Anda di halaman 1dari 24

A.

PENDAHULUAN

Leukemia adalah penyakit keganasan pada jaringan hematopoietik

yang ditandai dengan penggantian elemen sumsum tulang normal oleh sel

darah abnormal atau sel leukemik. Hal ini disebabkan oleh proliferasi

tidak terkontrol dari klon sel darah immatur yang berasal dari sel induk

hematopoietik. Sel leukemik tersebut juga ditemukan dalam darah perifer

dan sering menginvasi jaringan retikuloendotelial seperti limpa, hati dan

kelenjar limfe. Leukemia diklasifikasikan berdasarkan tipe sel, baik

menurut maturitas sel maupun turunan sel. Berdasarkan maturitas sel,

leukemia dibedakan atas akut dan kronik. Jika sel ganas tersebut sebagian

besar immatur (blast) maka leukemia diklasifikasikan akut, sedangkan jika

yang dominan adalah sel matur maka diklasifikasikan sebagai leukemia

kronik. Berdasarkan turunan sel, leukemia diklasifikasikan atas leukemia

mieloid dan leukemia limfoid. Kelompok leukemia myeloid meliputi

granulositik, monositik, megakriositik dan eritrositik. Salah satu

manifestasi klinis dari leukemia adalah perdarahan. Manifestasi

perdarahan yang paling sering ditemukan berupa petekie, purpura atau

ekimosis, yang terjadi pada 40 – 70% penderita leukemia akut pada saat

didiagnosis. Lokasi perdarahan yang paling sering adalah pada kulit, mata,

membran mukosa hidung, ginggiva dan saluran cerna. Perdarahan yang

mengancam jiwa biasanya terjadi pada saluran cerna dan sistem saraf

pusat, selain itu juga pada paru, uterus dan ovarium. Manifestasi

perdarahan ini muncul sebagai akibat dari berbagai kelainan hemostasis.

1
Perdarahan yang mengancam jiwa lebih sering terjadi pada leukemia akut

dan merupakan masalah yang serius. Perdarahan menjadi penyebab utama

morbiditas dan mortalitas pada leukemia akut. Komplikasi perdarahan

mengakibatkan mortalitas 7 – 10% pada pasien leukemia akut yang terjadi

dalam beberapa hari atau minggu pertama setelah diagnosis. Penyebab

tersering perdarahan pada leukemia adalah trombositopenia. Berkurangnya

jumlah trombosit pada leukemia biasanya merupakan akibat dari infiltrasi

ke sumsum tulang atau kemoterapi, namun bisa juga karena koagulasi

intravaskuler diseminata, proses imunologis dan hipersplenisme sekunder

terhadap pembesaran limpa. Selain trombositopenia, perdarahan dapat

juga akibat disfungsi trombosit, kelainan hepar dan fibrinolisis3.

Leukemia merupakan kanker yang paling sering menyerang anak

dengan puncak insiden antara umur 3 dan 4 tahun. American Cancer

Society melaporkan bahwa pada tahun 2009 terjadi ±1380 kematian

pada anak usia 0-14 tahun akibat kanker dan sepertiganya disebabkan oleh

leukemia. Data RSCM juga menyebutkan bahwa sedikitnya terdapat 50

pasien leukemia anak baru setiap tahunnya dengan persentase leukemia

akut lebih besar1.

lukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan keganasan hematologi yang

paling sering dijumpai pada anak.1 Di Eropa sekitar 5000 anak

terdiagnosis LLA setiap tahunnya.2,3 Di Yogyakarta yang berpenduduk 4

juta, sekitar 30-40 anak akan terdiagnosis LLA setiap tahunnya5.

2
B. DEFINISI

Leukemia atau lebih dikenal kanker pada darah atau sumsum

tulang merupakan pertumbuhan sel-sel abnormal tidak terkontrol (sel

neoplasma) yang berasal dari hasil mutasi sel normal. Adanya

pertumbuhan sel neoplasma ini ditandai oleh perbanyakan secara tidak

normal atau transformasi maligna dari sel-sel pembentuk darah di sumsum

tulang dan jaringan limfoid yang umumnya terjadi pada leukosit (sel darah

putih) pertumbuhan sel-sel abnormal ini mengganggu fungi normal dari

organ-organ vital dan dapat menyebar ke seluruh tubuh8.

Leukemia mrupakan penyakit keganasan sel darahyang bersal dari

sum-sum tulang ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan

manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi, pada leukemia ada

gangguan dalam pengaturan sel leukosit. Leukosit dalam darah

berpoliferasi secara tidak teratur dan tidak terkendalu dan fungsinyapun

manjadi tidak normal. Oleh karena itu proses tersebut fungsi-fungsi lain

dari sel darah normal juga terganggu hingga menimbulkan gejala leukemia

yang dikenal dalam klink.10

C. EPIDEMIOLOGI

Leukemia merupakan kanker yang paling sering menyerang anak

dengan puncak insiden antara umur 3 dan 4 tahun. American Cancer

Society melaporkan bahwa pada tahun 2009 terjadi ±1380 kematian

pada anak usia 0-14 tahun akibat kanker dan sepertiganya disebabkan oleh

3
leukemia. Data RSCM juga menyebutkan bahwa sedikitnya terdapat 50

pasien leukemia anak baru setiap tahunnya dengan persentase leukemia

akut lebih besar1.

lukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan keganasan hematologi yang

paling sering dijumpai pada anak.Di Eropa sekitar 5000 anak terdiagnosis

LLA setiap tahunnya.2,3 Di Yogyakarta yang berpenduduk 4 juta, sekitar

30-40 anak akan terdiagnosis LLA setiap tahunnya.5.

Leukemia pada masa anak-anak merupakan 30-40% dari

keganasan. Insidens rata-rata 4-4,5 kasus/tahun/100.000 anak di bawah 15

tahun. Dinegara berkembang 83% ALL, 17% AM, lebih tinggi pada anak

kulit putih dibandingkan kulit hitam. Diasia kejadian leukemia pada anak

lebih tinggi dari pada anak kulit putih. Dijepang mencapai 4/100.000 anak,

dan diperkirakan tiap tahun terjadi 1000 kasus baru. Sedangkan di Jakarta

pada tahun 1994 insidennya mencapai 2,76/100.000 anak usia 1-4 tahun.

Pada tahun 1996 didaptkan 5-6 pasien leukemia baru setiap bulan di RSUP

Dr. Sardjito Yogyakarta, sementara itu RSU Dr. Soetomo seoanjang tahun

2002 dijumpai kasus 70 kasus leukemia baru. Leukemia pada anak

mencapai 97% dari semua leukemia pada anak dan terdiri dari 2 tipe yaitu

leukemia limfoblastik akut (LLA) 82% dan leukemia Mieoblastik akut

(LMA) 18%. Rasio laki-laki dan perempuan adalah 1,15 untuk LLA dan

mendekati 1 untuk LMA. Pucak kejadian pada umur 2-5 tahun. Spesifik

untuk anak kulit putih dengan LLA, hal ini disebabkan banyaknya kasus

pre B-LLA pada rentang usia ini. Kejadian ini tidak tampak pada kulit

4
hitam. Kemungkinan puncak tersebut merupakan pengaruh factor-faktor

lingkungan dinegara industry yang belum di ketahui.10

D. ETIOLOGI

Penyebab leukemia masih belum diketahui, namun anak-anak

dengan cacat genetic (Trisomi 21, sindrom Bloom’s, anemia fanconi dan

ataksia telanglektasi) mempunyai lebih tinggi untuk menderita leukemia

dan kembar monozigot. Studi factor ligkungan difokuskan pada paparan

paternal/maternal terhadap peptisida dan produknya minyak bumi.

Terdapat peningkatan resiko leukemia pada keturunannya. Radiasi dosis

tingi merupakan leukemogenic, seperti dilaporkan di horishima dan

Nagasaki bsesudah ledakan bom atom. Meskipun demikian paparan

radiasi dosis tinggi in utero secara signifika tidak mengarah pada

peningkatan insiden leukemia, demikian juga halnya dengan radiasi dosis

rendah. Namun hal ini masih merupakan perdebatan. Hipotesis menarik

saat ini megenai etiologi leukemia pada anak adalah peranan infeksi virus

dana tau bekteri seperti disebutkan Graves (Graves, Alexander 1993). Ia

percaya ada dua langkah mutasi pada system imun. Pertama selama masa

kehamilan atau awal masa bayi dan kedua selama tahun pertama

kehidupan sebgai konsekuensi dari respon terhadap infeksi pada umunya.

Beberapa kondisi perinatal yang merupakan factor resiko terjadiya

leukemia pada anak, seperti yang dilaporkan oleh Cnattinius dkk (1995).

Factor-faktor tersebut adalah penyakit ginjal pada ibu, pengunaan

suplemen oksigen, asfiksia, berat badan lahir >4500 gram, dan hipertensi

5
saat hamil. Sedangkan shu dkk (1996) mealporkan bahwa ibu hamil yang

mengkonsumsi alcohol meningkatkan terjadinya leukemia pada bayi,

terutama LMA.10

E. FAKTOR RESIKO

Berbeda dengan dewasa yang lebih banyak dipengaruhi oleh gaya

hidup, pada anak faktor genetik menjadi faktor menderita leukemia.

Berikut ini beberapa faktor yang meningkatkan risiko seorang anak

menderita penyakit leukemia:

1. Faktor genetik

Adanya kelainan genetik yang diketahui merupakan salah satu keadaan

yang ditemukan pada leukemia. Hal tersebut diturunkan oleh orangtua,

baik secara langsung maupun tidak. Pada anak dengan riwayat

penyakit kanker pada keluarga memiliki risiko keganasan apapun

jenisnya, termasuk leukemia.

2. Faktor lingkungan.

Faktor lingkungan diduga berperan dalam terjadinya kanker, seperti

radiasi, paparan zat kimia, dan polusi udara, dsb.4

F. KLASIFIKASI LEUKIMIA

Leukemia diklasifikasikan berdasarkan tipe sel, baik menurut

maturitas sel maupun turunan sel. Berdasarkan maturitas sel, leukemia

dibedakan atas akut dan kronik. Jika sel ganas tersebut sebagian besar

immatur (blast) maka leukemia diklasifikasikan akut, sedangkan jika yang

dominan adalah sel matur maka diklasifikasikan sebagai leukemia kronik.

6
Berdasarkan turunan sel, leukemia diklasifikasikan atas leukemia mieloid

dan leukemia limfoid. Kelompok leukemia mieloid meliputi granulositik,

monositik, megakriositik dan eritrositik3.

1. Leukemia myeloid akut (LMA):LMA merupakan leukemia yang

terjadi pada seri myeloid, meliputi neutrofil, eosinofil, monosit,

basofil, megakariosit dan sebagainya. Patogenesis utama AML adalah

adanya blockade maturitas yang menyebabkan proses diferensiasi sel-

sel myeloid terhenti pada sel-sel muda (blast) akibat terjadinya

akumulasi blast di sumsum tulang. Berdasarkan FAB(French

American British) AML diklasifikasikan menjadi 8 yaitu M0, M1, M2,

M3, M4, M5, M6 dan M7.9

2. Leukemia Limfoblastik Akut (LLA):Leukemia Limfositik Akut (LLA)

adalah keganasan sel yang terjadi akibat proliferasi sel limfoid yang

diblokir pada tahap awal deferensiasinya. LLA merupakan kanker

dengan angka kejadian yang paling tinggi pada anak, 75% terjadi pada

anak di bawah 6 tahun. Pengobatan dengan kemoterapi merupakan

terapi kuratif utama pada leukemia7.

3. Leukemia myeloid kronis (LMK):Leukimia Myeloid Kronik

merupakan leukemia kronik, dengan gejala yang timbul perlahan-lahan

dan sel leukemia berasal dari transformasi sel induk mieloid. LMK

termasuk kelainan klonal (clonal disorder) dari pluripotent stem cell da

tergolong sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif.2

7
4. Leukemia Limfositik Kronis (LLK): adalahleukemia limfoid kronik

tersering serta memiliki insidens puncak antara usia 60 dan 80 tahun.

Etiologi tidak diketahui tetapi insidennya memperlihatkan variasi

geografik8.

G. PATOMEKSANISME

Kelainan yang menjadi ciri khas sel leukemia diantaranya termasuk

asal mula “gugus” sel (clonal), kelainan proliferasi, kelainan sitogenetik

dan morfologi, kegagalan diferensiasi, pertanda sel dan perbedaan

biokimia terhadap sel normal.

Terdapat bukti bahwa leukemia akut dimulai dari sel tunggal yang

berpoliferasi secara klonal sampai mencapai populasi sel yang dapat

terdeteksi. Walau etiologi leukemia pada manusia belum diketahui benar,

tetapi pada penelitian mengenai proses leukemogenesis pada binatang

percobaan ditemukan bahwa penyebab (agent)nya mempunyai

kemampuan melakukan modifikasi nucleus DNA, dan kemmapuan ini

meningkat bila terdapat suatu kondisi (mungkin suatu kelainan)genetic

tertentu seperti translokasi, amplifikasi dan mutase onkogen seluler.

Pengamatan ini menguatkan anggapan bahwa leukemia dimulai dari suatu

mutase somatic yang mengakibatkan terbentuknya “gugus”(clone)

abnormal.

Dari analisis mengenai sitogenetik, isoensim dan fenotip sel, dapat

ditarik kesimpulan bahwa transformasi sel pada LMA dapat terjadi

8
diberbagai tempat pada jalur perkembangan sel induk. Dengan demikian

ekspresinya berupa perkembangan gugus sel tertentu (clone) dengan akibat

dapat terjadi berbagai jenis sel leukemia. Misalnya transformasi leukemia

terjadi pada sel induk pluripotent, yang akan mengenai eritrosit dan

trombosit, atau terjadi pada gugus sel induk yang dijuruskan untuk

granulositoposis atau monositoposis.

Kegagalan hematopoiesis normal merupakan akibat yang besar

pada paofisioologi leukemia akut, walaupun demikian patogenesisnya

masih sangat sedikit diketahui. Bahwa tidak selamnya pansitopenia yang

terjadi disebabkan desakan populasi sel leukemia, terlihat pada keadaan

yang sama (pansitopenia) tetapi dengan gambaran sumsum tulang yang

justru hiposeluler

Kematian pada pasien leukemia akut pada umunya diakibatkan

penekanan sumsum tulang yang cepat dan hebat, akan tetapi dapat pula

disebbakan oleh infiltrasi sel leukemia tersebut ke organ tubuh pasien.10

H. GEJALA KLINIS

Gejala klinik leukemia akut santa bervariasi, tetapi pada umunya

timbul cepat, dalam beberapa hari sampai minggu. Gejala leukemia akut

dapat digolongkan menjadi 3 golongan besarr:

a. Gejala kegagalan sumsum tulang yaitu:

 Anemia menimbulkan gejla pucat dan lemah

9
 Neutropenia menimbulkan infeksi yang ditandai oleh demma,

infeksi rongga mulut, tenggorokan, kulit, saluran napas dan sepsi

sampai syok septik.

 Trombositopenia menimbulkan easy bruising, perdarahan kulit,

perdarahan ,ukosa, seperti perdarahan gusi dan epitaksis

b. Keadaan hiperkatabolik, yang ditandai oleh:

 Kaheksia

 Keringat malam

 Hiperurikemia yang dapat menimbulkan gout dan gagal ginjal

c. Infiltrasi ke dalam organ menimbulkan ogranomegali dan gejala lain

seperti:

 Nyeri tulang dan nyeri superfisial

 Limfadenopati superfisial

 Splenomegaly atau hepatomegaly, biasanya ringan

 Hipertrofi gusi dan infiltrasi kulit

 Sindrom meningeal: sakit kepala, mual, munteh, mata kabur, kaku

kuduk.

d. Gejala lain yang dapat dijumpai adalah:

 Leukositosis terjadi jika leukosit melebihi 50.000/µL. penderita

dengan leukositosis serebral ditandai oleh sakit kepala, confusion,

dan gangguan visual. Leukositosis pulmoner ditandai oleh sesak

napas, takipnea, ronchi dan adanya infiltrate pada foto rontgen

10
 Kougulapati dapat berupa DIC atau fibrinolysis primer. DIC lebih

sering dijumpai pada leukemia promielositik akut (M#) DIC juga

dapat timbl pada saat pemberian kemoterapi yaitu pada fase

regimen induksi remisi

 Hiperurikemia yang dapat bermanifestasi sebagai artritis gout dan

batu ginjal

 Sindrom lisis tumor dapat dijumpai sebelum terapi, terutama pada

ALL. Tetapi sindrom lisis tumor lebih sering dijumpai akbat

kemoterapi.2

I. IMUNOFENOTIP

Seperti di sebuttkan di atas sela- sela leukimia adalah hasil dari

mutasi pada tahap perkembangan awal hemopoetik.klasifikasi

imunofenotip sangat berguna dalam mengklasifikasikan leukimia sesuai

tahaap –tahap maturasi norma yang di kenal. Kebanyakan kelompok saat

ini mengklasifikasikan LLA dalam prekusor sel-B atau leukemia sel –T

.prekusor sel-B termasuk CD 19,CD 20, CD 23, dan CD 78.

Krakteristik sel- B matur adalah imunoglobin pada permukaan

sementara sela – T membawa imunofenotip CD3, CD7, CD5, atau CD 2.

Petanda mieloid spesifik termasuk CD 13, CD 14, dan CD 33. Pertanda

sel- B dan petanda sel – T . kadang –kadang di deteksi pada kosentrasi

rendah. sel leukemia dapat menunjukan antigen mieloid dan limfoid pada

saat yang bersama , leukimia bersama tersebut dianggap bifenotip.10

J. GAMBARAN GENETIK

11
Ketikdaknormalan klon kromosom sekarang dapat di identifikasi

pada sebagian besar kasus leukimia anak jumlah kromossom ( DNA

contet) per sel leukimia di kenali sebagai parameter prognotik yang

penting. pada penyakit leukimia dengan heperdeploid ( >50 kromosom /sel

) prognosisnya sangat baik, sebaliknya prognosis buruk pada hipodiploid (

< 45 kromosom/sel).

Translokasi t( 9;22) di kenal sebagai suatu petanda prognosis yang

amat buruk , dan di temukan pada 5% kasus LLA anak dan 25% kasuss

dewasa trans lokasi lain yang penting pada LLA yaiitu [ t (8;21)] hampir

secara ekslusif di temukan pada M1 dan M2. Semua kasus M3 membawa

translokasi t(15;17) dan M5 berhubungan dengan t(9;12). Kromosom 16

abnormal terllihat dominan pada M4 sebagai berhubungan dengan

peningkatan eosinofil disum-sum tulang. Pada bayi umumnya berubahan

kromosom melihat 11q 23. Banyak kromosom berperan dalam translokasi

yang melibatkan lokus ini. Gen pada kromosom 11 (MLL, HFX atau

ALL,1 ) berhubungan dengan sebuah gen homebox pada drosophila yang

bila bermutasi meningkatkan malformasi moorfologi pada dada dan perut

pasien. Translokasi yang terlihat padaa leukemia premielositik (FAB M3 )

[ t( 15;17)], break poin pada kromosom 17 adalah gen encoding dari

retinoic acid nuclear receptor alpha ( RAR,a) dan kromosom 15 pada gen

yang awalnya disebut mye kemudian dinamakan PML. Leukimia bereaksi

pada semua trans retinoic acid.

12
Produk gen dari translokasi t (8;21) (q22;q 22) sudah terdeteksi

.break point pada kromosom 21 melibatkan gen LMA – 1 dan

kemungkinan merupakan kandidat kromosom 8 yang disebut

EOT.translokasi ini hasil produksi gen chimerik dan sebuah pesan yang

kadang-kadang mengarah pada keganasan. Gen supresor tumor WTI yang

diimplikasikan pada tumor wilm’s dapat dideteksi pada 45 pasien LMA

yang diperiksa ( inoue,dkk 1994) dan terlihat bahwa ekspresi tinggi

berhubungan dengan prognosis yang buruk.10

K. FAKTOR PROGNOSTIK

Berdasarkan factor prognostik maka pasin dapat digolongkan

kedalam keompok resiko biasa dan resiko tinggi. Para ahli telah

melakukan penelitian dan membuktikan faktor prognostic itu ada

hubungannya dengan in vitro drug resistance

Faktor prognostic LLA, sbb:

1. Jumlah leukosit awal, yaitu pada saat diagnosis ditegakan, mungkin

merupakan faktor prognosis yang bermakna tinggi. Ditemukan adanya

hubungan linier antara jumlah leukosit awal dan perjalanan pasien

LLA pada anak, yaitu bawa pasien dengan jumlah leukosit > 50.000 ul

mempunyai prognosis yang buruk

2. Ditemukan pula adanya hubungan antara umur pasien saat diagnosis

dan hasil pengobatan. Pasien dengan umur dibawah 18 bulan atau

diatas 10 tahun mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan

dengan pasien berumur diantara itu. Khusus pasien dibawah umur 1

13
tahun atau bayi terutama dibawah 6 bulan mempunyai prognosi paling

buruk. Hal ini dikatakan karena mempunyai kelainan biomolekuler

tertentu. Leukemia bayi berhubungan dengan genre-arrangement pada

kromosom 11q23 sepertu t (4;11) atay t (11;19) dan jumlah leukosit

yang tinggi.

3. Fenotip imunologis (immunophenotype) dari limfoblast saat diagnosis

juga mempunyai nilai prognostic. Leukemia sel ß (l3 pada klasifikasi

FAB) dengan antibody “kappa”dan “lamda” pada permukaan blast

diketahui mempunyai prognosis buruk, dengan adanya protocol

spesifik untuk sel ß, prognosisnya semakin membaik. Sel-T leukemia

juga mempunyai prognosis yang jelek, dan diperlakukan sebagai

resiko tinggi. Dengan terapi intensif , sel-T leukemia murni tanpa

faktor prognostic buruk yang lain, mempunyai prognosis yang sama

dengan leukemia sel pre-ß. LLA sel-T diatasi dengan protocol resiko

tinggi.

4. Nilai prognostic jenis leukemia telah bnayak dibahas. Dari berbagai

penelitian, sebagian besar menyimpulkan bahw anak perempuan

mempunyai prognosis yang lebih baik dari anak laki-laki. Hal ini

dikatakan karena timbulnya relaps testis dan kejadian leukemia sel-T

yang tinggi, hiperleukositosis dan organomegali serta massa

mediastinum pada anak laki-laki, penyebab pastinya belum diketahui

pula ada perbedaan metabolism mekraptopurin dan metotreksat.

14
5. Respon terhadap terapi dapat diukur dari jumlah sel blast di darah tepi

sesudah 1 minggu terapi prednisone dimulai. Adanya sisa sel blast

pada sumsum tulang pada induksi hari ke 7 atau 14 menunjukan

prognosis buruk

6. Kelainan jumlah kromosom juga mempengaruhi prognosis. LLA

hyperploid (> 50 kromosom), yang biasa ditemukan pada 25% kasus

mempunyai prognosis yang baik. LLA hipodiploid (3-5%) memiliki

prognosis intermediated seperti t (1;19). Translokasi t (9;22) pada 5%

anak atau t (4;11) pada bayi berhubungan dengan prognosis buruk. 10

L. DIAGNOSIS

a. Anamnesis

 Pucat ·

 Demam tanpa sebab yang jelas

 Perdarahan kulit

 Nyeri tulang ·Lesu, berat badan turun

b. Pemeriksaan Fisik

 Pucat

 Epitaksis/petekie/ekimosis

 Pembesaran kelenjar getah bening

 Hepatomegali

 Splenomegali6

c. Pemeriksaan Penunjang

1) Darah tepi

15
a. Dijumpai anemia normositik-normokrom, anemia sering berat

dan timbul cepat

b. Trombositopenia, sering sangat berat di bawah 10 x 106/l

Trombosit harus dalam jumlah yang adekuat untuk

mempertahankan hemostasis normal. Pada keadaan normal

jumlah trombosit darah berkisar 150.000 – 400.000/mm3.

Trombositopenia adalah istilah untuk jumlah trombosit yang

kurang dari nilai normal tersebut. Trombositopenia biasanya

tidak mempunyai manifestasi klinis hingga jumlah trombosit

100.000/mm3, bahkan hingga 50.000/mm3 sekalipun.

Perdarahan spontan biasanya baru terlihat pada jumlah

trombosit < 20.000/mm3. Perdarahan akibat trombositopenia

merupakan komplikasi paling sering dari leukemia akut.

Gaydos et al. (1962) yang pertama kali melaporkan adanya

hubungan antara perdarahan dengan jumlah trombosit pada

leukemia akut. Manifestasi perdarahan akibat trombositopenia

dapat berupa petekie atau purpura, epistaksis, perdarahan gusi,

perdarahan saluran cerna, menorrhagi hingga perdarahan otak.

Webert et al. (2006) melaporkan berbagai tingkat perdarahan

yang terjadi pada 58,4% pasien leukemia mieolositik akut

akibat trombositopenia. Berkurangnya jumlah trombosit pada

leukemia akut biasanya merupakan akibat infiltrasi sumsum

tulang atau kemoterapi, selain itu dapat juga disebabkan oleh

16
beberapa faktor lain seperti koagulasi intravaskuler diseminata,

proses imunologis dan hipersplenisme sekunder terhadap

pembesaran limpa. Proses infiltrasi di sumsum tulang

mengakibatkan sumsum tulang dipenuhi oleh sel leukemik

sehingga terjadi penurunan jumlah megakariosit yang berakibat

menurunnya produksi trombosit. Kemoterapi pada leukemia

dapat menyebabkan kerusakan langsung sumsum tulang

sehingga juga akan menyebabkan berkurangnya produksi

trombosit. Koagulasi intravaskuler diseminata yang sering

terjadi pada leukemia akut terutama leukemia promielositik

akut mengakibatkan trombosit banyak terpakai dalam proses

koagulasi. Penderita leukemia akut yang sedang dalam

pengobatan, sering memerlukan transfusi trombosit berulang

kali. Keadaan ini menimbulkan risiko terjadinya aloimunisasi

sehingga terbentuk aloantibodi yang pada akhirnya dapat

menyebabkan penghancuran trombosit. Trombositopenia dapat

terjadi satu minggu setelah transfusi darah atau produk darah

yang mengandung trombosit. Transfusi trombosit cenderung

gagal pada pasien yang membentuk aloantibodi tersebut3.

c. Leukosit meningkat, tetapi dapat juga normal atau menurun

(aleukemic leukemia), sekitar 25% menunjukan leukosit

normal atau menurun, sekitar 50% menunjukan leukosit

17
meningkat 10.000-100.000/mm3, dan 25% meningkat diatas

100.000/mm3

d. Apusan darah tepi: khas menunjukan adanya sel muda

(mieloblast, promielosit, limfoblast, monoblast, erythroblast

atau megakariosit) yag melebihi 5% dari sel berinti pada darah

tepi, sering dijumpai pseudo pelger-huet anomaly, yaitu

neutrofi dan lobus sedikit (dua atau satu) yang disertai dengan

hipo atau agranular

gambar 1. Perbedaan AML dan ALL

2) Sumsum tulang

Hiperseluler, hamper semua sumsum tulang digantikan sel

leukemia(blast), tampak monoton oleh sel blast, dengan adanya

leukemi gap (terdapat perubahan tiba-tiba dari sel muda (blast) ke

sel yang matang, tanpa sel antara). System hemopoesis normal

mengalami depresi. Jumlag blast minimal 30% dari sel berinti

18
dalam sumsum tulang ( dalam hitungan 500 sel pada apusan

sumsum tulang)

3) Pemeriksaan immunophenotyping

Pemeriksaan ini menjadi sangat penting untuk menentukan

klasifikadi imunologik leukemia akut. Pemeriksaan ini dikerjakan

untuk pemeriksaan surface marker guna membedakan jenis

leukemia

4) Pemeriksaan sitogenetik

Pemeriksaan kromosom merupakan pemeriksaan yang sangat

diperlukan dalam diagnosis leukemia karena kelaianan kromosom

dapat di hubungkan dengan prognosis2.

M. TATALAKSANA

Penanganan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan

suportif meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan

pengobatan komplikasi antara lain berupa pemberian transfuse

darah/trombosit, pemberian antibiotic, pemberian obat untuk

meningkatkan granulosit, obat anti jamur, pemberian nutrisi dan

pendekatan aspek psikososial.

Terapi kuratif/spesifik bertujuan untuk menyembuhkan leukemianya

berupa kemoterapi yang meliputi induksi remisi, intensifikasi, profilaksis

susunan saraf pusat dan rumatan. Klasifikasi resiko normal atau resiko

tinggi, menentukan protokal kemoterapi. Saat ini di Indonesia sudah ada 2

19
protokal pengobatan yang lazim digunakan untuk pasien LLA yaitu

protocol nasional (Jakarta) dan protokal WK-ALL 2000.

Terapi induksi berlangsung 4-6 minggu dengan dasar 3-4 obat yang

berbeda (deksametason, vinkritis, L-asparaginase dan tau antrasiklin).

Kemungkinan hasil yang dapat dicapai remisi komplit, remisi parsial, atau

gagal. Intensifikasi merupakan kemoterapi intensif tambahan setekah

remisi komplit dan untuk profilaksis leukemia pada susunan saraf pusat.

Hasil yang diharpkan adalah tercapainya perpanjangnya remisi dan

meningkatkan kesembuhan. Pada pasien resiko sedang dan tinggi, induksi

diintensifkan guna memperbaiki kualitas remisi. Lebih dari 95% pasien

akan mendapatkan remisi pada fase ini. Terapi SSP yaitu secara langsung

diberikan melalui injeksi intrakeal dngan obat metotreksat, sering

dikombinasikan dengan infus berulang metotreksat dosis sedang (500

mg/m2) atau dosis tinggi pusat pengobatan (3-5 gr/m2). Di beberapa

pasien resiko tinggi dengan umur > 5 tahun mungkin lebih efektif dengan

memberikan radiasi cranial (18-24 Gy) disamping pemakaian kemoterapi

sistemik dosis tinggi.

Terapi lanjut rumatan dengan mengunakan obat merkaptopurin tiap

hari dan metroktesat sekali minggu, secara oral dengan sitostatik lain

selama perawatan tahun pertama. Lamanya terapi rumatan ini pada

kebanyakan studi adalah 2-21/2 tahun dan tidak ada keuntungan jika

perawatan sampai dengan 3 tahun. Dosis sitostatik secara individual

20
dipantau dengan melihat leukosit dana tau monitor konsentrasi obat

selama terapi rumatan.

Pasien dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan

bebas gejala klinis leukemia, pada aspirasi sumsum tulang didapatkan

jumlah sel blast <5% dari sel berinti, hemoglobin > 12g/dl tanpa transfuse,

jumlah leukosit >3000/ul dengan hitung jenis leukosit normal, jumlah

granulosit >2000/ul, jumlah trombosit >100.000/ul, dan pemeriksaan

cairan serebrospinal normal.

Dengan terapi intensif modern, remisi akan tercapai pada 98%

pasien. 2-3% dari pasien anak akan meninggal dalam CCR (Continuous

Complete Remission) dan 25-30% akan kambuh. Sebab utama kegagalan

terapi adalah kambuhnya penyakit. Relaps sumsum tulang yang terjadi

(dalam 18 bulan sesudah diagnosis) memperburuk prognosis (10-20% long

term survival) sementara relaps yang terjadi kemudian setelah penghentian

terapi mempunyai prognosis lebih baik, khususnya relaps testi dimana

long term survival 50-60%. Terapi relaps harus lebih agresif untuk

mengatasi reistensi obat.

Transplantasi sumsum tulang mungkin membeikan kesempatan

untuk sembuh, khusunya bagi anak-anak dengan leukemia sel T yang

setelah relaps mempunyai prognosis yang buruk dengan terapi sitostatik

konvensional

Secara keseluruhan survival relaps adalah 20-40% pada seri yang

berbeda. Survival meningkat dari 53% (1981-1985), sampai 68% (1986-

21
1991) sampai dengan saat ini 81% (1992-1995). Alasan utama dibalik

perbaikan ini adalah lebih intensifnya terapi untuk semua kelompok

resiko.10

22
DAFTAR PUSTAKA
1. Fitriani, Sri Wulandari, dkk. 2016.Angka Kejadian dan Faktor yang

Memengaruhi Potensi Interaksi Obat dengan Obat pada Pasien

Leukemia Akut Anak yang Menjalani Rawat Inap. Sari Pediatri18(2):

129-136

2. Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkasan. Jakarta:EGC

3. Rofinda, Zelly Dia. 2012. Kelainan Hemostasis Pada Leukimia. Jurnal

Kesehatan Andalas 1(2): 68-74

4. Santsoso, Bagus Budi. 2017. Mengenal Leukimia Pada Anak.

http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/mengenal-

leukemia-pada-anak. Diakses pada 17 Desember 2019.

5. Arguni, Eggi, dkk. 2018. Petanda Imunofenotip CD10 Sendiri Atau

Bersama CD3 Atau CD13/ CD33 sebagai Faktor Prognosis Luaran

Terapi Fase Induksi Leukemia Limfoblastik Akut Anak. Sari Pediatri

19(5): 260-266

6. Kementrian Kesehatan RI. 2011. Pedoman Penemuan Dini Kanker

Pada Anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI

7. I., Pertiwi, dkk. 2013. Gangguan Hematologi Akibat Kemoterapi Pada

Anak Dengan Leukemia Limfositik Akut Di Rumah Sakit Umum

Pusat Sanglah.

8. Hoffbrand, A. V dan Moss P. A. H. 2015. Kapita Selekta Hematologi

Edisi 6. Jakarta :EGC

23
9. Suryani, Esti, dkk. 2014. Identifikasi Penyakit Acute Myeloid

Leukemia (AML)Menggunakan ‘ Rule Based System’ Berdasarkan

Morfologi Sel Darah Putih Studi Kasus : AML2 dan AML4. ISBN:

979-26-0276-3. Hal: 193-199

10. Permono, Bambang, Urganesa IDG, 2006. Buku Ajar Hematologi

Anak:Leukimia Akut. Jakarta:IDAI

24

Anda mungkin juga menyukai