Anda di halaman 1dari 29

Karya Tulis Calon Mahasiswa Berprestasi 2015

STREET CHILDREN DATA MANAGEMENT: UPAYA


PEMBENAHAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ANAK
JALANAN INDONESIA

Dianty Widyowati Ningrum


Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
2011/314343/SP/24610

Universitas Gadjah Mada


2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia dan rahmatnya
sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Meskipun banyak
kekurangan namun penulis berharap agar karya tulis ini dapat memberikan
manfaat bagi masyarakat luas di berbagai lapisan, baik di bidang akademik
maupun di bidang praktis. Sebagai mahasiswa jurusan Pembangunan Sosial dan
Kesejahteraan, isu anak jalanan yang menjadi tema karya tulis ilmiah ini adalah
salah satu bentuk perhatian dan kontribusi penulis terhadap usaha kesejahteraan di
Indonesia. Penulis berharap bahwa karya tulis ini tidak saja disusun semata untuk
melengkapi persyaratan seleksi Mahasiswa Berprestasi tetapi juga sebagai kajian
yang berkelanjutan di masa depan, baik untuk studi penulis sendiri maupun untuk
kebermanfaatan masyarakat luas. Penulis berterimakasih terhadap semua pihak
yang telah membantu secara langsung dan tidak langsung dalam proses
penyusunan karya tulis ini. Tanpa dukungan dari pihak-pihak tersebut karya tulis
ini tidak akan bisa terselesaikan secara maksimal. Akhir kata penulis mohon maaf
jika ada kekurangan atau kesalahan dalam konten karya tulis ini, semoga
bermanfaat.

Yogyakarta, 25 Mei 2015

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR GAMBAR v
RINGKASAN vi
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Uraian Singkat Gagasan Kreatif 3
1.4 Tujuan dan Manfaat 3
1.5 Metode 3
BAB II TELAAH PUSTAKA 5
2.1 Konsep Anak Jalanan 5
2.2 Evidence-Based Policy 6
2.3 Manfaat Street Children Data Management 7
BAB III ANALISA DAN SINTESI 9
3.1 Problem Penanganan Anak Jalanan Disebabkan
Keterbatasan Data 9
3.2 Street Children Data Management Sebagai Solusi 12
3.2.1 Pengumpulan Data Anak Jalanan 12
3.2.2 Pengumpulan Data Program Anak Jalanan 15
BAB IV SIMPULAN DAN REKOMENDASI 18
4.1 Simpulan 18
4.2 Rekomendasi 18

DAFTAR PUSTAKA

iv
DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 1. Skema Street Children Data Management 16

v
SUMMARY

The issue of street children in Indonesia needs more attention in both preventive
and curative aspect, particularly in the issue of street children policy evaluation.
Indonesia still has limited data in terms of number and life aspects of street
children. Currently, the only available data about street children is the annual
People Of Social Welfare Issues (PMKS) data collected by Social Ministry and
Statistics Indonesia, which covers only the overall number and the regional
distribution of street children. This limitation of data makes the projection of
street children policy difficult. Based on that background explanation, one
research problem is identified on this paper; what is the efficient solution to obtain
database to improve the implementation of street children policy in Indonesia?

This paper uses qualitative method with interview and type data source. The
method of interview is non-structural interview, in which selected respondents
with particular knowledge and understanding are interviewed; including the staffs
of street children shelters in Yogyakarta (Girlan and Anak Mandiri I), researcher
in Center of Policy and Demography Study Universitas Gadjah Mada (UGM),
researcher in B2P3KS Yogyakarta, and teaching staffs in Department of Social
Development and Welfare UGM who concern on street children issue. The type
data source method uses literature sources, in which data are obtained from books,
scientific writings, archives, official reports, journals, articles and online sources
regarding street children issue.

This paper identifies a lack of an accurate and comprehensive data to support the
policy of street children, which often hinders the effort to reduce their number.
First, the shortage of data about what causes them to go to the streets or which
city they‟re coming from, makes the policy lacks preventive elements. Thus, street
children are often coming back to the street even after receiving programs.
Second, the absence of data about their characteristics and personal perception
makes it harder to match them with appropriate programs. Some of the programs
overlap with each other and some other only conduct sweeping and raids without
further empowering solution. Third, the lack of accurate and reliable data about
their number and living condition makes the budget for them allocated
inadequately. On top of that, this lack of data also limits the variety of services
and programs offered for street children.

This paper offers a solution called Street Children Data Management, an


integrated street children database used for supporting policy formulation and
evaluation regarding street children. This scheme consist of two main database;
first is a valid and comprehensive database containing objective information and
realities of street children which collected through a survey. Second, a database of
vi
current programs with street children as its beneficiaries. The database will be
released online in order to be accessible by pertaining stakeholders and wider
society. There are three steps of recommendation in order to translate this idea
into real practice. First; enhance the consolidation between stakeholders
institutions from both public and private sector regarding this issue of street
children database. This consolidation is important to prepare for financial and
human resource needed to conduct this idea. Second, improve the technology and
information system, especially within the core institution like Social Ministry and
Statistics Indonesia, in order for this idea to be implemented properly without any
technical barrier. Last but not least, establish a good data socialization and
dissemination to maximize the usage of Street Children Data Management. The
expected result of this idea is a set of an integrated database of street children,
which various stakeholders can use to make strategic and appropriate
recommendations.

vii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada tahun 2013, sebanyak 9.400 anak jalanan di Jabodetabek menjadi korban
eksploitasi fisik, ekonomi dan seksual (Sindonews, 2013). Ketua Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Niam juga menyebutkan
setidaknya dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, jumlah pengedar narkoba anak
meningkat hingga 300 persen dan sebagian besar dari mereka adalah anak jalanan
(Setyawan, 2015). Fakta tersebut menunjukkan bahwa isu anak jalanan di
Indonesia membutuhkan perhatian lebih, baik dari sisi pencegahan maupun
penanganan. Salah satu isu anak jalanan yang membutuhkan perhatian lebih yaitu
evaluasi kebijakan anak jalanan di Indonesia.

Informasi mengenai jumlah dan dinamika aspek kehidupan anak jalanan di


Indonesia masih terbatas. Data anak jalanan dalam data Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) tersebut selama ini hanya mencakup jumlah dan
persebaran tiap daerahnya. Terbatasnya data tersebut mempersulit proyeksi
kebijakan anak jalanan yang efektif dan tepat sasaran. Jumlah anak jalanan di
Indonesia diperkirakan naik dari 135.983 anak di tahun 2011 (PMKS Kemensos
RI, 2011) menjadi 232.000 anak di tahun 2014 (Badan Kesejahteraan Sosial
Nasional, 2014). Kenaikan angka tetap terjadi walaupun Kemensos telah
meluncurkan program pemberian tabungan anak jalanan bernama Program
Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan (PKS-Anjal) yang targetnya mencapai 68.699
anak di tahun 2012 (Badiklitkesos, 2012). Langkah kebijakan selanjutnya sulit
diambil karena keterbatasan data mengenai profil dasar anak jalanan, seperti
faktor yang menyebabkan mereka ke jalan, tingkat partisipasi
2

sekolah, status ekonomi keluarga serta status kependudukan. Bisa jadi


meningkatnya anak jalanan ini disebabkan hal-hal yang luput dari pertimbangan
pemangku kebijakan, misalnya anak ke jalan bukan karena faktor ekonomi, anak
tidak memanfaatkan PKSA untuk melanjutkan pendidikan, atau anak tidak bisa
mendapatkan PKSA karena bukan penduduk daerah tersebut atau bahkan tidak
mempunyai dokumen kependudukan sama sekali. Tidak hanya pada tingkat
nasional, masalah keterbatasan data juga terdapat pada tingkat daerah. Angka
anak jalanan di Kota Depok sempat turun dari 430 anak pada tahun 2011 menjadi
336 anak pada tahun 2012, namun kembali naik menjadi 400 anak di tahun 2014
namun pemda sulit menyusun kebijakan yang lebih solutif karena tidak ada data
yang mendukung penjelasan adanya fluktuasi tersebut (Virdhani, 2013). Contoh
lain di Bandung, angka anak jalanan tahun 2012 mencapai sekitar 4000 anak.
Walaupun ada kesempatan menambah anggaran, pemkot Bandung kekurangan
inovasi program karena kurangnya data pendukung mengenai kondisi, distribusi
umur, serta harapan mereka mengenai intervensi dari pemerintah. Jika data-data
mengenai anak jalanan tersebut tersedia maka, implementasi yang disusun oleh
instansi terkait akan lebih efektif dan tepat sasaran.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, muncul rumusan masalah yaitu bagaimana cara yang
efisien untuk mendapatkan basis data yang diperlukan dalam membenahi
implementasi kebijakan anak jalanan di Indonesia?

1.3 Uraian Singkat Gagasan Kreatif

Street Children Data Management adalah sebuah ide pengadaan data anak jalanan
yang valid dan lengkap sebagai pendukung kebijakan anak jalanan di Indonesia.
Luaran dari skema ini adalah data jumlah dan karakteristik anak jalanan yang
diperoleh melalui survei serta data berisi daftar program penanganan anak jalanan
yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga swasta.
3

1.4 Tujuan dan Manfaat

1.4.1 Tujuan

Mengetahui bagaimana mengatasi tidak tersedianya data anak jalanan yang


diperlukan dalam membenahi implementasi kebijakan anak jalanan di Indonesia.

1.4.2 Manfaat

Manfaat akademis dari gagasan dalam tulisan ini adalah masukan bagi kajian dari
berbagai disiplin, baik kajian pembangunan dan pemberdayaan sosial, statistik
sosial, maupun kebijakan publik. Manfaat praktis dari gagasan ini adalah
rekomendasi kebijakan bagi instansi yang terkait dengan anak jalanan baik
instansi publik maupun swasta.

1.5 Metode

Metode yang digunakan pada karya tulis ilmiah ini adalah penelitian kualitatif
dengan teknik penelitian berupa wawancara dan sumber jenis data. Teknik
wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak terstruktur, yaitu wawancara
yang dilakukan dengan responden terpilih yang memiliki pengetahuan, mendalami
situasi dan mengetahui informasi yang diperlukan (Moleong, 1999). Wawancara
tidak terstruktur dalam penelitian ini dilakukan dengan stakeholder yang berperan
dalam isu anak jalanan, antara lain yaitu pengurus rumah singgah di Yogyakarta
(Girlan dan Anak Mandiri I), peneliti di Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan
UGM, staf Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan
Sosial (B2P3KS) Yogyakarta, serta dosen peneliti anak di jurusan Pembangunan
Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) UGM. Wawancara dilakukan dari tanggal 25
April 2015 sampai dengan 13 Mei 2015. Teknik sumber dan jenis data yang
digunakan adalah sumber tertulis, yaitu teknik pengambilan data dari sumber buku
dan majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi
4

(Moleong, 1999). Sumber tertulis yang digunakan dalam penelitian ini diambil
dari buku, report, jurnal-jurnal mengenai studi kasus penanganan anak jalanan di
negara-negara berkembang lain, artikel beserta sumber online
BAB II

TELAAH PUSTAKA

2.1 Konsep Anak Jalanan

Terminologi „anak jalanan‟ atau street children dikembangkan oleh Commission


on Human Rights (CHR) untuk mendeskripsikan „anak perempuan atau lelaki
yang mana jalanan (dalam arti yang paling luas, termasuk tempat tinggal yang
tidak didiami, tanah kosong, dll) telah menjadi kediaman habitualnya dan/atau
sumber penghidupannya, dan mereka yang tidak dilindungi, diawasi atau
diarahkan oleh orang dewasa‟. Menurut UNICEF, terdapat tiga sub-kategori anak
jalanan; pertama, street living children yaitu anak yang telah putus hubungan
dengan keluarga mereka dan hidup sendiri di jalanan. Kedua, street working
children yaitu anak yang menghabiskan sebagian besar atau seluruh waktunya
bekerja di jalan untuk menhasilkan pendapatan untuk keluarga atau untuk dirinya
sendiri; dan ketiga, children of street living families yaitu anak yang tinggal
dengan keluarganya di jalanan (Subhansyah dkk, 1996).

Ada dua faktor utama anak menjadi anak jalanan yaitu faktor keluarga dan faktor
lingkungan. Faktor pertama yaitu keluarga terjadi karena adanya permasalahan
ekonomi keluarga dan kekerasan keluarga. Permasalahan ekonomi keluarga dapat
disebabkan karena orang tua yang menganggur, bekerja serabutan, bekerja di
sektor informal atau mempunyai beban tanggungan yang besar. Kekerasan dalam
keluarga yang menyebabkan anak ke jalan dipicu oleh tekanan ekonomi;
perceraian orangtua; dan perilaku tidak menyenangkan (kekerasan
fisik/emosional/seksual). Faktor kedua yaitu lingkungan dapat disebabkan
lingkungan spasial dan lingkungan sosial. Lingkungan spasial mendorong anak ke
jalan karena faktor pemukiman mereka yang padat, kumuh dan berdekatan dengan
6

tempat-tempat umum seperti terminal, stasiun, atau pasar sehingga sangat mudah
terseret ke dalam kehidupan jalanan. Lingkungan sosial mendorong anak ke jalan
jika anak mempunyai konflik dengan warga di tempat ia tinggal atau lingkungan
sekolah anak yang tidak lagi nyaman (Subhansyah dkk,1996). Karena
kompleksitas faktor tersebut, satu strategi penanganan atau pencegahan tidak bisa
menyelesaikan semua kasus anak jalanan yang ada. Perlu data mengenai faktor
terkuat penyebab anak ke jalan di lingkup daerah tertentu agar kebijakan dapat
lebih efektif.

2.2 Evidence-based Policy

Evidence-based policy atau kebijakan berbasis bukti adalah aplikasi penelitian


empiris pada kebijakan. Untuk dapat berbasis bukti, kebijakan dan praktik yang
akan dilakukan harus dibangun diatas landasan pengetahuan empiris yang
obyektif, dapat dipercaya serta valid (National Institution of Correction, 2011).
Kebijakan selalu bergerak kearah perbaikan untuk menghasilkan keadaan yang
lebih baik di masyarakat. Pada umumnya, kebijakan dibuat berdasarkan kebijakan
sebelumnya, dinamika keadaan sasaran kebijakan di lapangan, sumber dan
ekspektasi dari pemangku kepentingan terkait, serta efek yang mungkin akan
ditimbulkan di masa depan. Pembuat kebijakan membutuhkan informasi
mengenai “what works for whom in what circumstances”. Data akurat dan valid
berperan sebagai evidence yang digunakan di setiap tahap dalam siklus perumusan
kebijakan, baik penyusunan agenda, identifikasi isu, identifikasi opsi-opsi,
pemilhan aksi, pelaksanaan aksi serta monitor hasil aksi tersebut (Solesbury,
2001).

Menurut data primer yang diperoleh dari wawancara dengan peneliti di Pusat
Studi Kebijakan dan Kependudukan Universitas Gadjah Mada (UGM), data
empiris anak jalanan saat ini hanyalah data PMKS yang termasuk dalam Survei
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan anak jalanan termasuk salah satu dari
7

empat belas PMKS di Indonesia. Data ini hanya mencakup jumlah dan persebaran
tiap daerahnya. Data lain yang tersedia hanya data anak terlantar yang sebagian
tidak termasuk kategori anak jalanan. Selain itu, belum ada data terpadu program
penanganan anak jalanan yang diselenggarakan instansi pemerintah dan LSM,
sehingga membatasi pengetahuan masyarakat dan lembaga lain mengenai
program tersebut.

2.3 Manfaat Street Children Data Management

Street Children Data Management berisi data anak jalanan yang valid, lengkap
dan dapat diandalkan dapat menjadi sumber penting dalam proses formulasi
evidence-based policy. Pertama, basis data mempermudah evaluasi program
penanganan anak jalanan yang telah berjalan karena mendukung komparasi
keadaan anak jalanan dari waktu ke waktu dan juga dari satu daerah ke daerah
yang lain. Kedua, basis data ini juga membantu berbagai instansi menyusun
inovasi kebijakan melalui pemetaan proses anak ke jalanan. Anak jalanan adalah
hasil dari rangkaian peristiwa yang kompleks dan bertahap. Inovasi kebijakan
dapat digagas jika ada data umur anak mulai ke jalan dan alasan utama turun ke
jalan. Sebagai contoh, survei anak jalanan di Afrika Selatan tahun 2010 oleh
Human Science Research Council menunjukkan pola sebagian anak usia sekolah
yang turun ke jalan awalnya sering membolos dan akhirnya tertarik mencari
penghasilan di jalan. Dengan basis data tersebut, pemerintah Afrika Selatan mulai
menyusun kebijakan preventif untuk anak dari keluarga miskin yang sering
membolos. Anak yang dapat diidentifikasi melalui sistem sekolah tersebut di-
intervensi sebelum mereka drop-out dan sepenuhnya turun ke jalan. Jika di
Indonesia terdapat data seperti itu, dapat muncul inovasi kebijakan preventif
seperti pemusatan program peningkatan kapasitas ekonomi keluarga di daerah
yang paling banyak mengirimkan anak jalanan ke kota besar (Ward dan Seager,
2010). Ketiga, basis data anak jalanan yang lengkap juga mendukung program
besar lainnya dalam mencapai hasil lebih maksimal. Implementasi program Kartu
Indonesia Pintar (KIP) milik pemerintahan Jokowi yang dicanangkan mencakup
8

anak jalanan akan lebih maksimal jika tersedia basis data jumlah serta distribusi
anak jalanan usia sekolah. Selain KIP, basis data juga dapat membantu program-
program lain seperti Program Keluarga Harapan (PKH) yang menargetkan
keluarga dengan kapasitas ekonomi rendah.
BAB III

ANALISIS DAN SINTESIS

3.1 Problem Penanganan Anak Jalanan Disebabkan Keterbatasan Data

Berbagai strategi mengeluarkan anak dari jalanan telah dilakukan melalui


berbagai aspek, mulai dari ekonomi, pendidikan, psikologis, religius sampai
hukum. Strategi preventif maupun kuratif sudah dijalankan, mulai dari pemberian
beasiswa, pelatihan ketrampilan, rehabilitasi, konseling, penyediaan rumah
singgah sampai advokasi dalam mendapatkan pelayanan sosial. Sejak 2011,
Kemensos mempunyai Program Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan (PKS-Anjal)
dimana anak jalanan diberi tabungan sejumlah Rp. 1.000.000- Rp. 1.500.000
dengan harapan agar mereka berhenti mencari penghasilan di jalanan. Pada 2012
jumlah penerima PKS-Anjal adalah 5.517 anak dengan budget tahun 2011
mencapai Rp. 12.312.875.000 (Badiklitkesos, 2013). Walaupun kebijakan
penanganan yang dilakukan baik dari sektor pemerintah maupun non-pemerintah
semakin banyak, jumlah anak jalanan dari tahun ke tahun tetap meningkat. dari
135.983 anak di tahun 2011 (PMKS Kemensos RI) menjadi 232.000 anak di tahun
2014 (Badan Kesejahteraan Sosial Nasional, 2014).

Alasan kurang optimalnya berbagai strategi kebijakan penanganan anak jalanan


bervariasi. Pertama, sulit mengeluarkan anak secara permanen dari jalanan pasca
terlaksananya program. Khususnya anak jalanan pendatang yang kerap kembali
lagi walaupun sudah dibekali ketrampilan dan dipulangkan ke daerah asal. Mereka
kembali karena ekonomi keluarga mendesak dan tidak ada lapangan pekerjaan
untuk anak-anak di daerah asal. Di jalanan kota besar, mereka bisa melakukan
berbagai pekerjaan yang setidaknya memberikan penghasilan untuk dibawa
pulang. Selama ini belum ada data daerah asal anak-anak tersebut sehingga
10

strategi penanganan terpusat di daerah operasi yaitu kota-kota besar. Strategi


tersebut umumnya tidak dapat menjangkau mereka yang bukan penduduk asli.
PKS-Anjal di DKI Jakarta, diberikan hanya kepada anak jalanan yang
orangtuanya memegang KTP DKI Jakarta (Berita8.com, 2015) sehingga anak
jalanan pendatang akan terus kembali. Jika ada data status kependudukan anak
jalanan (penduduk asli atau pendatang), daerah asal dan alasan bermigrasi anak
jalanan pendatang, pemda dapat merancang program yang lebih solutif. Misalnya
mengalihkan program dari pusat ke lingkar-lingkar luar daerah sehingga anak
jalanan pendatang dapat ditangani sebelum mencapai pusat kota. Anak jalanan
yang terlalu lama di jalanan pusat kota lebih sulit untuk dikeluarkan dari jalan.
Selain itu, anak tetap kembali ke jalan juga disebabkan oleh masyarakat yang
tidak berhenti memberikan mereka „penghasilan‟, walaupun regulasi pelarangan
memberi uang kepada anak jalanan sudah ada di banyak daerah. Masyarakat tetap
memberi karena kurang pengetahuan tentang faktor dan kondisi anak jalanan. Jika
data diatas tersedia bagi masyarakat, maka masyarakat dapat melihat problematika
anak jalanan dalam perspektif yang lebih luas dan dapat lebih bijak dalam
menyalurkan bantuan mereka.

Kedua, ada ketidakcocokan antara ketersediaan jumlah dan jenis pelayanan bagi
anak jalanan dengan yang dibutuhkan. Salah satu contoh kasus di Bandung,
anggaran penanganan anak jalanan sebesar Rp 1.3 milyar pada 2012 habis untuk
razia dan posko pemantauan di jalan, namun belum ada panti pembinaan seperti
Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskesos) untuk penindaklanjutan setelah razia
sehingga jumlah anak jalanan tetap tinggi dari waktu ke waktu (Pikiran Rakyat
Online, 2012). Ada juga kasus tumpang tindih program seperti Pondok Pesantren
Pendidikan Terpadu Anak Harapan (Ponpes Dikterapan) di Solo yang didirikan
oleh Kementrian Agama. Ponpes tersebut dibangun untuk anak jalanan, namun
tidak banyak yang tertangani karena syarat yang diterapkan sulit. Anak yang
memenuhi syarat sudah ditangani oleh LSM/rumah singgah di Solo (CyberNews,
2015). Program yang parsial dan tidak efektif ini dapat dimitigasi jika ada data
jumlah, karakteristik serta ekspektasi anak jalanan di suatu daerah. Tumpang
11

tindih program dapat dimitigasi jika ada data program penanganan yang
dijalankan oleh setiap lembaga sehingga tercipta sinergi dalam implementasi di
lapangan.

Ketiga, kurangnya anggaran serta sarana-prasarana program anak jalanan. Contoh


kasus di Makassar, ada tempat penampungan anak jalanan namun tidak ada
anggaran makan, tempat tidur memadai, dan air bersih (Radarmakassar.com,
2015). Di Kota Yogyakarta, Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Dinsosnakertrans) mengalami kendala keterbatasan daya tampung Panti Karya,
tempat penginapan serta pelaksanaan pemberdayaan anak jalanan (Atmasari,
2015). Jika Panti Karya penuh, anak jalanan dialihkan ke pemerintah provinsi
DIY. Apabila pemprov tidak menyanggupi maka penjaringan anak jalanan
dihentikan. Jika tersedia data mengenai jumlah, kebutuhan serta karaktersitik anak
jalanan, pemerintah lebih mudah mengajukan anggaran bagi program penanganan
anak jalanan karena memang terbukti ada kebutuhan yang mendesak.
Ketersediaan data juga akan menarik dukungan dari lembaga terkait sehingga
sumber yang dibutuhkan lebih mudah diperoleh. Selain itu, tersedianya basis data
anak jalanan bagi masyarakat luas dapat meningkatkan kesadaran masyarakat
terhadap kondisi mereka, dan basis data program penanganan juga dapat menarik
sumber dana dan sumber tenaga dari masyarakat yang ingin berpartisipasi.

Keempat, kurangnya inovasi program penanganan. Meski angka anak jalanan


Bandung tahun 2012 mencapai sekitar 4000 anak (Antaranews.com, 2012),
Pemkot hanya melakukan razia dan pelatihan-pelatihan. Walaupun ada
kesempatan menambah anggaran, belum ada terobosan maupun target baru dari
wali kota dan wakil wali kota (Pikiran Rakyat, 2015). Padahal banyak potensi
kebijakan seperti sosialisasi hak anak kepada keluarga jalanan, advokasi
kepemilikan akte kelahiran, dan lain sebagainya. Program tersebut dapat
diusulkan jika ada data tingkat eksploitasi orangtua pada anak jalanan dan tingkat
kepemilikan akte kelahiran anak jalanan.
12

3.2 Street Children Data Management Sebagai Solusi

Respon kebijakan terhadap permasalahan anak jalanan di Indonesia adalah Street


Children Data Management, yaitu ide pengadaan data anak jalanan. Luaran dari
ide ini adalah data jumlah dan karakteristik anak jalanan yang diperoleh melalui
survei serta data berisi daftar program penanganan anak jalanan yang dilakukan
oleh pemerintah dan lembaga swasta. Lembaga yang dapat memanfaatkan antara
lain intansi pemerintah seperti Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional,
Badan Nasional Narkotika, KPAI, Kemensos, Kemenkes, Kemenag,
Kemendikbud, Kementrian Pemberdayaan Perempuan & Perlidungan Anak,
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; Lembaga Swadaya Masyarakat, serta
masyarakat.

3.2.1 Pengumpulan Data Anak Jalanan

Pengumpulan data anak jalanan serta pengolahannya akan diselenggarakan oleh


Kementrian Sosial bekerjasama dengan BPS. Metode yang digunakan dalam
memperoleh data anak jalanan adalah metode sampling/survei. Sampling adalah
cara pengumpulan data dimana yang diselidiki adalah elemen sampel dari suatu
populasi. Data yang diperoleh dari hasil sampling merupakan data perkiraan
(estimate value). Dibandingkan dengan sensus, sampling membutuhkan biaya
yang jauh lebih sedikit, memerlukan waktu yang lebih cepat, tenaga yang tidak
terlalu banyak, dan dapat menghasilkan cakupan data yang lebih luas serta
terperinci. Cara pengambilan sampel yang digunakan adalah cara acak (random)
yaitu pemilihan sampel dilakukan sedemikian rupa sehingga setiap elemen
mendapat kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Cara ini dianggap
obyektif karena netral (Supranto, 2000).

Responden dari survei adalah sampel dari anak jalanan yang terdata dalam PMKS
oleh BPS di tahun yang sama. Strata yang digunakan tergantung pada skala
survei. Jika survei dilakukan pada tahap nasional maka stratanya adalah propinsi,
13

namun jika survei dilakukan pada tahap propinsi maka stratanya adalah Dati II
(kabupaten/kota). Langkah awal menentukan sampel adalah menentukan batas
signifikansi anak jalanan di suatu strata dengan cara menghitung persebarannya
secara nasional. Jika angka signifikan sudah ditentukan, tentukan strata mana saja
di dalam data PMKS yang keberadaan anak jalanannya signifikan. Untuk efisiensi
dana dan sumber, provinsi yang populasi anak jalanannya terlalu sedikit tidak
akan dimasukkan ke dalam survei. Selanjutnya, sampel ditentukan secara acak
yang jumlahnya proporsional berdasarkan persebaran anak jalanan di tiap strata.
Survei tidak menggunakan teknik survei panel (survei dengan responden sama
dalam periode waktu yang berbeda) sebab secara teknis tidak memungkinkan
dikarenakan karakteristik anak jalanan yang mobilitasnya tidak dapat diprediksi.

Untuk menentukan tema yang akan disertakan dalam kuesioner, akan diadakan
seminar yang dihadiri oleh pemangku kepentingan dalam isu anak jalanan, seperti
perwakilan dari instansi pemerintah, perwakilan LSM, perwakilan akademisi dan
pemerhati isu anak jalanan. Kuesioner akan disusun berdasarkan kebutuhan data
instansi yang menangani isu anak jalanan dan akan diuji menggunakan uji
validitas dan uji reliabilitas sebelum digunakan. Data yang perlu diikutsertakan
dalam kuesioner ini antara lain:

1. Profil dasar anak jalanan; jumlah, distribusi umur, distribusi jenis kelamin,
distribusi yang nomaden dan menetap, daerah asal (jika pendatang), durasi
menetap, frekuensi pertemuan dengan keluarga, status perkawinan dan
pekerjaan orangtua, tempat tinggal tetap, lama dan alasan hidup di jalan,
kepemilikan dokumen kependudukan
2. Keamanan dan perlindungan; kontak dengan aparat, keterlibatan dengan
masalah hukum, ancaman yang dirasakan di jalan, kontak dengan kekerasan
3. Pendidikan dan pengembangan diri; akses terhadap pendidikan
formal/informal, pendidikan terakhir, kemampuan literasi, persepsi mengenai
pentingnya pendidikan, preferensi pelatihan keterampilan dan pekerjaan
14

4. Kondisi kerja; pekerjaan pertama di jalan, umur ketika pertama kali bekerja di
jalan, alasan memulai hidup di jalan, pemberi pekerjaan pertama, pengaruh
pekerjaan mereka terhadap status sekolah, kondisi pekerjaan, jam kerja harian,
dan mingguan, penghasilan, pengeluaran, tabungan, keberhutangan, persepsi
terhadap pekerjaan, keterlibatan dengan hukum, mobilitas dalam dan luar kota
5. Kesehatan; sejarah penyakit, sejarah imunisasi dan vaksin, cedera dalam
lingkungan kerja, perlindungan yang digunakan selama bekerja, cara
pengobatan, kebiasaan merokok, ngelem, seks bebas dan seks tidak aman,
penggunaan alat kontrasepsi, kontak terhadap miras dan obat-obatan terlarang,
6. Kehidupan jasmani dan rohani; tempat berteduh tetap, kelayakan tempat
berteduh, akses terhadap kakus/toilet, frekuensi mandi, asupan gizi, frekuensi
makan per hari, asistensi kelembagaan
7. Persepsi pribadi; pengetahuan mengenai hak anak, kondisi masa depan yang
diharapkan, pengetahuan mengenai program pelayanan anak jalanan

Panduan pendataan survei dapat mengacu Panduan Pendataan PMKS dan PSKS
dari Kemensos yang selama ini sudah berjalan, dengan tambahan panduan untuk
pendataan anak jalanan yang lebih spesifik. Panduan dan strategi khusus dalam
pendataan anak jalanan dibutuhkan karena anak jalanan mempunyai karakteristik
tertentu yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Sebagai enumerator,
Kemensos dapat merekrut petugas kemanusiaan bidang pekerjaan sosial anak
bernama Satuan Bakti Pekerja Sosial (Sakti Peksos). Ada dua alasan dalam
memilih Sakti Peksos sebagai enumerator. Pertama, jumlah Sakti Peksos dapat
memenuhi kebutuhan sumber daya manusia dalam proses pengambilan data.
Jumlah Sakti Peksos mencapai 632 orang pada tahun 2011 dan jumlah
rekrutannya terus naik dari tahun ke tahun. Kedua, Sakti Peksos familiar dengan
kehidupan dan karakter anak jalanan sehingga dapat mengatasi hambatan teknis
yang disebabkan realitas anak jalanan saat pengambilan data. Realitas anak
jalanan di lapangan tersebut antara lain anak takut diwawancarai, anak minta
bayaran, anak tidak ingat umur atau keluarga, anak menutupi beberapa hal karena
tidak mau dipandang negatif, dan lain sebagainya.
15

Perkiraan waktu pengambilan data tergantung dari jumlah sampel yang


ditentukan, jumlah strata yang memenuhi syarat menjadi lokasi pengambilan data
dan jumlah enumerator yang akan dilibatkan. Sebagai gambaran, survei anak
jalanan yang dilakukan UNICEF di Zambia memakan waktu dua minggu jumlah
sampel 1.500 dari 75.000 anak jalanan yang ada pada saat itu, dengan 75
enumerator yang turun ke 12 daerah strata (Ministry of Community Development
and Social Services, 2006). Jika anak jalanan di Indonesia mencapai 232.000 di
tahun 2014 dan terdapat 632 enumerator dari Sakti Peksos, maka durasi pendataan
survei tingkat nasional akan berkisar satu bulan. Hasil yang diharapkan dari survei
ini adalah basis data anak jalanan yang dapat diandalkan dalam proses evluasi dan
perumusan kebijakan anak jalanan.

3.2.2 Pengumpulan Data Program Anak Jalanan

Data program penanganan anak jalanan dikelola oleh Kemensos dengan luaran
berupa daftar program beserta rinciannya. Sebagai langkah awal, pengelola data
akan aktif mendata program anak jalanan yang sedang atau direncanakan akan
berjalan, baik yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah maupun LSM.
Instansi pemerintah dan LSM penyelenggara kemudian melakukan input rincian
program seperti target anak jalanan (umur, domisili, karakteristik lainnya),
lingkup implementasi, lembaga yang terlibat, serta periode berjalan. Rincian
tersebut berguna untuk meningkatkan sinergi antara lembaga penyelenggara serta
mengurangi tumpang-tindih program anak jalanan. Jika ada program baru yang
akan diimplementasikan maka instansi penyelenggara dapat mendaftarkannya ke
Kemensos sehingga data dapat diperbarui. Data anak jalanan dan data program
anak jalanan yang telah diolah menjadi data siap pakai akan dipublikasi secara
umum agar dapat dimanfaatkan oleh instansi dan pihak yang membutuhkan.
Publikasi akan dilakukan melalui dua cara; pertama yaitu publikasi secara online
melalui situs web Kemensos yang dapat diakses secara publik, kedua yaitu
publikasi cetak berupa laporan yang akan disebar di berbagai instansi
pemerintahan dan LSM yang lingkup operasinya berhubungan dengan anak
16

jalanan. Karena keterbatasan teknis, update data program anak jalanan dalam
publikasi cetak akan dilakukan jika berganti periode/tahun sehingga akan ada
perbedaan tingkat kebaruan data antara publikasi cetak dengan publikasi online.

KEMENSOS
RI
Persiapan pengambilan data Pendataan program anak jalanan
dengan BPS yang berjalan (publik/swasta)

Data collecting, data entry,


verification, pengolahan data

Publikasi Data Anak Jalanan Penyelenggara program


& Data Program Anak Jalanan mendaftar/ melakukan input
rincian program
Aspirasi Masyarakat

LSM Evaluasi dan Perbaikan


Kebijakan & Program Anak
Inst. Publik Jalanan

Gambar 1. Skema Street Children Data Management

Menggunakan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity and Threats),


Street Children Data Management mempunyai keunggulan dalam hal kecepatan
dan kemudahan akses data serta mendukung pelaksanaan e-government, namun
membutuhkan biaya yang besar dan sumber daya manusia yang tidak sedikit.
Badan penyelenggara dapat mengatasi kelemahan tersebut dengan memanfaatkan
ketersediaan Sakti Peksos. Anggaran pelaksanaan juga dapat ditekan jika teknik
pengumpulan data dapat disusun se-efisien mungkin. Disamping itu, gagasan ini
juga mempunyai potensi ancaman, yaitu kemungkinan data menjadi sarat unsur
politik karena banyaknya instansi yang terlibat di dalam skema ini. Hal ini
disebabkan data anak jalanan sebagai indikator permasalahan sosial akan menjadi
tolok ukur kinerja pemerintahan tertentu. Walaupun begitu, ancaman ini dapat
17

diantisipasi dengan cara melakukan pengawasan yang ketat terhadap proses


pengambilan data dan melakukan konsolidasi secara berkala antar instansi yang
terlibat dalam isu anak jalanan.

Sebagai pilot project, Street Children Data Management direkomendasikan untuk


dilaksanakan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta merupakan kota pelajar
yang semestinya kondusif bagi tumbuh kembang anak, ditambah lagi Yogyakarta
sudah mempunyai mengenai perlindungan anak jalanan melalui Perda Pemprov
DIY No.6 Tahun 2011 tentang Perlindungan Anak yang Hidup di Jalan. Pada
kenyataannya Yogyakarta masih mempunyai permasalahan anak jalanan yang
tidak kunjung selesai. Menurut wawancara yang dilakukan dengan pengelola
Rumah Singgah Girlan pada tanggah 17 April 2015, sebagian besar anak jalanan
di Yogyakarta merupakan pendatang dari daerah lain yang tidak terdata dan jarang
tersentuh program penanganan. Implementasi Street Children Data Management
dapat membantu membenahi implementasi kebijakan anak jalanan di Yogyakarta.
BAB IV

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1 Simpulan

Indonesia memiliki data kurang akurat dan tidak komprehensif mengenai jumlah
dan dinamika aspek kehidupan anak jalanan. Terbatasnya data tersebut
mempersulit proyeksi kebijakan anak jalanan yang efektif dan tepat sasaran.
Solusi yang tepat terhadap masalah tersebut adalah Street Children Data
Management yaitu skema pengadaan data anak jalanan yang valid dan lengkap
sebagai pendukung kebijakan anak jalanan di Indonesia. Adanya Street Children
Data Management ini dapat mempermudah evaluasi program penanganan anak
jalanan, membantu berbagai instansi menyusun inovasi kebijakan, dan
mendukung program besar pemerintah lainnya dalam mencapai hasil yang lebih
maksimal.

4.2 Rekomendasi

Rekomendasi untuk merealisasikan ide Street Children Data Management ini


adalah sebagai berikut:

1. Konsolidasi dan peningkatan sinergi instansi terkait baik pemerintah


maupun swasta mengenai isu kekurangan data terpadu anak jalanan.
Selama ini, kekurangan data dirasakan oleh beberapa instansi dan
pemangku kepentingan dalam isu anak jalanan, namun belum ada usaha
yang terkoordinasi untuk mengatasinya. Konsolidasi antar instansi
diperlukan karena isu anak jalanan melibatkan berbagai pihak yang tidak
semuanya memiliki pemahaman dan kepentingan yang sama. Karena hasil
19

dari Street Children Data Management ini pada akhirnya akan dinikmati
oleh seluruh pemangku kepentingan dalam isu anak jalanan, pihak
pemangku kepentingan yang dapat memberikan kontribusi baik berupa
sumber maupun ide dapat saling berkoordinasi.
2. Memperbaiki teknologi dan sistem informasi agar gagasan Street Children
Data Management dapat diimplementasikan secara baik tanpa ada
halangan teknis yang berarti. Walaupun penggunaan teknologi dan sistem
informasi dalam proses kebijakan dan administrasi negara di Indonesia
telah meningkat, pemanfaatan data dapat lebih dimaksimalkan jika
didukung oleh teknologi dan sistem informasi yang dapat diandalkan. Data
anak jalanan yang berkualitas akan menjadi sia-sia jika tidak dapat
dimanfaatkan oleh berbagai pihak hanya karena terjadi masalah teknis
dalam publikasi.
3. Menyusun strategi sosialisasi dan diseminasi data yang baik agar hasil dari
Street Chidren Data Management ini dapat dimanfaatkan semaksimal
mungkin. Caranya dengan menyusun skema sosialisasi yang kreatif untuk
menjangkau berbagai pihak dan instansi yang terkait dengan isu anak
jalanan, aktif menyebarkan informasi mengenai perubahan dan perbaruan
data secara berkala, serta melakukan seminar dan lokakarya penggunaan
data dalam forum kesejahteraan sosial anak yang ada di tingkat daerah.
Daftar Pustaka

Antaranews.com, (2012). Jumlah anak jalanan di Bandung capai 4.000. [online]


Available at: http://www.antaranews.com/berita/319287/jumlah-anak-jalanan-di-
bandung-capai-4000 [Accessed 23 May 2015].

Atmasari, N. (2015). Tertibkan Anjal dan Gepeng, Dinsos Jogja Terkendala Daya
Tampung Panti Karya. [online] SOLOPOS.com. Available at:
http://jogja.solopos.com/baca/2014/07/15/tertibkan-anjal-dan-gepeng-dinsos-
jogja-terkendala-daya-tampung-panti-karya-519303 [Accessed 3 May 2015].

Badiklitkesos, (2012). Kementrian Sosial dalam Angka. Jakarta: Kementrian


Sosial RI, pp.102-112

Berita8.com, (2015). Dinsos DKI Sukses Tangani 4.827 Anjal di DKI |


Berita8.com Berita Lintas Kota. [online] Available at:
http://www.berita8.com/berita/2012/06/dinsos-dki-sukses-tangani-4.827-anjal-di-
dki [Accessed 29 Apr. 2015].

CyberNews, S. (2015). Program Ponpes Dikterapan Gagal Berjalan. [online]


suaramerdeka.com. Available at:
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/03/15/112448 [Accessed 2
May 2015].

Ministry of Community Development and Social Services, (2006). Report on


Survei and Analysis of The Situation of Street Children in Zambia. Zambia:
MCDSS, pp.3-17.

Moleong, Lexy J (1999). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja


Rosdakarya, pp. 112-116, 135-146

Pikiran Rakyat Online, (2012). Lingkar Perlindungan Anak Pertanyakan Posko


Anjal. [online] Available at: http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-
raya/2012/05/03/187089/lingkar-perlindungan-anak-pertanyakan-posko-anjal
[Accessed 30 Apr. 2015].

Radarmakassar.com, (2015). Dinsos Canangkan Rumah Perlindungan Anjal |


Radar Makassar. [online] Available at: http://radarmakassar.com/dinsos-
canangkan-rumah-perlindungan-anjal/5888/ [Accessed 29 Apr. 2015].

Setyawan, D. (2015). KPAI : Jumlah Pengedar Narkoba Anak Meningkat Hingga


300 Persen | Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). [online] Kpai.go.id.
Available at: http://www.kpai.go.id/berita/kpai-jumlah-pengedar-narkoba-anak-
meningkat-hingga-300-persen/ [Accessed 4 May 2015].
Solesbury, William (2001). Evidence Based Policy: Whence It Came and Where
It’s Going. London: ESCR UK Centre for Evidence Based Policy and Practice,
pp.8-10.

Subhansyah, A., Yusito, MM., Trisnadi, W. (1996) Anak Jalanan di Indonesia,


Deskripsi Persoalan dan Penanganan, Yogyakarta: YLPS Humana, pp.22-26

Supranto, P (2009). Statistik Teori dan Aplikasi Edisi 6 Jilid 1, Jakarta: Erlangga

Ward, Catherine L dan John R Seager (2010).South African street children: A


survei and recommendation for service, Development Southern Africa, vol.27,
no.1, March 2010, pp. 85-99.

Virdhani, M. (2015). Jumlah anak terlantar di Depok meningkat. [online]


SINDOnews.com. Available at:
http://metro.sindonews.com/read/811532/31/jumlah-anak-terlantar-di-depok-
meningkat-1385714007 [Accessed 23 May 2015].

Anda mungkin juga menyukai