Anda di halaman 1dari 47

PENERAPAN TAK (TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK) PEER GROUP

PADA LANSIA DIABETES MELITUS TIPE II DENGAN MASALAH


GANGGUAN CITRA TUBUH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
WATES KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN 2020

Dosen Pembimbing : Elmi Nuryati, M.Epid

Diajukan Oleh :

CAHYADI HERLANDO
NIM. 14401 2017 058

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG


FAKULTAS KESEHATAN DIPLOMA III KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2019 / 2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Badan Kesehatan Dunia WHO, kematian akibat Penyakit Tidak

Menular (PTM) diperkirakan akan terus meningkat di seluruh dunia,

peningkatan terbesar akan terjadi di negara-negara menengah dan miskin.

Lebih dari dua pertiga (70%) dari populasi global akan meninggal akibat

penyakit tidak menular seperti kanker, penyakit jantung, stroke dan

diabetes. (WHO, 2011)

Penyakit tidak menular yang hingga saat ini menunjukkan peningkatan salah

satunya adalah diabetes melitus (DM). Organisasi kesehatan dunia WHO

melaporkan dalam Global Status Report on NCDs bahwa penduduk yang

menderita diabetes melitus pada tahun 2008 adalah berjumlah sekitar 347 juta

dan 80% diantaranya berasal dari negara miskin dan berkembang. Tidak

hanya itu pada tahun 2008 sebanyak 1,3 juta jiwa meninggal akibat diabetes

melitus (WHO, 2011). Bahkan WHO memperkirakan pada tahun 2030, DM

menjadi penyakit tertinggi ketujuh penyebab kematian di dunia (WHO, 2014).

Di indonesia untuk pasien diabetes mellitus tahun 2013 mencapai 1,5%

terjadi kenaikan dari 1,5% menjadi 2% pada tahun 2018,untuk di Lampung

hanya 1,8%. (Riskedas,2018).

Semakin banyaknya penyakit kronis yang terjadi pada maka, Pemerintah

melalui BPJS Kesehatan bekerja sama dengan pihak pelayanan fasilitas


kesehatan merancang suatu program yang terintegrasi dengan model

pengelolaan penyakit kronis bagi peserta penderita penyakit kronis yang

disebut sebagai “PROLANIS” atau “Program Pengelolaan Penyakit Kronis”

(BPJS Kesehatan, 2014). Tujuan Prolanis adalah mendorong peserta

penyandang penyakit kronis mencapai kualitas hidup optimal dengan

indikator 75% peserta terdaftar yang berkunjung ke fasilitas kesehatan tingkat

pertama memiliki hasil “baik” pada pemeriksaan spesifik terhadap penyakit

DM Tipe II dapat mencegah timbulnya komplikasi penyakit. (BPJS

Kesehatan, 2014)

Peer Group Support Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi

depresi pada lansia. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh

(Somar,2001) bahwa Individu yang sedang memiliki masalah kesehatan,

memerlukan dukungan dari teman sebaya (Peer Group Support) yang

seringkali sulit mereka dapatkan. Oleh karena itu dengan adanya Peer Group

Support diharapakan dapat menurun- kan tingkat depresi pada lansia.

Pada seseorang yang mengalami perubahan penampilan dan fungsi tubuh

cenderung akan memiliki citra tubuh yang negatif. Penelitian yang dilakukan

oleh Sitorus (2011) pasien paska amputasi mempunyai citra tubuh yang

negatif. Terhadap pasien DM, Sofiyana (2011) melakukan penelitian dengan

menghubungan antara stress dengan konsep diripada penderita DM yang

dilakukan di RSUD Arifin Achmad didapatkan hasil bahwa sebagianbesar

penderita DM (63,3% dari 30 responden) memiliki citra tubuh yang negatif.


Apabila lansia hubungan yang baik di antara teman sebaya akan sangat

membantu perkembangan aspek sosial secara normal. Lansia pendiam yang

ditolak oleh teman sebayanya, dan merasa kesepian berisiko menderita

depresi. Jika lansia mengalamni hal demikian akan sulit dilakukan oleh

keluarga (bukan sebaya) (Santrock, 2004).

Faktor yang memengaruhi lansia dalam Peer group support yaitu memberikan

support system dari sekelompok orang yang menderita penyakit atau tidak

memiliki penyakit yang sama. Peer group support dapat mengurangi masalah

perilaku kesehatan, mengurangi depresi dan mempunyai kontribusi untuk

meningkatkan kepatuhan pengelolaan penyakit DM tipe 2. Ilkafah (2011)

Berdasarkan data prasurvey yang di peroleh di rsud pringsewu, penderita

diabetes mellitus pada tahun 2018 dari bulan januari sampai desember

sebanyak 235 pasien yang tergabung dalam kategori DM tipe I dan DM

tipe II. Berdasarkan data dari ruang bedah RSUD Pringsewu penderita

Diabetes mellitus tipe II dengan kurang pengetahuan mengenai penyakit

selam 6 bulan terakhir kurang lebih 5 orang, dengan total keseluruhan 30

pasien. (Data RSUD Pringsewu, 2019)

Berdasarkan fenomena diatas peneliti sangat tertarik untuk melalukan

penelitian pada pasien dengan judul “Penerapan TAK (Terapi Aktivitas

Kelompok) Peer Group Pada Lansia Yang Mengalami Diabetes Melitus

dengan Masalah Gangguan Citra Tubuh Di Wilayah Kerja Puskesmas Wates

Kabupaten Pringsewu Tahun 2020”


B. Rumusah Masalah

Bagaimna Penerapan TAK (Terapi Aktivitas Kelompok) Peer Group Pada

Lansia Yang Mengalami Diabetes Melitus dengan Masalah Gangguan Citra

Tubuh Di Wilayah Kerja Puskesmas Wates Kabupaten Pringsewu Tahun

2020

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Memberikan Penerapan TAK (Terapi Aktivitas Kelompok) Peer Group

Pada Lansia Yang Mengalami Diabetes Melitus dengan Masalah

Gangguan Citra Tubuh Di Wilayah Kerja Puskesmas Wates Kabupaten

Pringsewu Tahun 2020.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui bagaimana Penerapan TAK (Terapi Aktivitas

Kelompok) Peer Group Pada Lansia Yang Mengalami Diabetes

Melitus dengan Masalah Gangguan Citra Tubuh mampu membuat

dorongan yang positif bagi lansia.

b. Untuk mengetahui sejauh mana peran peer group atau teman sebaya

dalam bersosialisasi dengan lansia dan melakukan terapi aktivitas

kelompok.

c. Untuk mengetahui bagaimana mahasiswa menerapkan terapi

aktivitas kelompok peer group dilingkungan.


D. Manfaat

1. Manfaat Teoritis

Untuk meningkatkan pengetahuan dan memperluas wawasan

Keperawatan Gerontik terutama asuahan keperawatan Pada Lansia Yang

Mengalami Diabetes Melitus dengan Masalah Gangguan Citra Tubuh Di

Wilayah Kerja Puskesmas Wates Kabupaten Pringsewu Tahun 2020.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Perawat

Untuk meningkatkan kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan

keperawatan secara komprenhensif terutama pada asuhan

keperawatan Pada Lansia Yang Mengalami Diabetes Melitus dengan

Masalah Gangguan Citra Tubuh Di Wilayah Kerja Puskesmas Wates

Kabupaten Pringsewu Tahun 2020.

b. Bagi Puskesmas

Dapat digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan tindakan

keperawatan Pada Lansia Yang Mengalami Diabetes Melitus dengan

Masalah Gangguan Citra Tubuh Di Wilayah Kerja Puskesmas Wates

Kabupaten Pringsewu Tahun 2020.

c. Institusi Kesehatan

Dapat sebagai referensi bagi institusi pendidikan dalam

mengembangkan ilmu tentang keperawatan Pada Lansia Yang

Mengalami Diabetes Melitus dengan Masalah Gangguan Citra Tubuh

Di Wilayah Kerja Puskesmas Wates Kabupaten Pringsewu Tahun


2020.

d. Bagi Masyarakat

Penelitian ini dapat menambah pengetahuan masyarakat yang

mempunyai lansia dengan hipertensi agar dapat merawat seeara

mandiri dirumah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Lansia

1. Definisi

Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi didalam

kehidupan manusia. proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak

hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi sejak permulaan hidup

menjadi tua proses alamiah yaitu anak, dewasa dan tua. tahap tiga ini

berbeda baik secara biologis maupun pisikologis (Nugroho, 2008).

Pengertian lansia adalah periode dimana organisme telah mencapai

kernasakan dalam ukuran dan fungsi dan juga telah menunjukkan

kemunduran sejalan dengan waktu. Ada beberapa pendapat mengenai "usia

kemunduran" yaitu ada yang menetapkan 60 tahun, 65 tahun dan 70 tahun.

WHO (World Health Organization) menetapkan 65 tahun sebagai usia yang

menunjukkan proses menua yang berlangsung secara nyata dan seseorang

telah disebut Janjut usia. Secara umum perubahan fisik pada masa Janjut

usia adaJah menurunnya fungsi pancaindra, minat dan fungsi organ seksuaI

dan kemampuan motorik (Petter, 2010)

2. Batasan Umur Lanjut Usia

Menutut WHO (World Health Organization)

a. Usia pertengahan (middle age) : 45-49 tahun

b. Lanjut usia (elderly) : 60-74 tahun


c. Lanjut usia tua (old) : 75-90 tahun

d. Usia sangat Tua (very old) : di atas 90 tahun

(Azizah, 2011).

3. Teori Proses Penuaan

a. Teori Biologi

Teori biologi mencakup teori genetik dengan proses penuaan, yaitu teori

biologi, teori psikologis teori sosial, teori spiritual (Maryam,2008).

1) Teori genetik dan mutasi

Menurut teori genetik dan mutasi, semua terprogram secara genetik

untuk spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari

perubahan bio kimia yang di program oleh moelekul moelekul DNA

dan setiap sel pad a saatnya akan mengalami mutasi, sebagai contoh

yang khas adalah mutasi dari sel sel kelamin(terjadi penurunan

kemampuan fungsi sel) terjadi pigman atau lemak dalam tubuh yang

di sebut teori akumulasi dari produk sisa, sebagai contoh adalah

adanya pigmen lipofusin di sel otot jantung dan sel sususan saraf

pusat pada lansia yang mengakibatkan terganggunya fungsi sel itu

sendiri (Maryam,2008).

2) Teori Psikologi

Pada usia lanjut penuaan terjadi secara alamiah seiring dengan

penarnbahan usia. Perubahan psikologis yang terjadi dapat di

hubungan pula dengan keakuratan mental dan keadan fungsional

yang efektif Kepribadian individu yang terdiri atas motivasi dan


intelgensi dapat menjadi karakteristik konsep diri dari seorang lansia

(Mia, 2008).

3) Teori Sosial

Teori sosial ini rnencakup reorl interaksi sosinl yaitu menurut

ilmuan simmons (1945) meugemukakan bahwa kemampuan lansia

untuk terus menjalin interaksi sosial merupakan kunci untuk

memepertahankan statsus sosialnya atas dasar kemampuannya untuk

melakukan tukar menukar (Rosidawati,2008).

4) Teori Spiritual

Komponen spiritual dan tumbuh kembang merujuk pada

pengertianhubungan individu dengan alam semesta dan persepsi

individu tentang arti kehidupan. James flower mengungkapkan

bahwa tujuh tahap perkembangan kepercayaan, flower. Juga

meyakin bahwa kepercayaan dimensia spiritual adalah suatu fenoma

timbal balik, yaitu menanamkan suatu keyakinan, cinta kasih sayang

dan harapan (Ahmad,2008).


4. Permasalahan –Permasalahan pada Lansia

a. Permasalahan Fisiologis Lansia

Menurut Mujahidullah (2012) beberapa perubahan yang akan terjadi

pada lansia diantaranya adalah perubahan fisik,intlektual, dan

keagamaan.

1) Perubahan Fisik

a) Sel

Saat seseorang memasuki usia lanjut keadaan sel dalam tubuh

akan berubah, seperti jumlahnya yang menurun, ukuran lebih

besar sehingga mekanisme perbaikan sel akan terganggu dan

proposi protein di otak, otot, ginjal, darah dan hati berkurang.

b) Sistem Persyarafan

Keadaan sistem persyarafan pada lansia akan mengalami

perubahan, seperti mengecilnya syaraf panca indra. Pada indra

pendengaran akan terjadi gangguan pendengaran seperti

hilangnya kemampuan pendengaran pada telinga. Pada indra

penglihatan akan menjadi seperti kekeruhan pada kornea,

hilangnya daya akomodasi dan menurunnya lapang pandang.

Pada indra peraba akan terjadi seperti respon terhadap nyeri

menurun dan kelenjar keringat berkurang. Pada indra pembau

akan terjadinya seperti menurunnya kekuatan otot pernapasan,

sehingga kemampuan membau juga ikut berkurang.


c) Sistem Gastrointestinal\

Pada lansia akan terjadi menurunya selera makan, seringnya

terjadl konstipasi. menurunya produksi air liur (saliva) dan gerak

peristaltic usus juga menurun.

d) Sistem Genitourinaria

Pada lansia ginjal akan mengalami pengecilan sehingga aliran

darah ke ginjal menurun.

e) Sistem Muskuloskeletal

Pada lansia tulang akan kehilangan cairan dan makin rapuh,

keadaan tubuh akan lebih pendek, persendian kaku dan tendon

mengerut.

f) Sistem Kardiovaskuler

Pada lansia jantung akan mengalami pompa darah yang menurun,

ukuran jantung secara keseluruhan menurun dengan tidaknya

penyakit klinis, denyut jantung menurun, katup jantung pada

lansia akan lebih tebal dan kaku akibat dari akumulasi lipid.

Tekanan darah sistolik meningkat 'pada lansia kerana hilangnya

distensibility arteri. Tekanan darah diastolik tetap sarna atau

meningkat.

2) Perubahan Intelektual

Menurut Hochanadel dan Kaplan dalam Mujahidullah (2012) akibat

proses penuaan juga akan terjadi kemunduran pada kemampuan otak

seperti perubahan Intelegenita Quantion (IQ) yaitu fungsi otak kanan


mengalami penurunan sehingga lansia akan mengalami kesulitan

dalam berkomunikasi nonverbal, pemecahan masalah, konsenterasi,

dan kesulitan mengenal wajah seseorang. Perubahan yang lain

adalah perubahan ingatan, karena penurunan kemampuan otak maka

seorang lansia akan kesulitan untuk menerima rangsangan yang

diberikan kepadanya sehingga kemampuan untuk mengingat pada

lansia juga menurun.

3) Perubahann Keagamaan

Menurut Marslow dalam Mujahidullah (2012) pada umumnya lansia

akan semakin teratur dalam kehidupan keagamaannya, hal tersebut

bersangkutan dengan keadaan lansia yang akan meniriggalkan

kehidupan.

b. Permasalahan Kesehatan Lansia

1) Mudah jatuh

Jatuh pada lansia ada beberapa faktor yang berperan didalainnya

yaitu, baik faktor instrinsik misal gangguan gaya berjalan, kelemahan

otot, ektennitas bawah, kekakuan sendi, lantai yang Iicin.tersandung,

penglihatan menurun.

2) Mudah Lelah

Lansia mudah lelah disebabkan oleh faktor psikologis

seperti keletihan atau perasaan depresi. Gangguan organisme

misalnya Anemia, kekurangan Vitamin, perubahan pada

tulang, gangguan pencemaan,kelainan metabolisme.


3) Kekacauan Mental Akut

Disebabkan oleh keracunan, penyakit infeksi dengan demam tinggi,

Alkohol, penyakit metabolisme, dehidrasi atau kekurangan cairan,

gangguan fungsi otak, gangguan fungsi hati, radang selaput otak.

4) Nyeri Dada

Disebabkan oleh penyakit jantung koroner yang dapat menyebabkan

iskemia jantung (berkurang aliran darah kejantung), radang selaput

jantung, gangguan pada system alat pernapasan.

5) Sesak Napas Pada Waktu melakukan kerja fisik

Disebabkan oleh kelemahan jantung, gangguan system saluran nafas

anemia.

6) Berdebar – debar (palpitasi)

Disebabkan oleh gangguan irama jantung, keadaan umum badan yang

lemah karena penyakit kronis.

7) Pembengkakan kaki bagian bawah

Disebabkan oleh kaki yang lama digantung (edema grafitasi), gagal

jantung, bendungan pada vena bagian bawah, kekurangan vitamin

B, gangguan penyakit hati.

8) Nyeri pada sendi pinggul

Gangguan sendi pinggul misal radang sendi dan sendi tulang yang

keropos, kelainan tulang - ulang sendi, kelainan pada saraf dari

punggu bagian bawah yang terjepit.


9) Nyeri Pinggang atau Punggung

Gangguan sendi - sendi atau susunan sendi, gangguan pankreas,

kelainan ginjal, gangguan pada rahim, gangguan pada kelenjar

prostat, gangguan pada otot - otot badan.

10) Berat Badan Menurun

Disebabkan oleh pada umumnya nafsu makan menurun karena

kurang adanya gairah hidup atau keluesan.

11) Sukar Menahan Air Seni (Sering Mengompol)

Disebabkan oleh radang kandung kemih, radang saluran kemih,

kelainan kontrol pada kandung kemih, kelainan persarafan pada

kandung kemih.

12) Sukar Menahan Buang Air Besar

Disebabkan oleh kelainan pada usus besar, kelainan pada ujung

saluran pencernaan.

13) Gangguan pada ketajalam penglihatan

Disebabkan kelainan pada lensa (refleksi lcnsa mata kurang),

kekeruhan pada lensa katarak), tekanan pada mata yang meninggi

(glukoma), radang saraf mata.

14) Gangguan Pendengaran

Disebabkan oleh kelainan degeneratif (otot sklerusis).

15) Gangguan tidur (Sulit Tidur)

Disebabkan lingkungan yang tidak nyaman.


16) Keluhan Pusing – pusing

Gangguan local misalnya vaskuler, sakit kepala sebelah, tekanan

dalam bola mata yang meninggi.

17) Keluhan perasaan dingin-dingin dan kesemutan pada anggota badan

Disebabkan oleh gangguan sirkulasi darah lokal, gangguan

persarafan umum, gangguan pada persarafan lokal pada bagian

anggota bagian badan.

18) Mudah gatal – gatal

Disebabkan karena kelainan kulit kering, degeneratif.

(Bandiyah, 2009).

B. Konsep Dasar Diabetes Melitus

1. Definisi Penyakit

Diabetes melitus adalah suatu penyakit dari kumpulan gejala yang timbul

pada seseorang sebagai akibat peningkatan kadar glukosa darah yang

dikarenakan penurunan sekresi insulin yang progresif di latar belakangi oleh

retensi insulin (Soegondo, Soewondo & Subekti 2011). Menurut American

Diabetes Association (ADA) 2012, diabetes melitus adalah suatu penyakit

metabolik dengan karakteristik kenaikan kadar glukosa dalam darah atau

hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein

yang disebabkan karena kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin atau

keduanya.
Diabetes melitus merupakan salah satu jenis keadaan darurat kesehatan

global terbesar pada abad ke 21 dan 10 penyebab kematian secara global

bersama dengan tiga besar lainnya yaitu penyakit kardiovaskular, kanker dan

penyakit pernapasan (IDF, 2017). Seseorang dikatakan menderita diabetes

melitus apabila orang tersebut memiliki kadar gula darah puasa >126 mg/dl

dan pada tes gula darah sewaktu >200 mg/dl. Tes gula darah sewaktu adalah

dimana akan meningkat setelah makan dan akan kembali normal dalam

waktu 2 jam (Perkeni, 2011).

2. Patogenesis

Patogenesis penyakit diabetes melitus di tandai dengan adanya resistensi

insulin perifer, gangguan HGP (Hepatic Glucose Production), penurunan

fungsi sel beta, dan akhirnya menuju ke kerusakan total dari sel beta. Ketika

seseorang berada pada stadium prediabetes, awalnya akan timbul resistensi

insulin lalu diikuti oleh peningkatan sekresi insulin untuk mengkompensasi

resistensi insulin agar kadar glukosa dalam darah tetap normal. Namun

setelah melewati waktu lama sel beta tidak sanggup lagi untuk

mengkompensasi resistensi urin sehingga kadar glukosa darah semakin

meningkat dan fungsi sel beta semakin menurun (Soegondo, Soewondo &

Subekti, 2011).

Menurut Perkeni (2015), menyebutkan bahwa resistensi insulin pada otot

dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal sebagai

patofisiologi kerusakan sentral dari diabetes melitus. Belakangan ini


diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat dari

pada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ

lain seperti jaringan lemak (peningkatan lipolisis, gastrointestinal (defisiensi

incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan

absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan

dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada diabetes

mellitus.

Gambar 1. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam

patogenesis hiperglikemia pada diabetes melitus (Perkeni, 2015).

Menurut Perkeni (2015), secara garis besar patogenesis diabetes melitus

disebabkan delapan hal (Ominous octet) yaitu sebagai berikut:

a. Kegagalan sel beta pancreas

Pada saat diagnosis diabetes melitus ditegakkan, fungsi sel beta sudah

sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah

sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.


b. Liver

Penderita diabetes melitus mengalami resistensi insulin yang berat dan

memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan

basal oleh liver (HGP: Hepatic Glucose Production) meningkat. obat

yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses

gluconeogenesis.

c. Otot

Penderita diabetes mellitus mengalami gangguan kinerja insulin yang

multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga

timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot. Obat yang bekerja di

jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.

d. Sel lemak

Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,

menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas

(FFA : Free Fatty Acid) dalam plasma. Peningkatan FFA merangsang

proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan

otot. Obat yang bekerja di jalur ini adalah tiazolidindion.

e. Usus

Glukosa yang ditelan secara langsung atau rute oral lebih memicu respon

insulin jauh lebih besar dibandingkan jika diberikan melalui rute

intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh

dua hormon GLP-1 (Glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-


dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastic inhibitory

polypeptide).

Saluran pencernaan mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat

melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida

menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat

meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk

menghambat kinerja ensim alfa- glukosidase adalah akarbosa.

f. Sel Alpha Pancreas

Merupakan organ keenam yang berperan dalam hiperglikemia dan sudah

diketahui sejak tahun 1970. Sel ini berfungsi dalam sintesis glukagon

yang dalam keadaan puasa kadarnya didalam plasma akan meningkat.

Dan peningkatan ini mengakibatkan HGP dalam keadaan basal

meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang

menghambat sekresi glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-4 inhibitor

an amylin.

g. Ginjal

Merupakan salah satu organ penting yang berperan dalam patogenensis

diabetes melitus. Ginjal menfiltrasi kurang lebih sekitar 163 gram

glukosa setiap harinya. 90% dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap

kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter) pada

bagian convulated tubulus proximal. Sedangkan yang 10% sisanya akan

di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden.


Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Salah satu contoh

obatnya adalah dapaglifozin.

h. Otak

Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang

memiliki berat badan berlebih atau obesitas baik yang diabetes melitus

maupun yang non diabetes melitus, didapatkan hiperinsulinemia yang

merupakan kompensasi dari resistensi insulin. Obat yang bekerja di jalur

ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.

3. Klasifikasi

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2018 diabetes dapat di

klasifikasikan sebagai berikut:

a. Diabetes Tipe 1

Hal ini disebabkan karena rusaknya sel-β autoimun, yang biasanya

menyebabkan defisiensi atau kekurangan insulin absolut (mutlak).

b. Diabetes Tipe 2

Hal ini disebabkan karena hilangnya progresif sekresi insulin sel pada

sel-β sering pada latar belakang resistensi insulin.

c. Diabetes Gestasional (Kehamilan dengan diabetes)

Diabetes terdiagnosis pada trimester kedua atau ketiga kehamilan, yang

tidak jelas pada kehamilan sebelumnya.


d. Jenis diabetes tipe spesifik lain

Misalnya sindrom monogenik diabetes, seperti:

1) Cacat genetik fungsi sel beta, diabetes neonatal: MODY (Maturity

Onset Diabetes of the Young)

2) Penyakit pankreas eksokrin (seperti cystic fibrosis dan pankreatitis)

3) Diabetes yang di induksi obat atau kimia (seperti penggunaan

glukokortikoid, dalam pengobatan HIV/AIDS, atau setelah

transplantasi organ)

4. Diagnosis

Menurut Perkeni (2015), diagnosis diabetes melitus ditegakkan atas dasar

pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah yang

dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan

plasma darah vena. Dan agar lebih valid hasilnya maka sebaiknya dilakukan

pemeriksaan glukosa darah di laboratorium yang terpercaya, sesuai kondisi

setempat juga dipakai bahan darah lengkap, vena ataupun kapiler dengan

memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai

pembakuan oleh WHO atau world health organization (Soegondo, Soewondo

& Subekti, 2011).

Menurut ADA (2017), diabetes dapat di diagnosis berdasarkan kriteria

glukosa plasma-baik glukosa plasma puasa (FPG) atau nilai glukosa plasma

2 jam setelah tes toleransi glukosa oral 75-g (OGTT) - atau A1C. Tes yang

sama digunakan untuk menyaring dan mendiagnosa diabetes dan untuk


mendeteksi individu dengan prediabetes. Prediabetes di definisikan sebagai

FPG 100-125 mg / dL (5,6-6,9 mmol / L); OGTT 2-jam 140-199 mg / dL

(7,8-11,0 mmol / L); atau A1C 5,7–6,4% (39–47 mmol / mol).

Menurut Perkeni (2015), hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria

normal atau kriteria diabetes melitus digolongkan kedalam kelompok

prediabetes yang meliputi: Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) dan Glukosa

Darah Puasa Terganggu (GDPT).

a. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa

plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa

plasma 2-jam <140 mg/dl.

b. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma

2-jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa

<100 mg/dl.

c. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT.

d. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil

pemeriksaan HbA1c ysng menunjukkan angka 5,7-6,4 %.

HbA1c (%) Glukosa darah Glukosa plasma


puasa (mg/dL) 2 jam setelah
TTGO (mg/dL)

Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 mg/dL ≥ 200 mg/dL

Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199

Normal < 5,7 < 100 < 140


5. Faktor Risiko

Menurut Kementerian kesehatan RI (2014) faktor resiko diabetes melitus

dibagi menjadi dua yaitu dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi.

Faktor yang tidak dapat dimodifikasi yaitu ras dan etnik, jenis kelamin,

umur, riwayat penyakit keluarga, riwayat melahirkan bayi dengan berat

badan lebih dari 4000 gram dan riwayat lahir dengan berat badan kurang dari

2500 gram. Sedangkan faktor yang masih dapat untuk dimodifikasi adalah

perilaku sebelumnya yang kurang sehat, kurangnya aktivitas fisik, hipertensi,

diet yang tidak seimbang, riwayat TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau

Gula Darah Puasa terganggu (GDP terganggu), merokok, dll. Selain itu

penderita dengan diabetes melitus mempunyai resiko untuk terjadinya

penyakit jantung koroner, 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan akibat

kerusakan retina daripada pasien non diabetes melitus, 7 kali lebih mudah

mengidap gagal ginjal terminal, 5 kali lebih mudah menderitas ulkus/

gangren atau yang biasa disebut kaki diabetik, serta penyakit pembuluh

darah otak 2 kali besar (Soegondo, Soewondo & Subekti, 2011).

Menurut ADA (2015) beberapa faktor risiko diabetes melitus yang tidak

dapat diubah meliputi riwayat keluarga dengan DM (first degree relative),

umur ≥ 45 tahun, suku, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan ≥ 4000

gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional dan riwayat lahir

dengan berat badan rendah kurang dari 2,5 kg. Sedangkan faktor risiko yang

dapat di ubah meliputi obesitas dan berdasarkan IMT ≥ 25 kg/m2 atau

lingkar perut ≥ 80 cm pada wanita dan ≥ 90 cm pada laki-laki, kurangnya


aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemia dan diet yang tidak sehat. Faktor lain

yang terkait dengan risiko diabetes adalah penderita polycystic

ovarysindrome (PCOS), penderita sindrom metabolik memiliki riwayat

toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu

(GDPT) sebelumnya, memiliki riwayat penyakit kardiovaskular seperti CVA

atau stroke, penyakit jantuk koroner (PJK), peripheral arteial disease (PAD),

konsumsi alkohol, faktor stres, riwayat merokok, jenis kelamin, konsumsi

kopi atau kafein. Menurut Perkeni (2015), pemeriksaan penyaring dilakukan

untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus dan prediabetes pada

kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala klasik diabetes

mellitus :

a. Kelompok dengan berat badan lebih atau Indeks Massa Tubuh (IMT)

lebih dari 23 kg/m3 yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko

sebagai berikut:

1) Aktivitas fisik yang kurang.

2) First-degree relative diabetes melitus (terdapat faktor keturunan

diabetes melitus dalam keluarga).

3) Kelompok ras atau etnis tertentu

4) Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL

lebih dari 4000 gram atau mempunyai riwayat diabetes melitus

gestasional

5) Hipertensi (lebih dari 140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi

untuk hipertensi.
6) HDL <35 mg/dl dan atau trigliserida >250 mg/dl. g. Wanita dengan

sindrom polikistik ovarium.

7) Riwayat prediabetes

8) Obesitas berat, akantosis nigrikans j. Riwayat penyakit

kardiovaskular

b. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.

6. Tanda dan Gejala

Menurut Perkeni (2015), gejala diabetes melitus dibedakan menjadi 2 yaitu

akut dan kronik. Gejala akut diabetes melitus yaitu :

a. Poliphagia (banyak makan)

b. Polidipsia (banyak minum)

c. Poliuria (banyak kencing/ sering kencing di malam hari)

d. Nafsu makan bertambah namun berat badan turun secara cepat yaitu

antara (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu) dan mudah lelah

Sedangkan gejala kronik diabetes melitus yaitu:

a. Sering kesemutan

b. Kulit terasa panas atau seperti tertusuk-tusuk jarum

c. Rasa kebas dikulit

d. Sering kram

e. Mudah mengantuk

f. Kelelahan

g. Pandangan mulai kabur


h. Gigi mudah goyah dan mudah lepas

i. Kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi

j. Pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam

kandungan atau berat bayi lahir lebih dari 4 kg atau 4000 gram.

7. Komplikasi

Menurut Perkeni (2015), diabetes tidak terkontrol dengan baik akan

menimbulkan komplikasi akut dan kronis, komplikasi diabetes melitus dapat

dibagi menjadi 2 kategori, yaitu :

a. Komplikasi akut a. Hipoglikemia

Yaitu kadar glukosa darah berada di bawah nilai nomal < 50 mg/dl.

Hipoglikemia biasanya lebih sering terjadi pada penderita diabetes

mellitus tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu. Kadar gula darah

yang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat asupan

energi sehingga tidak berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan.

b. Hiperglikemia

Yaitu apabila kadar gula darah meningkat secara tiba-tiba. Dapat

berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain

ketoasidosis diabetik, koma hiperosmoler non ketotik (KHNK) dan

kemolakto asidosis.

3. Komplikasi kronis

a. Komplikasi makrovaskuler, komplikasi makrovaskuler yang umum

berkembang pada pasien diabetes melitus adalah trombosit otak


(pembekuan darah pada sebagian otak), mengalami penyakit jantung

koroner (PJK), gagal jantung kongestif dan stroke.

b. Komplikasi mikrovaskuler, komplikasi mikrovaskuler terutama terjadi

pada pasien diabetes melitus tipe 1 seperti nefropati, diabetik

retinopati (kebutaan), neuropati dan amputasi akibat luka diabetes

yang tidak terawat dengan baik akhirnya mengalami infeksi yang

parah.

8. Pencegahan

Menurut Kementerian kesehatan RI (2014) terdapat program pengendalian

diabetes melitus yang dilaksanakan secara terintegrasi yaitu dengan

menggunakan pendekatan faktor risiko penyakit tidak menular teritegrasi di

fasilitas primer, pos pembinaan terpadu penyakit tidak menular, CERDIK

(Cek kondisi kesehatan secara berkala, Enyahkan asap rokok, Rajin aktivitas

fisik, Diet sehat dengan kalori seimbang, Istirahat yang cukup, Kendalikan

stress) dan PATUH (Periksa kesehatan secara rutin dan ikuti anjuran dokter,

Atasi penyakit dengan pengobatan yang tepat dan teratur, Tetap diet sehat

dengan gizi seimbang, Upayakan beraktivitas fisik dengan aman, Hindari

rokok, alkohol dan zat karsinogenik lainnya). Menurut Perkeni (2015),

pencegahan diabetes melitus dilakukan dengan 3 cara yaitu secara primer,

sekunder dan tersier. Pencegahan secara primer yaitu ditujukan pada

kelompok yang memiliki faktor resiko, yaitu bagi mereka yang belum

terkena diabetes melitus, namun berpotensi untuk terkena diabetes melitus

dan intoleransi glukosa. Pencegahannya ada dua yaitu dengan cara faktor
risiko dapat dimodifikasi (berat badan berlebih, kurangnya aktivitas fisik,

hipertensi, diet tidak sehat dan tida seimbang) dan tidak dapat dimodifikasi

(ras dan etnik, riwayat keluarga dengan diabetes melitus, umur, riwayat

melahirkan bayi lebih dari 4000 gram, dan lahir dengan berat badan kurang

dari 2500 gram). Pencegahan secara sekunder yaitu upaya mencegah atau

menghambat timbulnya penyulit pada pasien yang telah terkena diabetes

mellitus dengan pengendalian kadar glukosa darah sesuai target terapi serta

pengendalian faktor penyulit (mikrovaskular, makrovaskular, neuropati,

rentan infeksi) dengan pemberian pengobatan secara optimal. Program

penyuluhan memiliki peran penting dalam meningkatkan kepatuhan pasien

dalam menjalani program pengobatan sehingga mencapai target yang

diharapkan. Sedangkan pencegahan secara tersier yaitu ditujukan pada

kelompok pasien dengan diabetes melitus yanng telah mengalami penyulit

dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut serta meningkatkan

kualitas hidup. Pada upaya ini yang dilakukan yaitu dengan melakukan

penyuluhan atau pemberian edukasi kepada pasien dan keluarga.

9. Penatalaksaan Medis

Menurut Perkeni (2015) tujuan penatalaksanaan secara umum adalah

meningkatkan kualitas hidup penderita diabetes melitus.

Tujuan penatalakanaan meliputi :

a. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan diabetes melitus,

memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.


b. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas

penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.

c. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas

diabetes melitus.

Tujuan Penatalaksanaan lainnya yaitu :

a. Penatalaksanaan Umum

Perlu dilakukan evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama.

Menurut ADA (2017) komponen evaluasi medis diabetes komprehensif

terbagi menjadi tiga, yaitu:

1) Riwayat kesehatan atau riwayat penyakit

a) Usia dan karakteristik onset diabetes (misalnya, ketoasidosis

diabetik [DKA], temuan laboratorium tanpa gejala)

b) Pola makan, status gizi, riwayat berat badan, perilaku tidur (pola

dan durasi), dan aktivitas fisik, kebiasaan, pendidikan nutrisi dan

sejarah dan kebutuhan dukungan perilaku

c) Penggunaan obat komplementer dan alternatif

d) Adanya komorbid umum dan penyakit gigi

e) Layar untuk depresi, kecemasan, dan gangguan makan dengan

menggunakan pengukuran yang valid dan sesuai

f) Screen untuk diabetes marabahaya menggunakan langkah yang

divalidasi dan sesuai


g) Layar untuk masalah psikososial dan hambatan lain untuk

manajemen diri diabetes seperti keuangan terbatas, logistik, dan

sumber daya pendukung

h) Sejarah penggunaan tembakau, konsumsi alkohol dan

penggunaan zat

i) Riwayat dan kebutuhan DSME dan DSMS

j) Peninjauan rejimen pengobatan sebelumnya dan tanggapan

terhadap terapi (catatan A1C)

k) Menilai perilaku pengambilan obat dan hambatan untuk

kepatuhan minum obat

l) Hasil pemantauan glukosa dan penggunaan data pasien

m) Frekuensi, keparahan, dan penyebab DKA

n) Episode hipoglikemia, kesadaran, frekuensi, dan penyebab

o) Riwayat peningkatan tekanan darah dan lipid abnormal

p) Komplikasi mikrovaskular: retinopati, nefropati, dan neuropati

(sensorik, termasuk riwayat kaki lesi: otonom, termasuk disfungsi

seksual dan gastroparesis)

q) Komplikasi makrovaskular: penyakit jantung koroner, penyakit

serebrovaskular dan penyakit arteri perifer

r) Untuk perempuan dengan kapasitas melahirkan, periksa

kontrasepsi dan perencanaan prakonsepsi


2) Pemeriksaan fisik

a) Tinggi, berat badan, dan BMI: pertumbuhan dan perkembangan

pubertas pada anak-anak dan remaja

b) Penentuan tekanan darah, termasuk pengukuran ortostatik saat

diindikasikan

c) Pemeriksaan funduskopi

d) Palpasi tiroid

e) Pemeriksaan kulit (misalnya, untuk acanthosis nigricans dan

injeksi insulin atau tempat pemasangan infus set)

f) Pemeriksaan kaki komprehensif:

(1) Inspeksi

(2) Palpasi dorsalis pedis dan denyut nadi tibia posterior

(3) Adanya/ tidak adanya refleks patela dan Achilles

(4) Penentuan sensasi proprioception, getaran monofilamen dan

3) Evaluasi Laboratorium

a) A1C, jika hasilnya tidak tersedia dalam 3 bulan terakhir

b) Jika tidak dilakukan/ tersedia dalam satu tahun terakhir

(1) Profil lipid puasa, termasuk kolesterol total, LDL, dan HDL

dan trigliserida, sesuai kebutuhan

(2) Tes fungsi hati

(3) Siapkan rasio albumin ke kreatinin urin

(4) Kreatinin serum dan eGFR


(5) Thyroid stimulating hormone pada pasien dengan diabetes

tipe 1

Menurut Perkeni (2015) penatalaksanaan khusus salah satunya

adalah dengan penapisan komplikasi yaitu penapisan komplikasi

harus dilakukan pada setiap penderita yang baru terdiagnosis

diabetes melitus melalui pemeriksaan:

(1) Profil lipid pada keadaan puasa: kolesterol total, High Density

Lipoprotein (HDL), Low Density Lipoprotein (LDL), dan

trigliserida.

(2) Tes fungsi hati

(3) Tes fungsi ginjal kreatinin serum dan estimasi GFR

(4) Tes urin rutin

(5) Albumin urin kuantitatif

(6) Rasio albumin kreatinin sewaktu g. Elektrokardiogram

(7) Foto rontgen thoraks (bila ada indikasi TBC, penyakit jantung

kongestif)

(8) Pemeriksaan kaki secara komprehensif

b. Penatalaksanaan Khusus

1) Edukasi

2) Terapi Nutrisi Medis (TNM), yang meliputi:

a) Karbohidrat

b) Lemak
c) Protein

d) Natrium

e) Serat

f) Pemanis alternatif

3) Kebutuhan kalori, faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu:

a) Jenis kelamin

b) Umur

c) Aktivitas fisik atau pekerjaan

d) Stress metabolik

e) Berat badan

4) Jasmani atau olahraga/ latihan

5) Terapi farmakologis

a) Obat antihiperglikemi oral

b) Obat antihiperglikemia suntik

(1) Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan:

(a) HbA1c >9% dengan kondisi dekompensasi metabolik

(b) Penurunan berat badan yang cepat

(c) Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

(d) Krisis hiperglikemia

(e) Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

(f) Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard

akut, stroke)
(g) Kehamilan dengan diabetes gestasional yang tidak

terkendali

(h) Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

(i) Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

(j) Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Jenis lama kerja insulin

Berdasarkan lama kerja insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni:

(a) Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)

(b) Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)

(c) Insulin kerja menengah (Intermediate-acting insulin)

(d) Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)

(e) Insulin kerja ultra panjang (Ultra long-acting insulin)

(f) Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah

dan kerja cepat dengan menengah (Premixed insulin).

(2) Agonis GLP-1/ incretin mimetic

Pengobatan dasar dengan peningkatan GLP-1 merupakan

pendekatan baru untuk pengobatan diabetes melitus. Agonis

GLP-1 dapat bekerja pada sel-beta sehingga terjadi

peningkatan pelepasan insulin, mempunyai efek menurunkan

berat badan, menghambat pelepasan glukagon, dan

menghambat nafsu makan.


(3) Terapi kombinasi

Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang

utama dalam penatalaksanaan diabetes melitus, namun bila

diperlukan dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian obat

antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi sejak dini.

Pemberian kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan

insulin dimulai dengan pemberian insulin basal (insulin kerja

menengah atau insulin kerja panjang). Insulin kerja menengah

harus diberikan pada jam 10 malam menjelang tidur,

sedangkan insulin kerja panjang dapat diberikan sejak sore

sampai sebelum tidur.

C. Konsep Keperawatan Gerontik

1. Pengkajian

Tujuan :

a. Menentukan kemampuan klien untuk memelihara diri sendiri.

b. Melengkapi dasar – dasar rencana perawatan individu.

c. Membantu menghindarkan bentuk dan penandaan klien.

d. Memberi waktu kepada klien untuk menjawab.

Meliputi aspek gerontik:

a. Fisik

1) Wawancara

a) Pandangan lanjut usia tentang kesehatan.


b) Kegiatan yang mampu di lakukan lanjut usia.

c) Kebiasaan lanjut usia merawat diri sendiri.

d) Kekuatan fisik lanjut usia : otot, sendi, penglihatan, dan

pendengaran.

e) Kebiasaan makan, minum, istirahat/tidur, BAB/BAK.

f) Kebiasaan gerak badan / olahraga /senam lanjut usia.

g) Perubahan-perubahan fungsi tubuh yang sangat bermakna

dirasakan.

h) Kebiasaan lanjut usia dalam memelihara kesehatan dan kebiasaan

dalam minum obat.

i) Masalah-masalah seksual yang telah di rasakan.

b. Pemeriksaan fisik

1) Pemeriksanaan di lakukan dengan cara inspeksi, palpilasi, perkusi,

dan auskultasi untuk mengetahui perubahan sistem tubuh.

2) Pendekatan yang di gunakan dalam pemeriksanaan fisik,yaitu : Head

to toe.

c. Psikologis

1) Bagaimana sikapnya terhadap proses penuaan.

2) Apakah dirinya merasa di butuhkan atau tidak.

3) Apakah optimis dalam memandang suatu kehidupan.

4) Bagaimana mengatasi stress yang di alami.

5) Apakah mudah dalam menyesuaikan diri.


6) Apakah lanjut usia sering mengalami kegagalan.

7) Apakah harapan pada saat ini dan akan datang.

8) Perlu di kaji juga mengenai fungsi kognitif: daya ingat, proses pikir,

alam perasaan, orientasi, dan kemampuan dalam penyelesaikan

masalah.

d. Sosial ekonomi

1) Darimana sumber keuangan lanjut usia

2) Apa saja kesibukan lanjut usia dalam mengisi waktu luang.

3) Dengan siapa dia tinggal.

4) Kegiatan organisasi apa yang di ikuti lanjut usia.

5) Bagaimana pandangan lanjut usia terhadap lingkungannya.

6) Berapa sering lanjut usia berhubungan dengan orang lain di luar

rumah.

7) Siapa saja yang bisa mengunjungi.

8) Seberapa besar ketergantungannya.

9) Apakah dapat menyalurkan hoby atau keinginannya dengan fasilitas

yang ada.

e. Spiritual

1) Apakah secara teratur malakukan ibadah sesuai dengan agamanya.

2) Apakah secara teratur mengikuti atau terlibat aktif dalam kegiatan

keagamaan, misalnya pengajian dan penyantunan anak yatim atau

fakir miskin.
3) Bagaimana cara lanjut usia menyelesaikan masalah apakah dengan

berdoa.

4) Apakah lanjut usia terlihat tabah dan tawakal.

2. Diagnosa keperawatan

a. Aspek fisik atau biologis

1) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan tidak mampu dalam memasukkan, memasukan,

mencerna, mengabsorbsi makanan karena factor biologi.

2) Gangguan pola tidur berhubungan dengan insomnia dalam waktu

lama, terbangun lebih awal atau terlambat bangun dan penurunan

kemampuan fungsi yng ditandai dengan penuaan perubahan pola

tidur dan cemas.

3) Inkontinensia urin fungsional berhubungan dengan keterbatasan

neuromuskular yang ditandai dengan waktu yang diperlukan ke toilet

melebihi waktu untuk menahan pengosongan bladder dan tidak

mampu mengontrol pengosongan.

4) Gangguan proses berpikir berhubungan dengan kemunduran atau

kerusakan memori sekunder.

5) Seksual berhubungan dengan perubahan struktur tubuh/fungsi yang

ditandai dengan perubahan dalam mencapai kepuasan seksual.

6) Kelemahan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan

musculoskeletal dan neuromular.

7) Kelelahan berhubungan dengan kondisi fisik kurang.


8) Risiko kerusakan integritas kulit.

9) Kerusakan memori berhubungan dengan gangguan neurologis.

(NANDA, 2006)

b. Aspek psikososial

1) Koping tidak efektif berhubungan dengan percaya diri tidak adekuat

dalam kemampuan koping, dukungan social tidak adekuat yang

dibentuk dari karakteristik atau hubungan.

2) Isolasi social berhubungan dengan perubhaan penampilan fisik,

peubahan keadaan sejahtera, perubahan status mental.

3) Gangguan harga diri berhubungan dengan ketergantungan, perubahan

peran, perubahan citra tubuh dan fungsi seksual.

4) Cemas berhubungan dengan perubahan dalam status peran, status

kesehatan, pola interaksi, fungsi peran, lingkungan, status ekonomi.

5) Resiko kesendirian.

(NANDA, 2006)

c. Aspek spiritual

Distress spiritual berhubungan dengan peubahan hidup, kematian

atau sekarat diri atau orang lain, cemas, mengasingkan diri, kesendirian

atau pengasingan social, kurang sosiokultural (NANDA, 2006).


3. Intervensi keperawatan (NANDA, 2006)

No. Diagnosa keperawatan NOC NIC


Aspek fisik atau biologis
1. Ketidakseimbangan Status nutrisi Manajemen
nutrisi : kurang dari Setelah dilakukan ketidakteraturan makan
kebutuhan tubuh intervensi keperawatan (eating disorder
berhubungan dengan selama 3x24 jam pasien management)
tidak mampu dalam diharapkan mampu: 1. Kolaborasi dengan
memasukkan, 1. Asupan nutrisi anggota tim kesehatan
memasukan, mencerna, tidak bermasalah untuk memuat
mengabsorbsi makanan 2. Asupan makanan perencanaan
karena factor biologi. dan cairan tidak perawatan jika sesuai.
bermasalah 2. Diskusikan dengan
3. Energy tdak tim dan pasien untuk
bermasalah membuat target berat
4. Berat badan ideal badann, jika berat
badan pasien tdak
sesuia dengan usia
dan bentuk tubuh.
3. Diskusikan dengan
ahli gizi untuk
menentukan asupan
kalori setiap hari
supaya mencapai dan
atau mempertahankan
berat badan sesuai
target.
4. Ajarkan dan kuatkan
konsep nutrisi yang
baik pada pasien
5. Kembangkan
hubungan suportif
dengna pasien.
6. Dorong pasien untuk
memonitor diri
sendiri terhadap
asupan makanan dan
kenaikan atau
pemeliharaan berat
badan.
7. Gunakan teknik
modifikasi tingkah
laku untuk
meningkatkan berat
badan dan untuk
menimimalkan berat
badan.
8. Berikan pujian atas
peningkatan berat
badan dan tingkah
laku yang mendukung
peningkatan berat
badan.
2. Gangguan pola tidur Setelah dilakukan Peningkatan tidur
berhubungan dengan tindakan keperawatan 1. Tetapkan pola
insomnia dalam waktu selama 2x24 jam pasien kegiatan dan tidur
lama, terbangun lebih diharapkan dapat pasien.
awal atau terlambat memperbaiki pola 2. Monitor pola tidur
bangun dan penurunan tidurnya dengan kriteria pasien dan jumlah
kemampuan fungsi yng : jam tidurnya.
ditandai dengan penuaan 1. Mengatur jumlah 3. Jelaskan pentingnya
perubahan pola tidur dan jam tidurnya tidur selama sakit dan
cemas. 2. Tidur secara rutin stress fisik.
3. Miningkatkan pola 4. Bantu pasien untuk
tidur menghilangkan
4. Meningkatkan situasi stress sebelum
kualitas tidur jam tidurnya.
5. Tidak ada
gangguan tidur

3. Inkontinensia urin Setelah dilakukan Perawatan inkontinensia


fungsional berhubungan intervensi keperawatan urin
dengan keterbatasan selama 3x24 jam 1. Monitor eliminasi
neuromuskular yang diharapkan pasien urin.
ditandai dengan waktu mampu : 2. Bantu klien
yang diperlukan ke toilet 1. Kontinensia urin mengembangkan
melebihi waktu untuk 2. Merespon dengan sensasi keinginan
menahan pengosongan cepat keinginan BAK.
bladder dan tidak mampu buang air kecil 3. Modifikasi baju dan
mengontrol (BAK) lingkungan untuk
pengosongan. 3. Mampu mencapai memudahkan klien ke
toilet dan toilet.
mengeluarkan urin 4. Instruksikan pasien
secara tepat waktu untuk mengonsumsi
4. Mengosongkan air minum sebanyak
bladder dengan 1500 cc/hari.
lengkap
5. Mampu
memprediksi
pengeluaran urin

4. Gangguan proses berpikir Setelah dilakukan Latihan daya ingat


berhubungan dengan intervensi keperawatan 1. Diskusi dengan
kemunduran atau selama 2x24 jam pasien pasien dan keluarga
kerusakan memori diharapkan dapat beberapa masalah
sekunder. meningkatkan daya ingatan.
ingat dengan kriteria : 2. Rangsang ingatan
1. Mengingat dengan dengan mengulang
segera informasi pemikiran pasien
yang tepat kemarin dengan
2. Mengingat cepat.
inormasi yang 3. Mengenangkan
baru saja tentang pengalaman
disampaikan di masalalu dengan
3. Mengingat pasien.
informasi yang
sudah lalu
5. Seksual berhubungan Fungsi seksual Konseling seksual
dengan perubahan 1. Mengekspresikan 1. Bantu pasien untuk
struktur tubuh/fungsi kenyamanan mengekspresikan
yang ditandai dengan 2. Mengekspresikan perubahan fungsi
perubahan dalam kepercayaan diri tubuh termasuk organ
mencapai kepuasan seksual seiring
seksual. dengan bertambahnya
usia.
2. Diskusikan beberapa
pilihan agar dicapai
kenyamanan.

6. Kelemahan mobilitas Level mobilitas Latihan dengan terapi


fisik berhubungan (mobility level) gerakan (exercise therapy
dengan kerusakan Setelah dilakukan ambulation)
musculoskeletal dan intervensi keperawatan 1. Kosultasi kepada
neuromular. selama 2x24 jam pemberi terapi fisik
diharapkan pasien dapat mengenai rencana
: gerakan yang sesuai
1. Memposisikan dengan kebutuhan.
penampilan tubuh 2. Dorong untuk
2. Ambulasi : bergerak secara bebas
berjalan namun masih dalam
3. Menggerakan otot batas yang aman.
4. Menyambung 3. Gunakan alat bantu
gerakan/mengkola untuk bergerak, jika
borasikan gerakan tidak kuat untuk
berdiri (mudah
goyah/tidak kokoh).

7. Kelelahan berhubungan Activity tolerance Energy management


dengan kondisi fisik Setelah dilakukan 1. Monitor intake nutrisi
kurang. intervensi keperawatan untuk memastikan
selama 2x24 jam sumber energi yang
diharapkan pasien adekuat.
dapat: 2. Tentukan
1. Memonitor usaha keterbatasan fisik
bernapas dalam pasien.
respon aktivitas 3. Tentukan penyebab
2. Melaporkan kelelahan.
aktivitas harian 4. Bantu pasien untuk
3. Memonitor ECG jadwal istirahat.
dalam batas
normal
4. Memonitor warna
kulit

8. Risiko kerusakan Kontrol risiko (risk Penjagaan terhadap kulit


integritas kulit control) (skin surveillance)
Setelah dilakukan 1. Monitor area kulit
intervensi keperawatan yang terlihat
selama 2x24 jam kemerahan dan
diharapkan pasien dapat adanya kerusakan.
: 2. Monitor kulit yang
1. Kontrol perubahan sering mendapat
status kesehatan tekanan dan gesekan.
2. Gunakan support 3. Monitor warna kulit.
system pribadi 4. Monitor suhu kulit.
untuk mengontrol 5. Periksa pakaian, jika
risiko pakaian terlihat
3. Mengenal terlalu ketat.
perubahan status
kesehatan
4. Monitor factor
risiko yang berasal
dari lingkungan

9. Kerusakan memori Orientasi kognitif Pelatihan memori


berhubungan dengan Setelah dilakukan (memory training)
gangguan neurologis. intervensi keperawatan 1. Stimulasi memory
selama 2x24 jam dengan mengulangi
diharapkan pasien dapat pembicaraan secara
: jelas di akhir
1. Mengenal diri pertemuan dengan
sendiri pasien.
2. Mengenal orang 2. Mengenang
atau hal penting pengalaman masa lalu
3. Mengenal dengan pasien.
tempatnya 3. Menyediakan gambar
sekarang untuk mengenal
4. Mengenal hari, ingatannya kembali.
bulan, dan tahun 4. Monitor perilaku
dengan benar pasien selama terapi.

Aspek psikososial
1. Koping tidak efektif Koping (coping) Koping enhancement
berhubungan dengan Setelah dilakukan 1. Dorong aktifitas
percaya diri tidak adekuat intervensi keperawatan social dan
dalam kemampuan selama 3x24 jam pasien komunitas
koping, dukungan social secara konsisten 2. Dorong pasien
tidak adekuat yang diharapkan mampu : untuk
dibentuk dari 1. Mengidentifikasi mengembangkan
karakteristik atau pola koping efektif hubungan.
hubungan. 2. Mengedentifikasi 3. Dorong
pola koping yang berhubungan
tidak efektif dengan seseorang
3. Melaporkan yang memiliki
penurunan stress tujuan dan
4. Memverbalkan ketertarikan yang
control perasaan sama.
5. Memodifikasi gaya 4. Dukung pasein
hidup yang untuk
dibutuhkan menguunakan
6. Beradaptasi dengan mekanisme
perubahan pertahanan yang
perkembangan sesuai.
7. Menggunakan 5. Kenalkan pasien
dukungan social yang kepada seseorang
tersedia yang mempunyai
latar belakang
8. Melaporkan pengalaman yang
peningkatan sama.
kenyamanan
psikologis

2. Isolasi social Lingkungan keluarga : Keterlibatan keluarga


berhubungan dengan internal (family (family involvement)
perubhaan penampilan environment: interna) 1. Mengidentifikasika
fisik, peubahan keadaan Setelah dilakukan n kemampuan
sejahtera, perubahan intervensi keperawatan anggota keluarga
status mental. selama 3x24 jam pasien untuk terlibat
secara konsisten dalam perawatan
diharapkan mampu : pasien.
1. Berpatisipasi dalam 2. Menentukan
aktifitas bersama sumber fisik,
2. Berpatisipasi dalam psikososial dan
tradisi keluarga pendidikan
3. Menerima kunjungan pemberi pelayanan
dari teman dan kesehatan yang
anggota keluarga utama.
besar 3. Mengidentifkasi
4. Memberikan deficit perawatan
dukungan satu sama diri pasien.
lain 4. Menentukan
5. Mengekspresikan tinggat
perasaan dan masalah ketergantungan
kepada yang lain. pasien terhadap
6. Mendorong anggota keluarganya yang
keluarga untuk tidak sesuai dengan
ketergantungan umur atau
7. Berpatisipasi dalam penyakitnya.
rekreasi dan acara
aktifitas komunitas
8. Memecahkan
masalah

3. Gangguan harga diri Setelah dilakukan tindakan Peningkatan harga diri


berhubungan dengan intervensi keperawatan 1. Kuatkan rasa
ketergantungan, selama 2x24 jam pasien percaya diri
perubahan peran, diharapkan akan bisa terhadap
perubahan citra tubuh memperbaiki konsep diri kemampuan pasien
dan fungsi seksual. dengan criteria : mengndalikan
1. Mengidentifikasi situasi.
pola koping 2. Menguatkan
terdahulu yang tenaga pribadi
efektif dan pada saat dalam mengenal
ini tidak mungkin dirinya.
lagi digunakan akibat 3. Bantu pasien untuk
penyakit dan memeriksa
penanganan kembali persepsi
(pemakaian alkohol negative tentang
dan obat-obatan; dirinya.
penggunaan tenaga
yang berlebihan)
2. Pasien dan keluarga
mengidentifikasi dan
mengungkapkan
perasaan dan
reaksinya terhadap
penyakit dan
perubahan hidup
yang diperlukan
3. Mencari konseling
profesional, jika
perlu, untuk
menghadapi
perubahan akibat
penyakitnya
4. Melaporkan
kepuasan dengan
metode ekspresi
seksual

4. Cemas berhubungan Anxiety control Anxiety reduction


dengan perubahan dalam Setelah dilakukan 1. Bantu pasien untuk
status peran, status intervensi keperawatan menidentifikasi
kesehatan, pola interaksi, selama 2x24 jam situasi percepatan
fungsi peran, lingkungan, diharapkan pasien dapat: cemas.
status ekonomi. 1. Memonitor intensitas 2. Dampingi pasien
cemas untuk
2. Melaporkan tidur mempromosikan
yang adekuat kenyamanan dan
3. Mengontrol respon mengurangi
cemas ketakutan.
4. Merencanakan 3. Identifikasi ketika
strategi koping dalam perubahan level
situasi stress cemas.
4. Instuksikan pasien
dalam teknik
relaksasi.

5. Resiko kesendirian Family Coping Family support


Setelah dilakukan 1. Bantu
intervensi keperawatan pekembangan
selama 2x24 jam harapan yang
diharapkan pasien dapat: realistis.
1. Mendemontrasikan 2. Identifikasi alami
fleksibelitas peran dukungan spiritual
2. Mengatur masalah bagi keluarga.
3. Menggunakan 3. Berikan
strategi pengurangan kepercayaan dalam
stress hubungan dengan
4. Menghadapi masalah keluarga.
4. Dengarkan untuk
berhubungan
dengan keluarga,
perasan dan
pertanyaan.
6. Gangguan citra tubuh Setelah dilakukan Peningkatan citra
berhubungan dengan intervensi keperawatan tubuh
perubahan dan selama 2x24 jam pasien 1. Bantu pasien untuk
ketergantungan fisik diharapkan meningkatkan mendiskusikan
(ketidakseimbangan citra tubuhnya dengan perubahan karena
mobilitas) serta criteria : penyakit atau
psikologis yang 1. Merasa puas dengan pembedahan.
disebabkan penyakit atau penampilan tubuhnya 2. Memutuskan
terapi. 2. Merasa puas dengan apakah perubahan
fungsi anggota fisik yang baru saja
badannya diterima dapat
3. Mendiskripsikan masuk dalam citra
bagian tubuh tubuh pasien.
tambahan 3. Memudahkan
hubungan dengan
individu lain yang
mempunyai
penyakit yang
sama.

Aspek spiritual
1. Distress spiritual Pengharapan (hope) Penanaman harapan
berhubungan dengan Setelah dilakukan (hope instillation)
peubahan hidup, intervensi keperawatan 1. Mengkaji pasian
kematian atau sekarat diri selama 3x24 jam pasien atau keluarga
atau orang lain, cemas, secara luas diharapkan untuk
mengasingkan diri, mampu : mengidentifikasi
kesendirian atau 1. Mengekspresikan area pengharapan
pengasingan social, orientasi masa depan dalam hidup.
kurang sosiokultural. yang positif 2. Melibatkan pasien
2. Mengekspresikan arti secara aktif dalam
kehidupan perawatan diri.
3. Mengekspresikan 3. Mengajarkan
rasa optimis keluarga tentang
4. Mengekspresikan aspek positif
perasaan untuk pengharapan.
mengontrol diri
sendiri
5. Mengekspresikan
kepercayaan
6. Mengekspresikan
rasa percaya pada
diri sendiri dan orang
lain

Anda mungkin juga menyukai