Anda di halaman 1dari 22

Analisis Penyebaran dan Pengolahan Air Minum Kota Surabaya

Berbasis Informasi Geospasial

Tugas Pengantar Informasi Geospasial


Dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Pengantar Informasi Geospasial
Semester 2

Disusun oleh :
Mella Aynin Fatma
(03211940000012)

INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER


SURABAYA
TAHUN 2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Air minum merupakan kebutuhan dasar manusia secara berkelanjutan untuk meningkatkan
kualitas kesehatan manusia. Sebagian besar tubuh manusia terdiri atas cairan, sehingga jika
kebutuhan air minum pada manusia tidak terpenuhi dapat berisiko menurunkan fungsi – fungsi
dari tubuh itu sendiri. Akan tetapi, kebutuhan air minum haruslah didasari pada kualitas air
yang baik dan sehat untuk mencegah adanya zat-zat berbahaya yang dapat menyebabkan risiko
tumbuhnya berbagai macam penyakit. Air yang memenuhi syarat kesehatan yaitu persyaratan
fisik, biologis, kimiawi, dan radioaktif sesuai dengan PERMENKES No. 492 tahun 2020 dapat
diminum apabila telah di masak. Berdasarkan PERMENKES No. 492 tahun 2020, air yang
mengalami proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan
layak untuk diminum. Oleh sebab itu, air minum harus berasal dari sumber yang sehat dan
memiliki sistem pengolahan air yang baik agar layak untuk diminum.
Pengolahan air minum dapat dipengaruhi oleh sumber air baku yang didapatkan. Sumber
air bersih dapat berasal dari sumber mata air, air permukaan, air tanah, dan sumur artesis
dimana semua sumber kecuali sumber mata air harus mengalami proses pengolahan terlebih
dahulu untuk memenuhi syarat air yang layak diminum. Untuk mendapatkan air minum yang
berkualitas baik, maka maka sumber air baku harus berkualita juga. Dari segi kualitas air,
sumber mata air lebih baik digunakan untuk air minum dibandingkan air permukaan ataupun
air tanah pada umumnya. Namun, air permukaan sebagai air baku masih menjadi pilihan
instalasi pengolahan air minum PDAM. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan sumber air minum
yang berkualitas baik, maka harus didapatkan data daerah sumber tersebut yang jauh dari
bakteri atau sumber penyakit lainnya. Data tersebut didapatkan melalui metode berbasis
informasi geospasial sehingga setelah didapatkan sumber air yang berkualitas dapat dilakukan
pengolahan air baku agar layak untuk diminum.

1.2 Masalah
Kali Surabaya adalah anak sungai Kali Brantas yang berawal dari pintu air Dam Mlirip
sampai pintu air Jagir, yang merupakan sungai lintas kabupaten atau kota. Saat ini Kali Brantas
ini berfungsi sebagai sumber air baku untuk kebutuhan pemakaian air bersih di wilayah
Surabaya dan sekitarnya, termasuk industri dan PDAM. Seiring pesatnya pertumbuhan
pemukiman dan perkembangan sektor industri, mengakibatkan semakin tingginya tingkat
pencemaran di Sungai Surabaya. Hal tersebut berakibat menurunnya kualitas air. Sehingga
Kali Surabaya memiliki kualitas air baku yang kurang memenuhi ketentuan baku mutu yang
dipersyaratkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan pemantauan Badan
Lingkungan Hidup Kota Surabaya tahun 2013, menunjukkan 69,45% berstatus cemar ringan,
22,22% cemar sedang dan 8,33% cemar berat dengan parameter BOD dan TSS konsentrasinya
melebihi baku mutu air kelas. Selain itu, pencemaran air tersebut dapat menumbuhkan
mikroorganisme yang dapat berdampak buruk serta menyebabkan penyakit (Yudo, dkk.,
2019). Salah satu Kecamatan di Surabaya adalah Kecamatan Simokerto dan semangkir yang
akan diteliti bagaimana penyebaran air bersihnya.

1.3 Pemecahan Masalah


Berdasarkan kasus tersebut, maka untuk mencegah atau memperkecil resiko turunnya
kualitas air akibat pencemaran serta adanya mikroorganisme polutan di dalam air minum dapat
dilakukan dengan beberapa cara antara lain memperbaiki kualitas air baku yang digunakan
untuk air minum dan juga dengan memilih teknologi pengolahan air yang sesuai dengan
kualitas air olahan yang diharapkan. Sistem pengolahan air minum harus benar-benar dapat
menyaring segala bentuk pathogen yang dapat menyebabkan turunnya kualitas air minum.
Selain itu, untuk memperbaiki kualitas air baku yang akan digunakan sebagai air minum, maka
pemilihan sumber air haruslah tepat dan setidaknya jauh dari berbagai pencemaran. Pemilhan
sumber air yang tepat dapat menggunakan metode berbasis informasi geospasial yaitu berupa
metode fotogametri.
BAB II
DASAR TEORI

2.1 Air Baku


Air baku adalah air yang dapat berasal dari sumber air permukaan, cekungan air tanah
atau air hujan yang memenuhi baku mutu tertentu sebagai air baku untuk air minum (Yudo,
dkk., 2019). Air baku yang telah mengalami proses pengolahan menjadi air bersih kemudian
dapat diolah kembali untuk menjadi air yang layak minum. Air minum memiliki syarat
kesehatan khusus agar layak untuk diminum. Beberapa persyaratan air minum yang layak
minum baik dari segi fisika, kimia, maupun dari segi biologi.
2.2 Air Minum
Air minum adalah salah satu kebutuhan utama bagi manusia. Air minum adalah a ir yang
melalui proses pengo lahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan
dan dapat lang sung diminum. Air minum yang ba ik adalah air yang memenuhi persyaratan
seperti bebas dari cemaran mikroorganisme maupun bahan kimia yang berbahaya dan tidak
berasa, berwarna, dan berbau (Soemirat, 2009).
2.3 Standar Baku Air Minum
2.3.1 Syarat Fisika
Pada persyaratan fisika, air minum harus memenuhi standar uji fisik (fisika), antara lain
derajat kekeruhan, bau, rasa, jumlah zat padat terlarut, suhu, dan warnanya. Pada segi
kekeruhannya, kualitas air yang baik adalah jernih (bening) dan tidak keruh. Batas
maksimal kekeruhan airlayak minum menurut PERMENKES RI Nomor 907 Tahun 2002
adalah 5 skala NTU. Kekeruhan air disebabkan oleh partikel-partikel yang tersuspensi di
dalam air yang menyebabkan air terlihat keruh, kotor, bahkan berlumpur. Bahan-bahan
yang menyebabkan air keruh antara lain tanah liat, pasir, dan lumpur. Air keruh bukan
berarti tidak dapat diminum atau berbahaya bagi kesehatan. Namun, dari segi estetika, air
keruh tidak layak atau tidak wajar untuk diminum. Pada segi bau dan rasa, air yang
kualitasnya baik adalah tidak berbau dan memiliki rasa tawar. Bau dan rasa air merupakan
dua hal yang mempengaruhi kualitas air. Bau dan rasa dapat dirasakan langsung oleh indra
penciuman dan pengecap. Biasanya, bau dan rasa saling berhubungan. Air yang berbau
busuk memiliki rasa kurang (tidak) enak. Bau busuk merupakan sebuah indikasi bahwa
telah atau sedang terjadi proses pembusukan (dekomposisi) bahan-bahan organik oleh
mikroorganisme di dalam air. Bau dan rasa juga dapat disebabkan oleh senyawa fenol yang
terdapat di dalam air. Selain itu, pada segi jumlah padatan terapung harus diperhatikan, air
yang baik dan layak untuk diminum tidak mengandung padatan terapung dalam jumlah
yang melebihi batas maksimal yang diperbolehkan (1000 mg/L). Sedangkan berdasarkan
suhunya, Air yang baik mempunyai temperatur normal, 8º dari suhu kamar (27ºC). Suhu
air yang melebihi batas normal menunjukkan indikasi terdapat bahan kimia yang terlarut
dalam jumlah yang cukup besar (misalnya, fenol atau belerang) atau sedang terjadi proses
dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme. Jadi, apabila kondisi air seperti itu
sebaiknya tidak diminum. Berdasarkan warna, warna pada air disebabkan oleh adanya
bahan kimia atau mikroorganik (plankton) yang terlarut di dalam air. Warna yang
disebabkan bahan-bahan kimia disebut apparent color yang berbahaya bagi tubuh manusia.
Warna yangdisebabkan oleh mikroorganisme disebut true coloryang tidak berbahaya bagi
kesehatan. Air yang layak dikonsumsi harus jernih dan tidak berwarna (Wiyono, dkk.,
2017).
2.3.2 Syarat Kimia
Standar baku kimia air layak minum meliputi batasan derajat keasaman, tingkat
kesadahan, dan kandungan bahan kimia organik maupun anorganik pada air.
Persyaratan kimia sebagai batasan air layak minum sebagai berikut:
a. Derajat Keasaman (pH)
pH menunjukkan derajat keasaman suatu larutan. Air yang baik adalah air
yang bersifat netral (pH = 7). Air dengan pH kurang dari 7 dikatakan air bersifat
asam, sedangkan air dengan pH di atas 7 bersifat basa. Menurut PERMENKES
RI Nomor 907Tahun 2002, batas pH minimum dan maksimum air layak minum
berkisar 6,5-8,5. Khusus untuk air hujan, pH minimumnya adalah 5,5. Tinggi
rendahnya pH air dapat mempengaruhi rasa air. Maksudnya, air dengan pH
kurang dari 7 akan terasa asam di lidah dan terasa pahit apabila pH melebihi 7.

b. Kandungan Bahan Kimia Organik


Air yang baik memiliki kandungan bahan kimia organik dalam jumlah yang
tidak melebihi batas yang ditetapkan. Dalam jumlah tertentu, tubuh
membutuhkan air yang mengandung bahan kimia organik. Namun, apabila
jumlah bahan kimia organik yang terkandung melebihi batasdapat menimbulkan
gangguan pada tubuh. Hal itu terjadi karena bahan kimia organik yang melebihi
batas ambang dapat terurai jadi racun berbahaya. Bahan kimia organik tersebut
antara lain NH4, H2S, SO42-, dan NO3.
c. Kandungan Bahan Kimia Anorganik
Kandungan bahan kimia anorganik pada air layak minum tidak melebihi
jumlah yang telah ditentukan. Bahan-bahan kimia yang termasuk bahan kimia
anorganik antara lain garam dan ion-ion logam (Fe, Al, Cr, Mg, Ca, Cl, K, Pb,
Hg, Zn).
d. Tingkat Kesadahan
Kesadahan air disebabkan adanya kation (ion positif) logam dengan valensi
dua, seperti Ca2+, Mn2+, Sr2+,Fe2+, dan Mg2+. Secara umum, kation yang
sering menyebabkan air sadah adalah kation Ca2+dan Mg2+.Kation ini dapat
membentuk kerak apabila bereaksi dengan air sabun. Sebenarnya, tidak ada
pengaruh derajat kesadahan bagi kesehatan tubuh. Namun, kesadahan air dapat
menyebabkan sabun atau deterjen tidak bekerja dengan baik (tidak berbusa).

2.3.3 Syarat Biologi


a. Tidak Mengandung Organisme Patogen
Organisme patogen berbahaya bagi kesehatan manusia. Beberapa
mikroorganismepatogen yang terdapat pada air berasal dari golongan bakteri,
protozoa, dan virus penyebab penyakit. Bakteri Salmonella typhi, Sighella
dysentia, Salmonella paratyphi, dan Leptospira. Golongan protozoa seperti
Entoniseba histolycadan Amebic dysentry. Virus Infectus hepatitis merupakan
penyebab hepatitis.

a. Tidak Mengandung Mikroorganisme Nonpatogen

Mikroorganisme nonpatogen merupakan jenis mikroorganisme yang tidak


berbahaya bagi kesehatan tubuh. Namun, dapat menimbulkan bau dan rasa yang
tidak enak, lender, dan kerak pada pipa. Beberapa mikroorganisme nonpatogen
yang berada di dalam air sebagai berikut:-Beberapa jenis bakteri, antara lain
Actinomycetes (Moldlikose bacteria), Bakteri coli (Coliformbacteria), Fecal
streptococci, dan Bakteri Besi (Iron Bacteria). Sejenis ganggang atau Algae yang
hidup di air kotor menimbulkan bau dan rasa tidak enak pada air.
(Yudo, dkk., 2019)

2.4 Jenis Air Minum


Berdasarkan PERMENKES No. 907 tahun 2002 terdapat berbagai macam jenis air minum
yang dikonsumsi oleh masyarakat. Jenis-jenis air tersebut adalah air yang didistribusikan melalui
pipa untuk keperluan rumah tangga, air yang didistribusikan melalui air, air kemasan, dan air untuk
produksi makanan. Dalam ketentuan umum Peraturan Menteri Kesehatan RI
no.907/MENKES/SK/VII/2002 tentang syarat-syarat dan Pengawasan Kuali tas AirMinum,
disebutkan bahwa a ir minum adalah a ir yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengo
lahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Air minum kemasan atau
dengan istilah AMDK (Air Minum Dalam Kemasan), merupakan air minum yang siap di konsumsi
s ecara langsung tanpa harus melalui proses pemanasan terlebih dahulu (BSN, 2006).
2.5 Metode Pengamatan Daerah Sumber Air dengan Fotogametri
Fotogrametri semakin berkembang pesat sejak foto udara mulai digunakan dalam
pemetaan topografi pada tahun 1849 oleh Colonel Aime Laussedat yang merupakan Bapak
Fotogrametri. Balon udara dan layang-layang merupakan wahana paling modern yang digunakan
pada saat itu hingga ditemukannya pesawat terbang oleh Wright bersaudara pada tahun 1902.
Sejak saat itu, pesawat terbang mulai digunakan untuk melakukan pemotretan udara yang
kemudian diimbangi dengan berkembangnya kamera metrik sebagai sensor pemotretan. Selain
mampu merekam daerah cakupan yang luas. Sejak dekade terakhir, fotogrametri dengan pesawat
tanpa awak atau Unmanned Aerial Vehicle (UAV) telah menjadi perhatian sebagai teknologi baru
untuk pemetaan topografi (Blom, 2006). Munculnya UAV dapat menjawab mahalnya biaya
pemotretan udara dengan pesawat terbang. Menurut Saadatseresht et al. (2015), alasan utama
penggunaan fotogrametri dengan UAV adalah biaya yang lebih murah, lebih aman, lebih
berkualitas, lebih populer dan lebih mudah diadaptasikan untuk pemetaan daerah yang relatif kecil.
BAB III
METODOLOGI

3.1 Peralatan
3.1.1 Peralatan untuk Pengamatan Lokasi Sumber Air
Lokasi penelitian adalah sebagian kali atau sungai daerah Kota Surabaya
utamanya adalah Kali Brantas, Kecamatan Simokerto, dan Kecamatan Simangkir,
Kota Surabaya. Alat Penelitian menggunakan UAV DJI Phantom 3 Professional,
wahana yang digunakan untuk pemotretan udara daerah kajian. Kamera digital non
metrik DJI FC300X 12 Megapixel, sensor kamera yang diterapkan pada wahana
untuk perekaman FUFK. GPS geodetik Leica Net Rover GS08 dan CS10, untuk
pengukuran koordinat Ground Control Points (GCPs) dan Independent Check
Points (ICPs) di lapangan. Komputer 3D-Vision untuk mendukung perangkat
lunak DAT/EM Summit Evolution versi 7.0 Perangkat lunak (software) yang
terdiri dari :
1. Photo Modeller Scanner versi 6, perangkat lunak yang digunakan
untuk melakukan proses kalibrasi kamera dan proses idealize untuk
mengoreksi distorsi pada FUFK berdasarkan data hasil kalibrasi
kamera.
2. DAT/EM Summit Evolution versi 7.0, perangkat lunak fotogrametri
digital yang digunakan untuk melakukan stereoplotting secara
interaktif. (3) ArcGIS versi 10.3, perangkat lunak yang digunakan
untuk melakukan interpolasi pada data 3D vector hasil
stereoplotting hingga diperoleh Digital Elevation Model (DEM),
menghitung volume, dan penyajian hasil.
3.1.2 Peralatan untuk Proses Pengolahan Air Minum
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah seperangkat instalasi alat
portable water treatment, gelas ukur 1000 mL, dan beaker glass 500 mL. Bahan yang
digunakan dalam penelitian adalah air sungai Martapura, zeolit, arang aktif, dan pasir
kuarsa PDAM (1000 dan 710 µm).
3.2 Proses
3.2.1 Proses Pengamatan Lokasi
Penelitian ini terdiri dari 3 tahapan utamam yaitu: tahap pengumpulan data, tahap
pengolahan data hasil pemotretan UAV dengan metode stereoplotting digital, dan pengaplikasian
hasil pengolahan data berupa DEM untuk pengukuran volume bukit. Pengumpulan data pada
penelitian ini adalah pemoteratan dengan UAV menggunakan DJI Phantom 3 Profesional untuk
memperoleh FUFK stereo yang akan diproses untuk menghasilkan DEM dengan metode
stereoplotting digital menggunakan perangkat lunak Softcopy Photogrammetry yaitu: DAT/EM
Summit Evolution versi 7.0. Perencanaan terbang yang mendasar dan sangat penting dilakukan
sebelum pemotretan udara perencanaan jalur terbang. Jalur ini direncanakan berdasarkan bentuk
dan luasan lokasi pemotretan. Setelah jalur terbang direncanakan, jumlah dan lokasi eksposur
dapat diperkirakan berdasarkan persentase endlap dan sidelap yang dikehendaki. Adapun endlap
yang direncanakan dalam penelitian ini adalah sebesar 60% dengan sidelap sebesar 20%.
Perencanaan Ground Control Points (GCPs) dan Independent Check Points (ICPs), Lokasi GCPs
direncanakan berdasarkan jalur terbang beserta lokasi eksposur di sepanjang jalur terbang yang
telah direncanakan tersebut. Sedapat mungkin GCPs diletakkan menyebar di setiap lebar foto
dengan rencana distribusi seperti pada Gambar 1. Adapun ICPs dalam hal ini ditentukan dengan
metode selective sampling, di mana distribusinya (jumlah dan kerapatan) ditentukan berdasarkan
variasi terrain. Lokasi dengan variasi terrain yang lebih kompleks akan diberikan ICPs dengan
jumlah dan kerapatan yang lebih tinggi. Setelah distribusi GCPs dan ICPs tersebut direncanakan,
kemudian akan dilakukan pengukuran terestris koordinat tanah (X, Y, Z) dari setiap GCPs dan
ICPs yang telah direncanakan tersebut. Untuk memperoleh hasil pengukuran koordinat GCPs dan
ICPs dengan ketelitian tinggi maka dalam hal ini ini digunakan GPS geodetik. GCPs dan ICPs
yang sudah diukur di lapangan kemudian akan diberikan tanda (pre-mark) dengan bentuk tanda
(+) berwarna merah dengan diameter sebesar 1 meter sebagaimana diilustrasikan pada berikut.

Setelah semua pre-mark pada GCPs dan ICPs tersebut terpasang, pemotretan udara
dapat dilaksanakan dengan memperhatikan cuaca. Pemotretan dengan UAV mengikuti aturan
dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 180 Tahun 2015 tentang Pengendalian
Pengoperasian Sistem Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang Udara yang dilayani Indonesia. Hasil
perekaman FUFK menggunakan UAV selanjutnya diolah berdasarkan kaidah fotogrametri digital
menggunakan streoploting digital. Terkait besarnya distorsi yang ada pada FUFK, kalibrasi
kamera merupakan hal mendasar yang sangat penting dilakukan untuk mendapatkan konstanta
distorsi atau yang sering disebut sebagai parameter kalibrasi kamera. Adapun metode kalibrasi
kamera yang dipilih untuk diterapkan dalam penelitian ini adalah metode In-Field Calibration, di
mana proses kalibrasi akan dilakukan menggunakan target (calibration pattern). Dalam hal ini
calibration pattern akan dipotret sebanyak 2 kali pada masing-masing sisinya secara portrait dan
landscape dengan sudut pemotretan yang berbeda serta 1 kali pada masing-masing sudutnya,
sehingga total akan diperoleh 12 buah foto. 12 buah foto ini kemudian akan diproses untuk
menghitung nilai parameter kalibrasi kamera yang terdiri dari K1, K2, K3, P1, P2, pergeseran
principal point (offset), ukuran (format) sensor yang sebenarnya dan nilai panjang fokus kamera
(focal length) yang sebenarnya. K1, K2, K3 merupakan konstanta distorsi radial lensa diukur dari
pusat lensa, sedangkan P1 dan P2 merupakan konstanta distorsi tangensial lensa. Dalam hal ini
konstanta distorsi atau parameter kalibrasi tersebut akan dihitung menggunakan PhotoModeller
Scanner versi 6 yang menerapkan metode space resection berdasarkan persamaan colinearity
dalam perhitungannya. Konstanta distorsi atau parameter kalibrasi kamera yang diperoleh dari
tahap kalibrasi kamera merupakan data utama yang diperlukan untuk melakukan koreksi foto
(idealize). Berdasarkan konstanta distorsi tersebut, FUFK akan direstorasi (dikembalikan) pada
keadaan yang mendekati ideal tanpa distorsi. Hasil koreksi ini akan sangat tergantung pada tingkat
akurasi hasil kalibrasi kamera. Sama dengan proses kalibrasi kamera, proses idealize dalam
penelitian ini juga akan dilakukan menggunakan PhotoModeller Scanner versi 6. Menurut
Pranadita (2013), stereoplotting merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan
cara digitisasi titik obyek dari foto stereo secara tiga dimensi, sehingga dapat diperoleh data vektor
yang memiliki nilai ketinggian. Pada dasarnya stereoplotting dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu, stereoplotting otomatis dan stereoplotting interaktif (Habib, 2007). Keuntungan penggunaan
stereoplotting interaktif adalah diperoleh data 3D dengan akurasi tinggi serta obyek-obyek yang
diinginkan (Pranadita, 2013). Sebelum stereoplotting dilakukan, dalam hal ini perlu dilakukan
restitusi pada FUFK yang telah terkoreksi hingga dapat dilakukan pengamatan 3D darinya.
Restitusi atau yang dikenal sebagai proses orientasi pada dasarnya merupakan proses untuk
merekonstruksi FUFK sesuai dengan kondisi pada saat pemotretan sehingga dapat terbentuk model
3D dan dapat diperoleh informasi dari data yang terekam. Restitusi atau orientasi ini pada dasarnya
terdiri dari dua tahap, yaitu Orientasi Dalam (Interior Orientation) dan Orientasi Luar (Exterior
Orientaion). Adapun Exterior Orientaion tersebut dapat dilakukan secara langsung melalui Aerial
Triangulation ataupun dibagi menjadi dua tahap melalui Relative Orientation kemudian
dilanjutkan dengan Absolute Orientation. Dalam penelitian ini akan diterapkan metode yang
kedua, yaitu melalui melalui Relative Orientation kemudian dilanjutkan dengan Absolute
Orientation sebagaimana dapat diilustrasikan pada Gambar 3. Adapun stereoplotting dalam
penelitian ini akan dilakukan secara interaktif menggunakan DAT/EM Summit Evolution versi 7.0
yang diintegrasikan dengan ArcGIS 10.3. Ada berbagai metode interpolasi yang dapat diterapkan,
mulai dari kriging, spline, IDW dsb. Namun demikian, melihat data yang dihasilkan dari proses
stereoplotting merupakan 3D vector dengan tipe point, line dan polygon, maka dalam hal ini dipilih
metode Topo To Raster sebagai metode interpolasi yang mampu mengakomodasi ketiga tipe data
vektor tersebut. Untuk mengetahui kualitas Digital Elevation Model (DEM) yang mampu
dihasilkan, maka perlu dilakukan uji akurasi (accuracy assessment). Nilai akurasi sebagai hasil
dari uji akurasi ini akan dinyatakan dalam dua nilai, yaitu akurasi absolut (absolute accuracy)
maupun akurasi relatif (relative accuracy). Akurasi absolut (absolute accuracy) diperoleh dengan
membandingkan nilai koordinat tanah masing-masing masing Independent Check Points (ICPs)
pada Digital Elevation Model (DEM) dengan nilai koordinat tanah hasil pengukuran terestris
masing-masing ICPs tersebut. Nilai akurasi absolut dalam penelitian ini akan dinyatakan dalam
dua nilai, yaitu akurasi absolut pada komponen vertikal (vertical accuracy) dan akurasi absolut
pada komponen horizontal (Purwanto, 2017).
3.2.2 Proses Pengolahan Air Minum
Proses Pembuatan Alat
A. Pembuatan Rangka
Rangka dibuat dari pipa besi ¾ in, perangkaian rangka ini dibantu
dengan las listrik.
B. Pembuatan Tray Aerator Tray aerator dibuat dari plat besi sebagai
dinding dan plat alumunium sebagai alasnya. Tray aerator dibuat
menjadi 3 bagian, dengan alas tray menggunakan variasi lubang 5 , 3 ,
dan 2 mm. Aerator dipasang di antara tray aerator untuk mengalirkan
oksigen pada saat air melewati tray.
C. Pembuatan Sand filter Sand filter dibuat dari toples plastik besar, yang
dibagi menjadi 3 bagian yaitu kerikil dan pasir yang berbeda ukuran .
Pasir yang digunakan adalah pasir kuarsa PDAM dengan ukuran 1000
dan 710 µm. Pasir sebelumnya dicampur dengan zeolit dengan
perbandingan 3:1.
D. Pembuatan Kolom Adsorbsi Kolom adsorbsi dibuat dari toples plastik
dengan ukuran yang sama pada sand filter, kolom ini diisi dengan
karbon aktif dengan ketinggian 10 cm, sebagai penyaringnya digunakan
kawat streamin. Hasil dari proses tersebut dialirkan dengan
menggunakan kran.
E. Pembuatan Kolom Desinfeksi Pembuatan kolom desinfeksi dibuat dari
pipa paralon 4 in dengan panjang 35 cm. Di dalam pipa tersebut
dirangkai alat lampu UV 8 watt sebanyak 2 buah dan lampu neon ¾ in .
Terlebih dahulu lampu neon dibersihkan terlebih dahulu agar panas dan
penyinaran dari lampu UV di terima dengan sempurna. Air dari kolom
adsorbsi akan masuk ke dalam kolom desinfeksi melewati lampu neon.
Proses Pengolahan Air Minum
A. Pengujian Awal
Masing – masing sampel terlebih dahulu dilakukan pengujian
terlebih dahulu sebagai pembanding hasil pengolahan dari alat ini.
Pengujian ini meliputi fisika, kimia, dan biologi.
B. Optimasi Variasi Waktu Dan Volume Umpan Masuk –
1. Optimasi Waktu Setiap Stage Dengan Volume 1 L Menyusun alat
sesuai gambar, kemudian air sungai martapura sebanyak 1 L
dimasukkan kedalam setiap alat melewati lubang yang telah
disiapkan lalu mengamati dan mencatat waktu air sungai melewati
setiap alat. Tampung volume dan ukur volume yang dihasilkan
setiap alat, kemudian masukkan ke perhitungan sehingga didapat
waktu optimum setiap alat untuk volume 1 L lalu mentotal waktu
yang dihasilkan sebagai acuan awal untuk mengoptimasi alat secara
keseluruhan.
2. Optimasi waktu alat secara keseluruhan dengan volume 1 L
Menyusun alat sesuai gambar kemudian memasukkan air sungai
martapura sebanyak 1 L ke dalam alat. Amati dan tampung air yang
dihasilkan dari alat tersebut dengan waktu total yang diperoleh dari
optimasi waktu setiap awal. Ukur volume air yang ditampung
dengan gelas ukur kemudian mengulang percobaan dengan waktu
yang bervariasi (110 dan 120 s) sehingga didapatkan volume air
yang terbesar, lalu masukkan data volume ke dalam perhitungan,
kemudian mendapatkan waktu optimum alat secara keseluruhan
dengan volume air masuk sebanyak 1 L
3. Optimasi Volume Air Masuk Dengan Waktu Optimum Menyusun
alat sesuai gambar kemudian memasukkan air sebanyak 1 L ke
dalam alat lalu mengamati dan menapung air yang dihasilkan dari
alat dengan waktu optimum yang didapat dari percobaan yang
terdahulu. kemudain mengukur volume air yang dihasilkan dengan
gelas ukur. Mengulang percobaan dengan variasi volume air masuk,
yaitu 2 L dan 3 L lalu masukkan ke dalam perhitungan sehingga
didapatkan volume optimum dan waktu optimum.
4. Optimasi Waktu Untuk Stage 4 (Kolom Desinfeksi) Mengisi
sebanyak 325 mL air sungai martapura ke dalam beaker glass 500
mL, mengukur suhu air tersebut dengan termometer, sebagai suhu
awal kemudian masukkan air tersebut kedalam kolom desinfeksi
setelah itu mendiamkan selama 5 menit. Mengeluarkan air tersebut
dan menampung air tersebut, kemudian mengukur suhu kembali
sebagai suhu akhir lalu masukkan data temperatur, untuk
mendapatkan perbedaan suhunya. Mengulang percobaan dengan
waktu bervariasi, yaitu 10, 20, dan 30 menit untuk mendapatkan
perbedan suhu terbesar.
Pengujian Air Sampel
Hubungkan alat dengan listrik untuk menghidupkan alat
aerator dan lampu UV kemudian air sungai martapura sebanyak
volume umpan optimum dari prosedur B dimasukkan kedalam alat
melewati lubang yang telah disiapkan dengan mengunakan waktu
optimum dari prosedur B lalu mendiamkan kembali selama 20
menit, kemudian membuka kran kolom desinfeksi setelah itu
mengambil sampel hasil pengolahan alat ini, kemudian melakukan
BAB IV
ANALISIS
4.1 Analisis Pengamatan Lokasi Sumber Air
Pada pengamatan lokasi sumber air dengan menggunakan metode fotogametri akan
didapatkan hasil berupa foto atau gambar tampak atas wilayah pada sungai Kali Brantas
Surabaya dan daerah sungai yang lain sehingga dapat diamati daerah sungai yang dekat
dengan daerah pencemar untuk menentukan lokasi sumber air baku yang tepat dan
terhindar dari sumber pencemar.

Gambar 2 : Peta Kota Surabaya

DJI Phantom 3 Professional yang digunakan sebagai wahana untuk melakukan


pemotretan udara ini membawa sensor dengan model FC300X yang merupakan kamera
digital non-metrik. kamera non-metrik akan menghasilkan foto dengan distorsi yang jauh
lebih besar, terutama distorsi lensa, baik distorsi radial maupun distorsi tangensial,
sehingga kalibrasi kamera merupakan tahap mendasar yang sangat perlu dilakukan dalam
hal ini. yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode InField Calibration, di mana
proses kalibrasi dilakukan berdasarkan 12 foto hasil pemotretan calibration pattern.
Calibration pattern akan dipotret sebanyak 2 kali pada masing-masing sisinya secara
portrait dan landscape dengan sudut pemotretan yang berbeda serta 1 kali pada masing-
masing sudutnya sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 6. Sehingga dalam hal ini akan
diperoleh 12 buah foto calibration pattern. Dua belas foto calibration pattern tersebut
kemudian diolah menggunakan Photomodeller Scanner versi 6, sehingga diperoleh
parameter kalibrasi kamera dari sensor FC300X sebagaimana disajikan dalam Tabel 2.
Parameter kalibrasi kamera yang dihitung terdiri dari panjang fokus (focal length)
sebenarnya, ukuran (format size) sensor sebenarnya, pergeseran principal point (offset),
parameter distorsi radial (K1, K2, K3), dan parameter distorsi tangensial (P1, P2). Dalam
hal ini dapat dilihat bahwa sensor FC300X memiliki distorsi lensa yang cukup besar yang
ditunjukan dengan nilai K1, K2, K3 P1 dan P2 yang cukup besar. Jika distorsi ini tidak
dikoreksi tentu saja hasil pengolahan foto yang dihasilkan tidak akurat. Berikut ini adalah
peta sungai Kali Brantas yang akan dilakukan proses pengamatan melalui foto udara.
Gambar 4 : Luas Kawasan Genangan Di Kota Surabaya (Sumber : Draft Buku Putih Sanitasi
Kota Surabaya, 2010)

Gambar 5 : Pembagian Sub Zona PDAM Kota Surabaya


Sumber : PDAM Kota Surabaya, 2017
Gambar 6 Peta Kawasan Jangkauan Pelayanan PDAM Kota Surabaya
Sumber: PDAM Kota Surabaya, 2013

4.2 Analisis Proses Pengolahan Air Minum


Pada penelitian ini dilakukan tiga kali pengujian kualitas air yaitu air dalam
kondisi alami (sebelum pengolahan), data yang diperoleh akan dijadikan sebagai
pembanding terhadap air yang telah ditambah bahan koagulan dengan dosis 0,15
gram/liter tawas + 0,05 gram/liter kaporit + 0,1 gram/liter batu kapur dilanjutkan
dengan melalui media penyaringan filter karbon aktif dan filter serat nilon, dan air
yang telah ditambah bahan koagulan dengan dosis tawas 0,50 gram/liSumber Air
Minum Sumber : Laporan Studi EHRA Tahun 2010 ter + 0,05 gram/liter kaporit +
0,1 gram/liter batu kapur dengan melalui media penyaringan filter karbon aktif dan
filter serat nilon (Susilo, 2009). Setelah melalui hal tersebut maka akan diperolah
hasil uji dan dapat dianalisis untuk ditentukan air tersebut berada di kelas apa.
Analisis yang dilakukan adalah Analisis Kadar COD (Chemical Oxygen Demand)
yang merupakan hubungan dari Sampel Awal, Sampel Pertama dan Sampel Kedua
terhadap kadar COD (Chemical Oxygen Demand). Selanjutnya adalah analisis pH
yang merupakan hubungan antara Sampel Awal, Sampel Pertama dan Sampel
Kedua terhadap nilai pH. Selain itu, hal yang diamati adalah Analisis TSS ( Total
Suspended Solid ) yakni hubungan antara Sampel Awal, Sampel Pertama dan
Sampel Kedua terhadap kadar TSS (Total Suspended Solid). Analisis Kadar
Amonia Nitrogen (AN) juga dilakukan yakni melalui hubungan antara Sampel
Awal, Sampel Pertama dan Sampel Kedua terhadap kadar AN (Amonia Nitrogen).
Analisis Kadar DO (Dissolve Oxygen) diperpleh dari hubungan antara Sampel
Awal, Sampel Pertama dan Sampel Kedua terhadap kadar DO (Dissolve Oxygen),
Analisis terakhir adalah Analisis Kadar BOD (Biochemical Oxygen Demand)
yakni hubungan antara Sampel Awal, Sampel Pertama dan Sampel Kedua terhadap
kadar BOD.
Meski demikian, berdasarkan Hasil survey EHRA tahun 2010, diketahui
bahwa di Kota Surabaya terdapat empat sumber air minum utama yang digunakan
yakni 1) penjual air isi ulang, 2) air ledeng PDAM, 3) ledeng umum dan 4) hidran.
Sebagian besar rumah tangga di Kota Surabaya menggunakan air isi ulang untuk
memenuhi kebutuhan air minum, yaitu sebanyak 45,5% dari total responden.
Sekitar 33,5% menggunakan air ledeng PDAM, sedangkan 2% sisanya
menggunakan air ledeng umum dan hidran, serta sumber lain. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada grafik berikut.

Gambar 7 : Sumber Air Minum Sumber : Laporan Studi EHRA Tahun 2010

Pada grafik tersebut adalah scenario penurunan kapasitas sumber air baku
sebesar 0,15 m3/dt/tahun akan menyebabkan terjadinya penurunan kapasitas
produksi ikutan yang setara dengan kapasitas sumber. Menjelang tahun 2010,
apabila tidak ada upaya penambahan air baku dari sumber lain, kapasitas produksi
akan turun secara gradual menjadi 5,05 m/dt yaitu mendekati kapasitas
distribusinya. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, meningkat pula
kebutuhan air minum yang harus disediakan. Sejak awal tahun 20006 kapasitas
distribusi untuk memenuhi kebutuhan air minumm 75% dari total jumlah
penduduk dengan rata-rata konsumsi air sebesar 220 orang per harisudah
menunjukkan gejala yang kurang seimbang, dimana besar kapasitas distribusi
lebih rendah dari kebutuhannyahingga terjadi total deficit 2,34 m3/dt pada tahun
2025.
4.3 Analisis Berdasarkan Data Statistik Penduduk Kota Surabaya
1. Data Geografi Kota Surabaya
Wilayah Kota Surabaya pada umumnya merupakan dataran rendah
dengan ketinggian antara 3-6 meter di atas permukaan laut, kecuali daerah
di sebelah selatan dengan ketinggian antara 25-50 meter di atas permukaan
laut. Kota Surabaya memiliki 31 kecamatan dengan pengelompokan 5
wilayah pembantu walikota yaitu Surabaya Utara, Surabaya Timur,
Surabaya Selatan, Surabaya Barat, dan Surabaya Pusat. Total luas wilayah
Surabaya adalah 326,36 km2 dengan Kecamatan Benowo merupakan
kecamatan dengan wilayah terluas yaitu 23,73 km2 yang terletak di
Surabaya Barat. Sedangkan Kecamatan Simokerto adalah kecamatan
dengan luasan terkecil yaitu 2,59 km2 terletak di Surabaya Pusat (BPS Kota
Surabaya, 2018).

Gambar 8 : Luas Kecamatan di Surabaya


Sumber : BPS Kota Surabaya Tahun 2018
2. Data Penduduk
Jumlah penduduk Kota Surabaya tahun 2017 mencapai 2,87 juta
jiwa. 49,40 persen dari jumlah tersebut adalah penduduk Laki-laki dan
50,60 persen adalah perempuan. Jumlah rumah tangga diperkirakan
sebanyak 783.394 rumah tangga dengan ratarata sekitar 3 atau 4 orang
anggota per rumah tangga. Persentase penduduk terbanyak adalah pada
kelompok usia 20-24 tahun yang mencapai 10,05 persen. Persentase
penduduk pada kelompok usia tersebut lebih tinggi dari tahun sebelumnya
yang sebesar 10,02 persen (BPS Kota Surabaya, 2018).
Gambar 8 : Piramida Penduduk Kota Surabaya 2017
Sumber : BPS Kota Surabaya Tahun 2018

Gambar 9 : Presentase Penduduk Kota Surabaya


Sumber : BPS Kota Surabaya, 2018

Gambar 10 : Presentase Penduduk Kota Surabaya


Sumber : BPS Kota Surabaya, 2018
Berdasarkan table tersebut, penduduk kelompok usia tidak
produktif mencapai 26,56 persen yang terdiri dari kelompok usia 0-14
tahun 21,66 persen dan kelompok usia 65 tahun ke atas 4,90 persen.
Dengan data tersebut, rasio ketergantungan Kota Surabaya mencapai
36,17. 50,88 persen dari penduduk usia produktif merupakan penduduk
perempuan. Rasio ketergantungan pada kelompok penduduk perempuan
juga lebih rendah (35,41 persen) dari kelompok penduduk laki-laki (36,95
persen).
Jumlah penduduk yang padat pada suatu daerah mempengaruhi
adanya pemukiman yang dapat menambah jumlah limbah. Limbah yang
mengalir ke sungai dan mencemari air dapat memperburuk kualitas air
tersebut. Sedangkan, daerah Surabaya masih menggunakan sungai atau
kali untuk aliran air baku sebagai sumber air bersih dan air minum.
3. Data Jumlah Sektor Industri dan Lapangan Pekerjaan Kota Surabaya

Gambar 11 : Jumlah Industri Besar Kota Surabaya

Banyaknya sector industri pada Kota Surabaya dapat menyebabkan


bertambahnya jumlah pencemaran. Semakin banyaknya sector industri atau
usaha lainnya yang menghasilkan limbah, maka sungai dan aliran air bersih
serta air baku pada daerah tersebut juga akan semakin tercemar. Akibatnya,
sumber air bersih dan air baku semakin berkurang sehingga dapat
menghambat pengolahan air minum pada daerah tersebut.

4. Data Pengguna PDAM Kota Surabaya


5. Data Ekonomi Penduduk Kota Surabaya

Nilai pertumbuhan ekonomi memberikan gambaran kinerja sektor


ekonomi. Dalam 5 tahun terakhir (2013-2017) pertumbuhan ekonomi
Kota Surabaya mengalami puncaknya pada tahun 2013 yang mencapai
7,58 persen dan mengalami perlambatan menjadi 6,96 persen di tahun
2014 dan kembali menurun menjadi 5,97 di tahun 2015. Sedangkan pada
tahun 2016 laju pertumbuhan ekonomi Kota Surabaya mengalami sedikit
percepatan menjadi 6,00. Buruknya kualitas air baku dan air bersih sebagai
sumber air minum dapat memicu adanya pengolahan yang harus dilakukan
dengan lebih baik. Hal ini tentunya membutuhkan anggaran yang besar
dalam memperbaiki system pengolahannya. Oleh sebab itu, perekonomian
dalam suatu daerah haruslah stabil atau meningkat untuk dapat
memperbaiki system pengolahannya.
Menurut lapangan usaha, pertumbuhan ekonomi tertinggi dicapai
oleh lapangan usaha Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum sebesar
8,64 persen disusul oleh lapangan usaha Informasi dan Komunikasi yang
tumbuh sebesar 6,93 persen, serta lapangan usaha Kontruksi yang
mengalami pertumbuhan 6,92 persen. Lapangan usaha Transportasi dan
Pergudangan berada pada peringkat ke empat dengan pertumbuhan
ekonomi sebesar 6,87 persen. Sementara itu pertumbuhan ekonomi
terendah terjadi pada lapangan usaha Pengadaan Listrik dan Gas yang
pertumbuhannya 1,75 persen (BPS Kota Surabaya, 2018)
Berdasarkan data tersebut, dapat diamati bahwa usaha di Surabaya
yang tertinggi adalah penyediaan akomodasi dan makan minum. Hal ini
berarti kebutuhan air minum di Surabaya juga sangat tinggi. Selain itu
pengadaan air di Surabaya juga dibutuhkan sehingga system pengolahan air
bersih dan air baku untuk pemenuhan kebutuhan air yang berkualitas sangat
berpengaruh di Kota Surabaya.

BAB V
KESIMPULAN
Fotogrametri adalah sebuah proses untuk memperoleh informasi metris mengenai
sebuah objek melalui pengukuran yang dibuat pada hasil foto baik dari udara maupun dari
permukaan tanah. Interpretasi foto didefinisikan sebagai ekstraksi dari informasi kualitatif
mengenai foto udara dari sebuah objek oleh analisis visual manusia dan evaluasi fotografi
(Edward dan James 2004). Dalam disiplin ilmu fotogrametri dipelajari berbagai metode
untuk mengklasifikasikan dan menginterpretasi foto udara dengan berbagai metode.
Berdasarkan hasil dan pembahasan diperoleh data peta kota Surabaya dan sungai Kali
Brantas sebagai sumber air bersih. Selain itu juga didapatkan beberapa peta persebaran air
di Kota Surabaya khususnya daerah Simokerto dan Semangkir. Penelitian dengan
menggunakan metode fotogametri juga akan membantu untuk mendapatkan data-data
tersebut sehingga dapat diketahui letak sumber air bersih dan pengalirannya untuk dapat
dilakukan proses pengolahan pada air tersebut.
Pada proses pengolahan air, dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian
menunjukkan perbaikan kualitas air pada keenam parameter yang ditinjau yaitu COD
(Chemical Oxygen Demand), pH, TSS (Total Suspended Solid), AN (Amonia Nitrogen),
DO (Dissolved Oxygen), dan BOD (Biological Oxygen Demand).
Data kependudukan dan perekonomian sangat mempengaruhi adanya sumber air
bersih atau air baku untuk diolah menjadi air minum yang baik untuk dikonsumsi. Jumlah
penduduk yang padat dan sector industri yang semakin bertambah dapat menambah jumlah
limbah pada daerah tersebut sehingga dapat mempengaruhi kualitas air sebagai sumber air
bersih dan air baku. Selain itu, perekonomian suatu daerah juga berpengaruh terhadap baik
tidaknya system pengolahan airnya.

Anda mungkin juga menyukai