Anda di halaman 1dari 12

Bupati Labura : Dokter Abaikan Tugas Lebih

Baik Keluar

Dosen Pembimbing: Simson Damanik, drg., M.Kes

ADRIANI M PANJAITAN

190600167

Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Sumatera Utara

2019
Bupati Labura : Dokter Abaikan Tugas Lebih Baik
Keluar
Adriani M Panjaitan
190600167
Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Gigi
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara
Jl. Alumni No. 2 Kampus USU Medan 20155
Email : adrianipanjaitan@yahoo.co.id

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dokter merupakan ilmuwan yang telah dididik secara profesional untuk
memberikan pertolongan dan pelayanan medis kepada orang-orang yang
membutuhkannya. Pendidikan kedokteran telah membekali para peserta didiknya
dengan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), dan perilaku professional
(professional attitude) agar mereka menjadi dokter-dokter yang berkompeten dan
profesional, senantiasa memberikan pertolongan kepada sesamanya. Sumpah
dokter dimulai dengan kalimat: ”Demi Allah saya bersumpah”. Kalimat ini
merupakan pengakuan atas keterbatasan manusia.

Profesi kedokteran sering mendapat kritikan tajam dari berbagai lapisan


masyarakat, bahkan sering disorot dan menjadi berita utama di media-media massa.
Meningkatnya kritikan disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya adanya
kemajuan dalam bidang ilmu dan teknologi kesehatan, perubahan karakteristik
masyarakat terhadap tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa, juga perubahan
masyarakat pengguna jasa kesehatan yang lebih sadar akan hak-haknya.1

Perlindungan hukum merupakan hal terpenting dalam suatu negara hukum,


karena perlindungan hukum merupakan hak setiap warga negara dan kewajiban dari
Negara sebagai penyelenggara dari perlindungan. Dalam Pasal 3 Undang-Undang
No. 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran menyebutkan:

a. Memberikan perlindungan kepada pasien


b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan
oleh dokter dan dokter gigi
c. Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.

Berdasarkan ketentuan di atas bahwa setiap penyelenggaraan praktek


kedokteran yang merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan
berbagai upaya kesehatan harus dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang
memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang terus menerus
harus ditingkatkan mutu melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan sesuai
dengan perkembangan dan pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran.2

Perlu diperhatikan pula, bahwa dokter merupakan bagian dari masyarakat,


karenanya dokter juga mengenal berbagai tanggungjawab terhadap norma-norma
yang berlaku di masyarakat dimana dokter bertugas. Tanggungjawab sebagai
anggota masyarakat ada kaitannya dengna tata tertib yang berlaku di masyarakat
antara lain adalah norma hukum/tertib hukum yang berisi perintah/larangan bagi
semua pihak yang melanggarnya serta memberikan sanksi yang tegas demi
ketenteraman dan ketertiban dalam masyarakat yang bersangkutan. Tanggung
jawab hukum itu sendiri muncul dan banyak macamnya, yaitu ada tanggungjawab
menurut hukum perdata, menurut hukum pidana, menurut hukum administrasi,
disamping juga menurut aturan atau hukum yang ditentukan oleh profesi sendiri.3

Tujuan utama pada pelaksanaan profesi kedokteran adalah untuk mengatasi


penderitaan dan memulihkan kesehatan orang yang sakit. Ada orang sakit (pasien,
penderita) dan dalam masyarakat yang sederhana sekalipun ada orang yang
dianggap mampu menyembuhkan penyakit (dukun, healer, dokter) dan obat
diharapkan dapat menolong yang sakit dengan cara apapun. Pada dasarnya, apa
yang sekarang dinamakan hubungan dokter pasien dapat ditelusuri balik asal
usulnya pada hubungan pengobatan seperti dalam masyarakat sederhana itu, tentu
ditambah dengan kerumitan-kerumitan yang dibawa oleh perkembangan sosial,
ekonomi, hubungan antar manusia, ilmu kedokteran, teknologi, etika, hukum, bisnis
dan lain-lain di zaman modern ini.

Pelayanan kedokteran yang baik adalah yang dapat memenuhi kebutuhan


masyarakat, bermutu dan terjangkau. Untuk dapat memberikan pelayanan
kedokteran paripurna bermutu (preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif) bukan
saja ditentukan oleh pengetahuan dan keterampilan, melainkan juga oleh perilaku
(professional behaviour), etik (bioethics) dan moral serta hukum.4

1.2 Permasalahan

Aekkanopan-Central : Dokter spesialis yang ada dan bekerja di RSUD


Aekkanopan diminta dapat melaksanakan tugas sesuai dengan jadwalnya. Kalau
tidak bias menunaikan tugasnya karena lebih mengutamakan praktik di luar, lebih
baik keluar saja.
Peringatan keras itu dikatakan Bupati Labura H Kharuddin Syah SE pada
peringatan Hari Kesehatan Nasional ke-55 yang diselenggarakan di kompleks
Dinas Kesehatan Labura, kamis.
“kita tidak menghalangi dokter spesialis untuk bertugas di luar. Namun
hendaknya ia dapat melaksanakan tugas sesuai jadwal yanfg ada di rumah
sakit.kalau tidak, lebih baik keluar saja,” tegas pria yang akrab disapa H Buyung
itu.
Diakuinya, memang intensif atau tunjangan yang diberikan kepada para dokter
spesialis Labura belum maksimal hanya berkisar Rp15 juta per bulan. Namun, hal
itu karena kemampuan keuangan daerah yang masih terbatas.
Pada bagian lain, ia juga mengingatkan para bidan dan perawat yang ada di
puskesmas-puskesmas di kabupaten itu untuk tidak merujuk pasiennya ke rumah
sakit swasta. “saya tahu ada bidan atau perawat yang merujuk pasien ke RS
sebelah (swasta---red). Karena kalau merujuk ke ES swasta akan mendapat fee
Rp500 ribu,” sebutnya.
2. PEMBAHASAN

Etika Dan Bioetika

Kata etika secara etimologi berasal dari kata Yunani yaitu ethikos, ethos yang
berarti adat, kebiasaan, praktik. Etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran
moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu, bukan
merupakan suatu ajaran. Pengertian lain tentang etika adalah ilmu tentang apa yang
baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).Etika
bersangkutan dengan manusia secara pribadi dalam “kemanusiannya”, yaitu
manusia yang sudah dan mampu menyadari dirinya sendiri dalam berpikir, bersikap,
berbicara, bertingkah laku terhadap manusia lain dan (dalam) masyarakat, terhadap
Tuhan sang Pencipta dan terhadap lingkungan tempat hidup beserta seluruh isinya.
Etika, sebagaimana metode filsafat, mengandung permusyawaratan dan argumen
eksplisit untuk membenarkan tindakan tertentu (etika praktis). Juga membahas asas-
asas yang mengatur karakter manusia ideal atau kode etik profesi tertentu (etika
normatif). Etika adalah pedoman berbuat sesuatu dengan alasan tertentu. Alasan
tersebut sesuai dengan nilai tertentu dan pembenarannya. Etika penting karena
masyarakat selalu berubah, sehingga kita harus dapat memilih dan menyadari
kemajemukan (norma) yang ada (filsafat praksiologik). Jadi etika juga adalah alasan
untuk memilih nilai yang benar di tengah belantara norma (filsafat moral).3,4

Etika adalah sebuah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma
moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Etika sebagaimana
metode filsafat, mengandung permusyawaratan dan argumen eksplisit untuk
membenarkan tindakan tertentu (etika praktis), juga membahas asas-asas yang
mengatur karakter manusia ideal atau kode etik profesi tertentu (etika normatif).

Etika normatif (deontologi, teleologi, dan virtue) berbicara mengenai norma-


norma yang menuntun tingkah laku manusia, serta memberi penilaian dan himbauan
kepada manusia untuk bertindak sebagaimana seharusnya. Tujuan etika normatif
ialah mencari prinsip-prinsip dasar yang memungkinkan kita menghadapi
pandangan-pandangan normatif moral yang terdapat dalam masyarakat atau
diperjuangkan oleh pelbagai ideologi secara rasional dan kritis. Kita seakan-akan
mencari norma-norma dasar untuk menilai dengan kritis norma-norma moral yang
sudah beredar/ada.1

Etik Kedokteran

Etik kedokteran merupakan ”terjemahan” dari asas-asas etika menjadi


ketentuan-ketentuan pragmatis yang memuat hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-
hal yang harus dihindari. Aturan-aturan etika yang disusun oleh asosiasi atau
perhimpunan keprofesian sebagai pedoman perilaku bagi anggota-anggota profesi
itu, umumnya dinamakan kode etik (Inggris: code of ethics). Istilah ”kode” berasal
dari kata latin codex yang antara lain berarti buku, atau sesuatu yang tertulis, atau
seperangkat asas-asas atau aturan-aturan.2

Dari pengertian seperti inilah Kode Etik Kedokteran dapat diartikan sebagai
seperangkat (tertulis) tentang peraturan-peraturan etika yang memuat amar (apa
yang dibolehkan) dan larangan (apa yang harus dihindari) sebagai pedoman
pragmatis bagi dokter dalam menjalankan profesinya. Dapat juga dikatakan, Kode
Etik Kedokteran adalah buku yang memuat aturan-aturan etika bagi dokter.1

Sebenarnya yang disebut sebagai etik (ethos) adalah suatu adat kebiasaan,
namun karena telah menjadi istilah umum dimana etik diartikan sebagai adat
kebiasaan yang ”baik, selayaknya, seharusnya”, maka sampai sekarang pengertian
inilah yang dipakai. Perkembangan Dalam pada itu, Profesor Kaiser Ali (Kanada)
dalam presentasinya pada Pertemuan Nasional Jaringan Bioetika dan Humaniora
Kesehatan Indonesia (JBHKI) IV di Surabaya 2006 menyatakan bahwa, bioetika
kedokteran (medical bioethics) adalah aspek moral dari ilmu kedokteran (Practice of
Moral medicine). Saat ini sudah sangat lazim pula kita dengar istilah ”Bioetika dan
Humaniora kesehatan” atau Health bioethics and humanities. Humaniora medik
(medical humanities) mengandung pengertian aspek kemanusiaan dari ilmu
kedokteran (Practice of Humane medicine). Karena kita ketahui bahwa antara ilmu
kedokteran, moral dan kemanusiaan tak dapat dipisahkan satu sama lain.1

Perkembangan Etika

Etika kedokteran atau yang sekarang lebih banyak dikenal dengan istilah
Bioetika sudah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Setiap waktu diulas, dibahas
dan dikembangkan sampai kepada pengertian yang kita anut sekarang ini. Semuanya
ini dilakukan agar profesi kedokteran selalu siap untuk menjawab tantangan jaman.

Etika terdiri dari dua jenis, yaitu etika umum dan etika khusus. Etika umum
membahas kondisi dasar bagaimana manusia bertindak dalam mengambil keputusan
etis. Penilaiannya adalah prinsip moral, yaitu baik dan buruk. Sementara etika
khusus merupakan penerapan prinsip-prinsip dasar dalam bidang khusus atau
disebut etika terapan, misalnya etika kedokteran, etika kefarmasian, etika
keperawatan dan lain-lain.4

Seseorang dikatakan bahagia bila ia telah memiliki seluruh tatanan moral.


Tatanan moral tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: yang pertama Logika,
dimana dasarnya pikiran, tujuannya kebenaran, nilainya benar-salah, hasilnya ilmu.
Manusia terdiri dari jiwa dan raga. Secara filsafati jiwa terdiri dari unsur akal
(intellect), rasa (emotion), dan kehendak (will). Inilah yang membedakan manusia
dengan makhluk hidup lain. Akal akan berusaha untuk mendapatkan kebenaran yang
paling dalam (the truth), dan dari sini akal manusia terus berkembang dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi.

Yang kedua Etika, dimana dasarnya kehendak, tujuannya kebaikan, nilainya


baikburuk, hasilnya keserasian. Unsur ‘kehendak’ selalu mencapai kebaikan
(goodness) didalam tata kehidupan. Yang ketiga Etiket (Etiquette), dimana dasarnya
kehormatan, nilainya sopantidak sopan, hasilnya tata krama. Yang keempat Estetika,
dimana dasarnya perasaan (feeling), tujuannya keindahan, hasil ciptaannya seni
(art). Unsur ‘rasa’ manusia selalu ingin mencari keindahan yang paling dalam (the
beauty), dari sini berkembang rasa estetika manusia. Dalam kenyataannya unsur
akal, rasa dan kehendak tersebut saling mendukung dan saling mempengaruhi dalam
setiap tindakan manusia. Meskipun sebagai objek material, etik mempelajari
manusia, tetapi objek formal yang dipelajari adalah tindakan atau perilaku manusia.
Sehingga etik tidak dapat dipisahkan dengan beberapa istilah lain yang mirip-mirip
dengan etik yaitu adab, akhlak, susila, etiket dan moral.1,2

Prinsip-Prinsip Bioetika

Prinsip-prinsip bioetika pada dasarnya merupakan penerapan prinsip-prinsip


etika dalam bidang kedokteran dan kesehatan. Etika kedokteran terapan, terbagi atas
2 kategori besar: (1) Principlism: mementingkan prinsip etik dalam bertindak.
Termasuk dalam konteks ini adalah etika normatif, empat basic moral principle,
konsep libertarianism (mengutamakan otonomi) serta beneficence in trust (berbuat
baik dalam suasana kepercayaan). Dasar utama dalam principlism adalah bahwa
memilih salah satu prinsip etik ketika akan mengambil keputusan, (2) Alternative
principlism, termasuk dalam etika ini adalah etika komunitarian, etika naratif dan
etika kasih sayang.5

Beauchamp dan Childress (2001) menguraikan mengenai empat kaidah dasar


(basic moral principle) dan beberapa rules di bawahnya. Keempat kaidah dasar
tersebut adalah:1,3

1. Respect for Autonomy (menghormati autonomi pasien)


Otonomi secara literatur adalah aturan yang mengatur diri sendiri secara
tenang dan tidak tergesa-gesa. Dasar-dasar respect for autonomy terkait erat dengan
dasar mengenai rasa hormat terhadap martabat manusia dengan segala karakteristik
yang dimilikinya karena ia adalah seorang manusia yang memiliki nilai dan berhak
untuk meminta. Otonomi adalah aturan personal yang bebas dari campur tangan
pihak lain. Beuchamp dan Childress merumuskan hal ini sebagai kata “tindakan
otonomi tidak hanya ditujukan untuk mengontrol pembatasan oleh orang lain”.
Respect for autonomy merupakan sesuatu yang hanya diwajibkan bila ia
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip kaidah bioetika yang utama lainnya,
contohnya: jika sebuah tindakan otonomi akan membahayakan manusia lain, maka
prinsip respect for autonomy akan bertentangan dengan prinsip non-maleficence,
maka harus diputuskan prinsip yang ditetapkan.
2. Beneficence (berbuat baik)
Menurut teori Beuchamp dan Childress, prinsip atau kaidah ini tidak hanya
menuntut manusia memperlakukan sesamanya sebagai makhluk yang otonom dan
tidak menyakiti mereka, tetapi juga dituntut agar manusia tersebut dapat menilai
kebaikan orang lain selanjutnya. Tindakan tersebut diatur dalam dasar-dasar
beneficence. Bagaimanapun seperti yang telah disebutkan, dasar-dasar dari
beneficence menuntut lebih banyak agent dibanding dengan dasar-dasar non-
maleficence. Beuchamp dan Childress menulis: “dalam bentuk yang umum, dasar-
dasar beneficence mempunyai tujuan untuk membantu orang lain melebihi
kepentingan dan minat mereka”. Dasar dari beneficence mengandung dua elemen,
yaitu keharusan secara aktif untuk kebaikan berikutnya, dan tuntutan untuk melihat
berapa banyak aksi kebaikan berikutnya dan berapa banyak kekerasan yang terlibat.
3. Non-maleficence (tidak merugikan orang lain)
Tujuan prinsip ini adalah untuk melindungi seseorang yang tidak mampu
(cacat) atau orang yang non-otonomi. Seperti yang telah dijelaskan, orang ini juga
dilindungi oleh prinsip berbuat baik (beneficence). Jawaban etik yang benar adalah
dengan melihat kebaikan lebih lanjut dari diri seseorang, tidak diperbolehkan untuk
menyakiti orang lain. Prinsip ini mengemukakan bahwa keharusan untuk tidak
melukai orang lain lebih kuat dibandingkan keharusan untuk berbuat baik.
4. Justice (keadilan)
Kesamaan merupakan inti dari justice, tetapi Aristoteles mengemukakan
bahwa justice lebih daripada kesamaan, karena seseorang dapat merasa tidak
diperlakukan secara semestinya walaupun telah diperlakukan sama satu dengan yang
lain.
Teori filosofi mengenai keadilan biasanya menyangkut keutuhan hidup
seseorang atau berlaku sepanjang umur, tidak berlaku sementara saja. Beuchamp dan
Childress menyatakan bahwa teori ini sangat erat kaitannya dengan sikap adil
seseorang pada orang lain, seperti memutuskan siapa yang membutuhkan
pertolongan kesehatan terlebih dahulu dilihat dari derajat keparahan penyakitnya.
Rawls merumuskan konsepsi khusus teori keadilan dalam bentuk dua prinsip
keadilan yaitu: (1) setiap orang memiliki hak sama sejauh yang dapat dicakup
keseluruhan sistem kesamaan kemerdekaan fundamental yang setara bagi
kemerdekaan semua warga yang lain; (2) ketidaksamaan-ketidaksamaan sosial dan
ekonomi ditata sedemikian sehingga keduanya: (a) paling menguntungkan bagi yang
paling tertinggal, dan (b) melekat pada posisi-posisi dan jabatan-jabatan terbuka bagi
semua di bawah syarat kesamaan kesempatan yang fair.

Tanggungjawab Kode Etik Profesi

Kode etik kedokteran menyangkut dua hal yang harus diperhatikan oleh para
pengembang profesi kedokteran, yaitu:

1. Etik jabatan kedokteran (medical ethics), yaitu menyangkut masalah yang berkaitan
dengan sikap dokter terhadap teman sejawatnya, perawatnya, masyarakat, dan
pemerintah.
2. Etik asuhan kedokteran (ethics medical care), yaitu etika kedokteran yang berupa
pedoman dalam kehidupan sehari-hari, khususnya sikap dan tindakan seorang dokter
terhadap pasien yang menjadi tanggungjawabnya.6

3. PENUTUP

Kesimpulan

Tujuan utama pada pelaksanaan profesi kedokteran adalah untuk


mengatasi penderitaan dan memulihkan kesehatan orang yang sakit. Sesuai dengan
etika kedokteran, dokter wajib untuk memberi pelayanan kepada masyarakat dan
tidak mementingkan kepentingan pribadi sebagai wujud perikemanusiaan.

Menerapkan prinsip bioetika dan etika kedokteran dalam menjalankan tugas


profesi sangat penting bagi seorang dokter. Dengan selalu mempertahankan prinsip-
prinsip bioetika dan etika kedokteran, maka akan memperlancar tindakan perawatan
terhadap pasien sehingga akan menghasilkan apa yang diharapkan oleh pasien, tidak
memperburuk keadaan pasien.

Saran

Dalam pembuatan paper ini penulis berharap agar paper ini memiliki manfaat
untuk menambah wawasan pembaca. Dan penulis memberikan beberapa saran:

1) Bagi pihak kesehatan, agar selalu memberika pelayanan kesehatan pada


masyarakat dengan sepenuh hati dengan berlandaskan kode etik dan prinsip etika
kesehatan.
2) Bagi pembaca, agar terus mendukung pemerintah untuk memberi pelayanan yang
lebih baik lagi mengenai kesehatan.
3) Bagi pemerintah, agar lebih memperhatikan kinerja dari pihak kesehatan dan dapat
mengontrol pihak-pihak kesehatan yang melanggar kewajibannya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hanafiah MJ, Amir A. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC, 1999: 67-
72, 56-62, 87-89, 254-255.
2. William RJ. Panduan Etika Medis. Alih Bahasa : Tim PSKI FK UMY. Yogyakarta
: PSKI FK UMY. 2005 : 36-45.
3. Gunawan. Memahami Etika Kedokteran. Yogyakarta: Penerbit Kaninus, 1992: 33-37, 57-
63.
4. Darmadipura,eds. Kajian bioetik 2005. Surabaya: Airlangga University Press, 2008:
6-7, 112-116, 129-135.
5. Afandi D. Kaidah Dasar Bioetika Dalam Pengambilan Keputusan Klinis yang Etis.
Majalah Kedokteran Andalas 2017; 40,2: 111-121.
6. Nurdin M. Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Atas Korban Malpraktek
Kedokteran. Jurnal Hukum Samudra Keadilan 2015; 10,1: 92-109.
Lampiran

Anda mungkin juga menyukai