Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pesan dalam kegiatan komunikasi membawa informasi yang di
sampaikan oleh komunikator. Pesan selain membawa informasi juga
memberikan makna kepada siapa saja yang menginterpretasikannya. Pesan
merupakan konten atau isi dari kegiatan komunikasi secara umum,
termasuk komunikasi politik.
Pesan dalam komunikasi politik dalam praktik sejarahnya pernah
dimaknai sebagaimana ‘peluru’ untuk memengaruhi atau memersuasi
komunikah atau khalayak yang menjadi sasaran dalam kegiatan
komunikasi politik. Saat itu di era 1940-an, pesan komunikasi dianggap
peluru yang bias ditembakkan oleh komunikator kepada khalayak.
Masyarakat atau khalayak dipandang sebagai entitas pasif menjadi sasaran
gempuran pesan atau informasi. Itulah yang dikenal dengan istilah “The
Bullet Theory”. Komunikasi persuasi memiliki kekuatan pengaruh yang
powerful, tidak hanya karena “kekuatan” komunikator yang
menyampaikan, tetapi lebih karena kedahsyatan isi atau konten pesan
disampaikan untuk memengaruhi khalayaknya.
Aristoteles, yang melahirkan teori tentang retorika politik,
menjelaskan ada tiga elemen dasar dalam komunikasi sebenarnya.
Pertama yang disebut dengan communicative ideology atau penyampaian
nilai-nilai atau ideology yang disampaikan oleh komunikator. Kedua,
disebut dengan emotional quality atau perasaan emosional yang dimiliki
oleh khalayak pada saat komunikasi terjadi. Ketiga, yang membawa pesan
komunikasi bermakna ialah core argument atau argumentasi intiny (dalam
Lalleter, 2005: 122). Maka, jelas dari yang dijelaskan oleh Aristoteles di
atas bahwa pesan komunikasi mempunyai power atau kekuatan untuk
menyampaikan keinginan, nilai, ideology, pemikiran, opini, dan
sebagainya dari para peserta komunikasi, terutama dalam komunikasi

1
persuasi untuk membujuk atau memengaruhi orang lain untuk berperilaku
sesuai dengan apa yang diinginkan oleh komunikator.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pesan?
2. Apa yang dimaksud dengan Pesan komunikasi Politik?
3. Bagaimana cara menyampaikan pesan politik?

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pesan Dalam Komunikasi Politik
Pesan dalam komunikasi politik secara umum terbagi dalam verbal dan
non vebal. Verbal terdiri dari kata- kata, tulisan, bahasa yang terimplementasi
melalui retorika, debat atau kampanye. Non verbal bisa berupa raut wajah,
gerak tubuh, perilaku atau tundakan dari para calon atau anggota partai.
Sementara dari pesan- pesan tersebut, ada beberapa alat sosialisasi yang bisa
dipakai, diantaranya pamflet, spanduk, baliho serta berbagai lini media massa.
Logo, slogan dan termasuk tim sukses merupakan pesan politik yang akan
dipersepsi oleh pemilih. Dalam dunia politik, sebagian pesan adalah
pembicaraan. Maka ada yang disebut sebagai gejala linguistik politik. Hal ini
untuk memahami orang “mengatakan apa” dalam komunikasi politik.
Perhatian utama pada hal ini adalah beberapa tipe bahasa seperti semantik,
sintaksis dan pragmatik. Pesan – pesan politik mencapai kita dalam bentuk
simbol politik, seperti penggunaan kata, gambar dan gerakan. Jadi perlu jelas
apa yang dimaksudkan dalam sebuah pesan politik supaya tidak terjadi bias
dan terjadi kesenjangan komunikasi antara kandidat dan calom pemilih
(konstituen).
Komunikasi politik merupakan bentuk komunikasi yang ingin
menyampaikan makna sistem simbol dan falsafah yang melatarbelakangi
permbangunan isu dan program politiknya. Meski ideologi bersifat abstrak,
tapi harus bisa diangkat untuk kegiatan yang konkrit. Ada aktivitas strategi
yang dilakukan, sehingga bisa dengan jelas dan tepat sasaran ketika digunakan
di lapangan. Penting menerjemahkan pesanpesan politik dalam bentuk grafis,
permainan kata dan lambang agar lebih mudah dipahami. Ideologi perlu
dikomunikasikan sebagai bagian dari pendidikan politik dan dasar perjuangan.
Dari sini dapat dilihat bagaimana usaha parpol memposisikan dirinya,
memperkuat citranya di masyarakat. Representasi dari hal tersebut bisa dilihat
dalam program, kerja, figur, pemimpin, dasar berdiri, partai dan visi misi.
Komunikasi politik berperan juga dalam kampanye. Pesan politik dirumuskan

3
secara bersama oleh elite politik dan beberapa ahli yang sangat paham
persoalan publik dan dapat merumuskan inovasi berpikir. Tema kampanye
dan isi pesan merupakan salah satu dari tiga hal penting selain citra dan
kepribadian kandidat. Proses komunikasi politik perlu ada relasi timbal balik
antara politikus dan kondisi masyarakat, agar dapa menjadi bahan kebijakan
lalu dirumuskan menjadi sebuah program kerja. Selain itu ada aspek proximity
atau kedekatan, masyarakat akan tersentuh jika pesan tersebut dekat dengan
kehidupan sehari-hari.
Pesan politik harus disampaikan dengan cara – cara tertentu seperti :
1. Menggunakan bahasa yang padat dan dapat dimengerti
2. Mengangkat isu-isu aktual dan segar
3. Memberi slogan yang populer sehingga dapat diingat dengan mudah
oleh publik
4. Menyampaikan program dengan bahasa yang dapat dipahami oleh
masyarakat.
5. Menarik perhatian khalayak dan menjadi motivasi para pengurus dan
anggota partai
6. Menjelaskan semua yang disampaikan menjadi sesuatu yang sedang
diperjuangakan oleh partai.
Cangara dalam Tabroni menjelaskan bahwa pesan politik harus bisa
menjadi ikon partai. Secara umum pesan-pesan politik yang laku “dijual”
adalah seputar pendidikan gratis, kesejahteraan, lapangan kerja, suksesi,
perubahan, kesehatan gratis, keadilan sosial, ekonomi kerakyatan. Tapi yang
menjadi persoalan, pada aspek apa ditekankan realitasnya visi misi, program
harus berorientasi pada skala prioritas. Dari skala prioritas tersebut, pesan
politik akan lebih ditekankan.
Dimensi pesan politik bisa dilihat dalam retorika, iklan politik, debat dan
kampanye. Politik sebagai proses komunikasi dimana seorang sumber
(biasanya calon politik/partai) membeli kesempatan untuk mengeskpos
penerima pada pesan politik melalui saluran massa dengan efek yang
diinginkan yaitu mempengaruhi sikap, keyakinan dan atau perilaku politik

4
mereka. Iklan politik kadang disebut iklan isu atau iklan advokasi, kini
memainkan peran besar dalam pengajuan rencana dan ata pemungutan suara
serta advokasi isu kebijakan publik oleh kelompok-kelompok kepentingan.
B. Visual Campaign
Campaign adalah sebuah kegiatan promosi, komunikasi atau rangkaian
pesan terencana yang khususnya spesifik atau memecahkan masalah kritis,
komersil maupun non komersil. Seperti masalah sosial, budaya, politik,
lingkungan hidup/ ekologi. Sementara itu, visual campaign memiliki
pemahaman serupa tetapi lebih fokus pada tampilannya. Seperti penentuan
media visual, komunikasi visual, hingga desain visualnya. Rangkaian kegiatan
ini dapat direncanakan/ dilakukan berkesinambungan dalam kurun waktu
tertentu dan singkat, tidak lebih dari satu tahun melalui tema sentral dalam
suatu program media yang terkoordinir dan konvergen. Pesan umumnya
disampaikan secara individual dan kumulatif dengan maksud untuk
menyokong obyek kampanye seperti brand, masalah sosial, politik dan lain
sebagainya.
Kriteria campaign berfokus pada :
1. Tujuan utama: diarahkan kepada sasaran yang ditargetkan, meliputi
kesadaran, pengertian, keyakinan dan bertindak dalam waktu yang
singkat.
2. Tema terkait: memakai tagline (bisA juga hashtag), desain grafis atau
pesan.
3. Coordinated Rollout: tergantung pada batas waktu, semua elemen
dapat dimunculkan sekaligus, melibatkan rencana media dan promosi.

5
Tahapan perancangan visual campaign
Fokus Deskripsi
Key Fact 1. Praktek berpolitik terutama strategi- strategi berbagai kekuatan
politik dalam memenangkan kontestasi dan posisi politik tidak
terlepas dari keberadaan media
2. Ruang publik sudah begitu terpolitisasi bukan karena ia hanya
menjadi sasaran, tetapi ruang publik telah menjadi medium
penting dalam “pertarungan” politik
3. Salah satu transformasi politik hari ini adalah penggunaan
internet untuk menyebarkan gagasan dan menggaet generasi
milenial
4. Banyaknya kampanye negatif/hitam di media-media
sosial/kekinian
Problem 1. Belum adanya media visual khususnya konten kreatif yang
memuat pesan netral dalam bijak berpolitik/berkampanye
2. Ruang publik sudah menjadi kubu-kubu tertentu sesuai dengan
pilihan politik masing-masing, yang mengakibatkan sering
munculnya gesekan di dunia maya ataupun nyata terkait
dengan politik dan pilpres 2019
3. Ruang publik butuh adanya sebuah hal baru yang berisi tentang
pengingat ataupun pesan netral tentang bijak berpolitik
atau/berkampanye
Objective 1. Membangun kesadaran akan pesan politik yang dikemas
dengan content creative di satu sisi, akan meminimalisir
kampanye hitam yang marak terjadi
2. Membuka ruang tafsir yang lebih positif dari wacana politik
menjelang pilpres 2019
Creative 1. Merancang slogan/hashtag yang menarik dan dapat
Strategy dipopulerkan dalam bentuk visual campaign
2. Merancang visualisasi campaign yang dapat diterapkan di

6
dunia maya dan dunia nyata sehari-hari
3. Menggunakan kata-kata yang tidak sensitif dan menyinggung
pihak manapun
Mandatories 1. Pesan harus dapat dipahami dengan mudah
2. Bisa mengombinasikan antara teks dan gambar
3. Pemilihan warna harus netral, agar tidak serta merta diklaim
oleh salah satu atau pihak-pihak tertentu
4. Mengutamakan konten edukasi yang komunikatif

Pesan merupakan inti dari komunikasi politik. Pesan bias negative dan
positif tergantung dari persepsi dan pemaknaan yang muncul dari khalayak
yang menerima dan memaknai pesan komunikasi yang disampaikan.
Kekuatan pesan juga dipengaruhi oleh cara membungkus pesan tersebut. Cara
membungkus pesan inilah yang kemudian memunculkan apa yang disebut
dengan ‘sound bite culture’.
C. Sound bite
Sound bite adalah satu garis kalimat yang diambil dari pidato atau
pernyataan yang panjang atau dari seperangkat teks yang dapat digunakan
sebagai indikasi dari pesan yang lebih besar. Sound bite digunakan dalam
media untuk mendefinisikan pesan, argumen, dan kebijakan. Kata bite
digunakan oleh para jurnalis media elektronik ini untuk menghadapi tekanan
menyampaikan cerita mereka dalam waktu yang relatif singkat atau terbatas.
Jurnalis televisi atau radio hanya memasukkan potongan dari hasil
rangkaian wawancara yang panjang, yang dilakukan oleh reporter karena
waktu tayang yang sangat pendek. Jurnalis menyebut “bite” juga ialah untuk
mengambil atau menggarisbawahi (higtlight) pernyataan – pernyataan yang
dianggap penting menohok (puching) atau emosional dan membangkitkan
diskusi publik yang panas. Mereka melakukan proses sound bite ini karena
tidak mungkin seluruh wawancara yang para reporter atau jurnalis lakukan
ditayangkan atau broadcast dalam waktu yang sangat terbatas dalam acara
siaran berita yang hanya dua menit.

7
Sound bite inilah yang sering kali menjadi kontroversi bagi para politikus.
Sehingga seringkali mendengar politikus bicara “seharusnya media
menayangkan secara keseluruhan hasil wawancara agar tidak terpenggal
bagian lain” dan sebagainya. Karena politikus tahu seringkali dengan budaya
memenggal pesan atau perkataan atau pernyataan yang kemudian dikenal
dengan istilah “sound bite culture” digunakan oleh media terhadap
pembentukan opini publik. Bagi publik sendiri, dengan sound bite culture ini
tidak memberikan gambaran keseluruhan tentang pernyataan yang dibuat oleh
politisi, sehingga muncul lah kesalahpahaman atau inerpretasi keliru yang
pada akhirnya menimbulkan konflik dalam masyarakat.
Dapat dipahami kalau dalam kondisi seperti ini, tidak sedikit politisi
memperkuat kubunya dengan bantuan para ahli yang menganalisis dan
menyiapkan komunikasi politiknya. Besarnya tekanan massa politik ini pada
gilirannya memaksa politisi untuk bersikap dan berpretensi sebagai master
yang menguasai apa saja, terlepas dari itu masuk akal atau hanya sekedar
tinggal diawang awang. Kondisi semacam ini, sebenarnya bukan hanya
dominasi politisi Indonesia, karena wabah exaggerating (membesarbesarkan )
dan pretending (soktau) ini pandemik dihampir terlihat bodoh dan konyol di
depan konsistuennya akibat tidak menguasai persoalan yang bukan
keahliannya, mereka tidak segan segan mempertaruhkan harga diri dan masa
depannya.
D. Bahasa Hiperbola Politisi
Politisi menggunakan bahasa sebagai sarana untuk menyampaikan dan
mengekspresikan ide pikiran atau rencana programnya. Bahasa digunakan
politisi untuk memperkaya khazanah perbendaraan jargon jargon makna suatu
kata.
Dalam kajian bahasa komunikasi politik, politisi dan bahasa mempunyai
signifikasi yang intens, karena ketika menyampaikan pesan bukan hanya apa
yang disampaikan melainkan lebih siapa yang menyampaikannya (look
who’stalking) contohnya pesan mengenai kemungkinan kenaikan suku bunga.
Pesan yang disampaikan Gubernur BI jauh lebih kredibel dan dipercaya

8
masyarakat daripada kalau disampaikan oleh Menteri Keuangan sekalipun,
meski keduanya pejabat tinggi negara yang selevel.
Disinilah pentingnya mendalami dan memilah secara hati hati penggunaan
bahasa dalam politik. Terlebih lagi dalam ranah politik indonesia yang khas
dala berbahasa dan relatif belum terbiasa berkomunikasi dan berwacana atas
dasar fakta.
Dengan tuntutan yang seperti itu, maka sungguh berat tantangan yang
diemban politisi indonesia. Karena kalau mereka hanya berbahasa yang
sederhana dan biasa biasa saja, sudah dapat dibayangkan persepsi yang bakal
melekat pada mereka, yang pada gilirannya sangat berpengaruh terhadap masa
depan mereka dalam pemilu yang mendatang. Tetapi kalau mereka ingin
memperlihatkan diri sebagai pemimpin yang dapat diandalkan, maka
tantangannya ialah bagaimana memilih dan menggunakan bahasa yang tepat
dan pada saat yang tepat pula.
Dapat dipahami kalau dalam kondisi seperti ini, tidak sedikit politisi yang
memperkuat kubunya dengan bantuan para ahli yang menganalisis dan
menyiapkan komunikasi politiknya. Terlepas dari apakah itu hasil godokan
tim ahlinya atau maunya sang politisi itu sendiri, yang menarik ialah bahasa
hiperbolis yang relatif sama yang selalu muncul ke permukaan.
Karena itulah, bukan sesuatu yang kebetulan kalau negara negara
berpemerintahan presidensial terdapat fungsi jabatan juru bicara kepresidenan.
Juru bicara ini hanya bertugas menyampaikan kebijakan apa saja yang telah
dan akan dijalankan, melainkan yang lebih krusial lagi ialah membatasi
peluang media massa berhadapan langsung dan mencecar “nomor 1” dengan
pertanyaan yang kadang tidak terduga.
E. Nonverbal dalam komunikasi politik di indonesia
Sejak reformasi bergulir pada 1998 hingga terpilihnya presiden indonesia
keenam soesilo bambang yudhoyono telah terjadi perubahan besar-besaran
dalam berbagai hal. Perubahan itu bukan saja menyentuh pemilihan pimpinan
lembaga-lembaga tinggi negara, melainkan juga mekanisme dalam pemilihan
itu yang relatif jauh lebih demokratis dibanding dari masa-masa yang lalu.

9
Reformasi sebagai kehendak rakyat telah mendorong tuntutan terciptanya
suatu sistem atau kondisi yang demokratis di berbagai kehidupan politik dan
ekonomi.
Memang gerakan reformasi tidak sia-sia, pemilu 1999,2004 hingga 2009
telah terlaksana dengan baik jauh lebih jurdil di banding pada masa-masa
sebelumnya di pemerintahan orde baru. Begitu pula pelaksanaan sidang umum
MPR juga memperlihatkan suatu kualitas yang sangat berbeda dari sidang
umum MPR sebelumnya. Pada sidang umun MPR 1999 telah dilakukan
amandemen konstitusi yang tujuannya menciptakan sistem yang lebih
demokratis. Hasilnya tahun 2004 pemilihan presiden telah dilakukan secara
langsung. Dilanjutkan 2005 pemilihan kepala daerah,gubernur,bupati, dan
wali kota juga dipilih secara langsung. Era demokrasi telah datang dan
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat indonesia. Terlebih lagi jika dilihat
dari aspek perkembangan media massa. Televisi dan media massa lain
mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Kebebasan atau
kemerdekaan media mewarnai nuansa isi pemberitaan maupun program-
program dialog. Kekritisan dan ketajaman kritik yang dilakukan oleh para
pengamat dan media massa sudah menjadi menu sehari-hari.
Komunikasi politi yang terjadi terutama di kalangan grassroots dan
beberapa di kalangan elite politik masih lebih banyak dalam bentuk yang
“kurang rasional”. Secara empiris komunikasi politik yang berlangsung lebih
diwarnai bentuk komunikasi nonverbal. Lihat saja pada masa-msa kampanye
pemilu maupun pilkada, bentuk kampanye yang dilakukan sangat sedikit yang
menyentuh persoalan kognisi politik khalayak. Yang terjadi ialah eksploitasi
emosi khalayak dalam pawai-pawai,pemasangan bendera, dan baliho-baliho
bergambar para toko politik dan bentuk-bentuk komunikasi verbal lainnya.
Aspirasi politik tidak diwujudkan dalam wacana perbincangan melalui opini
publik yang kualitatif melainkan diwujudkan dalam bentuk tekanan dengan
cara kehadiran massa,pemasangan simbol politik, baik itu bendera,gambar
maupun baliho.dengan demikian, keikutsertaan publik lebih banyak pada

10
aspek kehadirannya sebagai bagian dari massa yang terlepas dari kemampuan
kognisinya dalam berpolitik.
Kehadiran fisik massa yang banyak akan menjadikan mereka lebih
“didengarkan” dari pada penyampaian pesan secara argumentatif di sebuah
surat pembaca,opini da bentuk lainnya. Jumlah massa menjadi ukuran yang
penting sehingga muncullah bisnis baru di bidang komunikasi politik yaitu
“bisnis pengerahan massa” baik untuk demonstrasi maupun untuk kampanye.
Dari fenomena tersebut, merupakan bukti bahwa bahasa nonverbal
menjadi penting untuk memberikan makna pada komunikasi politik di
indonesia. Kehadiran simbol-simbol berupa bendera,baliho,posko dan juga
massa menjadi jauh lebih penting dari pada ide atau pemikiran yang
disampaikan.sebagian besar orang di indonesia masih menganggap lebih
penting mengeksploitasikan simbol-simbol nonverbal yang mampu
membangkitkan emosi mayrakat baik sifatnya simbolis maupun yang terkait
dengan ikatan kelompok, ideologi maupun primordial.
Dari perspektif budaya, komunikasi nonverbal sendiri keberadaannya
sangat akrab dengan budaya masyarakat indonesia. Peribahasa-peribahasa
“diam itu emas”, “tong kosong berbunyi nyaring”, “air beriak tanda tak
dalam” atau juga “samdo pandito ratu” menyiratkan lebih dihargainya bahasa
nonverbal dibandingkan kecakapan bahasa lisan dalam komunikasi.
F. Impilaksi komunikasi politik bersifat nonverbal
Jika kondisi demikian tetap berlangsung, maka diskrepansi
antarasemangat demokrasi dan kompetensi demokrasi akan semakin terpisah.
Masyarakat akan menerapkan demokrasi hanya dengan semangatnya, tanpa
didukung pemahaman yang cukup tentang mengapa mereka bertindak
demikian. Demokrasi akan diterjemahkan sebagai kebebasan dalam
mengungkapkan tuntutan. Namun terkadang tuntutan itu sendiri merupakan
“harga mati” tanpa bisa dikompromikan. Ukuran kualitatifnya lebih
ditentukan besarnya pendukung dari tuntutan itu, bukan kualitas rasional
tidaknya tuntutan itu.kendati partisipasi masyarakat tampak tinggi, namun
aktivitas mereka tidak termasuknsebagimana konsep activist rasionality yang

11
pernah dijadikan indikator demokrasi tidaknya suatu negara oleh Almond dan
Coleman. Yaitu, banyaknya bagian dari masyarakat yang aktif memngaruhi
pengambilan keputusan govermental affairs, didasarkan pada informasidan
pengetahuan yang cukup. Apa yang terjadi di sini adalah sebaliknya, bahwa
mereka memang aktif memengaruhi govermental affairs tetapi tanpa didukung
olehh informasi dan pengetahuan yang cukup. Jadinya, mereka justru bisa
disebut activist irrasionality.
Jika hal demikian berlangsung terus,nanti di kemudian hari tentu akan
semakin mengundang konflik horizontal di masyarakat. Disintegrasi bangsa
sering terancam untuk pecah, baik karena konflik antarkelompok politik
masyarakat, maupun didasarkan pada konflik antarwilayah dan suku di
indonesia. Karena, dalam mengekspresikan semangat demokrasi yang
dimunculkan ialah dukungan total secasras nonverbal,baik berupa kehadiran
fisik dalam gelombang massa pendukung maupun semangat memunculkan
simbolisasi nonverbal lainnya. Kesemuanya itu tidak memunculkan
kompetensi kognitif berdemokrasi namun lebih memungkinkan terjadinya
gesekan-gesekan fisik dengan semangat demokasi yang sama dari kekuatan
politik yang berbeda.
G. Membangun Pesan Verbal Yang Produktif
Sudah saatnya elite poltik dan media masa menyosialisasikan pentingnya
komunikasi verbal sebagai bentuk komunikasi politik yang demokratis. Politic
is talk, demikian Mark Roeloef mengemukakan (Nimmo, 1993: 73).
Sebenarnya dalam konsepsi modern itu politik adalah pembicaraan. Konflik
kepentingan dan berbagai pertentangan lain diturunkan dan diselesaikan
melalui pembicaraan, apakah itu berupa negosiasi, dialog, lobi, perdebatan,
ataupun kesepakatan, kesemuanya merupakan bentuk daripada pembicaraan.
Dengan demikian, kemampuan orang utnuk bicara dalam proses politik
menjadi sangat penting. Semua persoalan politik, apakah itu pada waktu
kampanye, di parlemen, parpol, pemerintahan ataupun di mana saja
memerlukan apa yang disebut dengan pembicaraan. Untuk itu tentu saja
communication skills menjadi sangat penting, termasuk dalam hal kemampuan

12
untuk mendengarkan tentunya. Dan bukan sebaliknya, bahwa kemampuan
verbal elite politik justru dicurigai.
Disini elite politik harus mempelopori penyelesaian berbagai persoalan
politik dengan pembicaraan terlebih dahulu. Kampanye dengan pembicaraan,
kompromi dengan pembicaraan, lobi dengan pembicaraan, dan sebagainya. Ini
utnuk mengenai partisipasi khalayak melalui kekuatan fisik yang berlebihan.
Kalau pembicaraan menjadi salah satu bentuk partisipasi politik yang penting,
maka untuk berbicara yang baik, orang akan berupaya meningkatkan
kemampuan kognisinya. Sudah saatnya elite politik mempelopori cara kerja
politik modern, menyelesaikan persoalan dan persaingan politik dengan adu
argumentasi di hadapan rakyat, melalui perdebatan yang disaksikan rakyat,
sehingga rakyat dididik untuk memahami pemimpin mereka secara utuh,
termasuk kompetensinya, serta mengkritisi keadaan yang sesungguhnya,
bukan sekadar dibangkitkan ikatan emosional mereka melalui symbol-simbol
primordial ataupun ikatan emosional historis. Dengan demikian, itu berarti
dilakukan pendidikan politik pada rakyat.

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pesan dalam komunikasi politik secara umum terbagi dalam verbal dan
non vebal. Verbal terdiri dari kata- kata, tulisan, bahasa yang terimplementasi
melalui retorika, debat atau kampanye. Non verbal bisa berupa raut wajah,
gerak tubuh, perilaku atau tundakan dari para calon atau anggota partai.
Sementara dari pesan- pesan tersebut, ada beberapa alat sosialisasi yang bisa
dipakai, diantaranya pamflet, spanduk, baliho serta berbagai lini media massa.
Logo, slogan dan termasuk tim sukses merupakan pesan politik yang akan
dipersepsi oleh pemilih.
Komunikasi politik merupakan bentuk komunikasi yang ingin
menyampaikan makna sistem simbol dan falsafah yang melatarbelakangi
permbangunan isu dan program politiknya. Meski ideologi bersifat abstrak,
tapi harus bisa diangkat untuk kegiatan yang konkrit.
Pesan politik harus disampaikan dengan cara – cara tertentu seperti :
1. Menggunakan bahasa yang padat dan dapat dimengerti
2. Mengangkat isu-isu aktual dan segar
3. Memberi slogan yang populer sehingga dapat diingat dengan mudah
oleh publik
4. Menyampaikan program dengan bahasa yang dapat dipahami oleh
masyarakat.
5. Menarik perhatian khalayak dan menjadi motivasi para pengurus dan
anggota partai
6. Menjelaskan semua yang disampaikan menjadi sesuatu yang sedang
diperjuangakan oleh partai.

14
DAFTAR PUSTAKA
Henry Subiakto & Rachmah Ida. 2015. Komunikasi Politik, Media dan
Demokrasi. Jakarta : Kencana
Heri Budianto. 2018. Media dan Komunikasi Politik. Yogykarta : Mbridge Press

15

Anda mungkin juga menyukai