Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Urosepsis merupakan salah satu kegawatdaruratan dibidang urologi dengan angka


mortalitas yang cukup tinggi. Urosepsis pada dewasa meliputi 25% dari seluruh kasus sepsis,
dengan kasus terbanyak berasal dari komplikasi infeksi traktus urinarius[1]. Sebesar 10-30%
kasus sepsis dan sepsis berat berasal dari infeksi traktus urinarius[1]. Pada kasus global, angka
mortalitas akibat sepsis mencapai 5.4 juta jiwa dengan prevalensi 9% pada sepsis berat dan
31% pada syok sepsis[2].

Urosepsis didefinisikan sebagai sepsis akibat infeksi dari traktus urogenital, dan
merupakan respon sistemik dari suatu infeksi[3]. Penyebab tersering dari urosepsis adalah
penyakit obstruksi pada traktus urinarus, seperti batu ureter, anomali traktus urinarius,
stenosis atau tumor. Urosepsis juga dapat terjadi setelah dilakukan intervensi pada traktus
urogenital seperti ensdoskopi, operasi intrarenal, dan biopsi prostat[4]. Sedangkan bakteri
patogen penyebab urosepsis adalah bakteri gram negatif, yaitu E. coli (52%), Proteus spp,
Enterobacter spp, Klebsiella spp, P. aeruginosa dan bakteri gram positif yaitu grup
Enterococcus (5-6%)[2].

Infeksi traktus urogenital dengan komplikasi merupakan prekursor tersering dari


urosepsis. Pasien dengan abnormalitas fungsi dan anatomi dari traktus urinarius dan pasien
dengan komorbiditas (diabetes melitus yang tidak terkontrol atau penyakit yang memerlukan
terapi imunosupresan) merupakan predisposisi tersering dari terjadinya sepsis[5].

Pasien dengan urosepsis harus didiagnosis pada fase awal, terlebih pada kasus infeksi
traktus urogenital dengan komplikasi. Respon inflamasi sistemik atau dikenal sebagai
systemic inflammatory response syndrome (SIRS) harus dikenali sedini mungkin. Prinsip
awal dari penanganan urosepsis meliputi deteksi sedini mungkin dari terjadinya infeksi,
pemberian antibiotik, menghilangkan sumber infeksi agar tidak terjadi sepsis yang lebih
lanjut, yang harus dilakukan dalam waktu kurang dari satu jam[1].
1.2 Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui dan memahami tentang teori dan kasus Urosepsis

Urosepsis| 1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Definisi

Urosepsis adalah sepsis yang disebabkan oleh infeksi yang berasal dari saluran
urogenitalia[3]. Sebanyak 25% dari keseluruhan kasus sepsis adalah sepsis pada traktus
urogenitalia[1]. Infeksi traktus urinarius dapat bermanifestasi dari bakteriuria dengan gejala
klinis yang terbatas, mulai dari sepsis sampai sepsis berat, tergantung potensi infeksi tersebut
(lokal atau terbatas). Sepsis di diagnosis saat terdapat bukti klinis seperti infeksi yang diikuti
dengan tanda inflamasi sistemik (demam atau hipotermia, takikardi, takpinea, leukositosis
atau leukopenia). Sepsis berat didefinisikan sebagai adanya tanda dari disfungsi organ, dan
syok sepsis didefinisikan sebagai hipotensi persisten dengan anoksia jaringan[2].
Menurut The Third International Consensus Definitions for Sepsis and Septic Shock
(Sepsis-3), definisi sepsis terbaru adalah disfungsi organ yang mengancam jiwa yang
disebabkan oleh disregulasi respon tubuh terhadap infeksi disfungsi organ, sepsis ini dapat
diidentifikasi dengan kriteria skor total qSOFA yaitu peningkatan respiratory rate,
penurunan kesadaran, dan pengukuran tekanan darah sistolik. Sedangkan pasien dengan syok
sepsis adalah pasien dengan abnormalitas sirkulasi dan hemodinamik yang tidak stabil, yang
dapat meningkatkan angka kematian[6].
Pasien dengan urosepsis harus didiagnosis pada fase awal, terutama pada pasien dengan
kasus infeksi traktus urogenitalia dengan komplikasi. Hal ini disebabkan karena bakteri lebih
mudah masuk kedalam peredaran darah terutama jika pasien mengalami penurunan sistem
kekebalan tubuh, diantaranya adalah pasien: diabetes melitus, usia tua, pasien yang
menderita penyakit keganasan, dan pasien yang menderita gangguan imunitas tubuh yang
lain. Bakteri yang telah beredar di dalam darah mengeluarkan endotoksin yang dapat
memacu terjadinya rangkaian sepsis. Keadaan ini menimbulkan sindroma respon inflamasi
sistemik atau systemic inflammation response syndrome[5]

Urosepsis| 2
2.2 Etiologi

Kuman penyebab tersering dari urosepsis adalah bakteri gram negatif yang komensal di
saluran cerna, yaitu kurang lebih 30-80%. E. coli adalah kuman yang paling sering
menyebabkan sepsis (52%) kemudian disusul Klebsiella, Enterobacter, Serratia, dan
Pseudomonas spp., Proteus, Citrobacter, dan bakteri lain lebih jarang menyebabkan sepsis.
Kuman yang paling virulen adalah Pseudomonas serta Klebsiella, dan dalam hal ini
Pseudomonas sering kali menunjukkan resistensi terhadap antibiotika[2].

Urosepsis timbul karena adanya obstruksi saluran kemih sehingga kemampuan urin untuk
mengeliminasi kuman dari saluran kemih menjadi terganggu. Keadaan ini menyebabkan
kuman dengan mudah berkembang biak di dalam saluran kemih, menembus mukosa saluran
kemih, dan masuk ke dalam sirkulasi darah, sehingga menyebabkan bakteremia. Kelainan di
bidang urologi yang sering menimbulkan urosepsis adalah batu saluran kemih, hiperplasia
prostat benigna, dan keganasan saluran kemih yang menyebabkan timbulnya hidronefrosis
dan bahkan pionefrosis[5].

Uropati obstruktif menjadi salah satu penyebab dari urosepsis tersering dengan persentase
78%. Pada studi yang melibatkan 205 kasus dari urosepsis, 43% disebabkan oleh urolitiasis,
25% disebabkan oleh adenoma prostat, 18% disebabkan oleh kanker urogenital, dan 14%
disebabkan oleh penyakit urogenital lainnya[2]. Pada kasus di Rumah Sakit, penyebab
tersering dari urosepsis adalah manipulasi dari penggunaan kateter yang berlebihan, dan
penggunaan kateter dalam jangka panjang, pada intervensi endourologi, seperti prosedur
operasi menggunakan endoskopi pada TUR-P, TUR-B, ureteroskopi, percutaneous
nephrolitotomy[3].

2.3 Faktor Resiko

Pasien dengan faktor resiko tinggi terhadap urosepsis : usia tua, perempuan, pasien
dengan imunosupresan (pada transplantasi organ), atau penggunaan steroid dan kemoterapi
jangka panjang, pasien dengan AIDS, gagal ginjal kronis, dan pasien yang dioperasi dengan
durasi yang sangat panjang[5]. Kasus tersering yang dapat ditemukan pada urosepsis adalah
obstruksi pada traktus urogenitalia dan abnormalitas fungsi pada traktus urogenital (Gambar
1). Pada obstruksi, terjadi stasis aliran urin sehingga mudah terjadi infeksi baik lokal maupun
setempat.

Urosepsis| 3
Gambar 2.1 Faktor resiko urosepsis[4]

2.4 Patofisiologi

Angka kejadian dan tingkat keparahan dari sepsis bergantung pada patogenitas dari
bakteri dan respon imun dari pasien. Saat infeksi terjadi, bakteri atau komponen dari dinding
sel bakteri bertindak sebagai pathogen-associated molecular patterns (PAMP) yang terikat
pada pattern-recognition receptors (PRR) pada permukaan makrofag, neutrofil, dan endotel
atau urotelial. Selanjutnya, terjadi pelepasan mediator kimiawi seperti kemokin,
prostaglandin, tromboksam dan leukotrien, sehingga terjadi lah ‘badai’ inflamasi[1].

Di dalam peredaran darah, bakteri gram negatif menghasilkan endotoksin, yaitu


komponen lipopolisakarida (LPS) yang terdapat pada lapisan sebelah luar bakteri. LPS ini
terdiri dari atas komponen Lipid A yang menyebabkan:[5]
1. Aktivasi sel-sel makrofag atau monosit sehingga menghasilkan beberapa sitokin, antara
lain: tumor necrosis factor alpha (TNF-alpha) dan interleukin 1 (IL-1). Sitokin inilah
yang akan memacu reaksi berantai yang akhirnya dapat menimbulkan sepsis dan jika
tidak segera dikendalikan akan menjurus pada sepsis berat, syok sepsis dan akhirnya
menimbulkan disfungsi multiorgan atau multi-organs dysfunction syndrome (MODS).
2. Rangsangan terhadap sistem komplemen C3a dan C5a menyebabkan terjadinya agregasi
trombosit dan produksi radikal bebas, serta mengaktifkan faktor koagulasi.
3. Perubahan dalam metabolisme karbohidrat, lemak, protein, dan oksigen. Karena
terdapatnya resistensi sel terhadap insulin maka glukosa dalam darah tidak dapat masuk
ke dalam jaringan sehingga untuk memenuhi kebutuhan sel akan glukosa, terjadi proses
glukoneogenesis yang bahannya berasal dari asam lemak dan asam amino yang
Urosepsis| 4
dihasilkan dari katabolisme lemak berupa lipolisis dan katabolisme protein.

Urosepsis| 5
2.5 Gejala Klinis

Gejala klinis yang disampaikan pasien urosepsis tergantung pada kelainan organ
urogenitalia yang menjadi sumber infeksi dan sampai seberapa jauh proses sepsis telah
berlangsung. Gambaran klinis yang didapatkan antara lain demam, menggigil, hipotensi,
takikardi, dan takipneu yang sebelumnya didahului oleh gejala kelainan pada saluran kemih
antara lain: sistitis akut, pielonefritis akut, epididimitis, prostatitis akut, nyeri pinggang,
keluhan miksi, pasca kateterisasi uretra, atau pasca pembedahan pada saluran kemih[5].

Pada pasien dengan tanda-tanda sepsis yang berasal dari traktus urogenitalia, umumnya
didahului oleh rasa nyeri dan kaku pada sudut costovertebra (regio flank), adanya nyeri saat
miksi, dan bisa sampai menyebabkan retensi urin, nyeri pada prostat atau pada
skrotum[1].Sepsis yang telah lanjut memberikan gejala atau tanda-tanda berupa gangguan
beberapa fungsi organ tubuh, antara lain gangguan pada fungsi kardiovaskuler, ginjal,
pencernaan, pernafasan, dan susunan saraf pusat[5].

Pada evaluasi urosepsis, kriteria sepsis harus sudah terpenuhi sebelumnya (dan terdapat
gejala dan tanda yang menunjukkan ke arah infeksi, seperti nyeri regio flank dan kaku,
disuri/polakisuria, retensi urin, dan nyeri pada skrotum atau prostat. Pada laki-laki,
pemeriksaan fisik harus meliputi pemeriksaan colok dubur (prostat yang membesar, nyeri,
dan hangat menandakan prostatitis, massa yang fluktuatif menandakan adanya abses pada
prostat) dan palpasi pada testis (teraba keras, hangat, dan bengkak menandakan epididimitis).
Pemasangan kateter dalam waktu lama juga dapat menandakan terjadinya sebuah infeksi[8].

2.6 Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis suatu urosepsis harus dibuktikan bahwa bakteri yang
beredar di dalam darah (kultur darah) sama dengan bakteri yang ada di dalam saluran kemih
(kultur urine). Di samping itu dilakukan pemeriksaan untuk mencari sumber infeksi, dan
akibat dari kelainan yang ditimbulkan pada berbagai organ. Segera dilakukan pemeriksaan
yang meliputi laboratorium, pencitraan dan pemeriksaan penunjang yang lain seperti pada
pemeriksaan ISK dengan komplikasi[8].

Kriteria terbaru dalam penentuan sepsis dari seorang pasien dinilai dari kriteria skor
qSOFA (quick SOFA) yaitu respiratory rate lebih dari 22x per menit, adanya penurunan
kesadaran (atau dengan skor Glasgow comma scale <13), dan tekanan darah sistolik kurang

Urosepsis| 6
dari 100mmHg. Jika memenuhi lebih dari dua poin kriteria, ditambah dengan adanya bukti
infeksi traktus urinarius, maka pasien dapat dicurigai adanya urosepsis[6].

2.7 Terapi Urosepsis

Terapi awal yang harus diberikan kepada pasien dengan urosepsis harus memperhatikan
primary survey terlebih dahulu (airway, breathing, circulation) untuk mencegah komplikasi
lebih lanjut dan mencapai tujuan awal dari terapi sepsis. Pada awal penatalaksanaan bisa
diberikan oksigen masker dan mengecek saturasi oksigen dengan menggunakan pulse
oximetry, lalu dipasang kateter intravena dengan jarum ukuran besar disertai dengan
resusitasi cairan menggunakan kristaloid, pemberikan kateter urin ditujukan untuk
memonitor pengeluaran urin pada pasien[3].

Penanganan urosepsis harus dilakukan secara komprehensif dan ditunjukkan terhadap


(1) penanganan infeksi yang meliputi eradikasi kuman penyebab infeksi serta menghilangkan
sumber infeksi, (2) akibat lanjut dari infeksi, yaitu SIRS, syok sepsis, atau disfungsi
multiorgan, dan toksin atau mediator yang dikeluarkan oleh bakteri [5].

Sebelum pemberian antibiotika, terlebih dahulu diambil contoh urine dan contoh darah
untuk pemeriksaan kultur guna mengetahui jenis kuman penyebab urosepsis, hal ini
bermanfaat jika pemberian antibiotika secara empirik tidak berhasil. Secara empirik
diberikan antibiotika yang sensitif terhadap bakteri gram negatif, yaitu golongan
aminoglikosida (gentamisin, tobramisin atau amikasin), golongan ampisillin (yang
dikombinasi dengan asam klavulanat atau sulbaktam), cephalosporin generasi ketiga, atau
golongan fluoroquinolon[5].

Pada pemberian aminoglikosida harus diperhatikan keadaan faal ginjal, karena golongan
obat ini bersifat nefrotoksik. Selain itu pada urosepsis tidak jarang menimbulkan penyulit
gagal ginjal, sehingga pemberian aminoglikosida perlu dilakukan penyesuaian dosis.
Penyesuaian dosis dapat dilakukan dengan cara menurunkan dosis atau memperpanjang
interval pemberian obat[5].

Pada awal penangangan satu jam pertama, terapi suportif dengan stabilisasi tekanan
darah dan mempertahankan perfusi organ ke jaringan sangat dibutuhkan. Penanganan awal
untuk kebutuhan cairan dan keseimbangan elektrolit merupakan aspek yang penting pada
pasien dengan sepsis, terlebih jika pasien sudah mencapai

Urosepsis| 7
tahap syok sepsis[7] . Menurut algoritma tatalaksana dari Surviving Sepsis Campaign
Guideline (Gambar 2.2), hasil yang harus dicapai dalam 6 jam pertama penanganan awal dari
sepsis adalah[6]:
a. Tekanan vena central 8-12mmHg

b. Tekanan arteri rerata/mean arterial pressure >65mmHg

c. Produksi urin > 0,5ml/kgBB per jam

d. Saturasi oksigen vena kava superior >70% / saturasi oksigen vena campuran >65%

Gambar 2.2 Algoritma tatalaksana urosepsis[7]

Urosepsis| 8
Terapi antibiotik merupakan bagian terpenting dalam penanganan sepsis (Gambar 2.3).
Pemberian antibiotik yang adekuat dan sedini mungkin. Pemberian ini harus diberikan
setelah pengambilan spesimen urin, darah, dan sumber infeksi lainnya yang
memungkinkan[8]. Bagaimanapun, pengambilan spesimen untuk kultur tidak boleh menunda
waktu pemberian antibiotik (tidak boleh lebih dari 45 menit).

Gambar 2.3 Pemilihan antibiotik pada bakteri yang spesifik[2]

Urosepsis| 9
Pemberian antibiotik pada urosepsis secara empiris harus sesuai dengan bakteri patogen
yang mungkin menjadi sumber infeksi dan diberikan tanpa menunda waktu (Gambar 2.3).
Pemilihan antibiotik yang tidak tepat akan membuat terapi menjadi gagal dan peningkatan
morbiditas dan mortalitas. Sebagai tambahan, resistensi yang terjadi kepada pasien harus
diperhatikan[7].

Sumber-sumber infeksi secepatnya dihilangkan, misalnya: pemakaian kateter uretra


harus diganti dengan yang baru atau dilakukan drainase suprapubik, abses-abses pada ginjal,
perirenal, pararenal, dan abses prostat dilakukan drainase, dan pionefrosis/hidronefrosis yang
terinfeksi dilakukan diversi urin atau drainase nanah dengan nefrostomi[4].

Gambar 2.4 Pemilihan antibiotik sesuai dengan jenis bakteri[7]

Menurut Guidelines on Urogical Infection (Gambar 2.5), kunci rekomendasi tatalaksana


pada orang dewasa dengan sepsis berat dan syok sepsis adalah resusitasi dalam 6 jam pertama
pada pasien sepsis yang adekuat, pemberian terapi antibiotik setelah melakukan kultur darah,
melakukan pemeriksaan pencitraan untuk menemukan sumber infeksi yang potensial,
pemberian antibiotik spektrum luas dalam satu jam pertama setelah terdiagnosis sepsis berat
dan syok sepsis, kontrol dari sumber infeksi dengan melihat resiko yang akan ditimbulkan
pada 12 jam setelah terdiagnosis, pemberian resusitasi cairan awal dengan kristaloid dan
mempertimbangkan untuk pemberian albumin untuk menjaga tekanan arterial rerata yang
adekuat (pemberian terapi cairan pada pasien dengan sepsis akibat hipoperfusi jaringan dan
hypovolemia adalah dengan menggunakan cairan kristaloid 30ml/kgBB). Pemberian
vasopresor diberikan untuk menjaga tekanan arterial rerata diatas 65mmHg, dengan pilihan
utama yang diberikan adalah norepinerfrin[9].

Urosepsis| 10
Gambar 2.5 Algoritma tatalaksana urosepsis menurut Guidelines on Urogical Infections[9]

Selanjutnya, identifikasi sumber infeksi harus dimulai pada jam pertama setelah pasien
terdiagnosis urosepsis, sehingga dalam enam jam berikutnya, diharapkan sumber infeksi
telah dapat dikontrol meskipun belum dapat dieradikasi sepenuhnya. Riwayat pasien dengan
penyakit yang berhubungan dengan traktus urogenitalia juga harus ditanyakan seperti pasien
yang dengan batu saluran kemih, atau pasien dengan tindakan intervensi urologi
sebelumnya. Selain itu, pada pasien dengan penggunaan kateter juga wajib dicurigai bahwa
itu bisa menjadi salah satu tempat terjadinya infeksi[2]. Pada obstruksi di ginjal, dapat
dihilangkan dengan cara nefrostomi atau pemasangan stent per ureteral, namun jika terdapat
abses pada ginjal, pilihan nefrostomi dengan drainase abses lebih direkomendasikan[7].
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dreger dkk, intervensi dengan minimal invasif
seperti pemasangan dj stent atau nefrostomi perkutan untuk menghilangkan faktor infeksi
dapat menurunkan angka mortalitas dari urosepsis[2].

Urosepsis| 11
BAB 3

LAPORAN KASUS

LAPORAN KASUS
3.1. Status Pasien
I. Identitas
Nama : Ny. A
Umur : 71 Tahun
Tanggal Lahir : 04 Juli 1948
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Gebang
No. RM : 04.46.02
Masuk RS : 05 November 2019
Jam Masuk : 11.50WIB
Ruangan : ICU

II. Anamnesa

Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran


a. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dibawa keluarganya ke IGD RS Tanjung Pura dengan keluhan penurunan
Kesadaran dialami ± 3 jam ini. Menurut keluarga pasien hal ini dialami tiba-tiba, nyeri kepala
tidak dijumpai, pingsan tidak dijumpai, muntah tidak dijumpai, menurut keluarga os ada
mengeluhkan nyeri pinggang dan nyeri saat BAK dijumpai ± 3 hari ini, demam dijumpai ±
1hari ini. 8 tahun SMRS pasien jadi sulit berjalan, dikarenakan menderita osteoarthritis segala
aktifitas dilakukan di tempat tidur, makan dan minum disuapi oleh keluarga, BAB dan BAK
menggunakan diapers.
b. Riwayat Penyakit Terdahulu
Diabetes Melitus
c. Riwayat Pemakaian Obat
- Tidak Jelas
d. Riwayat Alergi Obat-obatan
- Disangkal

Urosepsis| 12
e. Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak Ada

III. Pemeriksaan fisik


Vital Sign
Kesadaran : Somnolent, GCS= 9
Nadi : 124x/i x/mnt
Nafas : 32 x/mnt
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Suhu : 38,7ºC
Status Generalis
Kepala
Bentuk : normal, simetris.
Rambut : abu-abu lurus, distribusi merata
Mata : Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-), Reflex
Cahaya (+/+)
Telinga : Tidak dilakukan pemeriksaan
Hidung : Pernapasan cuping hidung (-), sekret (-)
Mulut : Tidak dilakukan pemeriksaan
Leher
Trakea : Medial
KGB : tidak membesar
TVJ : R-2 cm H2O
Thoraks
Bentuk : Normal, Simetris Fusiform
Retraksi suprasternal : (-)

Retraksi Intercostal : (-)


Jantung
Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : iktus cordis tidak teraba
Perkusi
batas jantung bagian atas : ICS II Linea parasternalis dextra
batas jantung kanan : ICS IV line parasternalis dextra
batas jantung bawah : ICS V linea parasternalis sinistra
auskultasi : S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-).
Urosepsis| 13
Paru
Inspeksi : bentuk dan pergerakan hemithoraks kiri sama dengan kanan
Palpasi : Fremitus taktil dan vokal hemithoraks kanan dan kiri sama
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Suara pernafasan vesikuler, suara tambahan (-/-)
Abdomen
Inspeksi : simetris, asites (-), sikatrik (-)
Palpasi : soepel, nyeri tekan (-), H/L/R tidak teraba. Teraba benjolan
pada hypogastrium (kesan Full Blast)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising Usus (+) N
Genitalia Ekterna
Kelamin : tidak didapatkan kelainan
Ekstremitas
Superior : Edema (-), Sianosis (-)
Inferior : Edema (-/-), Sianosis (-)
IV. Pemeriksaan Penunjang
Hematologi
- Hemoglobin : 11,3 gr%
-
Eritrosit : 3,99 . 10 6/mm3
-
Leukosit : 14.700/mm3
- Hematokrit : 30,6 gr%
-
Trombosit : 338.000/mm3
- KGD ad random : 207 mg/dl
- Ureum : 95 mg/dl
- Kreatinin : 3,0 mg/dl
Urinalisa
- Warna : Kuning Keruh
- Kekeruhan : (+)
- Protein : (+)
- Reduksi : (-)
- Eritrosit : 10-12/lbp
- Leukosit : 20-30/lbp
- Bilirubin : (-)
Urosepsis| 14
- Urobilinogen : (+)
- PH : 6,5
- BJ : 1,025
V. Diagnosis Kerja
Urosepsis + DM tipe 2

VI. Penatalaksanaan
- Diet M1 via NGT
- O2 3-4L/I Via Nasal canul
- IVFD Ringer Laktat Guyur 1 fls, selanjutnya IVFD Ringer Laktat 20 gtt/i
- Drip Ciprofloxacin 200mg/12 jam
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam (Skin test)
- Inj. Novalgin 1gr/8 jam
- Inj. Pantoprazole 40mg/hari
- Inj. Apidra 3x6 IU (15 menit sebelum pasien makan)
- Kateter Terpasang (UOP = 700 cc) warna urin kuning keruh (piuria).
VII. Prognosis
Ad vitam : Dubia ad malam
Ad sanationam : Dubia ad malam
Ad fungsionam : Dubia ad malam

Urosepsis| 15
3.2. Follow Up Pasien
Tanggal Status Penatalaksanaan
06 November 2019 S : Penurunan Kesadaran, Diet M1 via NGT
Demam O2 3-4 L/I Via Nasal Canul
O : Kesadaran : Derilium IVFD Ringer Laktat 20 gtt/i
GCS : 12 Drip Ciprofloxacin 200mg/12
Td : 120/70 mmHg jam
Hr : 104 x/i Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
Rr : 24 x/i Inj. Novalgin 1gr/ 8 jam
T : 37,8 C Inj. Omeprazole 40mg/12 jam
UOP: 500 cc/24 jam Inj. Apidra 3x6 IU (15 menit
A : Urosepsis + DM tipe 2 sebelum pasien makan)
Kateter Terpasang

07 November 2019 S : Kesadaran membaik Diet M II


O : kesadaran : CM IVFD Ringer Laktat 20 gtt/i
Td : 130/80 mmHg Drip Ciprofloxacin 200mg/12
Hr : 92 x/i jam
RR : 20 x/i Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
T : 37,3 C Inj. Novalgin 1gr/ 8 jam (aff)
UOP: 800 cc/24jam Inj. Pantoprazole 40mg/ hari
KGD Adrandom: Inj. Apidra 3x6 IU (15 menit
118mg/dl sebelum pasien makan)
A : Urosepsis + DM tipe 2 Paracetamol Tablet 500mg 3x1
NGT (aff)
Kateter (aff)
Pindah ruang rawat biasa

08 November 2019 S : Demam Diet M II


O : kesadaran : CM IVFD Ringer Laktat 20 gtt/i
Td : 120/70 mmHg Drip Ciprofloxacin 200mg/12
Hr : 88 x/i jam
RR : 20 x/i Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam

Urosepsis| 16
T : 38,3 C Inj. Omeprazole 40mg/ 12 jam
KGD N: 102 mg/dl Inj. Apidra 3x6 IU (15 menit
KGD 2 jam PP: 115 mg/dl sebelum pasien makan)
A : Urosepsis + DM tipe 2 Paracetamol Tablet 500mg 3x1

09 November 2019 S : Demam Diet M II


O : kesadaran : CM IVFD Ringer Laktat 20 gtt/i
Td : 130/80 mmHg Drip Ciprofloxacin 200mg/12
Hr : 80 x/i jam
RR : 18 x/i Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
T : 38,1 C Inj. Omeprazole 40mg/ 12 jam
A : Urosepsis + DM tipe 2 Inj. Apidra 3x6 IU (15 menit
sebelum pasien makan)
Paracetamol Tablet 500mg 3x1

10 November 2019 S : Demam (-) Diet M II


O : kesadaran : CM IVFD Ringer Laktat 20 gtt/i
Td : 130/70 mmHg Drip Ciprofloxacin 200mg/12
Hr : 88 x/i jam
RR : 18 x/i Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
T : 36,7 C Inj. Omeprazole 40mg/ 12 jam
KGD N: 164mg/dl Inj. Apidra 3x6 IU (15 menit
A : Urosepsis + DM tipe 2 sebelum pasien makan)
Paracetamol Tablet 500mg 3x1
(k/p)
11 November 2019 S : Demam (-) Diet M II
O : kesadaran : CM IVFD Ringer Laktat 20 gtt/i
Td : 120/70 mmHg Drip Ciprofloxacin 200mg/12
Hr : 88 x/i jam
RR : 20 x/i Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
T : 36,8 C Inj. Omeprazole 40mg/ 12 jam
KGD N: 164mg/dl Inj. Apidra 3x6 IU (15 menit
A : Urosepsis + DM tipe 2 sebelum pasien makan)

Urosepsis| 17
Paracetamol Tablet 500mg 3x1
(k/p)
12 November 2019 S:- Anjuran PBJ
O : kesadaran : CM Terapi PBJ:
Td : 130/70 mmHg Ciprofloxacin tablet 500 mg 2x1
Hr : 92 x/i Inj. Apidra 3x6 IU (15 menit
RR : 20 x/i sebelum makan)
T : 36,5 C Lansoprazole tablet 30mg 1x1
KGD N: 111 mg/dl Paracetamol tablet 500 mg 3x1
KGD ad random: 120 (k/p)
mg/dl
A : Urosepsis + DM tipe 2

Urosepsis| 18
BAB IV

PENUTUP

Urosepsis adalah sepsis yang disebabkan oleh infeksi yang berasal dari saluran
urogenitalia. Sebanyak 25% dari keseluruhan kasus sepsis adalah sepsis yang terjadi pada
traktus urogenitalia. Definisi sepsis sendiri ialah disfungsi organ yang mengancam jiwa yang
disebabkan oleh disregulasi respon tubuh terhadap infeksi disfungsi organ, sepsis ini dapat
diidentifikasi dengan kriteria qSOFA yaitu laju pernafasan diatas 22x/menit, penurunan
kesadaran (GCS <13), dan pengukuran tekanan darah sistolik dibawah 100mmHg. Penyebab
tersering dari urosepsis adalah bakteri gram negatif yang komensal di saluran cerna, yaitu
kurang lebih 30-80%. E. coli adalah kuman yang paling sering menyebabkan sepsis (52%).

Sindroma sepsis pada urologi (urosepsis) masih menjadi situasi yang berat dengan
angka mortalitas yang cukup tinggi (30-40% pada kejadian sepsis berat). Dengan adanya
surviving sepsis guidelines, angka kematian dapat diturunkan menjadi 25% dalam beberapa
tahun kemudian. Diagnosis pada penyakit di bidang urologi seperti obstruksi saluran kemih
atau adanya batu saluran kemih harus diketahui sejak awal untuk mencegah terjadinya
urosepsis. Target awal pada jam pertama pada urosepsis meliputi terapi suportif dengan
stabilisasi tekanan darah, mempertahankan perfusi organ ke jaringan, dan pemberian terapi
yang adekuat dan pemberian antibiotik pada jam pertama tanpa menunggu hasil kultur harus
terpenuhi. Pengendalian sumber infeksi untuk mencegah infeksi lebih lanjut seperti
menghilangkan obstruksi pada traktus urogenitalia dan pelepasan kateter yang terpasang
lama juga merupakan tatalaksana lebih lanjut dari urosepsis.

Urosepsis| 19
DAFTAR PUSTAKA

1. Wagenlehner, F., C. Lichtenstern., C. Rolfes. 2013. Diagnosis and Management for


Urosepsis. Review article: The Japanese Urogical Association. 963-971.
2. Dreger, N., S. Degener., P. Ahamad., G. wobker. 2015. Urosepsis: Etiology, Diagnosis,
and Treatment. Deutsches Arzteblatt International. 837-847.
3. Albala, D., A. F. Morey., L. G. Gomella., J. P. Stein. 2011. Oxford American Handbook
of Urology. New York: Oxford University Press.
4. Kalra, O. P., A. Raizada. 2009. Approach to a Patient with Urosepsis. Journal of Global
Infectious Diseases.
5. Purnomo, B. 2011. Dasar-dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto.

6. Mervyn, S., C. Deutschman., C. Seymour., M. Shankar., D. Annane., M. Bauer., R.


Bellomo. 2016. The Third International Consensus Definitions for Sepsis and Septic
Shock (Sepis-3). 810-810.
7. Tandogdu, Z., T. E. Bjerklund. 2016. Management of The Urologic Sepsis Syndrome.
European Association of Urology.
8. National Institute for Health and Care Excellence. 2016. Sepsis: recognition, diagnosis
and early management.
9. Grabe, M., R. Bartoletti., T. Johansen. 2015. Guidelines on Urogical Infections.
European Association of Urology. 26-31

Urosepsis| 20
Urosepsis| 21
Urosepsis| 22
Urosepsis| 23
Urosepsis| 24

Anda mungkin juga menyukai