Anda di halaman 1dari 18

TINJAUAN PUSTAKA

Visum Et Repertum

1. Pengertian Visum Et Repertum


Visum et repertum adalah istilah yang dikenal dalam Ilmu Kedokteran Forensik,
biasanya dikenal dengan nama “Visum”. Visum berasal dari bahasa Latin, bentuk
tunggalnya adalah “visa”. Dipandang dari arti etimologi atau tata bahasa, kata “visum”
atau “visa” berarti tanda melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang
bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan, sedangkan
“Repertum” berarti melapor yang artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan dokter
terhadap korban. Secara etimologi visum et repertum adalah apa yang dilihat dan
diketemukan.6
Visum et repertum berkaitan erat dengan Ilmu Kedokteran Forensik. Mengenai
disiplin ilmu ini, dimana sebelumnya dikenal dengan Ilmu Kedokteran Kehakiman, R.
Atang Ranoemihardja menjelaskan bahwa Ilmu Kedokteran Kehakiman atau Ilmu
Kedokteran Forensik adalah ilmu yang menggunakan pengetahuan Ilmu Kedokteran untuk
membantu peradilan baik dalam perkara pidana maupun dalam perkara lain (perdata).
Tujuan serta kewajiban Ilmu Kedokteran Kehakiman adalahmembantu kepolisian,
kejaksaan, dan kehakiman dalam menghadapi kasus-kasus perkara yang hanya dapat
dipecahkan dengan ilmu pengetahuan kedokteran.7
Bentuk bantuan ahli kedokteran kehakiman dapat diberikan pada saat terjadi tindak
pidana (di tempat kejadian perkara, pemeriksaan korban yang luka atau meninggal) dan
pemeriksaan barang bukti, dimana hal ini akan diterangkan dan diberikan hasilnya secara
tertulis dalam bentuk surat yang dikenal dengan istilah visum et repertum.8
Dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.M04/UM/01.06 tahun 1983 pada
pasal 10 menyatakan bahwa hasil pemeriksaan ilmu kedokteran kehakiman disebut
sebagaiVisum et Repertum. Pendapat seorang dokter yang dituangkan dalam sebuah Visum
et Repertum sangat diperlukan oleh seorang hakim dalam membuat sebuah keputusan
dalam sebuah persidangan.Hal ini mengingat, seorang hakim sebagai pemutus perkara
pada sebuah persidangan,tidak dibekali dengan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan
kedokteran forensik ini.Dalam hal ini, hasil pemeriksaan dan laporan tertulis ini akan
digunakan sebagai petunjuk sebagaimana yang dimaksud pada pasal 184 KUHAP tentang
alat bukti.9 Artinya, hasil Visum et Repertum ini bukan saja sebagai petunjuk dalam hal
membuat terang suatu perkara pidana namun juga mendukung proses penuntutan dan
pengadilan.
Berdasarkan ketentuan hukum acara pidana Indonesia, khususnya KUHAP tidak
diberikan pengaturan secara eksplisit mengenai pengertian visum et repertum. Satu-
satunya ketentuan perundangan yang memberikan pengertian mengenai visum et repertum
yaitu Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350. Disebutkan dalam ketentuan Staatsblad tersebut
bahwa : “Visum et Repertum adalah laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro
yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala
sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah
pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaikbaiknya.6
2. Jenis Visum et Repertum
Sebagai suatu hasil pemeriksaan dokter terhadap barang bukti yang diperuntukkan
untuk kepentingan peradilan, Visum et Repertum di golongkan menurut objek yang
diperiksa sebagai berikut:10
a. Visum et repertum untuk orang hidup, jenis ini dibedakan lagi dalam:
1) Visum et repertum biasa. Visum et repertum ini diberikan kepada pihak
peminta (penyidik) untuk korban yang tidak memerlukan perawatan lebih
lanjut.
2) Visum et repertum sementara. Visum et repertum sementara diberikan
apabila korban memerlukan perawatan lebih lanjut karena belum dapat
membuat diagnosis dan derajat lukanya. Apabila sembuh dibuatkan
visum et repertum lanjutan.
3) Visum et repertum lanjutan. Dalam hal ini korban tidak memerlukan
perawatan lebih lanjut karena sudah sembuh, pindah dirawat dokter lain,
atau meninggal dunia
b. Visum et repertum untuk orang mati (jenazah). Pada pembuatan visum et repertum
ini, dalam hal korban mati maka penyidik mengajukan permintaan tertulis kepada
pihak Kedokteran Forensik untuk dilakukan bedah mayat (outopsi)
c. Visum et repertum Tempat Kejadian Perkara (TKP). Visum ini dibuat setelah dokter
selesai melaksanakan pemeriksaan di TKP
d. Visum et repertum penggalian jenazah. Visum ini dibuat setelah dokter selesai
melaksanakan penggalian jenazah.
e. Visum et repertum psikiatri yaitu visum pada terdakwa yang pada saat pemeriksaan
di sidang pengadilan menunjukkan gejala-gejala penyakit jiwa.
f. Visum et repertum barang bukti, misalnya visum terhadap barang bukti yang
ditemukan yang ada hubungannya dengan tindak pidana, contohnya darah, bercak
mani, selongsong peluru, pisau.
3. Bentuk Umum Visum et Repertum
Agar didapat keseragaman mengenai bentuk pokok visum et repertum, maka
ditetapkan ketentuan mengenai susunan visum et repertum sebagai berikut:10
1) Pada sudut kiri atas dituliskan “PRO YUSTISIA”, artinya bahwa isi
visum et repertum hanya untuk kepentingan peradilan.
2) Di tengah atas dituliskan Jenis visum et repertum serta nomor
visum et repertum tersebut;
3) Bagian Pendahuluan, merupakan pendahuluan yang berisikan :
a. Identitas peminta visum et repertum;
b. Identitas surat permintaan visum et repertum;
c. Saat penerimaan surat permintaan visum et repertum;
d. Identitas dokter pembuat visum et repertum;
e. Identitas korban/barang bukti yang dimintakan visum et
repertum;
f. Keterangan kejadian di dalam surat permintaan visum et
repertum.
4) Bagian Pemberitaan, merupakan hasil pemeriksaan dokter terhadap
apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti;
5) Bagian Kesimpulan, merupakan kesimpulan dokter atas analisa
yang dilakukan terhadap hasil pemeriksaan barang bukti;
6) Bagian Penutup, merupakan pernyataan dari dokter bahwa visum et
repertum ini dibuat atas sumpah dan janji pada waktu menerima
jabatan;
7) Di sebelah kanan bawah diberikan Nama dan Tanda Tangan serta
Cap dinas dokter pemeriksa.
4. Aspek Medikolegal Visum et Repertum
Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam
pasal 184 KUHP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu
perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. VeR menguraikan segala sesuatu
tentang hasil pemeriksaan medis yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang
karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.11,12
Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil
pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian kesimpulan. Dengan demikian
visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum
sehingga dengan membaca visum et repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah
terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum
pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia.11,12
Apabila VeR belum dapat menjernihkan duduk persoalan di sidang pengadilan,
maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang
tercantum dalam KUHAP, yang memungkinkan dilakukannya pemeriksaan atau
penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa
atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan. Hal itu sesuai dengan pasal
180 KUHAP.11,12
Bagi penyidik (polisi/polisi militer) VeR berguna untuk mengungkapkan perkara.
Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu berguna untuk menentukan pasal yang akan
didakwakan, sedangkan bagi hakim sebagai alat bukti formal untuk menjatuhkan pidana
atau membebaskan seseorang dari tuntutan hukum. Untuk itu perlu dibuat suatu Standar
Prosedur Operasional (SPO) di suatu Rumah Sakit tentang tatalaksana pengadaan
VeR.11,13
Daftar Pustaka
6. H.M.Soedjatmiko. Ilmu Kedokteran Forensik. Malang: Fakultas Kedokteran
UNIBRAW Malang. 2001
7. R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science). Edisi kedua
. Bandung: Tarsito. 1983
8. Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Perspektif Peradilan dan Aspek Hukum
Praktik Kedokteran. Jakarta: Djambatan, 2000
9. KUHAP pasal 184
10. Njowito Hamdani, Ilmu Kedokteran Kehakiman, (jakarta: Gramedia Pustaka Tama,
1992), 26
11. Afandi D. Visum et repertum pada korban hidup. Jurnal Ilmun Kedokteran.
2009;3(2):79-84.
12. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997.
13. Siswadja TD. Tata laksana pembuatan VeR perlukaan dan keracunan. Simposium
Tatalaksana visum et repertum Korban Hidup pada Kasus Perlukaan & Keracunan di
Rumah Sakit. Jakarta: RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, Rabu 23 Juni 2004.

Tanatologi

Tanatologi berasal dari kata thanatos (yang berhubungan dengan kematian) dan logos
(ilmu). Tanatolgi adalah bagian dari ilmu kedokteran forensik yang mempelajari kematian dan
perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut.12
Sistem persarafan, sistem kardiovaskular dan sistem pernapasan adalah ketiga system yang
memungkinkan kehidupan seseorag dapat berlangsung. Ketiga sistem utama tersebut saling
memengaruhi satu dengan lainnya. Adanya gangguan pada salah satu system akan
menyebabkan terganggunya pula system yang lain.14 Dalam tanatologi dikenal beberapa istilah
tentang mati, yaitu:
a. Mati somatis (mati klinis) terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang
kehidupan, yaitu susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular dan sistem pernapasan,
yang menetap (irreversible). Secara klinis tidak ditemukan refleks-refleks, EEG
mendatar, nadi tidak teraba, denyut jantung tidak terdengar, tidak ada gerak
pernapasan dan suara nafas tidak terdengar pada auskultasi. 12
b. Mati suri (suspended animation, apparent death) adalah terhentinya ketiga sistim
kehidupan di atas (susunan saraf pusat, sistem kardiovaskular dan sistem
pernapasan) yang ditentukan dengan alat kedokteran sederhana. Dengan peralatan
kedokteran canggih masih dapat dibuktikan bahwa ketiga sistem tersebut masih
berfungsi. Mati suri sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur, tersengat
aliran listrik dan tenggelam.12
c. Mati seluler (mati molekuler) adalah kematian organ atau jaringan tubuh yang
timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Daya tahan hidup masing - masing
organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya kematian seluler pada tiap
organ tidak bersamaan. Sebagai gambaran, bahwa susunan saraf pusat mengalami
mati seluler dalam waktu 4 menit; otot masih dapat dirangsang (listrik) sampai kira-
kira 2 jam pasca mati dan mengalami mati seluler setelah 4 jam.12 Kornea masih
dapat dimanfaatkan untuk kepentingan transplantasi bila jaringan tersebut diambil
dalam jangka waktu 6 jam setelah seseorang dinyatakan mati somatis. 14
d. Mati serebral adalah kerusakan kedua hemisfer otak yang irreversible kecuali
batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu sistem
pernapasan dan sistem kardiovaskular masih berfungsi dengan bantuan alat.12
e. Mati otak (mati batang otak) adalah bila telah terjadi kerusakan seluruh isi neuronal
intrakranial yang irreversible, termasuk batang otak dan serebelum. Dengan
diketahuinya mati otak (mati batang otak) maka dapat dikatakan seseorang secara
keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi, sehingga alat bantu dapat
dihentikan.12,15

1. Tanda Kematian
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada seseorang
berupa tanda kematian, yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Perubahan
tersebut dapat timbul dini pada saat meninggal atau beberapa menit kemudian, misalnya
kerja jantung dan peredaran darah terhenti, pernapasan berhenti, refleks cahaya dan
kornea mata hilang, kulit pucat dan relaksasi otot. Setelah beberapa waktu timbul
perubahan pascamati yang jelas yang memungkinkan diagnosis kematian lebih pasti.
Tanda-tanda tersebut dikenal sebagai tanda pasti kematian berupa lebam mayat, kaku
mayat (rigor mortis), penurunan suhu tubuh, pembusukan, mumifikasi dan adiposera.12

A. Tanda kematian tidak pasti12


1) Pernapasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit (inspeksi, palpasi dan
auskultasi).
2) Terhentinya sirkulasi yang dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba.
3) Kulit pucat, tetapi bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya, karena
mungkin terjadi spasme agonal sehingga wajah tampak kebiruan.
4) Tonus otot menghilang dan relaksasi. Kelemasan otot sesaat setelah kematian
disebut relaksasi primer. Hal ini mengakibatkan pendataran daerah-daerah yang
tertekan, misalnya daerah belikat dan bokong pada mayat yang terlentang.
5) Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah kematian.
Segmen-segmen tersebut bergerak kearah tepi retina dan kemudian menetap.
6) Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang masih
dapat dihilangkan dengan meneteskan air mata.

B. Tanda kematian pasti.12


1) Lebam mayat (livor mortis).
Setelah kematian klinis maka eritrosit akan menempati tempat terbawah
akibat gaya Tarik bumi (gravitasi), mengisi vena dan venula, membentuk bercak
warna merah ungu (livide) pada bagian terbawah tubuh, kecuali pada bagian
tubuh yang tertekan alas keras. Darah tetap cair karena adanya aktivitas
fibrinolisin yang berasal dari endotel pembuluh darah. Lebam mayat biasanya
mulai tampak 20-30 menit pasca mati, makin lama intensitasnya bertambah dan
menjadi lengkap dan menetap setelah 8-12 jam.12
Sebelum waktu itu, lebam mayat masih hilang (memucat) pada penekanan
dan dapat berpindah jika posisi mayat diubah. Memucatnya lebam akan lebih
cepat dan lebih sempurna apabila penekanan atau perubahan posisi tubuh
tersebut dilakukan dalam 6 jam pertama setelah mati klinis. Tetapi walaupun
setelah 24 jam, darah masih tetap cukup cair sehingga sejumlah darah masih
dapat mengalir dan membentuk lebam mayat di tempat terendah yang baru.
Kadang-kadang dijumpai bercak perdarahan berwarna biru kehitaman akibat
pecahnya pembuluh darah. Menetapnya lebam mayat disebabkan oleh
tetimbunnya sel-sel darah dam jumlah cukup banyak sehingga sulit berpindah
lagi.12
Warna lebam mayat pada umumnya adalah merah-ungu, akan tetapi pada
beberapa keadaan tertentu akan menjadi lain, sehingga dengan demikian adanya
warna lebam mayat yang berbeda memberikan informasi bahwa pada korban
telah terjadi sesuatu yang berkaitan dengan sebab kematian ataupun keadaan
lingkungan dimana tubuh korban ditemukan. Pada keracunan gas
karbonmonoksida, lebam mayat akan berwarna merah bata atau cherry red yang
merupakan warna dari karboksihemoglobin. Keracuan sianida akan
memberikan warna lebam merah terang karena kadar oksihemoglobin dalam
darah vena tetap tinggi.12,14
Pada kasus tenggelam atau pada kasus dimana tubuh korban berada pada
suhu lingkungan yang rendah, lebam mayat khususnya yang dekat letaknya
dengan tempat yang bersuhu rendah, akan berwarna merah terang; ini
disebabkan suhu yang rendah mempengaruhi kurva disosiasi dai
oksihemoglobin.14 Lebam mayat yang belum menetap atau masih hilang pada
penekanan menunjukkan saat kematian kurang dari 8-12 jam sebelum saat
pemeriksaan.14
Gambar 2.4 livor mortis16,17

2) Kaku mayat (rigor mortis)


Kaku mayat adalah kekakuan yang terjadi pada otot yang kadang-kadang
disertai dengan sedikit pemendekan serabut otot, yang terjadi setelah periode
relaksasi primer.14 Kelenturan otot setelah kematian masih dipertahanlam
karena metabolisme tingkat seluler masih berjalan berupa pemecahan cadangan
glikogen otot yang menghasilkan energi. Energi ini digunakan untuk mengubah
ADP menjadi ATP. Selama masih terdapat ATP makan serabut aktin dan
myosin tetap lentur. Bila cadangan glikogen dalam otot habis, maka energi tidak
terbentuk lagi, aktin dan myosin menggumpal dan otot menjadi kaku. Kaku
mayat dibuktikan dengan memeriksa persendian, kaku mayat mulai tampak
kira-kira 2 jam setelah mati klinis, dimulai dari bagian luar tubuh (otot-otot
kecil) ke arah dalam (sentripetal).12,14
Setelah mati klinis 12 jam kaku mayat menjadi lengkap, dipertahankan
selama 12 jam dan kemudian menghilang dalam urutan yang sama. Faktor-
faktor yang mempercepat terjadinya kaku mayat adalah aktivitas fisik sebelum
mati, suhu tubuh yang tinggi, bentuk tubuh kurus dengan otot-otot kecil dan
suhu lingkungan tinggi.1 Adanya kejanggalan dari postur pada mayat dimana
kaku mayat telah terbentuk dengan posisi sewaktu mayat ditemukan, dapat
menjadi petunjuk bahwa pada tubuh korban telah dipindahkan setelah mati. Ini
mungkin dimaksudkan untuk menutupi sebab kematian atau cara kematian yang
sebenarnya.14 Kaku mayat dapat dipergunakan untuk menunjukkan tanda pasti
kematian dan memperkirakan saat kematian.12
Gambar 2.5 rigor mortis lengkap4

Terdapat kekauan pada mayat yang menyerupai kaku mayat:12


a) Cadaveric spasm (instantaneous rigor) adalah bentuk kekakuan otot yang
terjadi pada saat kematian dan menetap. Cadaveric spasm sesungguhnya
merupakan kaku mayat yang timbul dengan intensitas sangat kuat tanpa
didahului oleh relaksasi primer. Penyebabnya adalah akibat habisnya
cadangan glikogen dan ATP yang bersifat setempat pada saat mati klinis
karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum meninggal.
Kepentingan medikolegalnya adalah menunjukkan sikap terakhir masa
hidupnya. Missal tangan yang menggenggam erat benda yang diraihnya
pada kasus tenggelam, tangan yang menggenggam senjata pada kasus bunuh
diri.
b) Heat stiffening, kekakuan otot akibat koagulasi protein otot oleh panas.
Otot-otot berwarna merah muda, kaku, tetapi rapuh (mudah robek).
Keadaan ini dapat dijumpai pada korban mati terbakar. Pada heat stiffening
serabut otot memendek sehingga menimbulkan fleksi leher, siku, paha dan
lutut, membentuk sikap petinju (pugilistic attitude).
c) Cold stiffening, yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin, sehingga
terjadi pembekuan cairan tubuh, termasuk cairan sendi, pemadatan jaringan
lemak subkutan dan otot, sehingga bila sendi ditekuk akan terdengar bunyi
pecahnya es dalam rongga sendi.
3) Penurunan suhu tubuh (algor mortis)
Penurunan suhu tubuh akan terjadi setelah kamatian dan berlanjut sampai
tercapai suatu keadaan di mana suhu mayat sama dengan suhu lingkunga.2
Tejadi karena proses pemindahan panas dari suatu benda ke benda yang lebih
dingin, melalui cara radiasi, konduksi, evaporasi dan konveksi. Kecepatan
penurunan suhu dipengaruhi oleh suhu keliling (lingkungan), suhu tubuh
sebelum kematian, aliran dan kelembaban udara, bentuk tubuh, posisi tubuh dan
pakaian. Penurunan suhu tubuh akan lebih cepat pada suhu keliling yang
rendah, lingkungan berangin dengan kelembaban rendah atau berpakaian tipis
dan umumnya orang tua serta anak kecil.12
Kurva punurunan suhu mayat akan berbentuk sigmoid, di mana pada jam-
jam pertama penurunan suhu akan berlangsung dengan lambat, demikian pula
bila suhu tubuh mayat telah mendekati suhu lingkungan. Proses metabolisme
sel yang masih berlangsung beberapa saat setelah kematian somatis dimana juga
terbentuk energi, merupakan faktor yang menyebabkan mengapa penurunan
suhu mayat pada jam-jam pertama berlangsung dengan lambat. Oleh karena
suhu mayat akan terus menurun, akan dicapai suatu keadaan di mana perbedaan
antara suhu mayat dan suhu lingkungan tidak terlalu besar.14
4) Pembusukan (decomposition, putrefaction)
Pembusukan adalah proses degradasi jaringan yang terjadi akibat autolisis
dan kerja bakteri. Autolisis adalah pelunakan dan pencairan jaringan yang
terjadi dalam keadaan steril. Autolisis timbul akibat kerja digestif oleh enzim
yang dilepaskan sel pascamati dan hanya dapat dicegah dengan pembekuan
jaringan. Setelah seseorang meninggal, bakteri yang normal hidup dalam tubuh
segera masuk ke jaringan. Darah merupakan media terbaik bagi bakteri tersebut
untuk bertumbuh. Sebagian besar bakteri berasal dari usus dan yang terutama
adalah Clostridium welchii. Pada proses pembusukan ini terbentuk gas-gas
alkane, H2S, HCN, serta asam amino dan asam lemak.12
Proses pembusukan dimulai pada 24 jam post mortem. Pembusukan mulai
tampak berupa warna kehijauan pada perut kanan bawah yaitu daerah caecum
yang isinya lebih cair dan penuh dengan bakteri serta terletak dekat dinding
perut. Warna kehijauan ini disebabkan oleh terbentuknya sulfmet-hemo-globin.
Secara bertahap warna kehijauan ini akan menyebar ke seluruh perut dan dada,
dan bau busuk mulai tercium. Pembuluh darah bawah kulit tampak seperti
melebar, berwarna hijau kehitaman. Kulit ari terkelupas atau membentuk
gelembung berisi cairan kemerahan berbau busuk.12,16
Gambar 2.6 Pembusukan fase awal5

Gambar 2.7 Perut menggembung, pembuluh darah bawah kulit tampak


seperti melebar

Pembentukan gas dimulai dari lambung dan usus sehingga mengakibatkan


perut menjadi tegang dan keluar cairan kemerahan dari mulut dan hidung. Gas
yang terdapat dari dinding tubuh mengakibatkan terabanya krepitasi. Gas akan
menyebabkan pembengkakan tubuh yang menyeluruh, tetapi ketegangan
terbesar berada pada daerah dengan jaringan longgar seperti skrotum dan
payudara. Rambut menjadi mudah dicabut, kuku mudah terlepas, wajah
menggembung dan berwarna ungu kehijauan, kelopak mata dan pipi
membengkak, bibir menjadi tebal serta lidah membengkak dan sering terjulur
diantara gigi. Pada keadaan ini wajah sangat berbeda dengan wajah asli
sehingga sulit dikenali oleh keluarga.12,16
Gambar 2.8 Pembengkakan tubuh menyeluruh17

Gambar 2.9. Pembusukan dapat membuat wajah menjadi berbeda17


Hewan pengerat akan merusak tubuh mayat dalam beberapa jam pasca
kematian terutama bila mayat dibiarkan tergeletak di atas rumput. Luka akibat
gigitan binatang pengerat khas berupa lubang-lubang dangkal dengan tepi
bergeirigi. Larva lalat akan dijumpai setelah pembentukan gas pembusukan
nyata, yaitu kira-kira 36-48 jam pasca mati. Kumpulan telur lalat telah dapat
ditemukan beberapa jam pasca mati, di alis mata, sudut mata, lubang hiding dan
diantara bibir. Telur lalat tersebut kemudian akan menetas menjadi larva
(belatung) dalam waktu 24 jam.12,16
Gambar 2.10. Destruksi jaringan oleh belatung16

Organ tubuh akan mengalami pembusukan dengan kecepatan yang berbeda.


Perubahan warna terjadi pada lambung terutama di daerah fundus, usus,
menjadi ungu kecoklatan. Mukosa saluran napas, endocardium, tunika intima
pembuluh darah menjadi kemerahan akibat hemolysis darah. Difusi empedu
dari kandung empedu mengakibatkan warna cokelat kehijauan di jaringan
sekitarnya. Otak melunak, hati menjadi berongga seperti spons, limpa melunak
dan mudah robek. Kemudian organ dalam akan mengerut. Prostat dan uterus
non gravid merupakan organ padat yang paling lama bertahan terhadpat
perubahan pembusukan.12
Pembusukan akan timbul lebih cepat bila suhu keliling optimal (26,5 derajat
celcius hingga sekitar suhu normal tubuh), kelembaban dan udara yang cukup,
banyak bakteri pembusuk, tubuh gemuk atau menderita penyakit infeksi dan
sepsis. Mayat yang berada di udara akan lebih cepat membusuk dibandingkan
dengan yang dalam air atau dalam tanah.12
Faktor yang mempengaruhi pembusukan:19
a) Faktor dari dalam
o Umur. Bayi yang belum makan apa-apa mengalami pembusukan lebih
lambat.
o Konstitusi tubuh. Tubuh gemuk lebih cepat mengalami pembusukan
dibanding tubuh kurus.
o Keadaan saat mati. Udem, infeksi dan sepsis mempercepat pembusukan.
Dehidrasi memperlambat pembusukan.
o Seks. Wanita baru melahirkan (uterus post partum) lebih cepat
mengalami pembusukan.
b) Faktor dai luar
o Mikroorganisme/sterilitas
o Suhu optimal, yaitu suhu 21-38 derajat celcius (70-100 derajat
Fahrenheit) mempercepat pembusukan. Berhenti pada suhu 212 derajat
Fahrenheit.
o Kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi mempercepat
pembusukan.
o Sifat medium. Hokum Casper = udara : air : tanah = 8 : 2 : 1 (di udara
pembusukan paling cepat, di tanah paling lambat). Keadaan mayat
setelah 1 minggu di udara terbuka sama dengan 2 minggu di dalam air
sama dengan 8 minggu keadaan mayat di dalam tanah atau kuburan.
5) Adiposera atau lilin mayat
Adiposera adalah terbentuknya bahan yang berwarna keputihan, lunak atau
berminyak, berbau tengik yang terjadi di dalam jaringan lunak tubuh pasca mati.
Adiposera dapat terbentuk di sembarang lemak tubuh, bahkan di dalam hati,
tetapi lemak superfisial yang pertama kali terkena. Biasanya perubahan
berbentuk bercak, dapat terlihat di pipi, payudara atau bokong, bagian tubuh
atau ekstremitas. Jarang seluruh lemak tubuh berubah menjadi adiposera.12
Adiposera akan membuat gambaran permukaan luar tubuh dapat bertahan
hingga bertahun-tahun, sehingga identifikasi luar tubuh dapat perkiraan sebab
kematian masih dimungkinkan. Faktor-faktor yang mempermudah
terbentuknya adiposera adalah kelembaban dan lemak tubuh yang cukup, suhu
yang hangat serta invasi bakteri endogen ke dalam jaringan pasca mati.
Sedangkan yang menghambat adalah air yang mengalir yang membuang
elektrolit dan udara yang dingin.12

6) Mummifikasi
Mummifikasi adalah proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang
cukup cepat sehingga terjadi pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat
menghentikan pembusukan. Jaringan berubah menjadi keras dan kering,
berwarna gelap, berkeriput dan tidak membusuk karena kuman tidak dapat
berkembang pada lingkungan yang kering. Mumifikasi terjadi bila suhu hangat,
kelembaban rendah, aliran udara yang baik, tubuh yang dehidrasi dan waktu
yang lama (12-14 minggu). Mumifikasi jarang terjadi pada cuaca yang
normal.12

C. Perkiraan saat kematian


Selain perubahan pada mayat tersebut di atas, beberapa perubahan lain dapat
digunakan untuk memperkirakan saat mati.12
1) Perubahan pada mata
Bila mata terbuka pada atmosfer yang kering, sclera di kiri-kanan kornea
akan berwarna kecoklatan. Kekeruhan kornea akan terjadi lapis demi lapis.
Kekeruhan menetap terjadi sejak kira-kira 6 jam pasca mati. Baik dalam
keadaan tertutup maupun terbuka, kornea menjadi keruh kira-kira 10-12 jam
pasca mati dan dalam beberapa jam saja fundud tidak tampak jelas. Setelah
kematian tekanan bola mata menurun, tidak ada hubungan antara diameter pupil
dengan lamanya mati. Perubahan pada retina dapat menunjukkan saat kematian
hingga 15 jam pasca mati.
2) Perubahan dalam lambung
Kecepatan pengosongan lambung sangat bervariasi, sehingga tidak dapat
digunakan untuk memberikan petunjuk pasti waktu antara makan terakhir dan
saat mati. Namun keadaan lambung dan isinya mungkin membantu dalam
membuat keputusan.
3) Perubahan rambut
Dengan mengingat bahwa kecepatan tumbuh rambut rata-rata 0.4 mm/hari,
panjang rambut kumis dan jenggot dapat dipergunakan untuk memperkirakan
saat kematian. Cara ini hanya dapat digunakan bagi pria yang mempunyai
kebiasaan mencukur kumis atau jenggotnya dan diketahui saat terakhir ia
mencukur.
4) Pertumbuhan kuku
Sejalan dengan rambut, pertumbuhan kuku yang diperkirakan sekitar 0,1
mm/hari dapat digunakan untuk memperkirakan saat kematian bila dapat
diketahui saat terakhir yang bersangkutan ememotong kuku.
5) Perubahan dalam cairan serebrospinal
Kadar nitrogen asam amino kurang dari 14 mg% menunjukkan kematian
belum lewat 10 jam, kadar nitrogen non-protein kurang dari 80 mg%
menunjukkan kematian belum 24 jam, kadar keratin kurang dari 5 mg% dan 10
mg% masing-masing menunjukkan kematian belum mencapai 10 jam dan 30
jam.
6) Dalam cairan vitreus terjadi peningkatan kadar kalium yang cukup akurat untuk
memperkirakan saat kematian antara 24 hingga 100 jam pasca mati.
7) Kadar semua komponen darah berubah setelah kematian, sehingga analisis
darah pasca mati tidak memberikan gambaran konsentrasi zat-zat tersebut
semasa hidupnya. Perubahan tersebut diakibatkan oleh aktivitas enzim dan
bakteri, serta gangguan permeabilitas dari sel yang telah mati.
8) Reaksi supravital, yaitu reaksi jaringan tubuh sesaat pasca mati klinis yang
masih sama seperti reaksi jaringan tubuh pada seseorang yang hidup.

Beberapa uji dapat dilakukan terhadap mayat yang masih segar, misalnya
rangsangan listrik masih dapat menimbulkan kontraksi otot mayat sehingga 90-120
menit pasca mati dan mengakibatkan sekresi kelenjar keringat sampai 60-90 menit
pasca mati, sedangkan trauma masih dapat menimbulkan perdarahan bawah kulit
sampai 1 jam pasca mati. 12
a. Surat Permintaan Visum

Daftar Pustaka
12. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian
Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997.
13. Siswadja TD. Tata laksana pembuatan VeR perlukaan dan keracunan. Simposium
Tatalaksana visum et repertum Korban Hidup pada Kasus Perlukaan & Keracunan di
Rumah Sakit. Jakarta: RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, Rabu 23 Juni 2004.
14. Budiyanto A. Widiatmaka W, dkk. Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama Cetakan
Kedua. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 1997.
15. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama. Jakarta: Binarupa
Aksara. 1997
16. Venita and Safitry, O. (2014) ‘Autopsi’, in Kapita Selekta Kedokteran Essensials of
Medicine.
17. Sepherd R. Simpson’s Forensic Medicines. London: Arnold Publishers. 2003.

Anda mungkin juga menyukai