Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
Pruritus adalah suatu sensasi kulit yang iritatif dan menimbulkan
rangsangan untuk menggaruk. Pruritus merupakan gejala dan pelbagai penyakin
kulit.1 pruritus adalah gejala paling umum dari penyakit kulit, kadang-kadang
ringan dan kadang-kadang tak tertahankan. Ini juga merupakan alasan paling umum
bagi pasien untuk berkonsultasi dengan dokter kulit.2 Pruritus mungkin ada yang
sifatnya terus menerus atau ada yang secara intermiten. . Penyakit kulit terkait gatal
yang paling umum adalah dermatitis kontak, eksim, urtikaria, neurodermatitis,
prurigo, dan pruritus kulit.3 Selain itu pruritus dapat timbul dari penyakit sistemik
yang mengganggu pasien seperti, penyakit metabolisme, infeksi, gangguan
neurologi, penyakit jiwa dan kanker.4
Secara umum, penyebab gatal sangat rumit dan banyak faktor yang terlibat
di dalamnya termasuk faktor internal. Faktor intersik mungkin terkait dengan
infeksi kronis, blok sirkulasi darah, perubahan endokrin dan metabolisme,
kecenderungan herediter terhadap alergi.5 Pruritus merupakan gejala dari berbagai
penyakit. Oleh karenanya penting untuk mengetahui penyebab dari gejala tersebut.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1 Pruritus
1.1.Definisi
Pruritus berasal dari kata Prurire: gatal; rasa gatal; berbagai
macam keadaan yang ditandai oleh rasa gatal mengemukakan pruritus
adalah sensasi kulit yang iritatif dan menimbulkan rangsangan untuk
menggaruk. Berdasarkan dua pendapat di atas, Pruritus adalah sensasi
kulit yang iritatif dan ditandai oleh rasa gatal, serta menimbulkan
rangsangan untuk menggaruk. Reseptor rasa gatal tidak bermielin,
mempunyai ujung saraf mirip sikat (penicillate) yang hanya ditemukan
pada kulit, membran mukosa dan kornea. Pruritus merupakan salah satu
dari sejumlah keluhan yang paling sering dijumpai pada gangguan
dermatologik. Bila tidak disertai dengan kelainan kulit maka disebut
pruritus esensial atau pruritus sine materia atau pruritus simtomatik.
Pada orangtua biasanya pruritus terjadi dikarenakan kulit kering.1,
1.2.Epidemiologi
Pruritus mengenai 20% orang dewasa di Amerika Serikat dengan
sekitar 40-50% didasari oleh penyakit penyerta sistemik.5
a. Renal pruritus mengenai sekitar 66% pasien CRF yang mendapat

HD. Pasien yang tidak mendapat HD prevalensinya sekitar 30%.

b. Pasien kolestasis dengan sirosis bilier primer 60% mengalami

pruritus.

c. Pasien polisitemia vera 48-70% mengalami pruritus aquagenik.

d. Hipertiroidisme menyebabkan pruritus sekitar 4-11%, umumnya

pada pasien yang tidak mendapat terapi/penanganan adekuat.

Sedangkan prevalensi pruritus untuk hipotiroidisme dan DM tidak

diketahui dengan pasti karena lebih jarang terjadi.

6
e. Prevalensi pruritus yang berhubungan dengan keganasan sangat

sedikit, sekitar 1-8%. Didominasi oleh Hodgkin limfoma sekitar

35% dari jumlah keseluruhan dan 10% oleh non-hodgkin

lymphoma (NHL)

1.3.Etiologi
Pruritus dapat disebabkan oleh faktor eksogen dan endogen.1
1. Faktor eksogen
Dermatitits kontak (pakaian, logam, benda asing), rangsangan oleh
ektoparasit (serangga tungau scabies, pedikulus, larva migrans) atau
faktor lingkungan yang membuat kulit kering
2. Faktor endogen
Seperti reaksi obat atau penyakit (contoh diskriasia darah, limfoma
keganasan alat dalam, dan kelainan hepar dan ginjal).
1.4.Patofisiologi
Pruritus merupakan salah satu dari sejumlah keluhan yang paling
sering di jumpai pada gangguan dermatologik yang menimbulkan
gangguan dermatologik yang menimbulkan gangguan rasa nyaman dan
perubahan integritas kulit jika pasien meresponnya dengan
garukan. Reseptor rasa gatal tidak bermielin, mempunyai ujung saraf
mirip sikat (peniciate) yang hanya di temukan dalam kulit, membran
mukosa dan kornea. Garukan menyebabkan terjadinya inflamasi sel dan
pelepasan histamine oleh ujung saraf yang memperberat gejala pruritus
yang selanjutnya menghasilkan lingkaran setan rasa gatal dan
menggaruk. Meskipun pruritus biasanya disebabkan oleh penyakit kulit
yang primer dengan terjadinya ruam atau lesi sebagai akibatnya, namun
keadaan ini bisa timbul tanpa manifestasi kulit apapun. Keadaan ini
disebut sebagai esensial yang umumnya memiliki awitan yang cepat,
bias berat dan menganggu aktivitas hidup sehari-hari yang normal.
Berikut adalah berbagai mediator penyebab gatal pada kulit:

7
1. Histamin
Konsentrasi histamin yang rendah pada lapisan dermo-epidermal
menyebabkan sensasi gatal, namun injeksi yang lebih dalam (deeper
intracutaneus) menyebabkan nyeri. Histamin disintesis di dalam sel
mast dan tersimpan pada granula sel mast. Ketika terjadi reaksi
radang, sel mast terdegranulasi dan keluarlah histamin tersebut.
Histamin terdiri dari dua macam, H1 dan H2. Histamin yang
menyebabkan gatal adalah H1.
2. Serotonin
Amina jenis ini ditemukan pada platelet, tetapi tidak terdapat pada
sel mast manusia. Serotonin dapat menyebabkan gatal melalui
pelepasan histamine dari sel mast dermal.
3. Endopeptidase
Endopeptidase seperti tripsin atau papain dapat menyebabkan gatal.
Tripsin adalah komponen penting dari sel mast dermal dan
dilepaskan akibat aktivasi sel mast. Sel mast memperoleh triptase,
dari kerja proteinase-activated receptor-2 (PAR-2) pada terminal
saraf C yang berdekatan sehingga membangkitkan neuropeptida
pruritogenik dari terminal yang sama. Hal ini memperlihatkan
interaksi sistem imun dan sistem saraf dalam menyebabkan sensasi
gatal. Selain tripsin, reaksi inflamasi juga menghasilkan interleukin-
2 (IL-2) yang ikut berperan dalam timbulnya gatal.
4. Neuropeptida
Substansi P yang terdapat pada terminal neuron C dilepaskan
sebagai akibat dari kerja triptase sel mast pada PAR-2 dan
menyebabkan gatal dengan baik dengan aksi langsung maupun
memicu pelepasan histamin oleh sel mast melalui reseptor NK-1.
Dosis rendah dari morphin menyebabkan gatal dan efeknya adalah
pelepasan prostaglandin dan degranulasi sel mast. Reseptor agonis
opioid adalah pada saraf tulang belakang atau ganglia dorsal karena
dosis rendah dari morphine dapat menyebakan gatal segmental.

8
5. Eicosanoid
Transformasi asam arakidonat (prostaglandin, leukotrin) memiliki
peran yang kuat dalam mediator inflamasi tetapi tidak secara
langsung menyebabkan gatal. Prostaglandin E (PGE) menyebabkan
gatal melalui mediator lain. Konsentrasi rendah PGE pada satu area
kulit menurunkan ambang batas timbulnya sensasi gatal akibat kerja
histamin pada area tersebut.
Pada kulit, terdapat ujung saraf bebas yang merupakan reseptor
nyeri (nosiseptor). Ujung saraf bebasnya bisa mencapai bagian bawah
epidermis. Ujung saraf bebas terbagi menjadi dua jenis serabut saraf.
Serabut saraf A bermielin yang merupakan nosiseptor dan serabut saraf
C tidak bermielin. Serabut saraf C terdiri dari 80% mekanosensitif yang
merupakan polimodal nosiseptor dan 20% mekanoinsensitif. Polimodal
nosiseptor merupakan serabut saraf yang merespon terhadap semua
jenis stimulus mekanik dan kimiawi. Sedangkan mekanoinsensitif tidak
merespon terhadap stimulus mekanik, namun memberi respon terhadap
stimulus kimiawi. Sekitar 5% dari mekanoinsensitif ini merupakan
pruritoseptor yaitu reseptor yang menimbulkan rasa gatal, terutama
dipengaruhi oleh histamin.
Serabut saraf A merupakan penghantar sinyal saraf yang cepat.
Kecepatan hantarannya mencapai 30m/detik. Sedangkan serabut saraf
C merupakan penghantar sinyal saraf yang lambat. Kecepatan
hantarannya hanya 12m/detik, erlebih lagi pada serabut saraf C
mekanoinsensitif yang hanya 0,5m/detik. Hal ini menjelaskan mengapa
seseorang dapat merasakan rasa gatal beberapa saat setelah stimulus
terjadi. Bandingkan saat tangan kita terkena benda panas. Pruritogen
menyebabkan ujung serabut saraf C pruritoseptif teraktivasi. Serabut
saraf C tersebut kemudian menghantarkan impuls sepanjang serabut
saraf sensoris. Terjadi input eksitasi di Lamina-1 kornu dorsalis
susunan saraf tulang belakang. Hasil dari impuls tersebut adalah akson
refleks mengeluarkan transmiter yang menghasilkan inflamasi

9
neurogenik (substansi P, Calcitonin Gene-Related Peptide, neurokinin
A, dan lain-lain). Setelah impuls melalui pemrosesan di korteks serebri,
maka akan timbul suatu perasaan gatal dan tidak enak yang
menyebabkan hasrat untuk menggaruk bagian tertentu tubuh. Gatal
dapat timbul apabila pruritoseptor terangsang dan reseptor lainnya tidak
terangsang. Tidak mungkin pada penghantaran sinyal, terdapat dua
reseptor sekaligus yang terangsang oleh satu stimulus.
Saat pruriseptor terangsang, seseorang akan mulai merasakan
sensasi gatal sehingga timbul hasrat untuk menggaruk. Saat menggaruk,
polimodal nosiseptor akan terangsang sehingga pruritoseptor akan
berhenti terangsang. Hal ini memberikan penjelasan mengapa ketika
seseorang menggaruk tubuhnya yang gatal, maka rasa gatal akan
menghilang. Setelah garukan dihentikan, yang artinya polimodal
nosiseptor berhenti terangsang, pruritoseptor sangat mungkin untuk
kembali terangsang sehingga gatal akan timbul kembali. Polimodal
nosiseptor juga dapat menimbulkan gatal, misalnya pada baju baru yang
labelnya kasar akan menimbulkan sensasi gatal. Stimulus pada serabut
saraf C melalui ganglion dorsal dan menyilang pada saraf tulang
belakang ke sisi kontralateral dan masuk ke jalur spinotalamikus lateral
menuju thalamus dan akhirnya mencapai korteksserebri sensori.1
1.5.Klasifikasi Pruritus5
a. Pruritoceptive itch akibat gangguan yang berasal dari kulit.
Misalnya, inflamasi, kering, dan kerusakan kulit.
b. Neuropathic itch akibat gangguan pada jalur aferen saraf perifer atau
sentral. Misalnya, pada herpes dan tumor.
c. Neurogenic itch tidak ada gangguan pada saraf maupun kulit, namun
terdapat transmitter yang merangsang gatal. Misalnya, morphin dan
penyakit sistemik (ginjal kronis, jaundice).
d. Psikogenic itch akibat gangguan psikologi. Misalnya,
parasitophobia.

10
1.6.Manifestasi Klinis
Anamnesis riwayat penyakit sekarang meliputi onset, lokasi,
durasi, derajat keparahan, faktor yang memprovokasi, dan
hubungannya dengan aktivitas seperti mandi, harus digali dari
pasien dengan cermat. ROS (Review of Systems) dibutuhkan untuk
melihat kemungkinan adanya penyakit sistemik yang
mempengaruhi. Riwayat mengkonsumsi obat juga perlu
ditanyakan untuk mengeksklusi pruritus karena obat. Riwayat
penyalahgunaan alcohol juga diperlukan untuk mengetahui
penyebab pruritus karena penyakit hati kronis bisa menimbulkan
kolestasis. Stress emosional dapat menginisiasi terjadinya pruritus
karena gangguan psikiatrik.5
a. Pruritus Renal
Gejala pruritus bisa berlangsung pada umumnya, gatal terus
menerus dari pagi sampai malam hari, hingga gejala yang sangat
jarang terjadi, pruritus timbul secara spontan sehingga
menyebabkan ketidaknyamanan paroksismal. Penderita pruritus
renal sebanyak 46% mengalami gatal setiap hari, sedangkan
pruritus timbul mingguan atau bulanan pada 52% pasien.
Pruritus lokal terjadi pada 56% pasien dan paling sering
dirasakan di punggung, abdomen, kepala, dan tangan. Lokasi di
kepala yang paling sering timbul adalah di vertex, dapat pula
dijumpai ekskoriasi. Gejala eksaserbasi timbul pada malam hari,
selama, atau setelah HD. Intensitas gatal bisa naik pada musim
panas. Kadang dijumpai xerosis difus dan half-and-half nails,
neuropati perifer, dan uremia. 5

11
Gambar 1. Half-and-half nail
b. Pruritus Kolestasis
Pruritus kolestatis timbul intermitten, ringan, dan bisa lokal
maupun general. Rasa gatal memburuk pada tangan, kaki, dan
sekitar baju yang ketat. Pruritus paling sering timbul pada pasien
dengan sirosis bilier primer. 5
c. Pruritus Hematologis
Hubungan antara pruritus hematologis dengan defisiensi besi
masih diperdebatkan, rasa gatal ini timbul secara general,
kadang bisa terkonsentrasi di perianal dan regio vulva. Pasien
dengan polisitemia vera akan mengalami rasa gatal setelah
mandi dengan air panas yang akan timbul beberapa menit
setelah kontak dengan air. Sensasi gatal ini juga bisa timbul
beberapa tahun setelah pasien menderita polisitemia. Gejala
penyerta pada pruritus hematologis antara lain pusing, gangguan
penglihatan, penurunan berat badan, keringat malam, vertigo,
dan eritem pada jari-jari tangan kaki. Pasien pruritus
hematologis mungkin pucat, hal ini berhubungan dengan
anemia, seperti anemia defisiensi besi. Kulit kemerahan
dijumpai pada pasien polisitemia vera, dengan distribusi antara
lain di bibir, hidung, telinga, dan leher, serta hipertensi dan
pembesaran lien. 5
d. Pruritus Endokrin
Pada sebagian besar pasien, pruritus endokrin terjadi secara
general dan disertai gejala klinis hipertiroidisme atau
hipotiroidisme. Pruritus yang berhubungan dengan diabetes
mellitus jarang terjadi. Pasien dengan hipertiroidisme
mempunyai kulit yang hangat, halus, dan baik, namun bisa juga
terdapat urtikaria kronis dan angioedema, sedangkan pasien

12
dengan hipotiroidisme mempunyai kuku yang rapuh dan kering.
5

e. Pruritus Gravidarum
Pruritus terutama terdapat pada trimester akhir kehamilan,
yang dimulai dari abdomen atau badan, kemudian generalisata.
Ada kalanya pruritus disertai anoreksia, nausea, dan muntah.
Penampakan objektif terlihat ekskoriasi karena garukan.
Pruritus akan hilang setelah penderita melahirkan tetapi dapat
residif pada kehamilan berikutnya. 5
f. Pruritus yang berhubungan dengan keganasan
Limfoma, Leukimia, Mieloma multiple.3 Pada penyakit
CTCL (Cutaneous T-Cell Lymphoma) menyebabkan
peningkatan sitokin IL-3 yang dapat merangsang munculnya
pruritus. Selain itu pada penelitian mengenai BCC (Basal cell
carcinoma) didapatkan bahwa 52% pasien mengeluhkan sensasi
gatal, semakin tinggi derajat kerusakan sel akan meningkat pula
keluhan gatal (pruritus) yang dialami pasien.8
1.7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dibutuhkan untuk mengetahui
penyebab pruritus walaupun pemeriksaan klinis juga bisa
menandai adanya kelainan sistemik tertentu. Pemeriksaan
laboratoris yang bisa dilakukan untuk mendiagnosis kemungkinan
pruritus karena penyakit penyerta sistemik antara lain5 :
Tabel 1. Pemeriksaan penunjang.5
Jenis Penyerta Jenis pruritus
No Temuan
pemeriksaan sistemik
- Hct > 65% Polisitemia
-  MCV, >98 fl Vera
- RBC normal Pruritus
Hitung darah atau <2,8
1 Hematologis
lengkap (CBC) juta/mm3 Anemia
- Hb , <10 gr/dl defisiensi besi
-  MCV, MCH,
MCHC

13
Kadar vitamin
2 , >900 pg/ml Polisitemia vera
B12 serum
TIBC (Total
Anemia
3 Iron Binding , >360 µg/dl
defisiensi besi
Capacity)
- BUN > 40
mmol/l atau
BUN (blood >120mg% Pruritus
4 urea nitrogen), - Level serum CRF Renal
serum kreatinin kreatinin
>90µmol/l atau
>10mg%
AFP
5 Bilirubin direk,  level Kolestasis Pruritus
indirek kolestasis
Obstruksi bilier
6 USG abdomen kolestasis
primer
TSH , T3-bebas
Hipertiroidisme Pruritus
Level TSH, T3- 
7 endokrin
bebas TSH , T3-bebas
hipotiroidisme

Chest Limfadenopati Hodgkin Pruritus
8 malignansi
radiography mediastinum lymphoma

1.8.Penatalaksanaan
Terapi pruritus didasarkan pada etiologi yang mendasarinya.
Tanpa diketahui penyebabnya, terapi yang diberikan hanya
bersifat paliatif dan hasilnya tidak begitu memuaskan. Secara
umum, anti-pruritus utama adalah antihistamin, yang bekerja
menghambat reseptor histamin agar tidak berikatan dengan
histamin. Antihistamin berperan menggantikan histamin dengan
cara menempati reseptor histamin sehingga reseptor histamin
menjadi inaktif dan pruritus dapat dihindari. Antihistamin yang
diberikan untuk pasien pruritus bisa disertai dengan zat sedatif
agar pasien bisa sekaligus istirahat, seperti chlorpheniramine
maleat (CTM), dosis dewasa 4 mg setiap 4-6 jam (maksimal 24
mg sehari); anak usia di bawah 1 tahun tidak direkomendasikan,
usia 1-2 tahun 1 mg 2x sehari, usia 2-5 tahun 1 mg setiap 4-6 jam

14
(maksimal 6 mg sehari), usia 6-12 tahun 2 mg setiap 4-6 jam
(maksimal 12 mg sehari) atau antihistamin lain bisa diberikan
cetirizine diHcl 10 mg 1 kali sehari (dosis maksimal 10 mg/hari).
5

a. Pruritus Renal5
1. Terapi sistemik : arang aktif (activated carchoal), merupakan
pilihan terapi lini pertama pada pasien dengan pruritus renal.
Mekanisme utamanya tidak diketahui dengan pasti, namun
bersifat sebagai pengikat agen pruritogenik. Pemberian arang
aktif tidak boleh dicampur dengan susu atau es krim karena
akan menurunkan kadar absorbsinya. Efek samping
pemberian arang aktif antara lain diare, emesis, nausea,
melena, ketidakseimbangan elektrolit, hipotensi, dan
obstruksi gastrointestinal.
a) Dewasa : 6 gr 4x1 (PO)
b) Anak : <1 th = tidak direkomendasikan, >1th =
dosis seperti pada orang dewasa.
2. Topikal : salep capsaisin 0,025%. Berasal dari family
Solanaceae, capsaisin menurunkan sensasi pruritus dengan
cara menekan kinerja substansi P pada saraf sensoris perifer
sehingga menurunkan transmisi sensasi pruritus. Capsaisin
hanya digunakan secara topical.
a) Dewasa : topical 3-4 kali sehari selama 3-4 minggu
lalu dievaluasi.
b) Anak : sama dengan dewasa.
b. Pruritus Kolestasis5
Kolestiramin menjadi pilihan utama terapi pruritus kolestasis,
bekerja menghambat sirkulasi enterohepatik dengan cara
berikatan dengan asam empedu di gastrointestinal.
a) Dewasa : 4-16 gr peroral, 4 kali sehari dengan dosis
terbagi. Diberikan 4 gr sebelum dan sesudah makan untuk

15
mengimbangi kontraksi vesica felea. Pemberian tidak boleh
>16 gr perhari.
b) Anak : tidak direkomendasikan.
Kolestiramin bisa menyebabkan reaksi hipersensitivitas,
menghambat penyerapan vitamin A, D, E, dan K, konstipasi,
dan nausea.
c. Pruritus Hematologis5
Aspirin adalah terapi sistemik pilihan utama untuk pasien
pruritus dengan polisitemia vera, bekerja dengan cara
menurunkan kadar serotonin dan prostaglandin akibat
degranulasi platelet.
a) Dewasa : 300-500 mg 4 kali sehari peroral.
b) Anak : tidak direkomendasikan
Aspirin bisa menyebabkan reaksi hipersensitivitas, kerusakan
hepar, hiperprotrombinemia, defisiensi vitamin K, asma,
maupun gangguan perdarahan.
d. Pruritus Endokrin5
Pruritus pada hipotiroidisme bersifat sekunder, berhubungan
dengan metabolisme yang kurang sehingga kulit menjadi
xerosis. Terapi dapat diberikan emolien dan terapi sulih hormon
(thyroid hormone-replacement). Pada pasien hipertiroidisme,
pruritus diatasi dengan koreksi fungsi tiroid disamping
pemberian antihistamin oral.
e. Pruritus generalisata dapat pula menyerang daerah vagina.
Pimecrolimus topikal bisa diberikan untuk mencegah terjadinya
pruritus vaginal kronis. Berasal dari derivat ascomycin,
substansi alami yang diproduksi oleh jamur Streptomyces
hygroscopicus var ascomyceticus ini secara selektif
menghambat produksi dan pengeluaran sitokin inflamatoar dari
sel T aktif dengan cara berikatan dengan imunofilin sitosol
reseptor makrofin-12.5

16
1.9.Prognosis dan Komplikasi
Kesulitan tidur dan ide bunuh diri dapat dijumpai pada
pasien dengan pruritus berat. Wanita hamil < 33 minggu yang
tidak mendapat terapi pruritus adekuat dapat mengalami
persalinan awal (preterm) bahkan kematian janin. Komplikasi
lain yang dapat dijumpai antara lain liken simpleks kronis, nodul
prurigo, ekskoriasi, maupun infeksi sekunder. Pruritus renal
merupakan pertanda independen terjadinya mortalitas 3 tahun
kemudian pada pasien yang mendapat hemodialisis. Pasien
Hodgkin lymphoma dengan pruritus generalisata berat juga
mempunyai prognosis buruk.5

17
BAB III
KESIMPULAN
Pruritus adalah sensasi tidak menyenangkan di kulit yang menimbulkan
keinginan untuk menggaruk. Pruritus generalisata tanpa lesi primer bisa
disebabkan karena terdapat penyakit penyerta sistemik yang mendasarinya,
antara lain CRF, gangguan hematologis, gangguan endokrin, gangguan
hepatobilier, maupun keganasan. Terapi paliatif seperti antihistamin diperlukan
untuk meringankan gejala namun hanya pengobatan terhadap penyakit yang
mendasarinya pruritus bisa dihentikan.

18
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda, S. Hubungan Kelainan Kulit dan Penyakit Sistemik. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Jakarta : FKUI, 2007.
2. E. Weisshaar, C. Apfelbacher, G. J¨ager et al., “Pruritus as a leading symptom:
Clinical characteristics and quality of life in German and Ugandan patients,”
British Journal of Dermatology, vol. 155, no. 5, pp. 957–964, 2010.
3. K. Olek-Hrab, M. Hrab, J. Szyfter-Harris, and Z. Adamski, “Pruritus in selected
dermatoses,” European Review for Medical and Pharmacological Sciences,
vol. 20, no. 17, pp. 3628–3641, 2016.
4. R. Twycross, M. W. Greaves, H. Handwerker et al., “Itch: scratching more than
the surface,” QJM: An International Journal of Medicine, vol. 96, no. 1, pp. 7–
26, 2003.
5. Norman RA. Xerosis and pruritus in the elderly: recognition and management.
Dermatol Ther 2003; 16: 254–259.
6. J. D. Bernhard, “Itch and pruritus: What are they, and how should itches be
classified?” Dermatologic Therapy, vol. 18, no.4, pp. 288–291, 2005.
7. J. Berny-Moreno and J. C. Szepietowski, “Neuropathic itch caused by nerve
root compression: brachioradial pruritus and BioMed Research International 9
notalgia paresthetica/Neuropatski pruritus (svrab) prouzrokovan kompresijom
nervnih korenova-brahioradijalni pruritus inostalgija parestetika,” Serbian
Journal of Dermatology and Venerology, vol. 1, no. 2, pp. 68–72, 2013.
8. G. Yosipovitch, M. Greaves, A. Fleischer, and F. McGlone, Itch: basic
mechanisms and therapy, Marcel Dekker, New York, NY,USA, 2004.
9. G. Yosipovitch and L. S. Samuel, “Neuropathic and psychogenic itch,”
DermatologicTherapy, vol. 21, no. 1, pp. 32–41, 2008.
10. L. M. Arnold, M. B. Auchenbach, and S. L. McElroy, “Psychogenic
excoriation: Clinical features, proposed diagnostic criteria, epidemiology and
approaches to treatment,” CNS Drugs, vol. 15, no. 5, pp. 351–359, 2001.

19

Anda mungkin juga menyukai