PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 M, dan jalur perdagangan di
Pulau Jawa dan Sumatera mengalami kemunduran, maka jalur perdagangan berpindah ke
kawasan Timur Nusantara dengan pusatnya Sompa Opu (Ibu Kota Kerajaan GowaTallo) di
Makassar Sulawesi Selatan. Lalu lintas perdagangan dengan pusatnya di Somba Opu ini telah
menghubungkan antara Barat dan Timur Nusantara, di samping para pedagang dari berbagai
kawasan di Asia Tenggara dan Eropa yang beralngsung selama abad ke 16-17M.
Sebagai Bandar Niaga terbesar, tentu banyak para pedagang dan pebisnis yang tertarik
untuk datang dan melakukan transaksi perdagangan di kawasan ini. Tersebutlah pedagang
dari India, Persia, Arab, Cina, dan Eropa. Kedatangan para pedagang dari Jazirah Arab yang
beragama Islam inilah yang kemudian mempercepat proses Islamisasi di pusat-pusat kerajaan
di Sulawesi Selatan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Sejarah Masuknya agama islam di Makassar?
2. Apa saja bukti-bukti peningglan agama islam yang ada di Sulawesi selatan?
3. Bagaimana proses perkembangan agama islam di Makassar?
4. Apakah KontribusiIslam Terhadap Peradaban di Makassar?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Agar mengetahui bagaimana sejarah masuknya agama islam ke sulawesi selatan
2. Untuk mengetahui bukti-bukti peninggalan agama islam di Sulawesi Selatan
3. Agar mengetahui perkembangan agama islam di Makassar
4. Untukmengetahuikontribusi Islam terhadapperadaban di Makassar
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
raja pertama yang memeluk agama Islam tahun 1605. Beberapa ulama Kerajaan Goa di masa
Sultan Alauddin begitu terkenal karena pemahaman dan aktivitas dakwah mereka. Mereka
adalah Khatib Tunggal, Datuk ri Bandang, datuk Patimang dan Datuk ri Tiro. Dapat diketahui
dan dilacak dari nama para ulama di atas, yang bergelar datuk-datuk adalah para ulama dan
muballigh asal Minangkabau yang menyebarkan Islam ke Makassar.
Kerajaan Goa-Tallo mengadakan ekspansi ke Bone tahun 1611, namun ekspansi itu
menimbulkan permusuhan antara Goa dan Bone.Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Goa-
Tallo berhasil, hal ini merupakan tradisi yang mengharuskan seorang raja untuk
menyampaikan hal baik kepada yang lain.Seperti Luwu, Wajo, Sopeng, dan Bone. Luwu
terlebih dahulu masuk Islam, sedangkan Wajo dan Bone harus melalui peperangan dulu. Raja
Bone yang pertama masuk Islam adalah yang dikenal Sultan Adam.
1. Beberapa Kerajaan Islam di Makassar.
Sejarah masuknya Islam di Sulawesi Selatan diawali dengan masuknya islam dari
raja-raja yang ada di Sulawesi selatan, sehingga kerajaan sebelum dan sesudah menjadi
kerajaan islam tetap sama oleh karena setelah raja-raja tersebut memeluk islam maka
nama kerajaan masih tetap sama hanya saja hukum yang diterapkan adalah penggabungan
hukum yang lama sebelum islam kemudian mengalami pengaruh dari ajaran agama baru
yang dipeluk oleh para raja dan masyarakat yakni pengaruh Ajaran Islam.
Diantara kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi Selatan adalah Luwu, Gowa-Tallo,
Bone, Soppeng, Balanipa di mandar, dan Wajo. Namun, yang akan dibicarakan adalah
Kesultanan Gowa-Tolla, Bone, dan Wajo, Kesultanan Goa-Tallo, mempunyai peranan
penting dalam sejarah daerah, nasional dan internasional, mengingat ibukotanya Somba
Opu sebagai negara-kota (city-state) berperan penting dalam perdagangan regional dan
internasional. Selain itu, kesultanan Gowa-Tallo juga mempunyai peran penting dalam
menentang politik kolonialisme Belanda pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin
(1653-1669).
a. Kerajaan Gowa-Tallo
Letak Kerajaan Gowa dan Tallo Kerajaan Gowa dan Tallo lebih dikenal dengan
sebutan Kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak didaerah Sulawesi Selatan. Secara
geografis Sulawesi Selatan memiliki posisi yang penting, karena dekat dengan jalur
pelayaran perdagangan Nusantara. Bahkan, daerah Makassar menjadi pusat persinggahan
para pedagang, baik yang berasal dari Indonesia bagian timur, maupun para pedagang
yang berasal dari daerah Indonesia bagian barat. Dengan letak seperti ini mengakibatkan
3
Kerajaan Makassar berkembang menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas jalur
perdagangan Nusantara.
Sebelum agama Islam berkembang di Sulawesi Selatan, beberapa tempat di pedalaman
telah telah menganut agama kristen yang dibawah oleh Portugis seperti Suppa dan
Bacukiki di Parepare dan Siang di Pangkep. Proses islamisasi di Sulawesi Selatan
dilakukan oleh para mubalig yang disebut Dato’ Tallu (Tiga Dato), yaitu yaitu Dato’ Ri
Bandang (Abdul Makmur atau Khatib Tunggal), Dato’ Ri Pattimang (Dato’ Sulaemana
atau Khatib Sulung), dan Dato’ Ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib Bungsu). Para mubalig
itulah yang mengislamkan Raja Luwu yaitu Datu’ La Patiware’ Daeng Parabung dengan
gelar Sultan Muhammad, Raja Gowa dan Tallo yaitu Karaeng Matowaya dari Tallo yang
bernama I Mallingkang Daeng Manyonri (Karaeng Tallo) mengucapkan syahadat pada
Jumat sore, 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605 M dengan gelar Sultan
Abdullah. Selanjutnya Karaeng Gowa I Manga’ rangi Daeng Manrabbia mengucapkan
syahadat pada Jumat, 19 Rajab 1016 H atau 9 November 1607 M. agama Islam masuk ke
Goa sebelum kedatangan Tome Pries (1512-1515). Pires menceritakan bahwa Makassar
sudah melakukan hubungan dagang dengan Melaka, Kalimantan, dan AyuThiya
(Thailand). Selain itu, ia juga mengatakan bahwa para penguasa dari lebih dari limapuluh
negeri dipulau itu masih menganut berhala, maksudnya masih belum Islam. Pemberitan
Tome Pires itu mungkin lebih menitik beratkan pada sebuah kerajaan disulawesi yang
belum menganut agama Islam. Secara resmi kedua raja dari Goa-Tallo an memeluk
agama Islam pada 22 september 1605.
Didaerah Sulawesi Selatan proses Islamisai semakin mantap dengan adanya mubaligh
yang disebut DattoTallu ( Tiga Datto) : Datok ri Bandung (abdul Makmur atau Khatib
Tunggal), Datok Ri Tiro (Abdul Jawad atau Khatib Bungsu). Perkembangan agama Islam
di Sulawesi Selatan mendapat tempat sebaik-baiknya, bahkan ajaran sufisme Khalwatiyah
dari Syekh Yusuf al-Mkassari juga tersebar di Kesultanan Goa dann kerajaan lainnya
pada media abad XVII. Namun, karena banyak tantangan dari kaum bagsawan Goa,
Syekh Yusuf pun meninggalkan Sulawesi Selatan dan pergi ke Banten yang kemudian
diterima oleh Sultan Ageng Tirtayasa, bahkan dijadikan menantu dan diangkat sebagai
mufti di Kesultanan Banten.
Dalam sejarah Kesultanan Goa perlu dicatat sejarah perjuangan Sultan Hasanuddin
dalam mempertahankan kedaulatannya terhadap upaya penjajaan politik dan ekonomi
kompeni (VOC) Belanda. Semula VOC tidak menaruh perhatian terhadap Kesultanan
Goa-Tallo yang telah mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan. Tetapi ketika
4
mereka (VOC di bawah Gubernur Jendral J.P. coen ) merampas kapal Portugis di dekat
perairan Malak., ternyata di kapal itu terdapat orang Makassar dan dari dia didapat berita
tentang pentingnya Pelabuhan Somba Opu sebagai pelabuhan transit, terutama untuk
mendantangkan rempah-rempah dari Malaku.
b. Kerajaan Bone
Islam masuk di Bone pada masa La Tenri Ruwa sebagai Raja Bone XI pada tahun
1611 M dan ia hanya berkuasa selama 3 bulan. Sebabnya, karena beliau menerima Islam
sebagai agamanya padahal dewan adat Ade Pitue bersama rakyat menolak ajakan
tersebut. Akhirnya beliau meninggalkan Bone, kemudian ke Makassar mempelajari
agama Islam lebih mendalam dan meninggal di Bantaeng. Perlu diketahui sebelum Sultan
Adam Mattindroe ri Bantaeng atau La Tenri Ruwa memeluk Islam. Sudah ada rakyat
Bone juga yang telah memeluk Islam, bahkan Raja sebelumnya We Tenri Tuppu karena
mendengar Sidendreng telah memeluk Islam ia pun tertarik untuk mempelajarinya dan
wafat disana. Sehingga ia digelari Mattinroe ri Sidendreng.
Setahun setelah orang Bone menerima Islam, Arumpone La Tenri Pale ke Tallo
(Makassar) menemui Dato’ ri Bandang. Diberilah nama Islam, Sultan Abdullah dan
diumumkan pemberian nama itu Diberilah nama Islam, Sultan Abdullah dan diumumkan
pemberian nama itu (1611-1631), penaklukan Gowa atas Bone tidak terlalu membawa
penderitaan bagi rakyat Bone, karena hubungannya dengan Sultan Alauddin terjalin
dengan baik.
c. Kerajaan Wajo
Kerajaan Wajo adalah sebuah kerajaan yang didirikan sekitar tahun 1399, di wilayah
yang menjadi Kabupaten Wajo saat ini di Sulawesi Selatan. Penguasanya disebut "Raja
Wajo". Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu Cinnotabi.
Kerajaan Wajo pernah ditaklukan Kerajaan Gowa dalam upaya memperluas Islam dan
pernah tunduk pada 1610. Kerajaan Wajo sering pula membantu Kerajaan Gowa pada
peperangan baru dengan Kerajaan Bone pada 1643, 1660, dan 1667. Kerajaan Wajo
sendiri pernah ditaklukkan Kerajaan Bone tetapi karena didesak maka Kerajaan Bone
sendiri takluk kepada Kerajaan Gowa-Tallo.
Kerajaan Wajo memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610 pada pemerintahan La
Sangkuru patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi pertama
Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang telah
dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai
Dato ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal di sana. Pada saat itulah disebut sebagai tahun
5
pemancangan pilar persatuan antara Makassar( Goa-Tallo) dan bugis( bone,wajo,dll)
dibawah naungan agama Islam yang diemban oleh raja-raja dan rakyat sulawesi
khususnya bagian Selatan dan Tenggara.
6
keemasannya sekitar awal abad ke-18 yang ditandai dengan berlakunya syariat Islam
dalam berinteraksi sosial.
7
D. PERKEMBANGAN ISLAMDI MAKASSAR.
Islam datang di Sulawesi, terutama bagian selatan sejak abad ke-15 M.
Para pedagang Muslim dari Malaka, Jawa, dan Sumatra banyak berdatangan di kawasan ini.
Khusus di Sulawesi Selatan, Islam datang agak terlambat jika dibandingkan daerah-daerah
lainnya di Nusantara, seperti Kalimantan, Sumatra, Jawa, dan Maluku. Hal ini disebabkan
kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan terutama kerajaan Lawu, Gowa dan Tallo sebagai cikal
bakal wilayah tempat masuknya Islam, dikenal sebagai kerajaan besar yang berpengaruh dan
menjadi kerajaan dagang pada akhir abad XVI atau awal abad XVII.
1. Kepercayaan Pra Islam
Masyarakat Sulawesi Selatan pada zaman dahululu memiliki keyakinan yang
beragam. Untuk etnis Bugis dan Makassar serta Mandar, telah memahami konsepsi
ketunggalan Tuhan. Mereka menyebut dengan nama “Dewata Seuwae” yang berarti
Tuhan yang tunggal.
Kata “Dewata” menurut Mattulada berasal dari kata “De” dan “Watang” yang
bermakna tiada yang mampu mengalahkan kekuatannya. Ada juga yang mengatakan
bahwa “De” dan “Watang” berarti tidak memiliki jasmani. Bukan juga tidak mungkin,
kata “Dewata” adalah istilah yang diserap dari kebudayaan lain. Tapi terlepas dari
berbagai anggapan di atas, masyarakat Sulawesi Selatan umumnya di zaman dahulu telah
meyakini ketunggalan Tuhan.
Meski demikian, kepercayaan dahulu juga menempatkan kekuatan-kekuatan magis
dalam sistem keyakinannya. Sehingga, hingga hari ini kita masih menemukan praktek
ritual kuno yang ditujukan terhadap kekuatan magis tersebut. Ini berarti bahwa Islamisasi
di Sulawesi Selatan mengalami akulturasi dengan kebudayaan lokal.
2. Proses Islamisasi
Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan sebenarnya telah berjalan sebelum awal abad
ke-17. Atau sebelum kerajaan-kerajaan mengakui Islam sebagai agama resmi. Hal ini
diindikasikan dengan adanya makam wali di Sulawesi Selatan, atau cerita rakyat maupun
naskah kuno sebelumnya yang berkisar abad ke-13 dan 14. Meski demikian masih
membutuhkan penelitian kesejarahan yang lebih mendalam.
Pada akhir abad 16 kerajaan Makassar adalah kerajaan yang terkuat di timur nusantara
yang telah berinteraksi dengan kerajaan luar seperti Portugis, Denmark, Inggris dan
Spanyol. Hal ini membuat kaum jesuit tertarik untuk menyebarkan misi kristen di
Sulawesi. Maka datanglah misionaris dari Portugis yang menawarkan kristen kepada Raja
Makassar. Bahkan misionaris Portugis sempat mengkristenkan Datu Suppa (Pinrang) dan
8
Raja Siang (Pangkep). Namun pada saat yang hampir bersamaan, kerajaan Ternate dan
Aceh juga menawarkan Islam.
Gowa Tallo (Makassar) adalah simbol kekuatan politik dan militer kerajaan pada saat
itu. Dan Luwu adalah simbol tradisi mistik. Islamnya kerajaan Makassar dengan Luwu
adalah kemenangan besar dalam Islamisasi. Saat Dato’ Patimang meminta Datu Luwu
untuk menyebarkan Islam, Datu Luwu dengan rendah hati mengatakan bahwa di Gowalah
kekuatan dan menganjurkan agar Islamisasi dilaksanakan oleh Gowa karena kekuatan
politik dan militer yang dimilikinya.
Gowa menyerang Siang dan Suppa yang sempat dikristenkan lalu diIslamkan.
Kemudian kerajaan-kerajaan Ajatappareng (Sidenreng, Rappang) dan Mandar pada tahun
1605. Selanjutnya kerajaan Soppeng di Islamkan pada tahun 1607. Pasukan gabungan
Soppeng dan Gowa menyerang Wajo dan Wajo pun diIslamkan pada tahun 1609.
Selanjutnya, pasukan Gowa, Soppeng dan Wajo menyerang Bone pada tahun 1611.
Takluknya Bone adalah dalam musu selleng “Perang Islamisasi” adalah pertanda
masyarakat jazirah Sulawesi Selatan telah menerima Islam.
3. Akulturasi Islam dan Budaya Lokal
Pengajaran agama secara tradisional dimulai dengan mengaji dengan metode
pengkhidmatan. Dimana anak yang belajar mengaji disuruh untuk mengangkat air oleh
guru mengajinya. Ketika beranjak dewasa dan bermaksud mendalami hal-hal batiniah,
maka dituntut melakukan tazkiyatun nafs. Saat ia dianggap sudah mampu, maka diajarkan
ilmu sufistik secara rahasia. Yaitu di dalam kelambu dan menggigit potongan emas.
Hingga hari ini, walau terancam punah, kita masih mendapatkan hiburan gambusu’
yang merupakan budaya serapan dari timur tengah yang ditampilkan saat walimah
pernikahan.
Pada naskah Lontara, Stempel Kerajaan, dan Bendera Kerajaan, tak jarang kita temui
penggunaan huruf hijaiyah selain aksara lontara maupun latin.
Dari sekelumit hal di atas dapat dipahami bahwa budaya lokal terbuka terhadap
perubahan dan pengaruh luar selama sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Namun kita
masih temukan ritual kuno di pelosok yang dipadukan dengan ajaran Islam, atau bahkan
tidak berhubungan sama sekali dengan Islam. Sementara kondisi masyarakat di Sulawesi
Selatan hari ini berada di zaman modern dan global. Sehingga berbagai varian-varian
Islam seperti gerakan Wahabiyah dan Ikhwanul Muslimin ikut mewarnai Islamisasi. Di
pihak lain, intervensi budaya asing sedang gencar-gencarnya. Menjadi tanda tanya dan
9
tantangan generasi hari ini untuk melanjutkan proses Islamisasi yang masih
terus berproses mencari bentuknya : Islam Sulawesi.
10
2. Penerapan Syariah
Di Kerajaan Wajo, setelah Arung Matowa (Raja) Wajo ke-XII yang bernama La
Sangkuru’ Mulajaji memeluk Islam tahun 1610, Raja Gowa selanjutnya mengirim ulama
Minangkabau, Sulaiman Khatib Sulung, yang sudah kembali dari Luwu’. Khatib Sulung
mengajarkan keimanan kepada Allah dan segala larangan-larangannya, seperti:
Dilarang Mappinang rakka’ (memberi sesajen pada apa saja)
Dilarang Mammanu-manu (bertenung tentang alamat baik-buruk melakukan suatu
pekerjaan)
Dilrang Mappolo-bea (bertenung melihat nasib)
Dilarang Boto’ (berjudi)
Dilarang makan riba (bunga piutang)
Dilarang mappangaddi (berzina)
Dilarang minum pakkunesse (minuman keras)
Dilarang makan cammugu-mugu (babi)
Dilarang mappakerre (mempercayai benda keramat)
3. Bidang Hukum/Peradilan
Lembaga pangngadakan/pangngaderreng terdiri dari pampawa Ade’ (pelaksana adat)
yaitu Raja dan pembantu-pembantunya, dan Parewa Sara’ (pejabat syariah), yaitu ulama,
Qadhi, Imam dan lain-lain. Qadhi inilah yang menjadi hakim, Dia mengadili segala
perkara dalam penerapan syariah Islam. Sekalipun fungsi Qadhi ini tidak hanya
mengadili perkara tentang syariah Islam, sebagai pejabat sara’ ia juga mengatur urusan
upacara-upacara keagamaan (hari besar islam) seperti Maulid Nabi Muhammad SAW,
Isra’ mi’raj nabi, sembahyang (salat) dan lain-lain yang diadakan di Istana Raja; juga
urusan pernikahan dan urusan kematian terutama keluarga Raja.
4. Bidang Politik dan Pemerintahan
Pemberian gelar “Sultan” kepada Raja
Raja Gowa XIV I Mangarangi Daeng Manrabiah yang memeluk Islam pertama kali
dari raja-raja Gowa bersama pamannya I Mallingkaan Daeng manyonri’ (Raja Tallo)
selaku Mangkubumi (kepala pemerintahan/perdana menteri) Kerajaan Gowa. Kemudian I
Mangarangi Daeng Manrabiah diberi gelar Sultan Alauddin, sedangkan I Mallingkaan
Daeng Manyonri diberi gelar Sultan Awwalul Islam. Menurut Andi Kumala Idjo, SH,
putra Mahkota Kerajaan Gowa sekarang, gelar “Sultan” ini diberikan oleh Mufti Makkah.
Sejak Raja Gowa XIV itulah gelar “Sultan” diberikan kepada setiap raja Gowa
11
berikutnya, semisal Raja Gowa XV I Mannuntugi Daeng Mattola Karaeng Lakiung, diberi
gelar Sultan Malikussaid oleh Mufti Arabia. Begitu pula Raja Gowa XVI, I Mallombasi
Daeng Mattawang diberi gelar Sultan Hasanuddin. Demikian seterusnya.
5. Kerajaan Menyebarkan Islam
Penyebaran Islam dilakukan baik melalui pendekatan struktural maupun kultural.
Pendekatan struktural dilakukan Kerajaan Gowa-Tallo dengan menyebarkan Islam kepada
rakyat Gowa-Tallo dan juga segera menyebarkannya ke kerajaan-kerajaan lainnya.
Adapun pendekatan kultural dilakukan dengan cara Kerajaan mengutus para mubalig ke
seluruh pelosok- pelosok daerah.
penyebaran Islam oleh Kerajaan Gowa-Tallo kepada rakyat ataupun raja-raja
memegang teguh prinsip mengajak dengan cara damai. Bisa kita lihat bagaimana
Kerajaan Ajatappareng (Suppak, Sawitto, Rappang dan Sidenreng) memeluk Islam
dengan cara damai setelah diajak oleh Gowa. Berbeda halnya ketika Kerajaan yang diajak
oleh Gowa memeluk Islam, lalu menolak Islam, maka Gowa akan memeranginya, seperti
yang dilakukannya terhadap Kerajaan Tellumpoccoe (Bone, Soppeng dan Wajo) sampai
ditaklukkannya.
Ini menunjukkan bahwa Gowa sebagai institusi pemerintahan menyadari
kewajibannya untuk menyebarkan Islam kepada siapa saja dan dimana saja. Prinsip damai
Kerajaan Gowa dalam menyebarluaskan Islam dapat dicermati ketika Raja Gowa XIV
Sultan Alauddin bersama Mangkubumi (Raja Tallo) Sultan Awwalul Islam dan
pasukannya mendatangi Bone untuk mengajak memeluk Islam. Mereka tiba di Bone dan
mengambil tempat di Palette. La Tenriruwa, Raja Bone XI, adalah raja Bone yang
pertama memeluk agama Islam.
6. Hubungan Kerajaan Gowa dengan Khilafah Islamiyah
Hubungan Kerajaan Gowa dengan Khilafah Islamiyah pada waktu itu, yang dapat kita
pahami adalah dalam hal pemberian gelar “Sultan” kepada raja-raja Gowa yang diberikan
oleh Mufti Makkah menurut penuturan Andi Kumala Idjo, SH sebagaimana sudah
disebutkan sebelumnya. Mirip dengan pernyataan Prof. DR. M. Ahmad Sewang, pakar
Sejarah UIN Alauddin Makassar, bahwa memang pada masa kerajaan-kerajaan dulu telah
masuk Islam, ada semacam pengakuan atau legitimasi yang harus datang dari Turki
Utsmani sebagai spiritual power (dunia islam masa itu) kepada raja terpilih. Beliau
mencontohkan legitimasi Sultan Buton oleh Turki Utsmani sekalipun beliau mengatakan
tidak sejauh itu pernah membahas masalah ini. Hanya saja, Bapak Prof. Sewang
menambahkan, bahwa Turki Utsmani adalah Khalifah.
12
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sebelum hadirnya Islam, masyarakat di Sulawesi telah menganut agama Hindu, dan
Budha, serta animisme. Kaya tradisi dan kebudayaan kuno. Kemudian setelah hadirnya Islam
di Sulawesi terjadilah perubahan yang cukup signifikan dalam segi hubungan sosial antar
penduduk serta perdagangan, tetapi tidak menghapus tradisi yang ada. Islam datang di
Sulawesi dan menyebar secara damai dan santun. Pertama hadir pada abad ke-15 Masehi di
Kerajaan Luwu kemudian diikuti oleh kerajaan Tallo kemudian kerajaan Gowa di Daerah
Mangalekana, yang dibawa oleh para pedagang muslim dari Arab, Persia, India, Cina, dan
Melayu ke Ibukota Kerajaan Gowa, Somba Opu. Kemudian disebarkan oleh tiga Datuk dari
Sumatera yaitu: Datuk Di Tiro, Datuk Patimang, dan Datuk Ri Bandang. Aliran atau corak
yang dibawa adalah sufistik dan tasawuf. Karena selain mereka ahli dalam bidang sufistik
dan tasawuf, hal ini pun sesuai dengan masyarakat yang lebih menyukai hal-hal yang bersifat
kebatinan. Setelah Islam berkembang di Sulawesi Selatan lambat laun terus menyebar ke
seluruh daerah di pulau Sulawesi.
B. SARAN
Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Kami tahu bahwa dalam
penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun untuk maju dan kesempurnaan penulisan di masa
mendatang.
13
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/38674903/Peradaban_Islam_di_Sulsel
https://historia.id/agama/articles/perkembangan-islam-di-sulawesi-selatan-P9j5m
https://books.google.co.id/books?id=QsOCDwAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=Masuk+n
ya+islam+di+kota+makassar&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjF0u3NlOHlAhXXAnIKHUsG
BDsQ6wEILTAA#v=onepage&q=Makassar&f=false
14