Pembimbing:
Dr. Lena Wijayaningrum, Sp.KFR
Penyusun :
Anisah Anggraini Putri
2017.04.200.197
REFERAT
ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN
REHABILITASI MEDIK
AMPUTASI ALAT GERAK BAWAH
1
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang
berjudul “Amputasi Alat Gerak Bawah” ini dengan baik dan tepat waktu.
Penyusun referat ini merupakan salah satu proses pembelajaran sekaligus tugas
selama kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik di
RSAL Dr. Ramelan Surabaya.
Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada pembimbing dr. Lena
Wijayaningrum, Sp.KFR yang telah meluangkan waktu di tengah kesibukan beliau
untuk membimbing penulis dalam penyusunan referat ini. Tak lupa penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang turut membantu dan
memndukung penulis dalam menyusun referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, sehingga saran
dan kritik yang positif sangat penulis harapkan. Semoga referat ini dapat berguna
memberikan manfaat yang besar bagi pembaca pada uunya dan penyusun pada
khususnya.
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
Pada tahun 1996, prevalensi orang dengan amputasi sekitar 1,2 juta,
tahun 2005 meningkat menjadi 1,6 juta dan kemungkinan bertambah menjadi
dua kali lipat pada tahun 2050 (Cuccurollo, 2015).
4
pengetahuan mengenai penanganan rehabilitasi medik pada amputasi sangat
diperlukan oleh semua dokter.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Amputasi
2.1.1 Definisi
Amputasi berasal dari kata latin amputare atau dari kata yunani apo cope
yang berarti “pancung” (to cut away,.,to cut off). Dalam ilmu kedokteran
diartikan sebagai “membuang” sebagian atau seluruh anggota gerak, sesuatu
yang menonjol atau tonjolan alat (organ tubuh) (Reksoprodjo, 2002).
2.1.2 Epidemiologi
Pada tahun 1996, prevalensi orang dengan amputasi sekitar 1,2 juta,
tahun 2005 meningkat menjadi 1,6 juta dan kemungkinan bertambah menjadi
dua kali lipat pada tahun 2050 (Cuccurollo, 2015).
Di Amerika Serikat diperkirakan 1 dari 200 orang pernah mengalami
amputasi dan sekitar 185.000 orang mengalami amputasi setiap tahunnya
(Cuccurollo, 2015).
Penyakit vaskular merupakan penyebab terbanyak pada amputasi
ekstremitas bawah (75%-93%) dan ras Afrika Amerika beresiko dua kali lebih
besar untuk mengalami amputasi akibat penyakit vaskular (Cuccurollo, 2015).
Dua pertiga kasus amputasi ekstremitas bawah disebabkan oleh Diabetes
Mellitus dimana pada penderita Diabetes Mellitus yang mengalami amputasi
salah satu anggota gerak bawah, akan mengalami amputasi pada sisi yang
lainnya dalam 2-3 tahun mendatang (55%) (Cuccurollo, 2015).
Laki-laki beresiko tinggi untuk mengalami amputasi yang berhubungan
dengan trauma daripada perempuan (Cuccurollo, 2015).
2.1.3 Etiologi
Secara umum penyebab amputasi dapat dibedakan menjadi :
1. Kelainan kongenital (5%)
Mayoritas tampak pada usia dari lahir hingga 16 tahun.
6
2. Didapat (95%), terdiri dari :
a. Penyakit oklusi arterial (Occlusive Arterial Disease) – 60%.
Penyakit vaskuler yang berhubungan dengan amputasi adalah diabetes
mellitus, arteriosklerosis, dan Buerger’s Disease. Mempunyai insidensi
pada usia sekitar 60-70 tahun. 90% kasus melibatkan alat gerak bawah;
5% partial foot and ankle amputations, 50% below knee amputation,
35% above knee amputation dan 7-10% hip amputation.
b. Trauma - 30%
Paling sering terjadi pada usia antara 17-55 tahun (71% pria). Lebih
banyak mengenai alat gerak bawah, dengan ratio 10 : 1 dibandingkan
dengan alat gerak atas. Trauma dari ekstremitas melibatkan kerusakan
pada vaskuler atau nervus, luka bakar, dan fraktur yang menyebabkan
kerusakan permanen pada fungsional ekstremitas. Dalam kasus tersebut.
amputasi awal, dalam upaya menyelamatkan anggota badan, seringkali
merupakan pilihan terbaik.
c. Tumor – 5%
Biasanya tampak pada usia sekitar 10-20 tahun. Seiring kemajuan
teknologi medis di bidang kemoterapi dan radioterapi untuk staging
tumor, dalam banyak kasus, memungkinkan untuk melakukan reseksi
segmental ekstremitas dengan eksisi lokal luas dari tumor.
7
2.1.5 Below Knee Amputation
Amputasi bawah lutut secara statistik merupakan amputasi utama yang
paling sering dikerjakan pada alat gerak bawah. Luka amputasi pada level ini
akan sembuh dengan baik pada sebagian besar pasien
Lutut memiliki fungsi sangat penting dalam manajemen rehabilitasi
dengan menggunakan prostetik sehingga setiap usaha selalu dibuat untuk
menyelamatkan lutut. Amputasi bawah lutut merupakan suatu prosedur
rekonstruktif yang memerlukan perhatian yang cermat terhadap detail
tekniknya. Level ini dipilih berdasarkan ketersediaan jaringan yang sehat
termasuk pemahaman potensi penyembuhan dari alat gerak yang mengalami
iskemi. Sisi pemotongan adalah level dimana terdapat cukup jaringan lunak
untuk menghasilkan puntung yang dapat sembuh dengan baik dan mempunyai
toleransi terhadap prostetik.
Panjang puntung sebaiknya dipertahankan setinggi 6 inchi dari tibia
plateau hingga akhir dari lapisan penyembuhan puntung. Puntung yang lebih
panjang dari ini memerlukan prostetik yang besar karena sirkumferensial
disekitar kruris lebih besar dibanding kaki yang intak. Bentuk puntung yang
baik adalah kerucut, rapat, dan tidak ada perlekatan pada tulang. Tidak ada
jaringan yang tersisa diakhir puntung. Sirkumferensial harus lebih kecil di distal
dibanding proximal.
8
2.1.7 Komplikasi Amputasi dan Penatalaksanaannya
1. Masalah Kulit
Perawatan kulit merupakan hal yang penting karena adanya beberapa
lapisan jaringan yang berdekatan di ujung akhir tulang seperti jaringan
parut, termasuk kulit dan lapisan subkutan, yang mudah melekat pada
tulang. Sehingga perlu diperhatikan adanya mobilisasi jaringan parut.
Setelah insisi sembuh, lunakkan kulit dengan sebuah krim yang larut air
atau preparat lanolin tiga kali sehari. Massage secara lembut pada jaringan
lunak bagian distal akan membantu mempertahankan mobilitasnya di atas
permukaan atau ujung tulang. Tapping jaringan parut dan bagian distal
jaringan lunak sebanyak 4 kali sehari sering membantu untuk
mendesensitasi area tersebut sebelum penggunaan prostetik. Tapping
dilakukan dengan ujung jari, dimulai dengan sentuhan ringan dan kemudian
tekanan ditingkatkan sekitar 5 menit hingga timbul rasa tidak nyaman yang
ringan.
Cara membersihkan kulit yang baik juga harus diajarkan, misalnya
dengan mempergunakan sabun yang bersifat ringan, cuci kulit hingga
berbusa lalu basuh dengan air hangat. Kulit dikeringkan dengan cara ditekan
dengan lembut, tidak digosok. Pembersihan ini dilakukan setiap hari
terutama pada sore hari.
2. Infeksi
Jika terjadi infeksi pada puntung, jika sifatnya terbuka, memerlukan
terapi antibiotik. Jika sifatnya tertutup, harus dilakukan insisi serta terapi
antibiotik.
3. Masalah tulang
Sisa dari periosteum dapat berkembang menjadi bone spurs yang dapat
menimbulkan tekanan pada kulit.
Jenis yang paling umum dari pertumbuhan tulang yang berlebihan
adalah bone spurs karena sisa-sisa periosteum dipuntung pada saat operasi.
Secara umum, modifikasi socket dapat memberikan kompensasi.
Pembedahan pengangkatan spur dan periosteum kadang-kadang diperlukan.
Skoliosis timbul biasanya pada pasien dengan panjang kaki yang tidak
sama. Dapat diterapi dengan mengkoreksi panjang prostetik. Bila tidak
dilakukan latihan stretching harian, skoliosis bisa menjadi menetap. Oleh
9
karena itu latihan untuk range of motion sangat disarankan terutama untuk
pertumbuhan anak.
4. Neuroma
Setiap syaraf yang terpotong akan membentuk distal neuroma bila
menyembuh.
Pada beberapa kasus, nodular bundles dari akson ini di jaringan ikat
akan menyebabkan nyeri saat prostetik memberikan tekanan. Pada awalnya,
nyeri dapat dihilangkan dengan memodifikasi socket. Pada neuroma dapat
diberikan injeksi secara lokal dengan 50 mg lidocaine hydrochloride
(xylocaine) dan 40 mg triamcinolone actonide (Kenalog). Injeksi ini dapat
dikombinasikan dengan terapi ultrasound.
5. Phantom Sensation
Phantom sensation terjadi setelah amputasi alat gerak, merupakan suatu
sensasi yang timbul tentang keberadaan bagian yang diamputasi. Pasien
mengalami sensasi seperti dari alat gerak yang masih intak, yang saat ini
telah hilang. Kondisi ini dapat disertai dengan perasaan tingling atau rasa
baal yang tidak menyenangkan. Phantom sensation dapat juga terasa sangat
nyata sehingga pasien dapat mencoba untuk berjalan dengan kaki yang telah
diamputasi.
Dengan berlalunya waktu, phantom sensation cenderung menghilang
tetapi juga terkadang akan menetap untuk beberapa dekade. Biasanya
sensasi terakhir yang hilang adalah yang berasal dari jari, jari telunjuk atau
ibu jari, yang terasa seolah-olah masih menempel pada puntung.
Sejumlah teori telah diajukan untuk menjelaskan fenomena ini. Salah
satunya adalah teori yang menyatakan bahwa karena alat gerak merupakan
bagian integral dari tubuh, maka akan secara berkelanjutan memberikan
sensory cortex rasa taktil, propriosepsi, dan terkadang stimuli nyeri yang
diingat sebagian besar di bawah sadar sebagai bagian dari body image.
Setelah amputasi, persepsi yang diingat tersebut akan menimbulkan
phantom sensation.
10
6. Phantom Pain
Dapat timbul lebih lambat dibandingkan dengan phantom sensation.
Sebagian besar phantom pain bersifat sementara dan akan berkurang
intensitasnya secara bertahap serta menghilang dalam beberapa minggu
hingga kurang lebih satu tahun.
Rasa nyeri yang timbul merupakan akibat memori bagian yang
diamputasi dalam korteks dan impuls syaraf yang tetap menyebar karena
hilangnya pengaruh inhibisi yang secara normal diinisiasi melalui impuls
afferent dari alat gerak ke pusat. Sering dihubungkan dengan gangguan
emosional, tetapi sulit menentukan apakan gangguan emosional mendahului
atau merupakan akibat darinya.
Phantom pain dapat dipresipitasi atau ditingkatkan oleh setiap kontak,
tidak perlu dengan rasa nyeri saja, tetapi dapat juga dalam bentuk kontak
dengan puntung atau dengan suatu “trigger area” pada batang tubuh,
kontak dengan alat gerak kontralateral, atau kepala. Selain itu juga dapat
dipicu oleh suatu fungsi otonomik seperti miksi, defekasi, ejakulasi, angina
pectoris, atau merokok sigaret.
Phantom pain secara digambarkan sebagai nyeri yang berbentuk seperti
cramping, electric shock like discomfort, crushing, burning, atau shooting
dan dapat bersifat intermitten, berkelanjutan, hilang timbul dalam suatu
siklus yang berdurasi beberapa menit. Sering pula digambarkan sebagai rasa
nyeri seperti diputar atau distorsi dari bagian tubuh, contohnya seperti
menggenggam tangan dengan kuku menekan ke dalam telapak tangan.
Phantom pain berat yang menetap dapat dikurangi dengan terapi non
invasif. Pasien sebaiknya diberikan analgesik yang adekuat preoperatif dan
didorong untuk merawat puntungnya paska operasi untuk mengurangi
sensitivitasnya. Sejumlah modalitas dan cara telah dicoba untuk mengurangi
nyerinya seperti penggunaan prostetik, injeksi lokal pada trigger points,
penggunaan transcutaneous nerve stimulation (TENS), interferential,
akupunktur, dan ultrasound.
11
7. Edema
Edema pada puntung akan menyebabkan proses penyembuhan yang
lambat dan akan membuat fitting prostetik menjadi sulit. Edema dapat
dicegah dengan berbagai macam cara seperti mempergunakan total-contact
sockets, terutama jika sifatnya inelastik, dengan penggunaan elastic
bandaging, plaster cast, air bags atau unna dressing (dibuat seperti cast
dengan mempergunakan impregnated gauzed yang tersedia secara
komersial) atau dapat pula dengan cara immediate fit rigid dressing. Latihan
pada daerah puntung, penggunaan stump board serta peninggian ujung
tempat tidur hingga bersudut kurang lebih 300 juga akan membantu
mengontrol edema.
Beberapa cara untuk mengontrol edema pada puntung:
a. Bandaging
Bandaging merupakan suatu cara yang kontroversial terutama pada
pasien dengan penyakit vaskuler, karena bandaging yang buruk akan
menyebabkan kerusakan pada puntung. Elastic bandages selain membantu
mengontrol edema tetapi juga akan mengecilkan dan membentuk alat gerak
yang tersisa untuk prostetik casting.
Sebuah balutan selebar 4 inchi biasanya dipergunakan untuk puntung di
bawah lutut. Untuk mempertahankan bandage, sebuah balutan berbentuk
angka delapan yang membalut sendi proksimal terdekat dengan puntung.
Balutan dimulai dari proksimal (langkah 1) lalu dibawa ke ujung distal
puntung (langkah 2). Balutan lalu dibawa lagi ke proksimal (langkah 3) dan
dibalutkan membungkus sisa ujung distal (langkah 4). Tekanan yang
diberikan sebaiknya sama rata dan menurun ke arah lipat paha. Putaran
harus dilakukan secara diagonal, hindari putaran sirkuler untuk menghindari
efek tourniquet yang dapat menimbulkan edema di bagian distal.
12
Gambar 2.1 Figure of eight.
Puntung sebaiknya dibalut ulang sedikitnya tiga kali sehari (paling baik
setiap 3-4 jam sekali) dan pada kondisi bandage melonggar, menggeser atau
menggulung. Bandage harus dipergunakan sepanjang hari tetapi dilepas jika
mengunakan sebuah prostetik. Pemakaiannya kurang lebih satu tahun dan
pasien beserta keluarganya harus diajarkan cara mempergunakannya secara
mandiri. Pemeriksaan kulit secara teratur harus dilakukan demikian pula
dengan pencucian kaus kaki dan bandage. Jika lutut dalam resiko terjadinya
flexion contracture, sebuah posterior plaster mid-thigh length splint dapat
dipergunakan. Pembalutan yang lebih keras secara progresif dilakukan jika
luka sudah sembuh. Penggunaan material pembalut diatas luka harus
dihentikan secepat mungkin bila pembentukan puntung yang baik telah
dicapai.
b. Massage puntung
Centripetal massage membantu mengurangi edema, memperbaiki
sirkulasi dan mencegah adhesi serta mengurangi ketakutan pasien untuk
melatih puntungnya.
8. Kontraktur sendi/deformitas
Pada alat gerak bawah, adanya kontraktur panggul sangat mengganggu
karena membuat pasien kesulitan untuk mengekstensikan panggulnya dan
mempertahankan pusat gravitasi di lokasi normalnya. Sementara itu jika
13
pusat gravitasi mengalami perubahan, maka akan semakin banyak energi
yang diperlukan untuk melakukan ambulasi. Adanya tendensi kontraktur
fleksi lutut terdapat pada amputasi bawah lutut yang dapat membatasi
keberhasilan fitting sebuah prostetik. Deformitas ini dapat timbul karena
nyeri, kerja otot dan pasien yang duduk untuk jangka waktu lama dalam
kursi roda.
Hal tersebut diatas dapat dicegah dengan cara :
a. Positioning
Kontraktur mudah untuk dicegah tetapi sulit untuk koreksi. Pasien
amputasi tidak boleh tidur pada kasur yang terlalu lembut, menggunakan
bantal di bawah bagian belakang atau paha, atau kepala tempat tidur
ditinggikan. Berdiri dengan sisa ekstremitas transfemoral beristirahat pada
tongkat penopang harus dihindari. Semua posisi ini dapat menyebabkan
kontraktur fleksi hip. Pasien amputasi tidak boleh meletakkan bantal di
antara kedua kaki, karena ini menyebabkan kontraktur hip abduction. Pasien
amputasi below knee tidak boleh meletakkan ekstremitas yang tersisa
menggantung di tepi ranjang, bantal ditempatkan di bawah lutut, atau
dengan lutut tertekuk, dan tidak boleh duduk di kursi roda dengan lutut
tertekuk, karena posisi ini menyebabkan kontraktur fleksi genu. Pada pasien
dengan amputasi di bawah lutut yang mempergunakan kursi roda maka
puntung harus disandarkan pada sebuah stump board saat pasien duduk.
Berjalan dengan kruk dengan atau tanpa prostetik dengan gerak yang
baik dan lebih dipilih dibandingkan dengan mobilitas menggunakan kursi
roda. Pasien amputasi harus berbaring telungkup selama 15 menit tiga kali
sehari untuk membantu mencegah kontraktur fleksi hip.
b. Latihan
Latihan luas gerak sendi dilakukan sedini mungkin pada sendi di bagian
proksimal alat gerak yang diamputasi. Latihan isometrik pada bagian otot
quadriceps dapat dilakukan untuk mencegah deformitas pada amputasi di
bawah lutut. Latihan ini dimulai saat drain telah dilepas dalam 2-3 hari
paska operasi. Tingkatkan latihan menjadi aktif secara bertahap, dari latihan
tanpa tekanan kemudian menjadi latihan dengan tahanan pada puntung.
Pada awalnya puntung sangat sensitif dan pasien didorong untuk berusaha
mengurangi sensitifitasnya. Hal ini juga akan membantu pasien untuk mulai
14
mengatasi keterkejutan menghadapi kenyataan bahwa alat geraknya sudah
tidak ada.
9. Komplikasi Respirasi dan Sirkulasi
Latihan pernafasan dan kaki (brisk foot exercise) untuk bagian yang
tidak diamputasi dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi pada fungsi
respirasi dan sirkulasinya. Diberikan pada hari-hari pertama paska operasi
dan dilanjutkan sampai tidak terdapat dahak dan pasien dapat berambulasi.
16
Gambar 2.3 Single Axis
1 1
17
Gambar 2.5 Energy storing
2.1.9 Prognosis
Roon dan rekan kerja menemukan 5 tahun setelah amputasi ekstremitas
bawah diharapkan tingkat kelangsungan hidup menjadi 45% dibandingkan
dengan 85% populasi normal untuk usia yang disesuaikan. Mereka juga
melaporkan bahwa kelangsungan hidup 5 tahun untuk amputasi nondiabetic
hampir normal sekitar 75%, sedangkan kelangsungan hidup 5 tahun untuk
amputasi diabetes hanya 39%. Laporan lainnya tingkat kematian 30%, 50%
dan, 70%, setelah 5, 10, dan 15 tahun, masing-masing, pada mereka dengan
ekstremitas kritis iskemia. Kematian ini terutama disebabkan oleh
komorbiditas penyakit jantung dan otak. Faktor resiko meliputi merokok,
diabetes, dan hypertension. Dari pasien yang selamat, iskemia tungkai kritis
akan berkembang pada sisa ekstremitas dalam l8% - 28% dalam waktu 2
tahun amputasi. Penderita diabetes tidak hanya mengalami gangguan
vaskuler, tetapi juga menderita neuropati sensorik menuju ulserasi. Tindak
lanjut perawatan ekstremitas kontralateral disvaskuler termasuk
pemotongan kuku dan kalus, konseling tentang perawatan kulit kaki, hanya
menggunakan pisau cukur listrik untuk mencukur kaki, dan kontrol ketat
dari diabetes.
18
BAB III
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Brown, Benjamin J and Christopher E.Attinger. The below knee amputation: to
amputate or palliate?.Washington. 2013;2(1):30-35.
2. Cronewett, JL and K. Wayne Johnston. Lower Extremity Amputation:
Techniques and Results. In :Rutherford’s Vascular Surgery. Eight Edition.
Philadelphia: Elseiver Saunders,2014.
3. Cumming, V. et al. 2010. Management of The Amputee. Asa P.Ruskin, et al
(Eds.). Current Therapy In Physiatry Physical Medicine and Rehabilitation.
Philadelphia : W.B Saunders Company. P.214-218.
4. Friedmann, LW. 2012. Rehabilitation of The Lower Extremity Amputee. Frederic
J. Kottke, et al (Eds.). Krusen’s Handbook of Physical Medicine and
Rehabilitation. 4th Edition. Philadelphia : W.B Saunders Company. P.1024-1068.
5. Garrison, S.J.. 2012. Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation Basics.
Philadelphia : J.B Lippincolt Company.
6. Malawer, MM, James C. Wittig and Jacob Bickles. 2012.Operative Techniques In
Orthopaedic Surgical Oncology. Philadelphia : Lippincott williams & wilkins.
7. McAnelly, RD., & Virgil W. Faulker. 2014. Lower Limb Prostheses. Randall L.
Braddom, et al (Eds.). Physical Medicine & Rehabilitation. Philadelphia : W.B
Saunders Company. P.289-297.
8. Mead D, & Sharon G. 2015. Lower Extremity Amputations. [Online]. [Diakses
12 Oktober 2019].
9. Nwosu C, Babalola MO, Ibrahim MH, Suleiman SI. Major limb amputation in a
tertiary hospital north western nigeria. African health science. 2017;17(2):508-
512.
10. Reksoprodjo, S. 2002. Indikasi dan Kondisi Pra/Pasca Amputasi. Naskah Lengkap
Simposium Kedokteran Fisik & Rehabilitasi Medik Dalam Klinik. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal.48-49.
11. Sjamsuhidajat R, Warko Karnadiharja, Theddeus O.H Prasetyono,Reno Rudiman.
2007. Buku Ajar Ilmu Bedah sjamjuhidajat-de jong. Edisi 3. Jakarta : EGC.
12. Vitriana. 2010. Rehabilitasi Pasien Amputasi Bawah Lutut dengan Menggunakan
Immediate Post Operative Prosthetic. [Online]. [Diakses 12 Oktober 2019].
20