Anda di halaman 1dari 4

Sindrom Guillain-Barré Sindrom Guillain-Barré, juga dikenal dengan nama poli- neuritis infeksiosa,

sindrom Landry-Guillain-Barré, atau polineuritis idiopatik akut, merupakan bentuk polineuritis yang akut,
progresifcepat, serta berpotensi fatal dan menye- lan kelemahan otot serta gangguan sensoris sebelah
distal. Sindrom ini dapat terjadi pada segala usia meskipun paling sering ditemukan pada usia antara 30
dan 50 tahun. Sindrom Guillain-Barré dialami laki-laki dan perempuan Sama seringnya. Kesembuhan
terjadi spontan dan komplet pada sekitar 95% pasien sekalipun gangguan motorik atau refleks yang
ringan dapat menetap pada kaki dan tungkai. Prognosis sindrom ini paling baik jika keluhan dan gejala
Sudah menghilang sebelum 15 hingga 20 hari sesudah Awitan Penyakit.

Sindrom ini terjadi dalam tiga fase:

Fase akut dimulai pada awitan gejala definitif yang per-- tama dan berakhir satu hingga tiga minggu
kemudian. Kemunduran lebih lanjut tidak terjadi sesudah fase 3D akut. · Fase plateau berlangsung
selama beberapa hari hingga beberapa minggu. ' Fase kesembuhan dianggap terjadi bersamaan dengan
remielinisasi dan pertumbuhan kembali tonjolan ak- son. Fase ini melampaui empat hingga enam bulan,
tetapi bisa berlangsung sampai dua hingga tiga tahun jika penyakit berat.

Penyebab

Penyebab sindrom Guillain-Barré yang tepat belum di- ketahui, tetapi penyakit ini bisa merupakan
respons imun yang diantarai sel terhadap suatu virus. Sekitar 50% pasien sindrom Guillain-Barré memiliki
riwayat demam ringan yang baru saja terjadi dan biasanya berupa infeksi saluran napas atas atau yang
lebih jarang g, gastroenteritis. Kalau infeksinya mendahului awitan sindrom Guillain-Barré, tanda-tanda
infeksi sudah mereda sebelum gambaran neurologi muncul.

Faktor presipitasi lain yang mungkin meliputi :

pembedahan

vaksinasi rabies atau influena

penyakit Hodgkin stau penyakit malignan lain

sistemik lupus eritematosus

Patofisiologi
Manifestasi patologis yang utama adalah demielinisasi seg mental saraf perifer. Keadaan ini menghalangi
transmi impuls elektris yang normal di sepanjang radiks saraf sen sorimotorik. Karena sindrom ini
menyebabkan inflamasi dan perubahan degeneratif pada radiks saraf posterior (sen sorik) maupun
anterior (motorik), maka tanda-tanda gang guan sensorik dan motorik akan terjadi secara bersamaan
(Lihat Memahami degenerasi saraf sensorimotorik) D samping itu, transmisi saraf otonom dapat pula
terganggu.

Tanda dan gejala


Gejala timbul secara progresif dan meliputi:

1.kelemahan otot yang simetris (tanda neurologi utama) dan muncul pertama-tama pada tungkai (upe
asenden) yang kemudian meluas ke lengan serta mengenai ner- vus fasialis dalam 24 hingga 72
jamakibat terganggunya transmisi impuls melalui radiks saraf anterior 2.kelemahan otot yang pertama-
tama terasa pada lengan (tipe desenden) atau terjadi sekaligus pada lengan dan tungkai akibat
terganggunya transmisi impuls melalui radiks saraf anterior

3. tidak terdapat kelemahan otot atau hanya mengenai nervus fasialis (pada bentuk yang ringan)

4. parestesia yang kadang-kadang mendahului kelemahan otot, tetapi akan menghilang dengan cepat,
keluhan ini terjadi karena terganggunya transmisi impuls lewat radiks saraf dorsalis •

5. diplegia yang mungkin disertai oftalmoplegia (paralisis okuler) akibat terganggunya transmisi impuls
melalui radiks saraf motorik dan terkenanya nervus kranialis III, IV, serta VI

6.disfagia atau disartria dan yang lebih jarang terjadi, kelemahan otot yang dipersarafi nervus kranialis XI
(nervus aksesorius spinalis) •

7.hipotonia dan arefleksia akibat terganggunya lengkung refleks

Komplikasi

Komplikasi yang sering ditemukan meliputi:

- tromboflebitis

-dekubitus (ulkus karena tekanan)

. pelisutan otoT

- sepsis

kontraktur sendi

aspirasi

infeksi traktus respiratorius

gagal napas mekanis

sinus takikardia atau bradikardia

hipertensi dan hipotensi postural

gangguan kontrol sfingter kandung kemih dan usus.


Diagnosis

1.Analisis cairan serebrospinal dengan pungsi lumbal mengungkapkan kenaikan kadar protein yang
memun- cak pada minggu ke-4 hingga ke-6, dan keadaan ini mungkin terjadi karena inflamasi yang
menyebar pada radiks saraf; jumlah sel darah putih dalam cairan sere- brospinal tetap normal, tetapi
pada penyakit yang be- rat, tekanan cairan serebrospinal dapat meninggi hing- ga di atas nilai normal.

2.Hitung darah lengkap memperlihatkan leukositosis dengan bentuk-bentuk leukosit yang muda
(immature) pada awal keadaan sakit dan kemudian hitung leukosit dengan cepat kembali normal.

3.Elektromiografi kemungkinan menunjukkan cetusan impuls yang berulang pada unit motorik yang
sama dan bukan stimulasi seksional yang meluas.

5.Percepatan hantaran saraf memperlihatkan pelambatan segera setelah terjadi paralisis.

6.Kadar imunoglobulin serum mengungkapkan kenaikan kadarnya akibat respons inflamasi.

Penanganan
1.Penanganan yang terutama bersifat suportif meliputi intubasi endotrakca atau trakeotomi jika
gangguan pa- da otot-otot pernapasan membuat pasien sulit menge- luarkan dahak.

3.Uji coba terapi prednison (selama tujuh hari) dilakukan untuk mengurangi respons inflamasi bila
penyakit le sebut terus berjalan secara progresif; jika tidak meng hasilkan perbaikan yang nyata,
pemberian prednison dihentikan.

4. Plasmaferesis berguna pada fase awal tetapi tidak ada manfaatnya jika pemberian baru dimulai dua
ming dihentikan. sesudah awitan sindrom ini.

5.Pemantauan elektrokardiogram yang terus-menerus harus dilakukan untuk mengawasi kemungkinan


mia akibat disfungsi saraf otonom; propranolol da diberikan untuk mengatasi takikardia dan hiperten
sedangkan atropin diberikan jika terdapat bradikardia pemberian cairan infus untuk volume replacement
da- pat dikerjakan bila terdapat hipotensi berat.

Pertimbangan khusus

Pemantauan keadaan pasien untuk mendeteksi peningkatan keluhan dan gejala klinis perlu mendapat
perhatian utama.

1.Awasi gangguan sensoris yang berjalan naik (asending) dan mendahului gangguan motorik. Juga,
lakukan pe- mantauan tanda-tanda vital dan tingkat kesadaran

2. Kaji dan atasi disfungsi pernapasan. Jika otot pema- pasan melemah, lakukan perekaman kapasitas
vital secara serial. Gunakan respirometer dengan mouthpiece atau masker untuk bedside lesting.
3.Lakukan pemeriksaan gas darah arteri. Karena penyakit neuromuskuler menimbulkan hipoventilasi
primer di- sertai hipoksemia dan hiperkapnia, awasi tekanan par- sial oksigen arterial (PaO,) yang bila
berada di bawah 70 mmHg menandakan gagal napas. Waspadai terhadap tanda-tanda kenaikan tekanan
parsial karbon dioksida arterial (bingung, takipnea).

4.Lakukan auskultasi bunyi napas pasien, balik, dan atur posisi tubuh pasien dan berikan semangat
Kepadanya.

Anda mungkin juga menyukai