Anda di halaman 1dari 3

Harapan

Cipt. Wakhid
Keringat keringat sebesar biji jagung mulai diproduksi tubuhku. Mengalir
dari dahi ke pipi, dari tangan berjatuhan dan tertiup angin, mengalir di
kaki yang tertutup celana panjang sekolah. Dengan sekuat tenaga aku
kayuh pedal sepeda di pagi hari itu. Tidak seperti biasa rasanya sangat
berat, mungkin karena dari tadi aku terus mengayuhnya sekuat tenaga,
jadinya staminaku terus terkuras.

Tanpa mempedulikan pengguna jalan lain dan pikir panjang, aku terobos
lampu merah di perempatan. Bunyi klakson mobil dan motor seolah
mendobrak dobrak gendang telingaku. Muka muka pengendara jalan lain
yang jengkel dengan kelakuanku sekilas terekam di bola mataku, tapi
tidak sempat aku hiraukan mereka.
“di dalam hati, “maaf maaf” aku teriakan bagi pengguna jalan yang
merasa terganggu dengan cara mengendarai sepedaku yang sembrono
itu.

Aku harus buru buru ke sekolah supaya tidak telat. Aku tidak biasanya
seperti ini, karena kemarin malam aku harus mencari boneka beruang
dan bunga mawar merah yang kutaruh di dalam tas, dan membuat tasku
terlihat lebih berisi dari biasanya, guna kuberikan kepada Anggi teman
sekelasku, yang sudah dari kelas satu sma aku memendam perasaan
terhadapnya dan sekarang aku kelas dua sma. Dan hari ini aku bertekat
menyatakan perasaanku kepadanya apapun yang terjadi perasaanku
harus tersampaikan. Walaupun aku tau kalau itu tidak akan mudah.
Karena Anggi itu terkenal cuek dan tidak mudah bergaul, cenderung suka
menyendiri, paginya diantar dan pulangnya langsung dijemput, dan dia
juga sering absen pas jam olahraga, tapi itulah yang membuatku tambah
penasaran terhadapnya

Leganya dadaku karena aku berhasil masuk gerbang sekolah tepat


sebelum pak satpam menutup gerbang sekolah. Di kelas seperti biasa aku
duduk di tempat dudukku yang biasa. Mataku mulai mencari cari
keberadaan Anggi, ke kanan, dan ke kiri tidak juga kulihat keberadaanya,
kulihat tempat duduknya masih kosong, yang berjarak dua bangku ke
kanan itu dari tempat dudukku.

Tetttt, bel tanpa masuk pun berbunyi. Tapi tidak juga kulihat sosok Anggi
duduk rapi di tempat duduknya seperti hari hari sebelumya
“Mungkin dia berhalangan hadir hari ini.” kataku di dalam hati sambil
menghela nafas panjang.

Keesokan harinya, seperti kemarin Anggi tidak juga menampakkan


dirinya masuk sekolah. Begitu pula tiga hari ke depan, Anggi seolah
hilang tertiup angin musim panas bulan itu.
Dengan sekuat tenaga kukumpulkan keberanianku guna menanyakan
keadaan Anggi ke wali kelasku, waktu istirahat. Terasa aneh bagiku
setelah wali kelasku mendengar nama Anggi seperti dia terkejut, dan
tidak berkata sepatah katapun, dia hanya memberikan secarik kertas
yang isinya adalah alamat Anggi kepadaku.
“Jalan gunung puri, perumahan pantai indah, no : 13” kurang lebih itulah
isinya.

Sepulang sekolah, dengan rasa penasaran yang begitu besar, kuhetikan


taksi sambil membawa boneka dan mawar yang hendak aku berikan
kepada Anggi, saat aku menyatakan perasaanku nanti. Kuberikan alamat
itu ke supir taxi, sekitar setengah jam berlalu hatiku terasa dak, dik, duk
membayangkan apapkah Anggi mau menerimaku atau tidak, akhirnya
aku berhenti di sebuah rumah tingkat dua dengan pagar warna putih
yang sangat besar, yang menurutku cukup mewah.
“Hatiku semakin dak, dik, duk melihat rumahnya”

Tett… tett…, suara bel yang kupencet yang tersedia di luar pagar. Ada
sekitar sepuluh kali kupencet bel itu, tapi tidak nampak satupun orang
terlihat di halaman rumah yang luas itu. Tett… tett… kembali kupencet bel
rumah itu, tidak lama kemudian akhirnya nampak laki laki paruh baya
memakai baju putih lengan pendek, topi hitam, dan celana panjang
hitam, membukakan pintu pagar rumah itu

“Maaf dek, adek mencari siapa ya” Satpam itu langsung menegurku.
“Maaf pak saya mencari Anggi, apa benar ini rumahnya” Tanyaku balik.
“I ‘ iya benar memangnya adek ini siapa ya, apakah teman non Anggi”
Dengan muka sedikit tegang dan nada bicara yang sedikit terpatah patah
satpam itu menjawabku.
“Iya pak saya teman sekolahnya, saya khawatir sudah hampir satu
minggu Anggi tidak masuk sekolah, memangnya Anggi kenapa ya pak?”

Tanpa mengelurkan satu patah katapun, akhirnya satpam itu


mempersilahkanku masuk dan disuruhnya aku menunggu di ruang tamu
yang cukup mewah itu menurutku, dengan hiasan ukiran ukiran kayu dan
lukisan lukisan binatang yang mendominasi hiasan di ruang tamu itu.

Tidak lama kemudian akhirnya datanglah seseorang wanita tua membawa


air minum untuk dia sajiakan kepadaku. Disusul dengan wanita yang
masih muda memakai baju panjang putih dan rok hitam di bawah lutut,
dan duduk di sofa depanku, sambil melihat boneka dan bunga yang
kutaruh di sofa sebelah kiriku.
Lama kami berbincang membicarakan sekolahku, bagaimana Anggi kalau
di sekolah, yang akhirnya ku tau kalau dia adalah ibunya Anggi.

Sudah hampir satu jam kami berbincang, akhinya


“Boleh saya ketemu dengan Anggi?” Permintaanku menyela
pembicaraanya.
“Baiklah kalau itu memang maumu” Dengan sedikit tersenyum dia
mengatakannya.
Akhirnya dibawanya aku di depan sebuah kamar yang berada di lantai
dua. Dan dipersilahkanya aku masuk kamar itu. Pikiranku mulai melayang
ke mana mana, kekhawatiran mulai melanda diriku
Dengan tangan kanan kuraih daun pintu itu, dan kubuka pintu itu pelan
pelan. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah kakiku masuk kamar itu.

Bagai jantungku berhenti berdetak, hancur berkeping, sekujur tubuhku


mulai kaku menegang, boneka dan bunga yang kupegang dengan tangan
kiri pun jatuh ke lantai, berbarengan dengan air mataku yang terus
mengalir, menetes ke bawah tanpa bisa kubendung, melihat keadaan
Anggi yang terbujur kaku di tempat timur, mukanya pucat, dan terpasang
alat bantu pernafasan dan alat deteksi jantung, waktu seolah berhenti
berputar.
Kulihat ke arah ibunya yang teryata sudah tidak kuat juga menahan
kesedihan, melihat keadaan anaknya sekarang.
“Apa yang terjadi” Tanyaku ke ibunya.
Tidak satu kata pun terucap dari mulutnya, yang terlihat hanyalah air
mata yang terus mengalir membasahi pipinya…

Anda mungkin juga menyukai