Perumusan delik dapat dilakukan secara formal dan material. Dan biasa di sebut delik
formal dan delik material. Berbeda dengan delik yang 12 dimana sifat dan kenyataannya memang
berbeda, disini perbedaan tidak mengenai sifat yang sesungguhnya melainkan hanya sifat dalam
perumusannya di masing-masing pasal saja.
Dikatakan adanya perumusan formal jika yang disebut atau yang menjadi pokok dalam
adalah formulering kelakuannya. Sebab kelakuan itulah yang di anggap pokok untuk di larang.
Akibat dari kelakuan itu tidak dianggap penting untuk masuk perumusan.1
Misalnya dalam Pasal 362 KUHP mengenai pencurian, yang penting ialah kelakuan untuk
memindahkan barang yang dicuri. Dalam pasal itu kelakuan di rumuskan sebagai mengambil.
Misalnya dalam pencurian sepeda, bahwa sikorban harus jalan kaki sehingga jatuh sakit, tidak di
anggap penting dalam formulering pencurian.
Di katakana sebagai perumusan material jika disebut atau menjadi pokok dalam
formulering adalah akibatnya. Oleh karena iru akibatnya dianggap pokok untuk dilarang,
bagaimana caranya mendatangkan akibat tadi tidak di anggap penting. Misalnya di anggap delik
material dalam penganiayaan (Pasal 351 KUHP) dan pembunuhan (Pasal 358) karena yang
dianggap pokok untuk di larang adalah adanya akibat menderita sakit atau matinya orang yang
dianiayaatau dibunuh. Bagaimana mengajukan akinbat itu tidak penting sama sekali.
Perlu di ajukan pula disitu yang menjadi pokok bukan hanya caranya berbuat tetapi juga
akibatnya. Cotohnya tentang penipuan dalam Pasal 378 KUHP.
Akibatnya adalah bahwa orang yang ditipu tergerak hatinya untuk menyerahkan barang sesuatu
kepada orang uang menipu, atau memberikan hutang maupun menghapuskan piutang
mengingatkan pada rumusan material. Meskipin begitu tidak setiap cara untuk menggerakan hati
orang yang ditipu, masuk dalam pengertian penipuan dalam pasal diatas. Hanya kalau caranya
menggerakan hati itu, memakai nama palsu, menurut Pasal 378 disini ada rumusan formal.2
1
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana , Rineka Cipta, Jakarta, 2015, hlm. 75
2
Ibid, hlm 76
Mungkin ada yang bertanya kalau memang hanya mengenai perumusan delik saja, apakah
perlu diadakannya perbedaan. Jawabannya ialah oleh karena itu karena perbedaan perumusan itu
di satu pihak mempunyai konsekuensi lain dalam pembuktian, dan dipihak lain dan bertalian
dengan yang pertama berlainan juga pengarugnya terhadap masyaraka. Apakah suatu perbuatan
yang perlu dilarang dengan saksi pidana di rumuskan secara formal dan material. Hal ini ternyata
dalam sejarahnya Pasal 154 KUHP, yang dulunya dirumuskan secara material dan kemudian untuk
memudahkan pembuktian diubah menjadi formal.
3
Ibid, hlm. 77
PEMBAGIAN PERBUATAN PIDANA DDALAM KEJAHATAN DAN PELANGGARAAN
Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP dibagi atas dua kejahatan (misdrijven)
dan pelanggaran ( overtridingen. Dalam buku II tentang kejahatan dan buku III tentang
pelanggaran.
Sudah sejak sebelum wetboek mulai berlaku pandangan ini telah ditentang. Bahwa ada
pelanggaran yang sebelumnya ada ketentuan wet sudah dirasakan sebagai perbuatan yang tidak
patut, misalnya Pasal 489 (kenakalan), Pasal 494 (menimbulkan rintangan dijalan umum).
Sebaliknya dalam Pasal 216 dikatakan tidak mungkin dengan tidak adanya wet kita mentaati
perintah seorang anggota kepolisian. Adanya perintah karena adanya wet.5
Ada hukum yang norma-normanya selalu berganti menurut keadaan dan hanya berlaku
karena ada kekuasaan negara yang menegakkannya. Apakah garis yang ditentukan oleh pembuat
wetboek antara diua jenis perbuatan pidana itu sudah tepat ? jawabannya adalah tidaklah selalu
tepat. Tapi ini bukan alasan untuk melepaskan pendirian yang merupakan dasar yang dapat
dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan ketertiban kodrat.
Selain pembagian dua jenis di atas juga terkenal dengan nama crimineel onrecht dan politie
onrecht (v. hamel hal 179) ada tiga jenis Crime, Delict dan Contraventions. Tidak didasarkan atas
perbedaan prinsip melainkan atas dasar ketertiban bersama-sama yaitu menurut macamnya pidana
yang diancamkan. Pembagian ini menjadi ddasar untuk menentukan pengadilan mana yang harus
mengadili perkara. Pembagian seperti ini banyak diikuti negara lain. KUHP kita sekarang
sebaiknya pembagian atas kejahatan dan pelanggaran itu didasarkan atas berat atau entengnya
pidana saja.6
4
Ibid, hlm 78
5
Ibid, hlm 79
6
Ibid, hlm 80
Selain daripada ancaman pidana bagi kejahatan lebih berat daripada pelaanggaran, maka
dapat dikataakan bahwa :
7
Ibid, hlm 81
PEMBAGIAN LAIN DARI PERBUATAN PIDANA
8
Ibid, hlm. 82
Adapula yang dinamakan delicta commissionis permossionem commissa, yaitu
delik-delik yang umimnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pula dilakukan
dengan tidak berbuat, misalnya seorang ibu yang merampas nyawa anaknya dengan
jalan : tidak memberi makan pada anak itu.9
3. Delik biasa dan delik yang di kualifikasi (dikhususkan)
Delik yang belakangan adalah delik biasa ditambah dengan unsur-unsur lain yang
memberatkan ancaman pidananya. Adakalanya unsur-unsur lain itu mengenai cara
yang khas dalam melakukan delik biasa adakalanya objek yang khas, adakalanya pula
mengenai akibat yang khas dan perbuatan delik biasa tadi. Contoh :
Pasal 362 adalah pencurian biasa, dan Pasal 363 adalah pencurian yang dikualifikasi,
yaitu karena cara melakukannya diwaktu ada kebakaran atau dengan beberapa orang,
maupun karena objeknya adalah hewan.
Pasal 351 KUHP adalah penganiayaan biasa sedangkan Pasal 353, 354,355, dan 356
adalah penganiayaan yang dikualifikasi, karena mungkin caranya objeknya, maupun
akibatnya adalah lebih khusus daripada dalam penganiayaan biasa.
4. Delik menerus dan tidak menerus
Dalam delik menerus, perbuatan yang dilarang menimbulkan keadaan yang
berlangsung terus. Misalnya Pasal 333KUHP, yaitu orang yang merampas
kemerdekaan oranglain secara tidak sah. Keadaan yang dilarang itu berjalan terus
sampai siorban dilepas atau mati. Jadi, perbuatan yang dilarang tidak habis ketika
kelakuannya selesai seperti dalam pencurian misalnya, tetapi masih menerus.
Sesungguhnya setelah kelakuan selesai yaitu dibawanya si korban ke tempat penahanan
akibat dan kelakuan iyu berjalan selama waktu tahanan. Begitupula Pasal 221 KUHP.
Disini kelakuannya menyembunyikan orang yang dicari karena melakukan kejahatan.
Selama waktu dalam penyembunyian, keadaan yang dilarang berjalan terus.10
9
Ibid, hlm 83
10
Ibid, hlm 84