mengenai uvea posterior. Patologis
anatomis nodul, terdiri dari sel raksasa, sel epiteloid dan limfosit.(11)

24
Non Granulomatosa
granulomatosa
Onset Akut Tersembunyi
Nyeri Nyata Tidak ada atau
ringan
Fotofobia Nyata Ringan
Penglihatan kabur Sedang Nyata
Merah Nyata Ringan
sirkumkorneal
Keratic Putih halus Kelabu besar
precipitates (mutton fat)
Pupil Kecil dan tak Kecil dan tak
teratur teratur (bervariasi)
Sinekia Posterior Kadang-kadang Kadang-kadang
Noduli iris Tidak ada Kadang-kadang
Lokasi Uvea anterior Uvea anterior,
posterior atau difus
Perjalanan Akut Kronik
penyakit
Kekambuhan Sering Kadang-kadang

2.5.4 Klasifikasi berdasarkan anatomis


o Uveitis anterior
a. Iritis: peradangan terbatas pada iris
b. Iridosklitis: peradangan pada iris dan badan siliar
o Uveitis intermediet: Uveitis intermediet disebut juga
siklitis, uveitis perifer atau pars planitis, adalah jenis
peradanan intraocular terbanyak kedua. Tanda uveitis

25
intermediet yang terpenting adanya peradangan korpus
siliaris pars plana, retina perifer dan vitreus.
o Uveitis posterior: Termasuk di dalam uveitis posterior
adalah retinitis, koroiditis, vaskulitis retina, dan papilitis,
yang bisa terjadi sendiri-sendiri atau bersamaan
o Panuveitis: inflamasi pada seluruh uvea(11)

2.6 Faktor Risiko


 Toksoplasmosis pada hewan peliharaan
 Riwayat penyakit autoimun
 Perokok

Berdasarkan penelitian dari University California San Francisco


menyatakan bahwa di dalam rokok ditemukan senyawa-senyawa tertentu
yang ditemukan dalam bagian air yang larut dalam asap rokok meliputi
oksigen radikal bebas, yang dapat menyebabkan peradangan pembuluh darah.
Mengingat bahwa uveitis adalah hasil dari kekebalan dysregulation, maka
masuk akal bahwa rokok dapat berkontribusi pada pathogenesis uveitis.

 Radang sendi
 Sarkoidosis
 HIV
 Ankylosing spondylitis
 Penyakit radang usus.

Uveitis dapat terjadi pada anak-anak dan orang dewasa. Orang-orang,


yang mengembangkan uveitis dan ankylosing spondylitis sering memiliki
gen tertentu yaitu HLA-B27.

26
2.7 Patofisiologi

Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh efek


langsung suatu infeksi atau merupakan fenomena alergi. Bentuk uveitis
paling sering terjadi adalah uveitis anterior akut (iritis), umumnya unilateral
dan ditandai dengan adanya riwayat sakit, fotophobia, penglihatan kabur,
mata merah, dan pupil kecil serta ireguler. Penyakit peradangan traktus
uvealis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada orang dewasa dan usia
pertengahan. Pada kebanyakan kasus penyebabnya tidak diketahui.
Berdasarkan patologi dapat dibedakan dua jenis besar uveitis: yang non-
granulomatosa (lebih umum) dan granulomatosa. Uveitis non-granulomatosa
terutama timbul di bagian anterior traktus ini, yaitu iris dan korpus siliaris.
Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrat sel-sel limfosit dan sel
(3)
plasma dengan jumlah cukup banyak dan sedikit mononuklear. Uveitis
yang berhubungan dengan mekanisme alergi merupakan reaksi
hipersensitivitas terhadap antigen dari luar (antigen eksogen) atau antigen
dari dalam (antigen endogen).

Badan siliar berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata (humor


aqueus) yang memberi makanan kepada lensa dan kornea.(10) Radang iris dan
badan siliar menyebabkan rusaknya blood aqueous barrier sehingga terjadi
peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor akuos. Pada
pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai flare, yaitu
partikel-partikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndall). Dengan adanya
peradangan di iris dan badan siliar, maka timbullah hiperemi yang aktif,
pembuluh darah melebar, pembentukan cairan bertambah, sehingga dapat
menyebabkan glaukoma sekunder. Selain oleh cairan bilik mata, dinding
pembuluh darah dapat juga dilalui oleh sel darah putih, sel darah merah, dan
eksudat yang akan mengakibatkan tekanan osmose cairan bilik mata
bertambah dan dapat mengakibatkan glaukoma.

27
Cairan dengan lain-lainya ini, dari bilik mata belakang melalui celah
antar lensa iris, dan pupil ke kamera okuli anterior. Di kamera okuli anterior,
oleh karena iris banyak mengandung pembuluh darah, maka suhunya
meningkat dan berat jenis cairan berkurang, sehingga cairan akan bergerak ke
atas. Di daerah kornea karena tidak mengandung pembuluh darah, suhu
menurun dan berat jenis cairan bertambah, sehingga di sini cairan akan
bergerak ke bawah. Sambil turun sel-sel radang dan fibrin dapat melekat pada
endotel kornea, membentuk keratik presipitat yang dari depan tampak
sebagai segitiga dengan endapan yang makin ke bawah semakin besar. Di
sudut kamera okuli anterior cairan melalui trabekula masuk ke dalam kanalis
Schlemn untuk menuju ke pembuluh darah episklera. Bila keluar masuknya
cairan ini masih seimbang maka tekanan mata akan berada pada batas normal
15-20 mmHg. Sel radang dan fibrin dapat pula menyumbat sudut kamera
okuli anterior, sehingga alirannya terhambat dan terjadilah glaukoma
sekunder. Glaukoma juga bisa terjadi akibat trabekula yang meradang atau
sakit.(10)

Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan


sel-sel radang didalam bilik mata depan (BMD) yang disebut hipopion,
ataupun migrasi eritrosit ke dalam BMD dikenal dengan hifema. Akumulasi
sel-sel radang dapat juga terjadi pada perifer pupil yang disebut Koeppe
nodules, bila dipermukaan iris disebut Busacca nodules.(3)

Sel-sel radang, fibrin, dan fibroblast dapat menimbulkan perlekatan


antara iris dengan kapsul lensa bagian anterior yang disebut sinekia posterior,
ataupun antara iris dengan endotel kornea yang disebut dengan sinekia
anterior. Pada kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion
di kamera okuli anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada bagian tepi pupil,
yang disebut seklusio pupil. Perlekatan-perlekatan tersebut, ditambah dengan
tertutupnya trabekular oleh sel-sel radang, akan menghambat aliran akuos
humor dari bilik mata belakang ke bilik mata depan sehingga akuos humor
tertumpuk di bilik mata belakang dan akan mendorong iris ke depan yang

28
tampak sebagai iris bombe dan menyebabkan sudut kamera okuli anterior
menyempit, dan timbullah glaukoma sekunder. Perlekatan-perlekatan iris
pada lens menyebabkan bentuk pupil tidak teratur.

Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel radang yang menyebabkan organisasi
jaringan dan terjadi oklusi pupil. Peradangan badan siliar dapat pula
menyebabkan kekeruhan pada badan kaca, yang tampak seperti kekeruhan
karena debu. Dengan adanya peradangan ini maka metabolisme pada lensa
terganggu dan dapat mengakibatkan katarak. Pada kasus yang sudah lanjut,
kekeruhan badan kaca pun dapat mengakibtakan organisasi jaringan yang
tampak sebagai membrana yang terdiri dari jaringan ikat dengan
neurovaskularisasi dari retina yang disebut retinitis proloferans. Pada kasus
yang lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan ablasi retina.

29
2.8 Temuan Klinis

Klasifikasi uveitis yang digunakan secara luas adalah klasifikasi


menurut Standardization of Uveitis Nomenclature (SUN) Working Group.
Dalam klasifikasi ini uveitis dibagi menurut lokasi proses peradangan
jaringan uvea, yaitu uveitis anterior, uveitis intermediet, uveitis posterior dan
panuveitis. Istilah panuveitis digunakan pada proses inflamasi yang terjadi
pada segmen anterior, vitreus, retina dan koroid.

 Uveitis anterior

Uveitis anterior dapat berupa gejala yang akut, kronis atau rekuren.
Uveitis anterior umumnya inflamasi intraokuler dan umumnya adalah
unilateral dengan nyeri atau photophobia, kemerahan pada circumlimbal
dan adanya sel dan flare pada bagian anterior serta dengan onset akut.(11)

Gambar 5 . Gambaran cells dan flare pada slit lamp 3x1 mm

Sumber :Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current approach in


diagnosis and management of anterior uveitis. Indian J OPhtalmol.2010 Jan-Feb;
58(1):11-19

30
Pasien dengan uveitis anterior biasanya mengeluh sakit, mata
merah, penglihatan kabur, dan fotofobia, mata berair. Sebagian besar
pasien akan terjadi serangan yang berulang dan akan pergi berobat
berulang ke beberapa dokter mata akan digunakan obat topikal/sistemik.
Penglihatan yang kabur dimana menjadi gejala yang umum, penyebabnya
adalah kekeruhan dari aliran aqueous. Photophobia umumnya dikarenakan
spasme otot siliar, infiltrasi di ruang anterior seluler, edema epitel kornea
dan keterlibatan otot pupil dapat juga berkontribusi. Derajat nyerinya
bervariasi terlihat pada uveitis anterior dapat dikaitkan pada spasme otot
siliar. Hal ini biasanya sakitnya seperti berdenyut atau dirasakan nyeri.
Nyeri yang sangat parah dikaitkan dengan peningkatan tekanan
intraokuler. Umumnya tanda-tanda klinis pasien dengan uveitis anterior
adalah derajat dari edema korneanya. Kongesti sirkumkorneal dapat dilihat
karena pelebaran dari pembuluh darah di episklera pada daerah badan
siliar. Keratic prespitat (KPs) adalah deposit seluler pada endothelium
kornea.(11)

Gambar 6. Gambaran keratic presipitat

Sumber :Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current approach in


diagnosis and management of anterior uveitis. Indian J OPhtalmol.2010 Jan-Feb;
58(1):11-19

31
KPs yang halus dianggap menjadi jenis peradangan non-
granulomatosa sedangkan yang besar dan mutton fat adalah termasuk jenis
inflamasi granulomatous. Keratic presipitat yang berpigmen atau berwarna
merujuk pada terjadinya uveitis anterior yang sebelumnya. Secara
mikroskopis, KPs adalah akumulasi sel-sel lymphoplasmacytic, dengan
sel-sel epiteloid yang terlihat sebagai tambahan pada KPs granulomatous.
Keratic precipitate granulomatosa atau non-granulomatosa biasanya
terdapat disebelah inferior, di daerah berbentuk baji yang dikenal sebagai
segitiga Arlt. Sebaliknya keratic precipitate stelata biasanya tersebar rata
di seluruh endotel kornea dan dapat dilihat pada uveitis akibat virus herpes
simpleks, herpes zoster, toksoplasmosis, iridosiklitis heterokromk Fuch,
dan sarkoidosis. Keratic precipitate mungkin juga ditemukan terlokalisasi
pada daerah-daerah keratitis aktif atau pra-keratitis, terutama akibat infeksi
herpes virus. Nodul-nodul iris dapat terlihat pada tepi iris (noduli Koeppe),
di dalam stroma iris (noduli Busacca), atau pada sudut bilik mata depan
(noduli Berlin). (11)

32
Gambar 7 . Gambaran Nodul Koeppe dan Nodul Busacca

Gambaran penyakit granulomatosa, seperti mutton fat keratic precipitates


atau noduli iris pada uveitis, dapat mengindikasikan adanya penyebab infeksius
atau salah satu dari sejumlah kecil penyebab non infeksius, seperti sarkoidosis,
penyakit Vogt-Koyanagi-Harada, oftalmia simpatika, atau uveitis terinduksi lensa.
Sel-sel aqueous dan β disebabkan oleh infiltrasi seluler dan eksudasi protein ke
dalam segmen anterior. Adanya sel aqueous secara dini dinyatakan inflamasinya
lagi aktif. Penembusan dari aqueous dikarenakan tingkat albumin yang tinggi
yang disebut aqueous flare. Pupil kemungkinan kecil (miosis) atau ireguler karena
terdapat sinekia posterior. Peradangan yang terbatas pada bilik mata depan disebut
iritis, peradangan pada bilik mata depan dan vitreus anterior sering disebut
sebagai iridosiklitis. Sensasi kornea dan tekanan intraokuler harus diperiksa pada
setiap pasien uveitis. Penurunan terjadi pada infeksi herpes simpleks atau herpes
zoster atau lepra., sedangkan peningkatan tekanan intraokuler bisa terjadi pada
iridosiklitis, herpes simpleks, herpes zoster, toksoplasmosis, sifilis, sarkoidosis
atau bentuk iridosiklitis lain yang jarang, yang disebut krisis glaukomatosiklitik –
juga

33
dikenal sebagai sindrom Posner-Schlossman Peradangan bilik mata
depan yang sangat berat dapat menyebabkan timbulnya tumpukan sel-sel
radang di sudut inferior (hipopion). Penyebab uveitis hipopion yang
tersering di Amerika Utara dan Eropa adalah uveitis yang berkaitan
dengan HLA-B27; di Asia, penyakit Behcet; pada komunitas agrikulural-
di daerah-daerah yang lebih lembab di Negara-negara berkemban,
leptospirosis. Iris harus diperiksa secara teliti untuk mencari tanda-tanda
atrofi atau transiluminasi, yang bsa mengenai sebagian daerah (sektoral)
atau membentuk pola bercak (patchy) pada infeksi virus herpes simpleks
atau herpes zoster, atau membentuk pola difus pada iridosiklitis
heterokromik Fuchs. Adanya sinekia anterior atau posterior juga harus
diperhatikan karena keduanya menimbulkan predisposisi terhadap
glaukoma.(11)

Inflamasi tersebut dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan


tekanan intraokuler. Serangan akut dari uveitis anterior dengan inflamasi
pada segmen anterior dan menyebabkan peningkatan tekanan intraokuler
yang umumnya dapat dilihat pada keratouveitis virus atau sindrom posner
schlosman. Meskipun uveitis idiopatik anterior dapat meninggikan tekanan
intraokuler. Inflamasi yang hebat pada badan siliar dapat menurunkan
produksi aqueous humour dan tekanan intraokuler menjadi turun
dikarenakan inflamasi sendiri, sequelae atau inflamasi atau karena
pengobatan dengan steroid. Pada inflamasi yang aktif, peningkatan
tekanan intraokuler dapat dihubungkan karena trabekulitis atau karena
penutupan sudut tertutup. Pemeriksaan dengan menggunakan fundus akan
terlihat adanya edema CD dan hiperemis, vaskularisasi, eksudat
perivaskular, edema macula cystoids, retinitis, infiltrate koroid, ablatio
retina, eksudat pars plana. Gonioskopi akan memperlihatkan gonio-sinekia
atau neovaskularisasi pada segitiga dan segitiga akan membuka atau
menutup segitiga tersebut tergantung dari derajat uveitisnya.(11)

34
Gambar 9. Gambaran deposit fibrin pada gonioskopi

- Sistematis pada pasien dengan uveitis anterior (11)


- Anamnesis
Pasien akan banyak berobat ke beberapa dokter mata, riwayat yang
lengkap penting sekali untuk diagnosis dan tatalaksana. Riwayat penyakit
pasien dari onset dan progresi dari gejala, dan terapi yang diterima dengan
terapi kortikosteroid. Riwayat dahulu dapat menimbulkan serangan
rekuren dari uveitis atau sebelumnya respons dari terapi.
- Pemeriksaan fisik

Tabel 1. Tingkat derajat sel dan flare

35
2.9 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang mendalam umumnya tidak


diperlukan untuk uveitis anterior, apalagi untuk tipe non-granulomatosa. Tes
kulit terhadap tuberkulosis dan histoplasmosis dapat berguna demikian juga
antibodi terhadap toksoplasmosis. Berdasarkan tes-tes ini dan gambaran
kliniknya, seringkali dapat ditegakkan diagnosa etiologinya (3)
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat mendukung dalam
penegakan diagnosa dan etiologi adalah radiografi thorak dan fluorescent
treponemal antibody absorption (FTA-ABS). Berikut adalah pemeriksaan
dan indikasi pada penegakan diagnosa dan etiologi uveitis anterior menurut
George (2007) dan AOA (2004):
 Radiografi thorak untuk Sarkoidosis dan TB
 Tes darah rutin untuk membedakan penyebab bakteri atau virus dan
mengetahui keganasan seperti limfoma dan leukimia.
 FTA-ABS test untuk Sifilis
 VRDL untuk sifilis
 Purified protein derivative (PPD) test untuk TB
 Angiotensin-converting enzyme (ACE) test untuk Sarkoidosis
 Antinuclear antibody (ANA) untuk SLE dan juvenile rheumatoid
arthritis.
 HLA-B27 typing untuk ankylosing spondilytis, sindrom
Reiter, inflammantory bowel disease,psoriasis artritis, sindrom Behcet.
 Gallium scan untuk Sarkoidosis
 Anergy evaluation untuk Sarkoidosis
 Toxoplasmosis enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
 MRI pada kepala akan membantu dalam penegakan cases of
intraocular (CNS) lymphoma.
 Pada pasien dengan indikasi sarkoidosis dan pada
pemeriksaan radiografi thorak negatif, pemeriksaan CT thorak untuk
mengetahui hilar adenopathy.

36
Tabel 2. Pemeriksaan penunjang mengarah ke penyebab uveitis anterior

Sumber :Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current approach in


diagnosis and management of anterior uveitis. Indian J OPhtalmol.2010 Jan-Feb;
58(1):11-19

2.10 Diagnosis Differensial

Diagnosis banding uveitis anterior menurut Vaughan (2000) antara lain: (3)

 Konjungtivitis: penglihatan tidak kabur, respon pupil normal, ada


sekret mata dan umumnya tidak ada sakit, fotofobia, atau injeksi
siliaris.

37
 Keratitis atau keratokunjungtivitis: penglihatan dapat kabur dan ada
rasa sakit dan fotofobia. Beberapa penyebab keratitis seperti herpes
simpleks dan herpes zooster dapat menyertai uveitis anterior
sebenarnya.
 Glaukoma akut: pupil melebar, tidak ada sinekia posterior, dan
korneanya beruap.
 Setelah serangan berulang kali, uveitis non-granulomatosa dapat
menunjukkan ciri uveitis granulomatosa

2.11 Komplikasi dan Sekuele

 Glaukoma (peninggian tekanan bola mata)

Pada uveitis anterior dapat terjadi sinekia posterior sehingga


mengakibatkan hambatan aliran aquos humor dari bilik posterior ke bilik
anterior. Penupukan cairan ini bersama-sama dengan sel radang
mengakibatkan tertutupnya jalur dari out flow aquos humor sehigga terjadi
glaukoma. Untuk mencegahnya dapat diberikan midriatika.

 Katarak

Kelainan segmen anterior mata seperti iridosiklitis yang menahun dan


penggunaan terapi kortikosteroid pada terapi uveitis dapat mengakibatkan
gangguan metabolisme lensa sehingga menimbulkan katarak. Operasi
katarak pada mata yang uveitis lebih kompleks lebih sering menimbulkan
komplikasi post operasi jika tidak dikelola dengan baik. Sehingga
dibutuhkan perhatian jangka panjang terhadap pre dan post operasi. Operasi
dapat dilakukan setelah 3 bulan bebas inflamasi. Penelitian menunjukkan
bahwa fakoemulsifikasi dengan penanaman IOL pada bilik posterior dapat
memperbaiki visualisasi dan memiliki toleransi yang baik pada banyak mata
dengan uveitis.

38
Prognosis penglihatan pasien dengan katarak komplikata ini
tergantung pada penyebab uveitis anteriornya. Pada Fuchs heterochromic
iridocyclitis operasi berjalan baik dengan hasil visualisasi bagus. Sedangkan
pada tipe lain (idiopatik, pars planitis, uveitis associated with sarcoidosis,
HSV, HZF, syphilis, toksoplasmosis, spondylo arthopathies) menimbulkan
masalah, walaupun pembedahan dapat juga memberikan hasil yang baik.

 Neovaskularisasi
 Ablasio retina
.

2.12 Penatalaksanaan

Tujuan terapi uveitis anterior menurut AOA (2004), antara lain: (12)
o Mengembalikan tajam penglihatan
o Mengurangi rasa nyeri di mata
o Mengeliminasi peadangan atau penyebab pradangan
o Mencegah terjadinya sinekia iris
o Mengendalikan tekanan intraokular
Sedangkan prinsip pengobatan uveitis menurut Sjamsoe (1993) antara lain:
o Menekan peradangan
o Mengeliminir agen penyebab
o Menghindari efek samping obat yang merugikan pada mata dan organ
tubuh di luar mata.

39
 Terapi Non Spesifik

Tiga jenis obat yang digunakan sebagai terapi non spesifik pada
uveitis yaitu midriatik-sikloplegik, kortikosteroid, dan imunosupresan.
 Midriatik-sikloplegik
Semua sikloplegik merupakan agen antagonis kolinergik yang
bekerja dengan menghambat neurotransmiter pada reseptor sfingter iris
dan korpus silier. Pada pengobatan uveitis anterior sikloplegik bekerja
dengan 3 cara yaitu:
 Mengurangi nyeri karena imobilisasi iris
 Mencegah adhesi iris ke kapsula lensa anterior (sinekia posterior),
yang dapat meningkatkan tekanan intraokular dan menyebabkan
glaukoma sekunder.
 Menstabilkan blood-aqueous barrier dan mencegah terjadinya
flare.

Agen sikloplegik yang digunakan dalam terapi uveitis anterior


menuruut AOA (2004) antara lain:
 Atropine 0,5%, 1%, 2%
 Homatropin 2%, 5%
 Scopolamine 0,25%
 Cyclopentolate 0,5%, 1%, 2%.
 Kortikosteroid
Semua orang setuju bahwa kortikosteroid merupakan terapi non
spesifik yang bermanfaat pada uveitis. Efek samping baik topikal maupun
sistemik telah kita ketahui, akan tetapi tidak ada salahnya diingatkan
kembali tentang cara kerja variasi efek anti inflamasi, efek samping dan
potensi preparat steroid yang dipakai dalam pengobatan
uveitis. Pengobatan peradangan intra okular dengan kortikosteroid dimulai
pada tahun 50-an. Ada 2 cara pengobatan kortikosteroid pada uveitis:
 Lokal : Tetes mata, dan injeksi peri okular
 Sistemik

40
 Lokal

Pengobatan uveitis anterior dengan steroid dan


midriatik sikloplegik lokal adalah paling logis dan efektif. Dosis maksimal
dapat dicapai dengan efek samping yang minimal. Dan apabilaterjadi
komplikasi, maka obat ini dapat segera distop.
 Tetes mata

Efek terapeutik kortikosteroid topikal pada mata dipengaruhi oleh


sifat kornea sebagai sawar terhadap penetrasi obat topikal ke dalam mata,
sehingga daya tembus obat topikal akan tergantung pada:
 Konsentrasi dan frekuensi pemberian
Makin tinggi konsentrasi obat dan makin sering
frekuensi pemakaiannya, maka makin tinggi pula efek antiinflamasinya.
 Jenis kortikosteroid
Peradangan pada kornea bagian dalam dan uveitis diberikan
preparat dexametason, betametason dan prednisolon karena penetrasi intra
okular baik, sedangkan preparat medryson, fluorometolon dan
hidrokortison hanya dipakai pada peradangan pada palpebra, konjungtiva
dan kornea superfisial.
 Jenis pelarut yang dipakai
Kornea terdiri dari 3 lapisan yang berperan pada penetrasi obat
topikal mata yaitu, epitel yang terdiri dari 5 lapis sel, stroma, endotel yang
terdiri dari selapis sel. Lapisan epitel dan endotel lebih mudah ditembus
oleh obat yang mudah larut dalam lemak sedangkan stroma akan lebih
mudah ditembus oleh obat yang larut dalam air. Maka secara ideal obat
dengan daya tembus kornea yang baik harus dapat larut dalam lemak
maupun air(biphasic). Obat-obat kortikosteroid topikal dalam larutan
alkohol dan asetat bersifat biphasic.

41
 Bentuk larutan
Kortikosteroid tetes mata dapat berbentuk solutio dan suspensi.
Keuntungan bentuk suspensi adalah penetrasi intra okular lebih baik
daripada bentuk solutio karena bersifat biphasic, tapi kerugiannya bentuk
suspensi ini memerlukan pengocokan terlebih dahulu sebelum dipakai.
Pemakaian steroid tetes mata akan mengakibatkan komplikasi
seperti: Glaukoma, katarak, penebalan kornea, aktivasi infeksi, midriasis
pupil, pseudoptosis dan lain-lain.
 Injeksi peri-okular
Dapat diberikan dalam bentuk long acting berupa Depo maupun
bentuk short acting berupa solutio. Keuntungan injeksi peri-okular adalah
dicapainya efek anti peradangan secara maksimal di mata dengan efek
samping sistemik yang minimal.
Indikasi injeksi peri-okular adalah :
- Apabila pasien tidak responsif terhadap pengobatan tetes mata, maka
injeksi peri-okular dapat dianjurkan.
- Uveitis unilateral.
- Pre operasi pada pasien yang akan dilakukan operasi mata.
- Anak-anak.
- Komplikasi edema sistoid makula pada pars planitis.

 Sistemik

Pengobatan kortikosteroid bertujuan mengurangi cacat


akibat peradangan dan perpanjangan periode remisi. Banyak dipakai
preparat prednison dengan dosis awal antara 1–2 mg/kg BB/hari, yang
selanjutnya diturunkan perlahan selang sehari (alternating single dose).
Pada uveitis kronis dan anak-anak bisa terjadi komplikasi serius seperti
supresi kelenjar adrenal dan gangguan pertumbuhan badan, maka
diberikan dengan cara alternating single dose.

42
Indikasi kortikosteroid sistemik :
1. Uveitis posterior
2. Uveitis bilateral
3. Edema makula
4. Uveitis anterior kronik (JRA, Reiter)
5. Kelainan sistemik yang memerlukan terapi steroid sistemik
Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama akan terjadi efek
samping yang tidak diingini seperti Sindrom Cushing, hipertensi, Diabetes
mellitus, osteoporosis, tukak lambung, infeksi, hambatan pertumbuhan anak,
hirsutisme, dan lain-lain.

 Sitostatika
Pengobatan sitostatika digunakan pada uveitis kronis yang refrakter
terhadap steroid. Di RSCM telah dipakai preparat klorambusil 0,1–0,2 mg/kg
BB/hari, dosis klorambusil ini dipertahankan selama 2–3 bulan lalu diturunkan
sampai 5–8 mg selama 3 bulan dan dosis maintenance kurang dari 5 mg/hari,
sampai 6–12 bulan. Selain itu juga dipakai preparat Kolkhisindosis 0,5 mg–1
mg/peroral/2 kali/hari. Dosis letak adalah 7 mg/hari. Selama terapi sitostatika kita
harus bekerja sama dengan Internist atau Hematologist. Sebagai patokan kita
hams mengontrol darah tepi, yaitu lekosit harus lebih dari 3000/mm3 dan
trombosit lebih dari 100.000/mm3 selama dalam pengobatan.
Preparat sitostatika ini menekan respons imun lebih spesifik
dibandingkan kortikosteroid, tetapi pengobatan sitostatika ini mempunyai risiko
terjadinya diskrasia darah, alopesia, gangguan gastrointestinal, sistitis hemoragik,
azoospermia, infeksi oportunistik, keganasan dan kerusakan kromosom.
Indikasi sitostatika:
1. Pengobatan steroid inefektif atau intolerable
2. Penyakit Behcet
3. Oftalmia simpatika
4. Uveitis pada JRA (Juvenile rheumatoid arthritis)

43
Kontra indikasi sitostatika :
1. Uveitis dengan etiologi infeksi
2. Bila tidak ada :
– Internist/hematologist
– Fasilitas monitoring sumsum tulang
– Fasilitas penanganan efek samping akut

 Terapi Spesifik
 Toxoplasmosis

Pengobatan anti toxoplasma yang paling ideal adalah terapi kombinasi.


 Sulfadiazin atau trisulfa :

Dosis 4 kali 0.5–1 gr/hari selama 3–6 minggu. Preparat sulfa mencegah
konversi asam paraaminobenzoat menjadi asam folat. Asam folat
dibutuhkan oleh organisme toxoplasma untuk metabolisme karbon.
 Pirimetamin :
Dosis awal 75–100 mg pada hari pertama, selanjutnya 2 kali 25 mg/hari
selama 3–6 minggu. Preparat pirimetamin bekerja menghambat
terbentuknya tetrahidrofolat. Pada pemakaian pirimetamin dapat terjadi
depresi sumsum tulang, maka kontrol darah tepi tiap minggu, apabila
trombosit diindikasi penghentian terapi. Untuk mencegah depresi sumsum
tulang diberikan preparat tablet asam folinat 5 mg tiap 2 hari.
 Trimethoprim-sulfamethoxazol (Bactrim®):
Dosis 2 kali 2 tablet Bactrim® selama 4–6 minggu.
 Klindamisin :

Sebagai pengganti pirimetamin, yang bekerja sinergik dengan preparat


sulfa. Secara invivo pada experimen obat ini dapat menghancurkan kista
toxoplasma pada jaringan retina. Dosis: 3 kali 150–300 mg/hari/oral. Pemberian
sub-konjungtiva klindamisin 50 mg dilaporkan memberi hasil baik.

44
 Spiramisin :

Diberikan pada wanita hamil dan anak-anak karena efek samping yang
minimal. Obat ini kurang efektif dalam mencegah rekurensi.
 Minosiklin :
Dosis 1–2 kapsul sehari selama 4–6 minggu.
 Fotokoagulasi dengan laser apabila tidak ada respon terapi
medikamentosa.
 Infeksi virus
o Herpes simplex :
Pada keratouveitis Herpes simplex diberikan topikal antivirus
seperti asiklovir dan sikloplegik. Apabila epitel kornea intact/sembuh
maka dapat diberikan topikal steroid bersama antivirus. Diberikan juga
asiklovir 5 kali 200 mg/hari selama 2–3 minggu yang kemudian
diturunkan 2 atau 3 tablet/hari.
Pada kasus retinitis Herpes simplex dan ARN (Acute
retinal necrosis) diberikan asiklovir intravena dengan dosis awal 5
mg/kgBB/kali yang dapat diberikan 3 kali per hari.
o Herpes zoster :
Diberikan asiklovir 5 kali 400 mg pada keadaan akut selama 10–14
hari. Kortikosteroid sistemik diberikan pada orang tua untuk mencegah
terjadi post herpetic neuralgia. Pada uveitis anterior diberikan steroid
dan sikloplegik topikal.
o Sitomegalovirus :
DHPG (Gancyclovir) 5 mg/kgBB/dalam 2 kali pemberian
intravena Foscarnet: 20 mg/kgBB/perinfus.

45
2.13 Prognosis

Pada umumnya pasien dengan uveitis anterior akan berespon baik jika
sudah didiagnosis dari awal dan diberikan pengobatan yang adekuat. Uveitis
anterior ini mungkin akan berulang, terutama jika ada penyebab sistemik.
Prognosis visual pada iritis kebanyakan akan pulih kembali, tanpa adanya
glaukoma, katarak atau posterior uveitis mapun komplikasi lainnya. Apabila
sudah terjadi komplikasi ablasio retina maka prognosisnya akan buruk.
Dengan pengobatan, serangan uveitis non-granulomatosa umumnya
berlangsung beberapa hari sampai minggu dan sering kambuh. Uveitis
granulomatosa berlangsung berbulan-bulan sampai tahunan, kadang-kadang
dengan remisi dan eksaserbasi, dan dapat menimbulkan kerusakan permanen
dengan penurunan penglihatan yang nyata. Prognosis bagi lesi korioretinal
perifer lokal jauh lebih baik, sering sembuh tanpa gangguan penglihatan
yang berarti.(3)

46
DAFTAR PUSTAKA

1. lyas, Sidarta. (2005). Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia: Jakarta.
2. Rao AN. Uveitis in developing countries. Indian Journal of
Ophthalmology 2013;61(6):253-254.
3. Vaughan DG, Asbury T, Riordan Eva P. Oftalmologi umum. Edisi 14.
Jakarta: Widya medika, 2000.
4. https://nei.nih.gov/health/uveitis/uveitis. Acessed on May 7 2019.
5. http://www.mayoclinic.org/diseases-
conditions/uveitis/basics/definition/con-20026602. Acessed on May 7
2019.
6. Gondhowiardjo TD, Simanjuntak GWS. Panduan Manajemen Klinis
PERDAMI. Jakarta: PP PERDAMI, 2006. 34.
7. Rao NA, Forster DJ. Basic Principles In: Berliner N, editors. The Uvea
Uveitis and Intraocular Neoplasms Volume 2. New York: Gower Medical
Publishing, 1992.
8. Riordan-Eva P. Anatomy & Embryology of the Eye In: Riordan-Eva P,
Whitcher JP, editors. General Ophthalmology 17th Ed. London: McGraw
Hill, 2007.
9. Schlaegel TF, Pavan-Langston D. Uveal Tract: Iris, Ciliary Body, and
Choroid In: Pavan-Langston D, editors. Manual of Ocular Diagnosis and
Therapy. 2nd Edition, Boston: Little, Brown and Company, 1980. 143-
144.
10. Wijana, N., 1993, Uvea, dalam Ilmu Penyakit Mata, Abadi Tegal, Jakarta:
126-153.

47
11. Agrawal RV, Murty S, Sangwan V,Biswas J. Current approach in
diagnosis and management of anterior uveitis. Indian J OPhtalmol.2010
Jan-Feb; 58(1):11-19.
12. American Optometric Association, 2004, Anterior
Uveitis, dalam Optometric Clinical Practice Guideline, American
Optometric Association, St. Louis.

48

Anda mungkin juga menyukai