Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Untuk melaksanakan prinsip pengendalian, pengevaluasi kinerja dapat
mengurangi bahkan menghilangkan beberapa pengaruh yang menganggu
dari faktor yang tidak dapat dikendalikan pada pengukuran kinerja.
Berhadapan dengan pengaruh faktor yang tidak dapat dikendalikan juga
rentan terhadap kesalahan penilaian. Jika penilaian mengenai cara - cara
menghadapi faktor - faktor yang tidak dapat dikendalikan tidak dibuat
dengan benar, keuntungan dari pengendalian hasil akan hilang dan potensi
masalah moral yang serius dapat muncul dari buruknya evaluasi kinerja
berbasis hasil.
Manajer yang terlibat dalam perancangan dan penggunaan system
pengendalian manajemen harus memiliki pemahaman dasar etika. Etika
adalah bidang studi yang digunakan untuk menentukan perilaku yang dapat
diterima secara moral. Etika membedakan antara “benar” dan “salah” dan
untuk cara sistematis menentukan aturan-aturan yang memberikan panduan
mengenai bagaimana individu dan kelompok individu harus bersikap.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana masalah evaluasi kinerja ketika pengukuran dipengaruhi oleh
faktor yang tidak dapat dikendalikan ?
2. Apa dasar rasionalitas untuk prinsip pengendalian ?
3. Apa saja faktor - faktor yang tidak dapat dikendalikan yang dapat
dihadapi ?
4. Metode apa yang digunakan organisasi untuk menerapkan prinsip
pengendalian? Apa saja kelemahan dan keunggulan masing masing metode
tersebut ?
5. Apa pentingnya analisis etis yang baik ?
6. Apa saja model perilaku etis yang dapat digunakan untuk menganalisis
isu isu etis terkait sistem pengendalian manajemen?
7. Apa saja saran yang dapat mendorong perilaku etis dalam organisasi ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan masalah evaluasi kinerja ketika pengukuran dipengaruhi
oleh faktor yang tidak dapat dikendalikan.
2. Memaparkan dasar rasionalitas untuk prinsip pengendalian.
3. Menjelaskan faktor - faktor yang tidak dapat dikendalikan yang dapat
dihadapi.
4. Menjelaskan metode yang digunakan organisasi untuk menerapkan
prinsip pengendalian dan memaparkan kelemahan dan keunggulan masing
masing metode tersebut.
5. Menjelaskan pentingnya analisis etis yang baik.
6. Menjelaskan beberapa model perilaku etis yang dapat digunakan untuk
menganalisis isu isu etis terkait sistem pengendalian manajemen.
7. Memaparkan saran yang dapat mendorong perilaku etis dalam organisasi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Prinsip Pengendalian
Beberapa argumen yang berkaitan menjelaskan mengapa para karyawan
seharusnya tidak menanggung risiko bisnis yang tidak dapat dikendalikan.
Organisasi yang menahan karyawan yang bertanggung jawab terhadap
faktor yang tidak dapat dikendalikan menanggung biaya karena sebagian
besar karyawan akan menjalankan prinsip risk aversion, karyawan lebih
menyukai bahwa imbalan berdasarkan kinerja mereka secara langsung
berasal dari usaha mereka dan tidak dipengaruhi oleh faktor - faktor yang
tidak dapat dikendalikan.
Risk Aversion adalah dasar untuk argumen penting yang mendukung
prinsip pengendalian. Tingkat risk aversion sangat bervariasi dan
dipengaruhi oleh diri sendiri secara personal dan karakteristik lainnya.
Perusahaan yang mempertahankan karyawan yang memiliki risk averse
yang bertanggung jawab untuk pengaruh - pengaruh dari faktor yang tidak
sepenuhnya dapat mereka kendalikan akan menanggung sejumlah biaya
untuk melakukannya.
1. Untuk mengimbangi risiko, perusahaan perusahaan akan memberikan
nilai kompensasi yang lebih tinggi dari yang diharapkan kepada
karyawan yang menanggung resiko. Jika mereka gagal perusahaan akan
memikul beberapa biaya dalam berbagai bentuk lain, seperti
ketidakmampuan untuk merekrut karyawan yang berbakat, kehilangan
motivasi dari karyawan mereka dan mungkin pada akhirnya akan
menjadi turnover
2. Perusahaan yang tetap mempertahankan karyawan yang
bertanggungjawab terhadap hal yang tidak dapat dikendalikan akan
menanggung biaya dari perilaku beberapa karyawan untuk menurunkan
exposure terhadap faktor yang tidak dapat dikendalikan, yang mungkin
mengorbakna nilai nilai perusahaan. Karyawan mungkin gagal untuk
mengembangkan atau menerapkan ide investasi yang sesuai dengan
kepentingan terbaik perusahaan dan dapat menimbulkan beberapa
resiko. Mereka juga terikat pada perilaku gameplaying, seperti
pengelolaan pendapatan atau penciptaan kelonggaran anggaran, untuk
melindungi diri dari faktor faktor yang tidak dapat dikendalikan.
3. Perusahaan mungkin menanggung biaya karna kehilangan waktu, karna
karyawan yang kinerjanya dievaluasi dalan hal pengukuran yang
terganggu oleh pengaruh yang tidak dapat dikendalikan cenderung
membuat buat alasan. Mereka akan menghabiskan waktu untuk
berargumen mengenai sejumlah gangguan, yang menunjukan bahwa
mereka mengetahuinya karna mereka melakukan pekerjaan mereka.
Perencanaan, diskusi, dan “bermain politik”, tidak hanya menjadi
sesuatu yang tidak diterima dengan baik, tetapi hal tersebut juga bisa
memicu stress dan tekanan kerja.
2.2 Tipe Faktor Yang Tidak Dapat Dikendalikan
Sebelum menjelaskan metode yang dapat digunakan oleh manajer untuk
mengendalikan pengaruh gangguan faktor yang tidak dapat dikendalikan,
akan bermanfaat untuk mengklasifikasikan tipe faktor yang kurang lebih
tidak dapat dikendalikan oleh manajemen. Faktor-faktor tersebut sebagai
berikut.
1. Faktor Ekonomi & Persaingan
Faktor ini mempengaruhi satu hasil pengukuran atau lebih. Salah satu
hasil pengukuran yang penting yaitu laba. Laba dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang berubah seperti permintaan konsumen, harga produk /
jasa atau biaya untuk melakukan bisnis. Faktor faktor tersebut dipengaruhi
juga oleh siklus bisnis, tindakan pesaing, perubahan selera konsumen,
boikot konsumen, perubahan hukum dan peraturan serta tingkat devisa.
Faktor yang memengaruhi penawaran dan permintaan bahan baku antara
lain tenaga kerja dan modal, devisa, peraturan, dan pajak. Contohnya seperti
harga saham perusahaan dipengaruhi oleh siklus pasar, rumor, dan selera
investor. Pengukuran kepuasan konsumen dapat dipengaruhi juga oleh
kualitas produk atau jasa yang diberikan oleh pesaing atau pelayanan jasa
yang berbeda yang diberikan.
2. Force Majeure (kekuatan besar)
Faktor kedua ini meliputi act of nature (bencana alam), act of God (hal
yang dilakukan oleh Tuhan), act of man (hal yang dilakukan oleh manusia),
act of parliament (hal yang dilakukan oleh pemerintah). Contohnya badai
dapat menghancurkan beberapa jalur bisnis, namun hal ini dapat
menciptakan peluang untuk bisnis lainnya seperti perusahaan konstruksi.
Manager harus bereaksi secara cepat terhadap faktor - faktor yang tidak
dapat dikendalikan ini karena peristiwa - peristiwa yang terjadi sama sekali
tidak dapat diduga sebelumnya. Manager juga memiliki pengaruh untuk
mengatasi dampak yang ditinggalkan faktor faktor tersebut.
3. Interdependencies (saling ketergantungan)
Interdependencies merupakan tipe ketiga dari faktor yang tidak dapat
dikendalikan. Faktor ini menandakan bahwa entitas tidak sepenuhnya
mandiri, sehingga menyebabkan pengukuran hasil entitas dipengaruhi oleh
entitas lain dalam organisasi. Interdependencies terbagi atas 3 bentuk
sebagai berikut.
a. Pooled Interdependencies (saling ketergantungan yang menyatu)
Terjadi ketika entitas perusahaan menggunakan sumber daya milik
bersama atau kelompok sumber daya seperti staf atau fasilitas bersama.
b. Sequential Interdependencies (saling ketergantungan yang berurutan)
Terjadi ketika hasil dari salah satu entitas merupakan input dari entitas
lain. Organisasi Sequential Interdependencies tinggi secara vertikal
merupakan perusahaan yang terintegrasi seperti perusahaan kertas dan baja.
c. Reciproal Interdependencies (saling ketergantungan timbal balik)
Bentuk ini merukana hubungan berurutan dua arah. Entitas organisasi
menghasilkan dua output yang masing - masing akan digunakan oleh entitas
lain dan digunakan sendiri. Reciproal Interdependencies memiliki nilai
tinggi pada beberapa perusahaan diversifikasi.
Sebagian besar perusahaan menggunakan Sequential Interdependencies
dan Reciproal Interdependencies dengan menyiapkan sistem harga tansfer
internal yang berusaha memperkirakan kondisi yang ada dipasar eksternal.
Selain 3 bentuk dari Interdependency diatas, terdapat tipe lain yang
bersumber dari intervensi dari level manajemen yang lebih tinggi. Manajer
dengan level lebih tinggi dapat memaksakan keputusan pada manajer entitas
dan secara signifikan memengaruhi ukuran hasil yang dihubungkan dengan
satu bentuk imbalan atau lebih. Manager perusahaan juga dapat
memepengaruhi ukuran hasil dengan tidak menyetujui keputusan keputusan
yang dibuat olh manajer entitas.
2.3 Pengendalian Untuk Efek Yang Mendistorsi Dari Faktor - Faktor Yang
Tidak Dapat Dikendalikan
Manajer dapat mengurangi (terkadang dapat menghilangkan) beberapa
efek yang mendistrosi dari beberapa faktor yang tidak dapat dikendalikan
dengna menggunakan dua pendekatan komplementer sebagai berikut.
1. Pengendalian untuk faktor - faktor yang tidak dikendalikan sebelum
periode pengukuran
Pengendalian untuk faktor - faktor yang tidak dikendalikan sebelum
periode pengukuran dapat menggunakan dua metode utama.
a. Asuransi
Konsep penting mengenai asuransi adalah perusahaan membayar ganti
rugi yang relatif kecil dalam bentuk pembayaran reguler sebagai pertukaran
karena pihak asuransi kemungkinan akan menutupi sebagian besar kerugian
yang akan diderita oleh perusahaan tersebut. Manfaat utama asuransi
diperoleh dari transfer resiko yang diasuransikan pada perusahaan asuransi.
Selain dapat mentransfer risiko kejadian yang tidak dapat dikendalikan pada
biaya yang dapat diprediksi dan persetujuan kontrak dengan pembayaran
reguler, perusahaan juga memperoleh manfaat karen tidak membayar premi
karyawan untuk menanggung risiko.
b. Desain Struktur Pertanggungjawaban
Konsep penting dalam mendesain pusat pertanggungjawaban adalah
memastikan karyawan bertanggung jawab secara penuh terhadap area
kinerja yang diinginkan manajemen. Manajer tidak perlu memberikan
perhatian yang jelas - jelas berada di luar bidang dan pengendaliannya.
Laporan kinerja sering kali memisahkan item yang dapat dikendalikan dari
item yang tidak dapat dikendalikan.
Gambar tabel berikut menunjukan beberapa laporan kinerja yang
dipisahkan dengan empat pengukuran laba. Sistem pengendalian yang
dibangun dari hasil laporan ini akan mambuat manajer pusat laba
mempertanggungjawabkan laba yang dapat dikendalikan. Segala sesuatu
yang berada di bawah garis laba dianggap tidak dapat dikendalikan oleh
manajer . dengan kata lain, perusahaan berusaha untuk “menyesuaikan”
cakupan otoritas keputusan manajer entitas dengan item yang harus
dipertanggungjawabkan oleh manajer entitas.

2. Pengendalian untuk faktor - faktor yang tidak dikendalikan setelah


periode pengukuran
Pendekatan yang dapat digunakan pada pengendalian untuk faktor -
faktor yang tidak dikendalikan setelah periode pengukuran adalah analisis
varians, standar kinerja yang fleksibel, evaluasi kinerja.
a. Analisis Varians
Analisis varians adalah analisis sistematik yang didesain untuk
menjelaskan bagaimana dan mengapa dua angka berbeda. Pada aplikasi
MCS, analisis varian digunakan untuk menjelaskan mengapa hasil aktual
berbeda dari standar, anggaran atau ekspektasi yang telah ditentukan.
Analisis ini dapat membantu memisahkan varian yang dapat dikendalikan
dan yang tidak dapat dikendalikan, baik positif maupun negatif. Pada
gambar tabel dibawah akan menunjukan bagaimana analisis varian dapat
diaplikasikan pada derah penjualan di luar negeri. Asumsikan bahwa
maanjer telah menetapkan bahwa penjualan tergantung pada empat fokus
(volume industri, pangsa pasar, harga dalam nilai tukar lokal, nilai tukar
mata uang asing), sehingga mereka mempersiapkan rencana penjualan
(sebuah model) yang didasarkan pada perkiraan masing masing faktor. Pada
akhir periode pengukuran, hampir dipastikan penjualan aktual akan berbeda
dari rencana yang telah disiapkan.

Analisis varians memiliki dua tujuan yaitu (a) memisahkan faktor yang
tidak dapat dikendalikan dengan yang dapat dikendalikan, hal ini digunakan
untuk menjelaskan perbedaan antara hasil aktual dan hasil yang
direncanakan. (b) mengisolasi kinerja faktor yang pasti dapat dikendalikan
dari yang lain sehingga individu khusus dapat bertanggung jawab.
b. Standar kinerja yang fleksibel
Standar yang fleksibel menggambarkan kinerja karyawan diharapkan
mencapai kondisi aktual yang dihadapi selasa periode pengukuran. Standar
kinerja fleksibel mungkin dibuat untuk membedakan dengan sejumlah
faktor yang tidak dapat dikendalikan. Anggaran fkesibel adalah standar
kinerja fleksibel yang ditunjukan dalam istilah keuangan, yang dapat
digunakan ketika terdapat indikator jumlah aktivitas yang dominan dan
ketika sebagian besar biaya dikaitkan dengan indikator aktivitas tersebut.
Ketika lingkungan kurang dapat diprediksi dan manajer berharap untuk
menyisipkan berbagai asumsi mengenai masa depan dalam rencana mereka,
terkadang mereka terlibat dalam apa yang disebut dengan praktik
perencanaan kontingensi, skenario, atau what-if. Praktik ini
menggambarkan bagaimana kebutuhan, risiko, dan kinerja sumber daya
perusahaan akan berbeda jika kondisi ekonomi makro dan persaingan
berubah.
c. Evaluasi kinerja realtif
Evaluasi kinerja relatif atau relative performance evaluation (RPE)
memiliki arti bahwa kinerja karyawan dievaluasi bukan dalam tingkatan
mutlak dari hasil yang mereka dapatkan tetapi dalam hasil yang relatif
dengan yang lain atau relatif dengan hasil yang diperoleh dari pesaing luar
yang paling dekat. Untuk membuat RPE menjadi lebih efektif, semua
bagian yang dibandingkan atau semua kelompok yang sama (peer group)
harus melakukan tugas yang sama atau menghadapi serangkaian
kesempatan dan kendala yang sama. Kondisi ini terkadang ditemui pada
perusahaan dengan sejumlah entitas yang dapat dibandingkan, seperti bank
dan perusahaan cepat saji.
d. Evaluasi kinerja subjektif
Beberapa evaluasi kinerja subjektif mempertimbangkan semua logika
yang melekat di dalam metode objektif penyesuaian faktor - faktor yang
tidak dapat dikendalikan. Subjektivitas dalam evaluasi menciptakan masalah
tersendiri, sebagai berikut.
1. Evaluasi subjektif memberi hak dalam bentuk kekuasaan dari atasan atas
bawahannya, yang mungkin menimbulkan ketegangan dan kebencian
2. Evaluasi subjektif cenderung bias
3. Subjektivitas sering kali membawa hal - hal yang tidak memadai, atau
mungkin meskipun tidak, umpan balik mengenai bagaimana kinerja
dievaluasi.
4. Meskipun evaluasi berjalan adil, karyawan sering kali tidak memahami
atau tidak mempercayai
5. Subjektivitas sering kali membawa penciptaan budaya membuat alasan
(excuse culture)
Sebagai akibat dari berbagai isu yang muncul, jika dilakukan dengan baik,
evaluasi kinerja subjektif dapat memakan biaya besar, khususnya dalam hal
waktu yang dihabiskan oleh pengevaluasi maupun pihak yang dievaluasi.
2.4 Isu - Isu Faktor Lain Yang Tidak Dapat Dikendalikan
Organisasi dihadapkan pada isu lain ketika mengenai penyesuaian yang
tidak dapat dikendalikan.
1. Tujuan penyesuaian
Faktor yang tidak dapat dikendalikan seharusnya tidak diperlakukan
sama untuk semua tujuan imbalan. Pengevaluasi mungkin akan memaafkan
ketika mempertimbangkan keputusan retensi, contohnya seorang karyawan
jarang dipecat karena sedang tidak beruntung. Namun kasus berbeda akan
terjadi ketika pengevaluasi mungkin tidak akan memaafkan ketika
mempertimbangkan isu kompensasi khususnya bonus, contohnya jika
kinerja karyawan menurun, perusahaan akan memiliki sedikit sumber
keuangan untuk membayar kompensasi tambahan.
2. Arah penyesuaian
Sebagian besar pengevaluasi terlihat menyesuaikan faktor yang tidak
dapat dikendalikan setelah periode pengukuran secara asimetris, yaitu
mereka membuat penyesuaian hanya satu arah dimana hanya melindungi
karyawan tetapi tidak melindungi pemilik.
2.5 Pentingnya Analisis Etis Yang Baik
Etika yang baik adalah perekat yang merekatkan organisasi dan
masyarakat bersama-sama. Pentyimpangan dalam etika sering menjadi
penyebab masalah yang lebih serius, seperti kecurangan. Misalnya,
pelaporan keuangan “agresif”, yang banyak orang menafsirkan sebagai
sesuatu yang kurang etis tapi mungkin cukup legal, sering muncul menjadi
suatu yang beresiko yang akhirnya memuncak menjadi tindakan penipuan
yang merugikan. Untuk mengendalikan perilaku tidak etis dalam sebuah
organisasi, manajer memerlukan keterampilan perseptif pertimbangan etis.
Hanya karena manajer membutuhkan keterampilan yang baik dalam disiplin
teknis teknis mereka dalam rangka membuat penilaian bisnis yang tepat,
manajer perlu keahlian moral, atau model peran dalam organisasi mereka.
Mereka juga harus merancang SPM untuk mendorong pandanga moral dan
perilaku etis. Sejumlah pengendalian yang sangat spesifik termasuk
beberapa kebijakan dan prosedur serta unsur-unsur sistem pengukuran dan
penghargaan, berasal dari analisis etis.
Manajer yang tidak tahu mengenai etika dapat membuat sejumlah
kesalahan yang dapat menyebabkan kemungkinan besar dilakukannya
perilaku tidak etis dalam organisasi mereka. Pertama, mereka
kadang-kadang tidak bias mengenali munculnya masalah etika. Salah satu
masalah umum yang terjadi adalah bahwa manajer kadang-kadang
menyamakan masalah etika dan hokum; mereka menyimpulkan bahwa jika
suatu tindakan illegal, tindakan tersebut pasti etis.
Kedua, masalah etika sering klai berhubungan dengan aturan yang
kurang sesuai, seperti “selalu berkata jujur”, “tidak merugikan” atau
“memperlakukan orang lain seperti Anda ingin orang lain memperlakukan
Anda.
2.6 Model-Model Etika
Tantangan pertama dalam mengadaptasi pemikiran etis untuk
pengaturan manajerial adalah dalam mengenali keberadaan isu-isu etis yang
ada atau mungkin ada. Bagian berikut menjelaskan secara singkat empat
model etika yang sering dikutip, yaitu utilitarianisme, hak dan kewajiban,
keadilan/kewajaran, dan keutamaan. Setiap model memiliki kelebihan,
tetapi tidak ada yang sempurna, masing-masing juga memiliki kelemahan.
1. Uilitarianisme
Dengan menggunakan model ultilitarianisme (atau konsekuensialisme),
kebenaran tindakan dinilai berdasarkan konsekuensinya. Dalam model ini,
suatu tindakan secara moral benar jika tindakan tersebut memaksimalkan
total kebaikan yang di dunia, yaitu jika tindakan itu menghasilkan manfaat
bersih (keuntungan dikurangi biaya dan kerugian) sebagaimana tindakan
lain yang dapat dipertimbangkan. Namun, model tilitarian memiliki
keterbatasan. Model ini sulit mengukur manfaat bersih karena manfaat dari
beberapa tindakan atau keputusan sulit diukur, diagregasi, dan sulit
dibandingkan antarindividu, misalnya kepuasan kerja, kebebasan dari
tekanan, atau kemungkinan ynag beresiko akan adanya keuntungan
tambahan suatu saat nanti.
2. Hak dan Kewajiban
Model hak dan kewajiban menyatakan bahwa setiap individu memiliki
hak moral sebagai manusia. Hak-hak dasar yang sering dikutip di sebagian
besar masyarakat moder meliputi hak untuk martabat, rasa hormat, dan
kebebasan. Beberapa masyarakat juga menerima bahwa orang harus
memiliki hak-hak kesejahteraan, seperti hak untuk pendidikan dan untuk
akses ke pusat pelayanan kesehatan dan perumahan yang baik. Setiap hak
yang dimiliki oleh individu menciptakan kewajiban bagi orang lain untuk
memenuhinya, atau setidaknya tidak mengganggu. Jadi, jika seorang
individu dikatakan memiliki hak privasi, maka orang lain memiliki
kewajiban untuk tidak mengganggu privasi orang itu. Jika manajemen
puncak memiliki hak untuk diberikan laporan kinerja informatif dari
manajer tingkat yang lebih rendah, maka para manajer dengan tingkat yang
lebih rendah memiliki tugas untuk memberikan laporan tersebut.
Dengan kata lain, hak dan kewajiban harus saling dipatuhi oleh
pihak-pihak yang berpartisipasi dalam kelompok yang menerapkan hak dan
kewajiban tersebut. Kelemahan dari model hak dan kewajiban ini
kadang-kadang sulit untuk mendapatkan kesepakatan mengenai seperti apa
hak-hak yang harus dimiliki individu yang berbeda atau kelompok individu.
Hak dapat berkembang. Hak juga dapat bertentangan.
3. Keadilan / Kewajaran
Model keadilan menyatakan bahwa orang harus diperlakukan sama,
kecuali bila dalam beberapa hal mereka berbeda. Dilaksanakan proses yang
adil, seperti dalam mengevaluasi kinerja karyawan, tergantung pada hal-hal
seperti kenetralan dan konsistensi. Akan tetapi, masing-masing orang
memiliki perbedaan dalam berbagai hal, dan menentukan perbedaan mana
yang harus dianggap relevan merupakan masalah inti yang harus
diperhatikan dalam menerpkan model keadilan/kewajaran. Kelemahan lain
dari model keadilan/kewajaran adalah kemudahannya untuk mengabaikan
efek kesejahteraan social agregat dan individu tertentu. Persepsi keadilan
bagi satu kelompok dapat merugikan kelompok lain.
4. Keutamaan
Model perilaku moral terakhir yang umum digunakan berakar pada
keutamaan. Contoh keutamaan yang paling jelas adalah integritas, loyalitas,
dan keteguhan hati. Individu dengan integritas memiliki niat untuk
melakukan apa yang benar secara etis tanpa memperhatikan kepentingan
diri sendiri. Integritas memiliki banyak komponen, termasuk kejujuran,
kewajaran, dan kesungguhan. Loyalitas adalah kesetiaan pada seseorang.
Orang-orang memiliki bnayak kesetiaan, kepada orang lain, organisasi,
agama, pekerjaan, dan bahkan “penyebab”. Ketika terjadi konflik loyalitas,
kekuatan relatif mereka menentukan bagaimana penyelesaian konflik.
Keteguhan hati adalah kekuatan untuk berdiri teguh dalam menghadapi
kesulitan dan tekanan. Keutamaan sering tercermin dalam kode etik profesi
dank ode etik perusahaan.
Keutamaan memberikan penghargaan intrinsik sendiri. Individu yang
memiliki keutamaan selalu menghargai dan karenanya mengejar
penghargaan ini. Keutamaan mengisi kekosongan dan menjadi panduan
mengenai sesuatu yang benar untuk dilakukan. Keutamaan-keutamaan
merupakan komponen pengendalian personel atau budaya. Namun,
pendekatan berbasis keutamaan memilki kelemahan. Salah satunya adalah
bahwa daftar keutamaan potensial sangat panjang. Misalnya selain
keutamaan-keutamaan yang disebutkan dalam kode etik yang telah kita
bahas, terdapat pula karakter, kemurahan hati, rasa hormat, kesopanan,
komitmen, kehematan, kemandirian, profesionalisme, idealism, kasih saying,
tanggung jawab, kebaikan, dan moderasi. Pengkritik model keutamaan
berpendapat bahwa dalam model keutamaan tidak jelas yang mana
keutamaan yang harus diterapkan dalam kondisi tertentu. Selain itu,
beberapa karakteristik menganggap keutamaan justru dapat menghambat
perilaku etis.
2.7 Menganalisis Isu-Isu Etis
Perilaku etis yang baik harus berdasarkan lebih dari sekadar pendapat,
intuisi, atau firasat. Ketika etika dari suatu tindakan dipertanyakan, individu
harus menyusun analisis situasional mereka dengan menggunakan penalaran
atau model keputusan yang tepat. Terdapat berbagai macam model, tetapi
kebanyakan terdiri dari langkah-langkah berikut:
1. Mengklarifikasi fakta. Apa yang diketahui, atau apa yang perlu
diketahui untuk membantu mendefinisikan masalah? Fakta-fakta harus
mengidentifikasi apa, siapa, dimana, kapan dan bagaimana.
2. Menentukan masalah etis. Bagaimana dengan situasi yang
menyebabkan menungkatnya masalah etika? Logika ini harus
dinyatakan dengan menggunakan istilah dari satu model etika atau
lebih. Pemangku kepentingan apa yang dirugikan atau beresiko?
Apakah ada konflik atas hak? Apakah seseorang diperlakukan tidak adil?
Apakah seseorang bertindak tidak jujur (tidak mempunyai integritas)?
3. Menetapkan alternative. Sebutkan alternative tindakan, termasuk yang
mewakili beberapa bentuk kompromi.
4. Membandingkan nilai-nilai dan alternative. Lihat apakah ada
keputusan yang jelas. Jika salah satu tindakan sangat kuat, maka analisis
dapat disimpulkan.
5. Menilai konsekuensi. Identifikasi konsekuensi positif dan negative
jangka pendek dan jangka panjang untuk alternative utama. Langkah ini
akan sering mengungkapkan hasil yang tak terduga, misalnya, laba
jangka pendek akan terlihat lebih kecil dikarenakan adanya biaya jangka
panjang.
6. Membuat keputusan. Seimbangkan konsekuensi terhadap
prinsip-prinsip atau nilai-nilai etika utama dan pilihlah alternatif yang
paling cocok.
2.8 Mengapa Orang Bertindak Secara Tidak Etis?
Orang-orang berperilaku tidak etis karena beberapa alasan. Ada
beberapa orang yang secara tidak sadar bertindak buruk. Mereka pada
dasarnya tidak jujur. Bagi mereka, beban etika lebih besar dari apa yang
akan mereka tanggung setelahnya. Beberapa orang lainnya hanyalah tidak
adanya moral atau ketidaktahuan. Mereka mungkin tidak mengenali
masalah etis ketika mereka menghadapinya, sehingga hati nurani mereka
tidak mencegah mereka untuk berperilaku tidak etis. Namun, orang lain
yang mengetahui isu-isu etis , mengembangkan rasionalisasi untuk
membenarkan perilaku tidak etis mereka.
Akhirnya, beberapa orang yang tahu bahwa mereka melakukan sesuatu
yang salah tidak dapat berhenti karena mereka tidak memiliki keteguhan
moral. Keteguhan moral adalah kekuatan untuk melakukan hal yang benar
meskipuntakut akan konsekuensinya. Semua orang mengetahui bahwa
mereka yang bersikeras bertindak secara etis dapat mengalami banyak
konsekuensi negative, antara lain rasa malu, pengucilan, dan bahkan
pemecatan. Orang-orang dengan keyakinan etis yang rendah dan/atau
keteguhan moral yang kecil mudah “menyerah”. Mereka ingin membangun
keteguhan moral harus menjelaskan nilai-nilai inti mereka, terlepas dari
konsekuensinya. Mereka yang mengakui bahwa mereka tidak memiliki
keteguhan moral harus memilih lingkungan yang mungkin tidak akan
menekan mereka dalam keputusan yang mengharuskan penilaian etika yang
baik.
2.9 Beberapa Pengendalian Manajemen Umum -- Isu-Isu Etis Terkait
Banyak isu - isu etis yang muncul dalam konteks SPM. Beberapa
bahkan menggunakan argumen etis untuk mempertanyakan dasar - dasar
“pengendalian” manajemen, demikian pula “sistem kapitalis” yang
“memaksa” manajemen membuat keputusan (hanya) mengenai alasan
“ekonomi” berikut terdapat empat isu terkait SPM yang lebih sempit. Tetapi
sering terjadi dan merupakan hal yang terpenting.
1. Etika Menciptakan Kelonggaran
Ketika karyawan membuat kelonggaran, mereka mendayagunakan
pengetahuan luas mereka mengenai prospek entitas mereka. Mereka tidak
berhasil mengungkapkan semua informasi dan wawasan yang mereka miliki
kepada atasan mereka dan menyajikan gambaran yang menyimpang daeri
badan usaha mereka. Oleh, karena itu menciptakan kelonggaran dapat
melanggar beberapa kewajiban yang tercantum dalam Statement of Ethical
Professional Practice dari Assocation for Accountans and Financial
Proffesional Business. Misalnya, standar kredibilitas mengharuskan akuntan
manajemen untuk “mengomunikasikan informasi secara wajar dan
objektif”.
Analisis dari ajaran utilitariasme juga menunjukan bahwa penciptaan
kelonggaran meupakan masalah etika. Biasanya, karyawan yang
menciptakan kelonggaran anggaran akan mendaptakan keuntungan pribadi
dari itu. Kelonggaran melindungi karyawan terhadap kejadian yang tidak
menguntungkan seperti kenaikan biaya, sehingga mengurangi kemungkinan
bahwa target kinerja akan terlewati dan penghargaan berdasarkan kinerja
tetap tidak diterima. Anggaran yang longgar sering tidak memotivasi secara
optimal. Ketika pencapaian target terjamin , usaha karyawan mungkin
berkurang. Selain itu, budgetee mungkin tidak ingin bnyak melampaui
target mereka karena mungkin menyebabkan mereka harus diberi target
yang lebih sulit dan lebih tinggi untuk periode berikutnya. Penciptaan
kelonggaran juga dapat dianggap kurang benar dari sudut pandang
pennguna pengaju anggaran-manajemen tingkat yang lebih tinggi karena
mereka akan mengandalkan informasi dalam anggaran untuk melakukan
investasi,alokasi sumber daya, dan keputusan evaluasi kinerja yang akan
menjadi menyimpang.
Disisi lain, beberapa argument dapat ditingkatkan untuk dapat
mendukung argumentasi bahwa menciptakan kelonggaran itu etis tetapi
sebagai sarana untuk melinndungi diri sebagai resiko negative atas masa
depan yang tidak pasti. Contohnya, dalam praktik akuntansi manajemen
mengenai analisis varian dan penganggaran fleksibel.
Akhirnya, manajer yang mepertahankan penciptaan kelonggaran juga
sering menunjukan bahwa kelonggaran adalah praktik yang diterima dalam
proses negoisasi anggaran suatu organisasi. Secara umum, dalam mencatat
penilaian mengenai apakah penciptaan kelonggran dalam kondiri tertentu itu
etis, banyak faktor yang harus dipertimbangkan, termasuk hal sbb :
1. Apakah target anggaran diperlakukan sebagai janji yang kaku dari
manjer korporasi.
2. Apakah maksud manajer dalam menciptakab kelonggaran mnecermikan
kepentingan pribadi.
3. Apakah (atau berapa banyak) atasan menyadari adanya kelonggaran)
4. Apakah atasan mendorong terciptanya kelonggaran
5. Apakah jumlah kelongaran material
6. Apakah individu yang terlibat terikat oleh satu peringkat standar kode
professional atau lebih
2. Etika Pengelolaan Laba
Masalah etika yang kedua meliputi masalah manipulasi data yang
sering dilakukan adalah manajemen laba yang meliputi semua tindakan
yang mengubah laba yang dilaporkan (atau laporan laba rugi atau item
laporan keuangan lainnya), walaupun tidak memberikan keuntungan
ekonomi riil bagi organisasi dan kadang- kadang sebenarnya menyebabkan
kerugian.
Manajemen laba dianggap tidak etis karena beberapa alasan :
1. Sebagian besar tindakan tidak terlihat jelas bagi pengguna laporan
keuangan eksternal maupun internal serta informasi yang dilaporkan
secara lebih umum. Dengan demikian pihak-pihak yang terlibat dalam
manajemen laba mungkin memperoleh keuntungan pribadi melalui
penipuan
2. Manajer profesional dan akuntan dapat dikatakan memiliki kewajiban
untuk mengungkapkan informasi yang disajikan secara wajar dengan
asosiasi kode etiknya. Oleh karena itu, penyimpangan dapat diartikan
sebagai ketidakkonsistenan dengan kewajiban seorang profesional untuk
melaporkan dan mengungkapkan informasi secara terpercaya
3. Penghargaan yang diperoleh dari pengelolaan laba tidaklah wajar ketika
kinerja yang dilaporkan bukanlah kinerja yang artinya tidak nyata
Beberapa faktor situasional yang mungkin mempengaruhi penilaian
mengenai apakah tindakan manajemen laba dianggap (tidak) etis meliputi :
1. Arah manipulasi (meningkatkan, mengecilkan, atau meratakan laba)
2. Ukuran efek (materialitas)
3. Waktu (triwulan vs akhir tahun, waktu acak vs segera mendahului
penawaran saham atau obligasi)
4. Metode yang digunakan (menyesuaikan cadangan, menunda
pengeluaran diskresioner, mengubah kebijakan akuntansi)
5. Maksud manajer mengenai informative angka (dan pengungkapan)
6. Kejelasan aturan melarang tindakan
7. Tingkat pengulangan (penggunaan satu kali vs penggunaan terus
menerus bahkan setelah ada peringatan)
Membuat penilaian tentang manajemen laba merupakan sesuatu yang
kompleks meskipun dengan melakukannya mungkin akan bijaksana untuk
tidak berhati-hati daripada tidak rasional.
3. Etika Merespon Indicator Pengendalian yang Cacat
Ketika target dan aturan tidak didefinisikan dengan baik yang tidak
sesuai dengan kepentingan organisasi. Apa yang harus dilakukan karyawan
jika mereka tahu ukuran hasil atau aturan - aturan tindakan ternyata cacat?
Haruskah mereka bertindak untuk mendaptakan hasil yang akan membuat
mereka dihargai, atau haruskah mereka mengorbankan kepentingan diri
mereka sendiri dalam mendukung apa yang mereka yakini sesuatu yang
benar terbaik bagi organisasi? Ketika mereka mengalami konflik
kepentingan ini sebagian besar karyawan akan memilih untuk memilih
sistem penghargaan mungkin saat melobi agar ukuran diubah. Norma
prilaku ini mungkin tidak etis. Professional keuangan memiliki standar etika
tugas yang mengharuskan mereka untuk lebih cenderung kepada
kepentingan sah organisasi.
4. Etika Menggunkan Indikator Pengendalian yang “Terlalu Bagus”
Indikator pengendalian yang terlalu bagus misalnya yaitu pengedalian
yang sangat ketat mungkin terjadi karena adanya kemajuan teknologi.
Contohnya program pengawan computer yang memungkinkan perusahaan
untuk memantau layar computer pribadi, penggunaan data, dan lalu lintas
internet karyawan yang saat ini tersebar luas. Pengawas dapat
mendengarkan panggilan penjualan karyawan, kamera dapat merekam
semua tindakan yang dilakukan karyawan, computer dapat menghitung data
dan perangkat lokasi dapat melacak lokasi karyawan.
Apa yang menjadi masalah etika? Dari seperangkat teknologi yang
canggih tadi dikatakan bahwa ada garis tipis antara hak majikan untuk
memantau dan hak karyawan atas otonomi, privasi atau kebebasan dari
tekanan pengendalian yang member kesan bahwa para pegawainya bekerja
dalam sebuah lingkungan kerja yang membuat para pegawainya merasa
tertekan. Ketika pengendalian terlalu ketat atau tertekan sebagaimana yang
akan dibantah oleh beberapa karyawan untuk mempengaruhi konsekuensi
yang diinginkan.
2.10 Penyebaran Etika yang Baik dalam Organisasi
Kemajuan etika dalam organisasi biasanya dilakukan secra bertahap.
Pada tahap awal ketika organisasi kecil, organisasi menjadi perpanjangan
atau pendiri kelompok manajemen puncak. Pendiri bertindak sebagai
panutan, pengaturan standar etika, dan biasanya dapat memonitor kepatuhan
karyawan dengan standar itu. Dalam tahap perkembangan berikutnya,
organisasi sebagian besar menggunakan pengedalian tindakan tipe
akuntabilitas.
Bagian dari tipe ini adalah standar, aturan, dan peraturan yang
mewujudkan perilaku yang diinginkan. Organisasi menyampaikan standar
tersebut melalui kebijakan perusahaan dan manual prosedur, kode etik
perusahaan,atau seperangkat memorandum informal. Aturan memperjelas
mana etika yang baik, memperjelas bahwa prilaku etis dihargai dan
memberikan panduan kepada karyawan untuk memikirkan isu-isu etis.
Aturan mungkin perlu diperbarui dari waktu ke waktu meskipun
prinsip-prinsip dasar kode etik yang baik mungkin sebagian besat tetap
sama.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
1. Prinsip pengendalian mempertahankan karyawan yang bertanggungjawab
hanya pada bagian yang dapat mereka kendalikan.
2. Prinsip pengendalian bertujuan mempertahankan karyawan yang
bertanggung jawab terhadap apa yang mereka pengaruhi dan memberikan
arah pedoman yang baik.
3. Ketika keputusan dibuat untuk melindungi karyawan dari pengaruh -
pengaruh yang tidak dapat dikendalikan, setiap metode yang digunakan
memiliki tradeoff.
4. Banyak masalah etika penting yang masih belum jelas. Seseorang tidak
dapat menyimpulkan dengan tegas bahwa, misalnya menciptakan
kelonggaran anggaran sealu tidak etis atau pengendalian “terlalu baik” atau
“tidak cukup ketat”.
5. Para manajer harus memahami bagaimana dan mengapa individu akan
mencapai kesimpulan etis yang berbeda dan yang penting mereka harus
mengambil sikap mengenai bagaimaan perilaku karyawan yang mereka
inginkan dalam organisasi.
6. Setiap organisasi memiliki berbagai iklim etika. Manajer perlu
membangun iklim etika yang baik, iklim yang menghormati hak, kewajiban
dan pemangku kepentingan di dalam dan di luar organisasi.
7. Iklim etika yang lemah atau buruk dapat menyebabkan perilaku yang
tidak etis yang dapat merusak atau menghancurkan reputasi individu dan
organisasi. Setelah iklim etika melemah dan reputasi rusak, iklim dan
reputasi tersebut sangat sulit untuk dibangun kembali.

Anda mungkin juga menyukai