Anda di halaman 1dari 30

KARAKTERISTIK DAN BENTUK LEMBAGA KEUANGAN

MIKRO SYARIAH

OLEH:

FITRIA (18540126)

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2020

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.

Segala puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT. Atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “KARAKTERISTIK DAN BENTUK LEMBAGA
KEUANGAN MIKRO SYARIAH” denagan sebaik-baiknya meskipun masih jauh dari kata
kesempurnaan. Tak lupa sholawat serta sholawat tidak lupa kita kirimkan kepada baginda Muhammad
SAW.

Dengan terselesaikannya makalah ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang terlibat dalam proses pembuatan makalah ini yang telah memberikan dorongan, semangat, dan
masukan,

Akhir kata, semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis
pada khususnya. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan kearah
kesempurnaan, akhirkata penulis sampaikan terima kasih.

Wassalamualaikum wr.wb.

Malang, 20 februari 2020

penulis

2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................................................................3


PEMBAHASAN ..........................................................................................................................................4
Karakteristik Lembaga Keuangan Syariah ............................................................................................. 10
1. BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH ..................................................................................... 11
2. BAYT MAAL WAT TAMWIL (BMT) ............................................................................................. 13
3. ASURANSI SYARIAH ................................................................................................................... 19
4. KOPERASI SYARIAH .................................................................................................................... 23
Daftar pustaka ....................................................................................................................................... 30

3
PEMBAHASAN

A. Pengertian serta Perbedaan Lembaga Keuangan Syariah dan Konvensional


Lembaga Keuangan Syariah
Pengertian Lembaga Keuangan Syariah tidak memiliki banyak perbedaan dengan
Lembaga Keuangan Konvensional, hanya saja dalam Lembaga Keuangan Syariah
memiliki prinsip yang tidak sama dengan Lembaga Keuangan Konvensional yaitu prinsip
hukum Islam dalam kegiatan perbankan dan keuangan berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang
syariah.
Bentuk Lembaga Keuangan Syariah
Bentuk Lembaga Keuangan Syariah sebagaimana yang ada pada Lembaga Keuangan
Konvensional dapat dibedakan menjadi 2, yaitu Lembaga Keuangan Syariah Bank (Bank
syariah) dan Lembaga Keuangan Syariah Non-Bank.
1. Bank Syariah
Bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip
syariah. Secara filosofis bank syariah adalah bank yang aktivitasnya meninggalkan
masalah riba. Menurut jenisnya terdiri dari BUS (Bank Umum Syariah) dan BPRS (Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah). Bank syariah memiliki sistem yang berbeda sengan bank
konvensional. Bank syariah memberikan layanan bebas bunga pada nasabahnya. Bank
syariah tidak menggunakan sistem bunga, baik bunga pada nasabah penyimpan dana
maupun nasabah peminjam dana.

Prinsip-prinsip pembiayaan di lembaga keuangan syariah:


a. Tidak ada transaksi keuangan berbasis bunga (riba)
b. Pengenalan pajak religius atau pemberian sedekah, zakat
c. Pelarangan produksi barang dan jasa yang bertentangan dengan hukum Islam
(haram)
d. Penghindaran aktivitas ekonomi yang melibatkan maysir (judi) gharar (transaksi
yang tidak jelas)
e. Penyediaan takaful (asuransi Islam)

4
2. Lembaga Keuangan Syariah Non-Bank
Lembaga-lembaga keuangan syariah non-bank jenis-jenisnya tidak jauh berbeda dengan
lembaga-lembaga keuangan konvensional. Hanya ada 1 lembaga yang dimiliki bank
syariah namun tidak dimiliki bank konvensional, lembaga tersebut adalah BMT atau
Baitul Maal wat Tamwil. BMT terdiri dari 2 istilah yaitu baitul maal dan baitut tamwil.
Baitul maal dalam lebih mengarah pada usaha pengumpulan dan penyaluran dana yang
non-profit seperti zakat, infaq dan shodaqoh. Sedangkan baitut tamwil lebih pada
pengumpulan dan penyaluran dana komersial.

Pengertian Lembaga Keuangan Konvensional


Lembaga Keuangan dapat didefinisikan sebagai suatu badan usaha yang aset utamanya
berbentuk aset keuangan maupun tagihan-tagihan yang dapat berupa saham, obligasi, dan
pinjaman, daripada berbentuk aktiva riil seperti bangunan, perlengkapan dan bahan baku.
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok
Perbankan, yang dimaksud lembaga keuangan adalah semua badan yang melalui
kegiatan-kegiatan di bidang keuangan menarik uang dari masyarakat dan menyalurkan
uang tersebut kembali ke masyarakat. Dari pengertian di atas diketahui bahwa lembaga
keuangan adalah tempat transformasi atau perpindahan dana dari pihak yang mengalami
kelebihan dana (surplus of funds) kepada pihak yang mengalami kekurangan dana (deficit
of funds).
Bentuk Lembaga Keuangan Konvensional
Bentuk Lembaga Keuangan pada garis besarnya dapat dibedakan menjadi 2. yaitu
Lembaga Keuangan Bank dan Non-Bank. Keduanya memiliki fungsi dan kelembagaan
yang berbeda.

1. Lembaga Keuangan Bank (depositori)


Pengertian bank menurut Undang-undang No. 10 Tahun 1998 adalah badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Tata Perbankan di Indonesia:
a. Bank Sentral (Central Bank)

5
Adalah bank milik pemerintah yang bertugas mengatur, menjaga, dan memelihara
kestabilan nilai mata uang negaranya, membimbing pelaksanaan kebijakan moneter,
serta mengkoordinasi, membina, dan mengawasi semua perbankan.
b. Bank Umum (Comercial Bank)
adalah lembaga yang menjalankan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

2. Lembaga Keuangan Non-Bank (nondepositori)


Lembaga Keuangan Non-Bank adalah badan usaha yang melakukan kegiatan di
bidang keuangan, secara langsung ataupun tidak langsung, menghimpun dana dari
masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat untuk kegiatan produktif.
Kegiatan Lembaga Keuangan Non-Bank difokuskan pada salah satu kegiatan
keuangan saja.

Bentuk-bentuk Lembaga Keuangan Non-Bank di Indonesia:

a. Modal ventura
Modal ventura adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam
bentuk penyertaan modal dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan
pembiayaan untuk jangka waktu tertentu.
b. Anjak piutang
Anjak piutang adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam
bentuk pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan piutang dan tagihan jangka
pendek suatu perusahaan (debitur) dari transaksi perdagangan di dalam atau di luar
negeri.
c. Asuransi
Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana pihak penanggung
mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan. Atau tanggung jawab hukum kepada
pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu
perinstiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang
didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.

6
d. Dana pensiun
Dana pensiun merupaka suatu lembaga atau badan hukum yang mengelola program
pensiun dengan tujuan untuk memberikan kesejahteraan kepada karyawan suatu
perusahaan terutama yang telah pensiun.

e. Pegadaian
Pegadaian adalah lembaga yang memberikan pinjaman kepada masyarakat dengan
menahan suatu barang sebagai jaminan pinjaman.
f. Pasar Modal
Pasar Modal adalah pasar yang memperjualbelikan berbagai instrumen keuangan
(sekuritas) jangka panjang, baik dalam bentuk utang maupun modal sendiri yang
diterbitkan oleh perusahaan swasta.
g. Pasar uang
Pasar Uang adalah sarana yang menyediakan pembiayaan jangka pendek (kurang
dari 1 tahun), pasar uang tidak mempunyai tempat fisik seperti pasar modal.
h. Reksadana
Reksa Dana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari
masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh
manajer investasi. Portofolio efek seperti saham, obligasi, instrument pasar uang,
deposito, uang kas dll.

Perbandingan Sistem Lembaga Keuangan Syariah dan Lembaga Keuangan


Konvensional

No Variabel Lembaga Keuangan Lembaga Keuangan Konvensional


Syariah
1 Investasi Investasi hanya untuk Investasi, tidak mempertimbangkan halal atau
proyek dan produk haram proyek yang di biayai menguntungkan
yang halal serta
menguntungkan
2 Return Return yang dibayar Return baik yang dibayar kepada nasabah
dan/atau diterima penyimpan dana dan return yang diterima dari
berasal dari bagi hasil nasabah pengguna dana berupa bunga

7
atau pendapatan lainnya
berdasarkan prinsip
syariah
3 perjanjian Perjanjian dibuat dalam Perjanjian menggunakan hukum positif
bentuk akad sesuai
dengan syariah Islam

4 Orientasi Orientasi pembiayaan, Orientasi pembiayaan, untuk memperoleh


pembiayaan tidak hanya untuk kentungan atas dana yang dipinjamkan.
keuntungan akan tetapi
falah oriented, yaitu
berorientasi pada
kesejahteraan
masyarakat

5 Hubungan Hubungan antara Hubungan antara bank dan nasabah adalah


antara nasabah dan bank kreditur dan debitur
nasabah dan adalah mitra
bank

6 Pengawasan Dewan pengawas terdiri Dewan pengawas terdiri dari BI, Bapepam,
dari BI, OJK, Bapepam, dan Komisaris
Komisaris, Dewan
Syariah Nasional dan
Dewan Pengawas
Syariah
7 Penyelesaian Penyelesaian sengketa Penyelesaian sengketa melalui pengadilan
sengketa diupayakan negeri setempat
penyelesaiaannya
secara musyawarah
antara bank dan
nasabah melalui Badan

8
Arbitrase Syariah
Nasional dan Peradilan
Agama

Analisis perbedaan Lembaga Keuangan Syariah dan Konvensional:


1. Investasi
Dalam mencari keuntungan islam tidak melarang untuk mendapatkan keuntungan
yang sebanyak-banyaknya, hanya saja islam membatasi cara untuk mendapatkan
keuntungan tersebut. Maka lembaga keuangan syariah juga membatasi dalam hal
investasi, hanya berinvestasi pada usaha-usaha yang halal dan juga menguntungkan.
Sedangkan lembaga keuangan konvensional tidak mengenal batasan dalam
mendapatkan keuntungan. Mereka berinvestasi pada usaha apapun yang
menguntungkan seperti pada perusahaan-perusahaan minuman keras.
2. Return
Pemberian return di bank syariah dengan menggunakan prinsip bagi hasil. Jumlah
yang didapatkan dalam bagi hasil berdasarkan prosentasi yang sudah disepakati dalam
akad. Mekanisme bagi hasil yang diterapkan di bank syariah terdiri dari dua sistem
yaitu profit sharing dan revenue sharing. Sedangkan bank konvensional dalam
membagikan return kepada nasabah penyimpan dana dengan bunga yang didapatkan
dari nasabah peminjam dana. Prosentase bunga peminjam dana lebih besar dari
prosentasi bunga bagi penyimpan dana.
3. Perjanjian
Perjanjian dalam bank syariah menggunakan akad-akad yang sudah diatur dalam fiqih.
Akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang
dilakukan berdasarkan dengan hukum Islam. Sedangkan bank konvensional dalam
melakukan perjanjiannya dengan asas hukum positif.
4. Orientasi pembiayaan
Bank syariah dalam menyalurkan dana berorientasi pada pendapatan keuntungan
sebagaimana bank konvensional nanum yang membedakan antara keduanya adalah
orientasi bank syariah tidak terbatas hanya mendapatkan keuntungan duniawi
melainkan dengan bertransaksi dengan bank syariah akan menghindarkan dari bunga
yang haram dan menciptakan kebahagiaan akhirat.

9
5. Hubungan antara nasabah dan bank
Hubungan bank syariah dengan nasabah pengguna dana adalah kemitraan keduanya
memiliki kedudukan yang sama, sehingga hasil usaha atas kerjasama yang dilakukan
oleh nasabah pengguna dana, akan dibagi hasilkan dengan bank syariah dengan nisbah
yang sudah disepakati. Sedangkan dalam bank konvensional nasabah peminjam dana
sebagai kreditur yang dikenakan bunga yang sangat tinggi dalam pengembalian
pinjamannya.
6. Pengawasan
Dalam menjalankan usahanya perbankan syariah maupun perbankan konvensional
diawasi oleh BI, OJK dan Komisaris setiap bank masing-masing. Yang membedakan
adalah bank syariah dalam pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah
(DPS). Tugas utama dari DPS adalah mengawasi kegiatan usaha bank agar tidak
menyimpang dari ketentuan dan prinsip syariah yang telah difatwakan oleh Dewan
Syariah Nasional (DSN).
7. Penyelesaian Sengketa
Permasalahan dalam bank syariah diselesaikan dengan cara yang lebih kekeluargaan
yaitu dengan bermusyawarah. Namun, jika tidak menemukan titik temu maka
sengketa ini dapat diselesaikan dengan 2 cara yaitu diselesaikan di Badan Arbitrase
Syariah Nasional (Basyarnas) atau di Peradilan Agama. Sedangkan bank konvensional
apabila ada sengketa dengan nasabah maka sengketa akan diangkat di peradilan
negeri.

Karakteristik Lembaga Keuangan Syariah

Karakteristik sebuah Lembaga Keuangan Syariah dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut:
1. Dalam menerima titipan dan investasi, Lembaga Keuangan Syariah harus sesuai
dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah;
2. Hubungan antara investor (penyimpan dana), pengguna dana, dan Lembaga Keuangan
Syariah sebagai intermediary institution (lembaga perantara), berdasarkan kemitraan,
bukan hubungan debitur-kreditur;
3. Bisnis Lembaga Keuangan Syariah bukan hanya berdasarkan profit orianted, tetapi
juga falah orianted, yakni kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat;

10
4. Konsep yang digunakan dalam transaksi Lembaga Syariah berdasarkan prinsip
kemitraan bagi hasil, jual beli atau sewa menyewa guna transaksi komersial, dan
pinjam-meminjam (qardh/ kredit) guna transaksi sosial;
5. Lembaga Keuangan Syariah hanya melakukan investasi yang halal dan tidak
menimbulkan kemudharatan serta tidak merugikan syiar Islam.

B. Bentuk-Bentuk dan Karakteristik Lembaga Keuangan Syariah


lembaga keuangan syariah non bank yang dibatasi dalam empat bentuk yaitu:
1. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
2. Baitul Mal wa Tamwil (BMT)
3. Asuransi Syari.ah
4. Koperasi Syariah
5. Pengadaian Syariah

1. BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH


Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS) adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prisnsip Syari’ah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran yang didesain untuk mengembangkan jasa keuangan
syariah, dengan fokus utama pada pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah
masyarakat. Menurut UU No. 21 Tahun 2008 disebutkan bahwa BPR adalah bank
konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.

A. Perbedaan Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS) dengan Bank Perkreditan


Rakyat (BPR) adalah sebagai berikut:
a. Akad dan aspek legalitas.
Dalam BPR Syari’ah akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan
ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Sering nasabah
berani melanggar kesepakatan atau perjanjian yang telah dilakukan bila hukum
hanya berdasarkan hukum positif.
b. Adanya Dewan Pengawas Syari’ah dalam struktur organisasinya yang bertujuan
mengawasi praktik operasional BPR Syari’ah agar tidak menyimpang dari prinsip
Syari’ah.

11
c. Penyelesaian sengketa yang terjadi dapat diselesaikan melalui Badan Arbitrase
Syari’ah maupun Pengadilan Agama.
d. Bisnis dan usaha yang dibiayai tidak boleh bisnis yang haram, syubhat ataupun dapat
menimbulkan kemadharatan bagi pihak lain.
e. Praktik operasional BPR Syari’ah, baik untuk penghimpunan maupun penyaluran
pembiayaan, menggunakan sistem bagi hasil dan tidak menggunakan sistem bunga.

B. Tinjauan dan Karakteristik BPR Syari’ah


Ada beberapa tujuan yang dikehendaki dari pendirian BPR Syari’ah di dalam
perekonomian, yaitu sebagai berikut:
a. Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam, terutama masyarakat
golongan ekonomi lemah yang pada umumnya berada di daerah pedesaan.

b. Menambah lapangan kerja, terutama ditingkat kecamatan sehingga dapat


mengurangi arus urbanisasi.

c. Membina semangat ukhuwah islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam


rangka meningkatkan pendapatan perkapita menuju kualitas hidup yang memadai.

d. Untuk mempercepat perputaran aktivitas perekonomian karena sektor real akan


bergairah.

C. Kegiatan Usaha BPR Syari’ah


a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk:
1) Simpanan berupa tabungan atau yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan
prinsip Syari’ah; dan
2) Investasi berupa deposito atau tabungan atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang
tidak bertentangan dengan prinsip Syari’ah.
b. Menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk:
1) Pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah atau musyarakah.
2) Pembiayaan berdasarkan akad murabahah, salam, atau istishna’.

12
3) Pembiayaan berdasarkan akad qardh.
4) Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada
nasabah berdasarkan akad ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah
muntahiya bittamlik; dan
5) Pengambilalihan utang berdasarkan akad hawalah.
c. Menempatkan dana pada Bank Syari’ah lain dalam bentuk titipan
berdasarkan akad wadi’ah atau investasi berdasarkan akad mudharabah dan
atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip Syari’ah.
d. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan nasabah melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah yang
ada di Bank Umum Syari’ah , Bank Umum Konvensional dan UUS.
e. Menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syari’ah lainnya
yang sesuai dengan prinsip Syari’ah berdasarkan persetujuan Bank
Indonesia.
D. Pembiayaan di BPR Syari’ah
Menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:
a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah.
b. Transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa-beli dalam bentuk ijarah
muntahiya bittamlik.
c. Transaksi jual-beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna.
d. Transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk piutang qardh.
e. Transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multi jasa,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan atau bank syariah dan/atau Unit Usaha Syariah
(UUS) dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana
untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah,
tanpa imbalan, atau bagi hasil.

2. BAYT MAAL WAT TAMWIL (BMT)

1. Pengertian dan Ciri-Ciri BMT

13
Bait Maal wa al-Tamwildisingkat dengan BMT terdiri dari dua istilah, yaitu Bait al-
Maal dan baitul Tamwi. Bait al-maal lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan
dan penyaluran dana yang non profit. Seperti zakat, sedekah, infak. Sedangkan baitul
tanwilmerupakan suatu wadah yang lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan
dana dan penyaluran dana yang bersifat profit dengan memakai sistem profit and loos
sharing, seperti pemeberuian pembiayaaan murabahah, mudharabah dan lain-lain
seabagainya.
Beranjak dari pengertian diatas , maka BMT dapat lebih dipahami dari segi ciri-ciri
yang dimilikinya.
Adapun ciri-ciri utamanya yaitu:
a. Berorentasi bisnis dan mencari laba bersama.
b. Bukan lembaga sosial tapi dapat dimanfaatkan untuk mengefektifkan penggunaan
zakat, infaq dan shadaqah.
c. Ditumbuhkan dari bawah dan berlandaskan pada peran serta masyarakat
disekitarnya.
d. Milik masyarakat secara bersama bukan milik perorangan.

2. Produk penghimpunan dan penyaluran dana BMT dalam teori dan praktik
Ada banyak produk penghimpunan dan penyaluran dana secara teknis-finansial dapat
dikembangkan sebuah lembaga keuangan islam termasuk BMT. Hal ini dimungkinkan
karena sistem syariah memberi ruang yang cukup baik untuk itu. seperti
penghimpunan dana wadi’ah, penghimpunan dan penyaluran dana musyarakah, serta
penyaluran dana murabahah. Adapun produk-produk lain seperti bai’ salam, ijarah,
ijarah wa iqtina’, hiwalah, sharf, qardi, dan seterusnnya. Secara fungsional operasional
BMT adalah hampir sama dengan BPR Syariah yang membedakan hanyalah pada sisi
lingkup dan struktur.

penjelasan lebih lanjut mengenai produk-produk BMT dalam teori dan praktek lebih
difokuskan pada empat hal sebagai berikut:
a. Penghimpunan Dana Wadi’ah Yad Dhamanah
Dalam kegiatannya menghimpun dana dari masyarakat, BMT dapat menawarkan
produk jasa wadi’ah, yang dari segi kebahasaan berarti “titipan”. Akad wadi’ah
termasuk kategori akad “tabarruq”, yakni akad yang bersifat kebajikan karena

14
mengandung unsur tolong menolong antar sesama manusia dalam lingkungan
sosialnya.
Prinisp daasar wadi’ah menyebutkan bahwa seorang penitip barang wajib
membayar seluruh biaya yang dikeluarkan pihak yang dititipi, secara otomatis,
untuk keperluan pemeliharaan barang titipan tersebut, disamping imbalan jasa
dalam jumlah yang pantas sesuai kadar kepatutan atau berdasarkan kesepakatan
dimuka antara kedua pihak pada waktu perjanjian wadi’ah dibuat.

Demikian juga dalam hal pengerahan dana wadi’ah, pada prinsipnya, BMT boleh
memungut biaya administrasi kepada nasabah, karena ini menjadi haknya dan
nasabah wajib memenuhinya sebagai imbalan jasa yang diberikan BMT dalam
memelihara keamanan harta (dana) yang dititipkan nasabah kepadanya. Adapun
mengenai besar biaya administrasi yang kadarnya ditentukan berdasarkan
parameter yang wajar dalam dunia perbankan.

Dalam kerangka pengerahan dana wadi’ah ini, atas seizin penitip (nasabah) BMT
dapat mengelolanya untuk tujuan komersial, sehingga apabila mendapat
keuntungan BMT dapat memberikan hibah (bonus) yang besarnya tidak boleh
ditetapkan secara pasti di muka dengan kalkulasi angka-angka rupiah atau
presentasi atas nilai pokok dana wadi’ah. Apanila kerugian yang didapat, BMT
menanggung risiko kerugian tersebut, sehingga wadi’ah seperti ini lazim dengan
istilah fiqh dengan sebutan ‘wadi’ah yad adhamanah’ (titipan dengan rirsiko ganti
rugi). Dalam praktiknya, sebagian pegelola BMT menyebut bonus wadi’ah
dengan istilah ‘bagi hasil’ yang besarnya ditentukan dimuka atas dasar hitungan
presentase angka-angka rupiah.

b. Penghimpunan dan Penyaluran Dana Mudharabah


Mudharabah merupakan wahana utama bagi perbankan syariah (termasuk BMT)
untuk memobilisasi dana masyarakat yang terserak dalam jumlah besar dan untuk
menyediakan berbagai fasilitas, antara fasilitas pembiayaan bagi para pengusaha.
Dalam kerangka penghimpunan dana mudharabah, nasabah bertindak sebagai shahib
al-mal dan BMT sebagai mudharib. BMT dapat menawarkan produk penghimpunan
dana mudharabah ini kepada masyarakat dengan menunjukkan cara-cara penentuan

15
dan perhitungan porsi bagi hasilnya, dan tidak diperkenankan menjanjikan pemberian
keuntungan tetap perbulan dalam jumlah tertentu dalam sistem presentase
sebagaimana lazim berlaku dalam tatanan perbankan konvensional atau dalam jumlah
tertentu atas dasar kalkulasi angka-angka rupiah. Hal demikian tidak lain karna Al-
Quran yang menjadi sumber rujukan pertama dalam penetapan hukum-hukum syariah
menjelaskan dengan tegas bahwa tidak ada seorangpun manusia dimuka bumi yang
dapat mengetahui dengan pasti apa yan akan diusahakannya esok hari. Atas dasar itu,
penentuan dimuka ‘keuntungan pasti’ dalam bentuk dan cara-cara seperti apapun,
sebelum usaha nasabah dijalankan, merupakan bagian dari perbuatan mendahului
perbuatan mendahului kehendak tuhan, dan ini bertentangan dengan ajaran agama. Ini
yang sesungguhnya ingin dijauhi lembaga keuangan Islam termasuk BMT.

Adapun dalam rangka penyaluran dana mudharabah, BMT bertindak sebagai shohib
mal dan nasabah sebagai mudharib. Memberikan kepercayaan penuh kepada nasabah
untuk memanfaatkan fasilitas pembiayaan berbagi hasil ini sebagai modal mengelola
proyek usaha halal tertentu yang dianggap feasible. Karena landasan mudharabah
murni ‘kepercayaan’ dari shahib al-mal, BMT dituntut ekstra hati-hati dan selektif
terhadap pembiayaan yang diajukan nasabah, lebih dari yang sewajarnya dilakukan.
Hal ini penting dikemukakan karena sedikit saja kesalahan dilakukan, akinatnya fatal
bagi BMT mengingat mudharabah selalu terkait dengan prinsip berbagi untung rugi.
Bila usaha merugi, risiko finansial sepenuhnya menjadi tanggung jawab BMT.
Guna meminimalkan risiko kerugian yang bisa timbul, BMT dapat memberikan
batasan-batasan tertentu mengenai jenis usaha, alokasi dana, waktu dan tempat
dimulainya usaha, dan sebagainya, sepanjang tidak menyalahi prinsip dasar perjanjian
mudharabah itu sendiri.
Hal lain yang perlu juga diperhatikan adalah bahwa BMT tidak boleh meminta
jaminan kepada nasabah dalam bentuk apapun, selain kejujuran, karena yang demikian
berarti mengingkari prinsip kepercayaan yang menjadi esensi perjanjian mudharabah.
Itulah mengapa, beberapa pengelola BMT menganggap mudharabah sebagi produk
penyaluran dana yang cukup berisiko, bahkan dapat mengancam kebangkrutan usaha
lembaganya.

3. Penyaluran dana Murabahah

16
Murabahah adalah salah satu produk penyaluran dana yang cukup digemari BMT
karena karakternya yang profitable, mudah dalam penerapan, serta dengan risk-factor
yang ringan untuk diperhitungkan. Dalam penerapan, BMT bertindak sebagai pembeli
sekaligus penjual barang halal tertentu yang dibutuhkan nasabah. Mula-mula BMT
membeli barang sebagaimana dimaksud kepada pihak ketiga dengan harga tertentu,
secara langsung atau melalui wakil yang ditunjuk, untuk selanjutnya barang tersebut
dijual kepada nasabah dengan harga tertentu setelah ditambah keuntungan (mark-up)
yang disepakati bersama. Besarnya keuntungan yang diambil BMT atas transaksi
murabhahah tersebut bersifat constan’, dalam pengertian tidak berkembang dan tidak
pula berkurang, serta tidak terkait apalagi terikat oleh fluktuasi nilai tukar rupiah
terhadap dolar. Keadaan ini berlangsung hingga akhir pelunasan hutang oleh nasabah
terhadap BMT.
Bila penambahan nilai hutang (berikut mark-up nya) dalam perjanjian murabhahah
tidak mungkin terjadi, pengurangan bisa saja dilakukan bila itu semata-mata karena
kebijakan internal BMT sendiri, seperti misalnya ketika nasabah mampu membayar
lunas hutangnya lebih cepat dari waktu yang telah dijadwalkan. Pengurangan beban
pembayaran hutang nasabah kepada BMT dalam kasus tersebut tidak dapat
diidentikkan dengan kebijakan “haircut” oleh bank dalam penyelesaian kredit
“bermasalah”, serta tidak dapat pula dikatakan sebagai fenomena “berubahnya harga”
atau bahwa harga barang yang dijual BMT kepada nasabah berubah lebih murah dari
harga semula pada waktu aqad murabhahah ditandatangani, karena perubahan seperti
ini memang tidak dibenarkan dalam ajaran syariah, tetapi lebih merupakan bagian dari
kompensasi (rukhshah) yang diberikan BMT kepada nasabah berprestasi. Kebijakan
seperti ini lazim diwujudkan dalam bentuk pemberian hibah atau bonus.
Adapun mengenai pembayaran harga oleh nasabah dapat dilakukan secara penuh
setelah jatuh tempo, dan dapat pula diangsur setiap periode tertentu, misalnya
sepekan atau sebulan sekali, selama jangka waktu yang disepakti. Murabahah
yang pembayarannya oleh nasabah dilakukna secara berangsur lazim dikenal
dengan istilah bai’ bitsaman ‘ajil (BBA) atau murabahah mu’ajal.

Dalam praktiknya, BBA berhasil menempati hampir 80% peta penyaluran BMT.
Namun dari keseluruhan produk BBA yang disalurkan tersebut, dalam praktek
tidak semuanya benar sesuai prinsip-prinsip syariah. Ada beberapa diantaranya

17
yang dalam penerapan tidak memenuhiketentuan yang mutlak adanya menurut
syariah, seperti seperti obyek barang yang berstatus ‘tidak jelas’ atau bahkan
‘tidak ada’ sama sekali. Fakta dilapangan sering menunjukkan hal yang demikian.
Bahkan muncul kecenderungan di sementara BMT yang sengaja menerapkan akad
BBA semata-mata untuk mensiasati perolehan keuntungan atas pembiayaan yang
disalurkannya kepada nasabah, kendati sebenarnya menurut syariah, terhadap
pembiayaan tersebut tidak dapat diterapkan akad BBA. Keadaan seperti ini tentu
bila dibiarkan dapat merusak citra BMT sebagai lembaga keuangan yang
mengklaim tunduk dan patuh mengikuti aturan syariah.

c. Penyaluran dana Musyarokah


Pada prinsipnya produk ini tidak banyak berbeda dengan mudharabah karena
keduanya merupakan bagian dari kemitraan antara du pihak atau lebih untuk
mengelola sesuatu usaha halal tertentu dengnpembgian keuntungan sesuai porsi
(nisbah) yang disepakati bersama diawal perjanjian. Keduanya berbeda dengan
beberapa hal sebagaimana dijelaskan berikut ini :
Dalam akad mudharabah, shahib al-mal menyediakan seluruh dana yang
dibutuhkan mudharib untuk kegiatan mengelola usaha halal tertentu atas
dasar kepercayaan murni, dan mudharib dengan keahliannya
bertanggungjawab atas pengelolaan dana untuk keperluan membiayaiusaha
halal tertentu. Dalam proses manajemen shohib al-mal tidak diperkenankan
melakukan intervensi dalam bentuk apapun selain hak melakukan alasan guna
mengantisipasi terjadinya penyelewangan dan atau kecerobohan-kecerobohan
oleh mudharib sehingga dapat mengakibatkan kerugian materil. Bagi hasil
akan diberikan setelah proyek atau usahayang dijalankan mudharib berakhir
berdasarkan porsi yang harus disepakati dimuka
Sedangkan dalam akad musyarakah kedua pihak ikut andil dala penyertaan
modal dan masing-masing dapat pula terjun langsung secara bersama-sama
dalam proses manajemen. Bila usaha yang dijalankan bersama mendapat
untung, keuntungan akan dibagi berdasarkan nisbah bagi hasik yang
ditentukan dimuka atas dasar kesepakatan kedua pihak, secara proporsional,
biasanya bergantung pada besar kecilnya modal yang disertakan dan atau

18
frekuensi keikutsertaan dirinya dalam proses manajemen. Namun bila
usahanya merugi, kedua pihak secara bersama-sama menanggung kerugian itu
karena musyarakah menganut azas “profit and loss sharing contract”.

Selain produk produk penyaluran dana sebagaimana dipaparkan dimuka, terdapat


produk lain yang belum banyak digunakan BMT seperti ba’i salam, ijarah, ijarah
wa iqtina, qardh, rahn, dn sebagainya. Seiring dengan perjalanan waktu,
diharapkan produk-produk ini nantinya dapat difungsikan secara efektif sejalan
dengan semakin beragamnya kebutuhan nasabah, sehingga tidak ada lagi
pembatasan-pembatasan oleh BMT untuk hanya menerapkan satu atau dua model
akad saja seperti terjadi selama ini.

4. Strategi Memasarkan Produk BMT


Menurut Kamus umum Bahasa Indonesia, strategi adalah ilmu siasat perang atau akal
(tipu muslihat) untuk mencapai suatu maksud. Pengertian yang lebih luas sebagai cara
yang ditempuh seseorang atau organisasi untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Jadi “strategi memasarkan produk BMT” mengandung artian sebagai cara yang
ditempuh dalam rangka menawarkan dan menjual kepada masyarakat produk-produk
BMT.

3. ASURANSI SYARIAH
1. Pengertian Asuransi
Syari’ah Dalam bahasa arab, asuransi dikenal dengan istilah at-ta’min,
penanggung disebut mu’ammin lahu atau musta’min. Al-ta’min diambil dari
amana yang artinya memberi perlindungan, keterangan, rasa aman dan bebas dari
rasa takut, seperti yang tersebut dalam QS. Quraisy (106): 4 yaitu “Dialah Allah
yang mengamankan mereka dari ketakutan”. Pengertian dari at-ta’min adalah
seseorang membayar/menyerahkan uang cicilan agar ia atau ahli warisnya
mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk
mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang. Ahli Fiqh kontemporer Wahbah
Al-Zuhaili mendefinisikan asuransi berdasarkan pembagianya. Ia membagi
asuransi dalam dua bentuk, yaitu at-ta’min at-ta’awuni atau asuransi tolong
menolong adalah “kesepakatan sejumlah orang untuk membayar sejumlah uang

19
sebagai ganti rugi ketika salah seorang diantara mereka mendapat kemudaratan”.
At-ta’min bi qist tsabitatau asuransi dengan pembagian tetap adalah: “akad yang
mewajibkan seseorang membayar sejumlah uang kepada pihak asuransi yang
terdiri atas beberapa pemegang saham dengan perjanjian apabila peserta asuransi
mendapat kecelakaan ia diberi ganti rugi”. Mustafa Ahmad Al-Zarqa memaknai
asuransi sebagai suatu cara atau metode untuk memelihara manusia dalam
menghindari resiko (ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam
hidupnya, dalam kegiatan dan dalam aktivitas ekonominya. Ia tadhammum yang
bertujuan untuk menutup kerugian dalam peristiwa atau musibah oleh sekelompok
tertanggung kepada yang tertimpa musibah. Di Indonesia sendiri, asuransi Islam
dikenal dengan istilah takafulberasal dari takafala-yatakafalu, yang berarti
menjamin atau saling menanggung. M. Syakir Sula mengartikan takaful dalam
pengertian muamalah adalah saling memikul resiko diantara sesama orang,
sehingga antara satu dengan yang lainya menjadi penanggung atas resiko yang
lain.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, istilah at-takaful al-ijtima’ atau solidaritas
diartikan sebagai suatu sikap anggota masyarakat Islam yang saling memikirkan,
memperhatikan dan membantu mengatasi kesulitan, anggota masyarakat Islam
yang satu merasakan penderitaan yang lain sebagai penderitanya sendiri dan
keberuntunganya juga keberuntungan yang lain.
Dewan Syari.ah Nasional pada tahun 2001 telah mengeluarkan fatwa mengenai
asuransi syari.ah. Dalam fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001, bagian pertama
ketentuan umum angka 1, disebutkan pengertian asuransi syari.ah (tamin, takaful
atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara
sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarruj
yang memberikan pola pengambilan untuk menghadapi resiko tertentu melalui
akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
2. Prinsip-Prinsip Asuransi Syariah
a) Saling bertanggung jawab
Umat Islam satu sama lainya adalah ibarat satu tubuh, apabila salah satu
anggota tubuhnya sakit, maka yang lain juga akan merasakan sakit (hadis).
Islam mengajarkan agar manusia menghilangkan sikap mementingkan diri
sendiri atau individualis, kekayaan berasal dari Allah dan akan

20
dipertanggunagjawabkan pada-Nya. Oleh karena itu, nikmat yang dberikan-
Nya jangan dinikmati sendiri, tetapi juga digunakan untuk kemaslahatan
saudaranya yang lain.
b) Saling kerjasama, bantu membantu Dalam al-Qur‟an Allah memerintahkan
agar dalam kehidupan bermasyarakat suburkanlah nilai tolong menolong
dalam kebajikan dan taqwa. Kekayaan harus digunakan untuk meringankan
beban penderitaan atau membantu memenuhi kebutuhan keluarga, anak yatim,
fakir miskin, musafir, dan lain-lain.
c) Saling menjaga keselamatan dan keamanan
Islam mengakui bahwa keselamatan dan keamanan merupakan tuntunan alami
dalam kehidupan manusia, seperti hanya dalam mencari rizki. Niat yang ikhlas
untuk membantu sesama yang mengalami penderitaan karena musibah atau
meringankan berbagai resiko keunagan yang mengalami musibah merupakan
landasan awal dalam asuransi syari‟ah. A.Djazzuli menambahkan bahwa
prinsip asuransi syariah yang keempat adalah terbatas dari unsur gharar,
maisir, dan riba.
3. Jenis dan Mekanisme Pengelolaan Asuransi Syari’ah
Perusahaan asuransi syariah diberi kekayaan (amanah) oleh para peserta untuk
mengelola premi para peserta, mengembangkan dengan jalan yang halal, memberi
santunan kepada yang mengalami musibah sesuai akta perjanjian. Berkaitan
dengan itu seperti yang ditulis oleh Muhammad,18 maka asuransi syariah dapat
menawarkan dua jenis pertanggungan yaitu:
a. Takaful keluarga (asuransi jiwa)
b. Takaful umum (asuransi umum)
Asuransi jiwa adalah bentuk takaful yang memberikan pertolongan untuk
meringankan untuk meringankan beban dalam menghadapui musibah kematian
dan kecelakaan atas dari peserta takaful. Sedangkan asuransi umum merupakan
pertolongan yang diberikan dalam mengahadapi bencana atau kecelakaan atas
harta milik peserta takaful, seperti rumah, kendaraan, bangunan pabrik dan lain
seabagainya.
4. Perbedaan Asuransi Syari’ah dengan Asuransi Konvensional
1) Pada asuransi syariah, keberadaan Dewan Pengawas Syari‟ah (DPS) suatu
keharusan. Dewan ini berperan mengawasi menejmen produk serta

21
kebajikan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam,
sedangkan pada asuransi konvensional hal itu tidak ada, sehingga dalam
praktek ada yang bertentangan dengan kaidah-kaidah syara‟.

2) Prinsip asuransi syariah adalah takafuli(tolong menolong), sedangkan


prinsip asuransi konvensional adalah tabadul (jual beli antara nasabah
dengan perusahaan).

3) Premi yang terkumpul dari asuransi syariah diinvestasikan berdasarkan


syariah dengan sistem bagi hasil, sedangkan pada asuransi konvensional
investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
4) Premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah,
perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya, sedangkan
pada asuransi konvesional premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan
memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana
tersebut.
5) Sumber pembiayaan klaim diperoleh dari rekening tabarru‟seluruh peserta yang
telah diikhlaskan untuk keperluan tolong menolong bila peserta terkena
musibah, sedangkan pada asuransi konvensional dana pembayaran klaim
diambil dari rekening milik perusahaan sebagai konsekwensi penanggung
terhadap tertanggung (nasabah).
6) Keuntungan (profit) pada asuransi syariah dibagi antara nasabah selaku pemilih
dana dengan perusahaan selaku pengelola dengan prinsip bagi hasil, sedangkan
pada asuransi konvensional keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan,
jika tidak ada kalim nasabah tidak mendapat apa-apa.
7) Pada asuransi syariah tidak dikenal istilah dana hagus, karena kapanpun peserta
mengundurkan diri, maka ia akan memperoleh uangnya, sedangkan asuransi
konvensional terdapat adanya dana hangus, karena ketidak adanya pengambilan
dana peserta bila peserta tidak mampu lagi membayar premi yang telah
disepakati atau peserta mengundurkan diri.
8) Kepemilikan dana pada asuransi syariah, dana yang terkumpul dari iuran
peserta merupakan milik peserta (shahib al-mal), asuransi syariah hanya
sebagai penaggung amanah (mudharib) dalam mengelola dana, sedangkan pada
asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari premi peserta seluruhnya
menjadi milik peusahaan dan perusahaan bebas menggunakan
menginvestasikannya.
22
9) Misi yang diemban asuransi syariah adalah misi akidah, ibadah (ta‟awun)
ekonomi (iqtisadh) dan misi pemeberdayaan umat (sosial), sedangkan pada
asuransi konvensional misi utamanya adalah misi ekonomi dan sosial.

4. KOPERASI SYARIAH
1. Pengertian Koperasi
Kata koperasi berasal dari kata cooperation(bahasa inggris) yang berati kerjasama,
sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan koperasi adalah suatu
perkumpulan yang dibentuk oleh para anggotayang berfungsi untuk membantu
kebutuhan para anggotanya dengan harga yang relatif rendah dan bertujuan
meningkatkan kesejahteraan hidup bersama. Ali Hasan, mengemukakan bahwa
koperasi adalah suatu perkumpulan atau organisasi yang beranggotakan orang-
orang atau badan hukum yang berkerjasama dengan penuh kesadaran anggota atas
dasar sukarela secara kekeluarga. Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa
yang mendasari gagasan berdirinya koperasi sesungguhnya adalah kerjasama,
gotong royong, saling membantu satu sama laindalam rangka mencampai
kesejahteraan bersama, sesama anggota koperasi.
2. Macam-macam Koperasi
Koperasi dapat dilihat dari dua segi, pertama dan segi bidang usaha dan yang
kedua dilihat dari segi tujuan. Dari segi usaha, koperasi dapat dibagimenjadi dua
macam:
a. Koperasi yang berusaha tunggal(single purpose), yaitu koperasi yang hanya
menjalankan satu bidang usaha, seperti koperasi yang hanya berusaha
dibidang konsumsi, bidang kredit atau bidang produksi.
b. Koperasi serba usaha (multi purpose) yaitu koperasi yang beruasaha dalam
berbagai bidang, seperti koperasi yang melakukan pemeblian dan penjualan.
3. Di lihat dari segi tujuan koperasi dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
a. Koperasi produksi, yaitu koperasi yang mengurus pembuatan barang-barang
yang bahan-bahanya dihasilkan oleh anggota koperasi.
b. Koperasi konsumsi, yaitu koperasi yang mengurus pembelian barang-barang
guna memenuhi kebutuhan anggotanya yang membutuhkan modal.

23
c. Koperasi kredit, yaitu koperasi yang memberikan pertolongan kepada
anggota-anggotanya yangmembutuhkan modal.
Modal usaha koperasi berasal dari uang simpanan pokok, simpanan wajib,
simpanan sukarela, uang pinjaman, penyisihan hasil usaha termasuk
cadangan dan sumber lain yang halal.
4. Prinsip Koperasi dalam Islam
a. Pada dasarnya muamalah itu boleh sampai ada dalil yang menunjukan pada
keharamanya.

b. Muamlah itu mesti dilakukan atas dasar suka sama suka (‘an taradhin).
c. Muamalah yang dilakukan itu harus mendatangkan maslahat dan menolak
mudarat bagi mansusia (jaib al-mashalih wa dar’u al-mafasid).
d. Muamalah itu terhindar dari kezaliman, penipuan, manipulasi, spekulasi,
riba dan hal-hal lain yang tidak dibenarkan oleh syara‟.
Prinsip-prinsip dalam muamalah tersebut diaplikasikan dalam akad. Dalam kitab
fiqh, baik klasik maupun kontemporer ditemukan berbagai bentu akad muamalah
yang dibenarkan syari‟at Islam. Diantaranya: akad jual beli (bai atau qirad), sewa
menyewa (ijarah), bagi hasil (mudharabah atau musyarakah), jaminan (dhaman
atau rahn) dan lain sebagainya.

5. Jenis Usaha Koperasi


Pada prinsipnya usaha yag dilakukan oleh koperasi syariah hampir sama dengan
koperasi lainya, hanya saja mekanismenya mengalami modifikasi yang disesuaikan
dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ekonomi syariah. Secara umum
usah-usaha yang dilakukan oleh koperasi syariah dimodifikasi pula dari produk-
produk yang ditawarkan oleh bank syariah. Oleh sebab itu usaha yang dikembangkan
oleh koperasi syariah dapat dikategorikan pada dua bagian utama, yaitu usaha
penghimpunan dana dan usaha penyaluranya.
a. Usaha penghimpunan dana
Usaha penghimpunan dana merupakan usaha untuk mengumpulkan dana dari
berbagai sumber baik dari anggota itu sendiri maupun dari pihak lain. Jenis-jenis
sumber dana yang dapat dijaring itu adalah modal dan simpanan. Sumber dana jenis
modal dapat berupa simpanan piokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela
anggota. Sedangkan sumber dana jenis simpanan dapat berupa tabungan
24
pembiayaan, simpanan berjangka, mudhrabah dan tabungan koperasi
mudharabah.35 Simpanan yang terdapat pada koperasi syariat terdiri dari beberapa
bentuk, yaitu simpanan pokok, simpanan wajib, tabungan mudharabah, simpanan
berjangka mudharabah dan tabungan pembiayaan.
Simpanan pokok adalah simpanan yang dibayarkan satu kali yaitu pada waktu
mendaftar sebagai anggota koperasi. Simpanan wajib adalah simpanan yang
dibayarkan oleh semua anggota secara teratur, biasanya dalam jangka waktu
perbulan.

25
Tabungan mudhrabahadalah simpanan yang penyetoranya yang
dilakukan seacara berangsur-angsur dan penarikanya hanya dapat dilakukan dengan
menggunakan buku tabungan koperasi. Simpanan berjangka mudharabahadalah
simpanan dari anggota atau bukan anggota untuk suatu jangka waktu berakhir.
Sedangkan tabungan pembiayaan adalah simpanan bagi anggota yang mendapatkan
fasilitas pembiayaan adalah simpanan bagi anggota yang mendaptkan fasilitas
pembiayaan dari koperasi syariah.
b. Usaha penyaluran dana
Usaha penyaluran dana dalam koperasi syariah dikenal dengan istilah pembiayaan.
Sedangkan dalam aturan pemerintah diistilahkan dengan pinjaman. PP Nomor
tahun 1995 tentang pelaksanaan usaha simpan pinjam oleh koperasi menjelaskan
bahwa pinjaman adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara
koperasi dengan pihak peminjam melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pembayaran sejumlah imbalan. Menurut A. Djazuli,36 jenis-jenis
pembiayaan di koperasi syariah terdiri dari beberapa macam bergantung pada dasar
yang digunakan. Berdasarkan tujuan penggunaanya, pembiayaan terdri dari:
a) Pembiayaan investasi, yaitu pembiayaan untuk pengadaan sarana atau alat
produksi.

b) Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk pengadaan bahan baku atau
barang yang diperdagangkan.

5. PEGADAIAN SYARIAH
1. Pengertian
Pengadaian dalam fiqh disebut rahn (gadai) yang menurut bahasa adalah nama barang
yang dijadikan sebagai jaminan kepercayaan.37 Sedangkan menurut istilah seperti
yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah bahwa rahn(gadai) adalah menjadikan
sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan
sebagai pembayaran hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagianya.
2. Dasar Hukum Boleh tidaknya transaksi pengadaian menurut Islam diatur dalam al-
Qur‟an, sunnah dan ijtihad, seperti yang dijelaskan berikut ini:
a. Al-Qur‟an surat Albaqarah ayat 283

26
Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai)
sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)

b. Hadis Rasullullah
Artinya: Aisyah r.a meriwayatkan bahwa Rasullullah SAW pernah membeli
makanan dari seseorang Yahudi yang menjadi jamninanya adalah baju besinya.
(HR. Bukhari dan Muslim).

c. Ijtihad ulama
Perjanjian gadai yang diajarkan dalam Alqur‟an dan hadis itu dalam pengembangan
selanjutnya dilakukan oleh para fuqaha dengan jalan ijtihad dan dengan
kesepakatan para ulama bahwa gadai diperbolehkan dan para ulama tidak pernah
mempertentangkan kebolehanya, demikian juga dengan landasan hukumanya.
Para Pakar fiqh menjelaskan bahwa peristiwa Rasullullah SAW menjadikan baju
besinya sebagai jaminan hutang adalah kasus al-rahn (gadai) pertama dalam Islam
dan dilakukan sendiri Rasullullah SAW
3. Mekanisme Operasional Pengadaian Syariah Ulama syafi‟i berpendapat bahwa
pengadaian dikatakan sah bila telah memenuhi paling tidak tiga syarat berikut:
a. Harus berupa barang, karena hutang tidak bisa digadaikan
b. Penetapan kepemilikan pengadaian atas barang yang digadaikan tidak terhalang
c. Barang yang digadaikan bisa hijual manakala sudah habis masa perlunasan
hutang gadai.40

Berdasarkan tiga syarat diatas, maka dapat diambil alternatif dalam menentukan
mekanisme operasional pengadaian syariah yang dilakukan dengan menggunakan
akad yaitu:
a. Akad al-qadr al-hasan
Akad al-qadr al-hasan dilakukan untuk nasabah yang ingin mengadaikan
barangnya untuk keperluan konsumtif. Dengan demikian, nasabah (rahin) akan
memberikan biaya upah atau fee kepada pengadaian (murtahin) yang telah
menjaga atau merawat barang gadaian (marhun).

27
b. Akad al-mudharabah
Akad ini dapat dilakukan untuk nasabah yang mengadaikan jaminanya untuk
menambah modal usaha (pembiayaan investasi dan modal kerja). Dengan
demikian rahin (nasabah) akan memberikan bagi hasil (berdasarkan
keuntungan) kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan, sampai modal yang
dipinjam terlunasi.

c. Akad al-bai muqaiyadah


Akad ini dapat dilakukan jika rahin yang menginginkan maenggadaikan
barangnya untuk keperluan produktif, artinya dalam menggadaikan, rahin
tersebut menginginkan modal kerja berupa pembelian barang, sedangkan
barang jaminan yang dapat dimanfaatkan atau tidak dapat dimanfaatkan oleh
rahin atau murtahin. Dengan demikian, murtahin akan memerlukan barang
yang sesuai dengan keinginan rahin atau rahin akan memberikan mark-up
kepada murtahin sesuai dengan kesepakatan pada saat berlangsung sampai bata
waktu yang telah ditetapkan.
5. Persamaan dan Perbedaan Penggadaian Syari’ah dengan Penggadaian
Konvensional
Persamaan dan perbedaan pengadaian syariah dengan pengadaian konvensional
adalah sebagai berikut:
1) Persamaan
a) Hak gadai sama-sama atas pinjaman uang
b) Sama-sama ada agunan sebagai jaminan hutang
c) Sama-sama tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian

d) Biaya barang yang digadaikan sama-sama ditanggung oleh pembeli gadai

e) Apabila batas waktu pinjaman habis sedangkan hutang belum lunas dibayar,
maka barang yang digadaikan boleh duijual atau dilelang.
2) Perebedaan
a) Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara suka rela atas dasr tolong
menolong tanpa mencari keuntungan semata sedangkan gadai konevesional
disamping berprinsip tolong menolong juga menarik keuntungan dengan
cara menarik bunga atau sewa modal.

28
b) Dalam gadai konvensional hak gadai hanya berlaku pada benda yang tidak
bergerak. Sedangkan dalam hukum Islam, rahn berlaku pada seluruh benda,
baik harta bergerak maupun tidak bergerak.
c) Dalam rahn tidak ada isrilah bunga
d) Gadai konvensional dilaksanakan melalui suatu lembaga yang di Indonesia
dikenal dengan perum pengadaian, rahn menurut Islam dapat dilaksanakan
tanpa melalui suatu lembaga.

29
Daftar pustaka:
Ilmi, Mahalul. 2002. Teori dan Praktek Mikro keuangan Syariah. Yogyakarta:UII Prees

Subagyo, Ahmad. 2015. KeuanganMikro Syariah. Jakarta: Mitra Wacana Media

Soemitra, A. (2009). Bank & Lembaga Keuangan Islam. Jurnal Islamika, 15(1), 89–112.
https://doi.org/10.1007/BF01041590

Ii, B. A. B. (2008). Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta: UPP AMP, 2002, h.
56. 18. 18–44.

Syauqoti, R., & Ghozali, M. (2018). Analisis Sistem Lembaga Keuangan Syariah Dan
Lembaga Keuangan Konvensional. Iqtishoduna, 15.
https://doi.org/10.18860/iq.v0i0.4820

Zulfan, R., & Azzahrah, F. (2019). Lembaga Keuangan Mikro syariah (BWM). 14.

Siswadi. (2015). Lembaga Keuangan Syari’Ah Non Bank Bmt (Baitul Mal Wat Tamwil)
Tawaran Bebas Aqad Yang Dilarang Dalam Syari’At Islam. Ummul Quro, 6(Jurnal
Ummul Qura Vol VI, No 2, September 2015), 74–93.
http://ejournal.kopertais4.or.id/index.php/qura/issue/view/531

30

Anda mungkin juga menyukai