Anda di halaman 1dari 3

Sidang Parlemen Jepang atau Teikoku Ginkai di Tokyo pada 7 September 1944 berlangsung

dalam suasana yang kurang kondusif. Dai Nippon kian terdesak oleh pasukan Sekutu akibat
serentetan kekalahan di Perang Asia Timur Raya. Tindakan darurat wajib dilakukan sesegera
mungkin, termasuk terkait wilayah-wilayah pendudukan Jepang, salah satunya Indonesia.
Perdana Menteri Jepang, Kuniaki Koiso, akhirnya naik podium. Raut muka kusut tersirat pada
wajah kepala pemerintahan yang baru menjabat kurang dari 3 bulan itu. Di depan parlemen,
Koiso menegaskan Dai Nippon harus bergegas untuk menentukan nasib Indonesia yang cepat
atau lambat pasti akan menjadi sasaran terkam Sekutu. Koiso berpendapat, Jepang sebaiknya
memberikan kemerdekaan untuk Indonesia “kelak di kemudian hari” (Ben Anderson, Some
Aspects of Indonesian Politics under Japanese Occupation 1944-1945, 1961:2). Entah apa
yang dimaksud Koiso dengan ungkapan “kelak di kemudian hari” itu. Yang jelas, Jepang tidak
mau kehilangan Indonesia begitu saja, apalagi menyerahkannya kepada pihak musuh. Jepang
setidaknya menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia sambil menunggu situasi membaik.
Dengan janji itu, Koiso berharap tidak terjadi pemberontakan. Sebaliknya, rakyat Indonesia
justru bisa dikerahkan untuk menghadang Sekutu jika benar-benar terdesak, apalagi Jepang
sudah membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) di sana. Sempat terjadi perdebatan atas
usulan Koiso kendati akhirnya diterima. Maka, pada 1 Maret 1945, Kumakichi Harada selaku
Jenderal Dai Nippon yang membawahi Jawa, mengumumkan akan dibentuk suatu badan baru
dengan nama Dokuritsu Junbi Cosakai (George S. Kanahele, The Japanese Occupation of
Indonesia, 1967:184). Dokuritsu Junbi Cosakai inilah nama lain dari Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), institusi seribu janji yang menjadi sesi awal
upaya akal-akalan Jepang terhadap Indonesia, meski yang terjadi nanti ternyata tidak sesuai
yang diharapkan pemerintah pendudukan Jepang. Pemerintah Jepang terpaksa menawarkan
janji kemerdekaan Indonesia dengan membentuk BPUPKI karena posisi mereka yang sudah
terdesak. Bermula dari kekalahan dalam pertempuran laut di Coral Sea, dekat Australia, disusul
jatuhnya Kepulauan Saipan ke tangan Sekutu pada Juli 1944. Itu membuat kekuatan Jepang di
Perang Asia Timur Raya semakin melemah. Pembentukan BPUPKI Kendati sudah diumumkan
sebelumnya, pembentukan Dokuritsu Junbi Cosakai alias BPUPKI baru diresmikan pada 29
April 1945, sedangkan pelantikan para anggotanya dilakukan hampir sebulan kemudian, 28 Mei
1945. Secara garis besar, BPUPKI dibentuk untuk "menyelidiki hal-hal yang penting sekaligus
menyusun rencana mengenai persiapan kemerdekaan Indonesia," demikian seperti yang
termaktub dalam Maklumat Gunseikan (Kepala Pemerintahan Militer merangkap Kepala Staf)
Nomor 23. Maklumat yang sama memaparkan tugas BPUPKI: mempelajari semua hal penting
terkait politik, ekonomi, tata usaha pemerintahan, kehakiman, pembelaan negara, lalu lintas,
dan bidang-bidang lain yang dibutuhkan dalam usaha pembentukan negara Indonesia (Asia
Raya, 29 April 1945). Pengaruh Jepang dalam mengiringi kinerja BPUKI masih cukup kuat,
termasuk pada komposisi keanggotaannya yang terdiri dari seorang kaico (ketua), 2 orang fuku
kaico (ketua muda), dan 59 orang iin atau anggota (R.M. A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-
Undang Dasar 1945, 2004:10). Radjiman Wediodiningrat ditunjuk sebagai kaico. Ia adalah
tokoh yang dituakan, priyayi Jawa berpengaruh sekaligus sosok penting yang turut menggagas
Boedi Oetomo pada 1908. Sedangkan sebagai ketua muda adalah Raden Pandji Soeroso dan
Ichibangase Yoshio (wakil Jepang). Ke-59 anggota BPUPKI didominasi orang Indonesia,
termasuk 4 orang dari golongan Cina, 1 orang golongan Arab, dan 1 peranakan Belanda. Selain
itu, ada pula tokubetu iin (anggota kehormatan), terdiri 8 orang Jepang. Mereka berhak
menghadiri sidang tapi tidak punya hak suara (Marwati Djoened Poesponegoro & Nugroho
Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, 1984:67). Memperdebatkan Pancasila BPUPKI
dalam periode kinerjanya, yang hanya beberapa bulan, telah menggelar 2 kali sidang resmi: 29
Mei sampai 1 Juni, dan 10-17 Juli 1945. Ada satu sidang lagi yang dilakukan kendati tidak resmi
dan hanya diikuti beberapa anggota pada masa reses, antara 2 Juni hingga 9 Juli 1945.
Setidaknya ada 12 anggota yang berpidato di sidang pertama, salah satunya M. Yamin. Ia
memaparkan kelengkapan negara yang dibutuhkan Indonesia jika merdeka nanti. Di sinilah M.
Yamin merumuskan 5 asas dasar negara, yaitu Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri
Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Pada hari ketiga sidang pertama itu,
Mr. Soepomo juga mengungkapkan rumusan serupa, yang diberi nama "Dasar Negara
Indonesia Merdeka”, yaitu Persatuan, Kekeluargaan, Mufakat dan Demokrasi, Musyawarah,
serta Keadilan Sosial. Di hari terakhir, pada 1 Juni 1945, tepat hari ini 74 tahun lalu, Sukarno
memperkenalkan 5 sila, yang terdiri dari Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme dan Peri
Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Inilah hari lahir Pancasila. Hingga sidang usai, belum ada kesepakatan yang dicapai. Ada beda
pendapat yang cukup tajam antara kubu nasionalis dan kubu agamis, salah satunya tentang
bentuk negara, antara negara kebangsaan atau negara Islam, meskipun hal ini bukanlah
persoalan yang baru (Bernhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, 1987:232).
Maka dibentuklah Panitia Sembilan untuk menemukan jalan tengah dalam perumusan dasar
negara. Panitia ini terdiri dari Sukarno, Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, M. Yamin, Wahid
Hasjim, Abdoel Kahar Moezakir, Abikusno Tjokrosoejoso, Haji Agus Salim, dan A.A. Maramis.
Setelah melalui pelbagai perdebatan sengit dalam perundingan alot pada sidang Panitia
Sembilan tanggal 22 Juni 1945, lahirlah rumusan dasar negara RI yang dikenal sebagai Piagam
Jakarta atau Jakarta Charter yang terdiri dari: 1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab 3. Persatuan
Indonesia 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Setelah menyepakati rumusan
dasar negara, meskipun masalah ini sebenarnya belum tuntas dan memuaskan semua pihak
(termasuk nantinya perubahan sila pertama menjadi "Ketuhanan yang Maha Esa"), sidang
BPUPKI selanjutnya membahas tentang perangkat-perangkat negara merdeka lain, salah satu
yang terpenting adalah merancang Undang-Undang Dasar (UUD). Poin-poin penting yang
dibahas dan disepakati adalah pernyataan tentang Indonesia Merdeka, Pembukaan, dan
Batang Tubuh UUD 1945, Ia meliputi: wilayah negara Indonesia; bentuk negara (kesatuan);
bentuk pemerintahan (republik); bendera nasional (Merah Putih); dan bahasa nasional (Bahasa
Indonesia). Tugas BPUPKI selesai dan dibubarkan pada 7 Agustus 1945. Selanjutnya,
dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Berlanjut ke PPKI Pada hari
yang sama pembubaran BPUPKI, langsung dibentuk badan baru bernama PPKI atau Dokuritsu
Junbi Inkai. Jepang mau tidak mau harus terus melanjutkan janji-janjinya karena keadaan yang
semakin gawat. Jepang nyaris lebur setelah Hiroshima dibom oleh Amerika Serikat atas
persetujuan Sekutu pada 6 Agustus 1945. Bahkan, beberapa hari berselang, 9 Agustus 1945,
Jepang kena pukulan telak lagi menyusul bom atom di Nagasaki. Berbeda dari BPUPKI yang
masih melibatkan orang Jepang, seluruh anggota PPKI adalah orang Indonesia. Bedanya lagi,
jika keanggotaan BPUPKI didasarkan atas latar belakang ideologis, orang-orang yang mengisi
formasi PPKI dipilih dengan dasar kedaerahan (Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa,
2006:342). Anggota awal PPKI ada 21 orang, terdiri dari 12 orang Jawa, 3 orang Sumatera, 2
orang Sulawesi, 1 orang Kalimantan, 1 orang Nusa Tenggara, 1 orang Maluku, dan 1 orang
peranakan Tionghoa, dengan Sukarno sebagai ketuanya. Namun, tanpa sepengetahuan
Jepang, keanggotaan PPKI ditambah 6 orang lagi sehingga totalnya menjadi 27 anggota.
Tujuan PPKI dibentuk untuk “mempercepat semua upaya persiapan terakhir bagi pembentukan
sebuah pemerintahan Indonesia merdeka”. Sementara tugasnya, antara lain: meresmikan
Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 yang telah disepakati di level BPUPKI;
mempersiapkan pemindahan kekuasaan dari Jepang; dan menyusun segala sesuatu terkait
tata negara setelah Indonesia merdeka nanti. Hasil Sidang PPKI Hasil sidang perdana PPKI
hanya sedikit mengubah Pasal 6 Ayat (1) yang semula berbunyi: “Presiden ialah orang
Indonesia asli dan beragama Islam” diganti menjadi “Presiden ialah orang Indonesia asli.”
Perubahan itu terjadi setelah tiga pimpinan PPKI, yakni Sukarno, Hatta, dan Radjiman,
diundang ke Dalat (Vietnam) untuk bertemu Marsekal Terauchi pada 8 Agustus 1945. Di
momen itu pemerintah Jepang memutuskan untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia
(St Sularto & Dorothea Rini Yunarti, Konflik di Balik Proklamasi, 2010:98). Jepang akhirnya
benar-benar kalah dari Sekutu. Dan, atas desakan kaum muda, Indonesia menyatakan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan itu dilakukan tanpa
menunggu persetujuan Jepang sehingga apa yang selama ini direncanakan Dai Nippon tidak
tercapai. Sidang PPKI berikutnya digelar pada 18 dan 19 Agustus 1945 yang menghasilkan
pengesahan UUD 1945, memilih Sukarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI,
membentuk 12 Kementerian dan 4 Menteri Negara, serta membentuk pemerintahan daerah
yang terdiri dari 8 provinsi. Selain itu, dirumuskan pula gagasan pembentukan Komite Nasional
Indonesia untuk membantu presiden dan wakil presiden. Komite ini diresmikan dalam sidang
berikutnya pada 22 Agustus 1945. Ia juga menghasilkan pembentukan Badan Keamanan
Rakyat (BKR) sebagai angkatan perang Republik Indonesia, cikal-bakal TNI dan Polri. Misi
akal-akalan Jepang akhirnya gagal meskipun telah direncanakan cukup matang dengan
pembentukan BPUPKI. PPKI yang dibentuk setelahnya justru menjadi penegas bahwa Jepang
memang harus menyerah pada kekuatan pemuda dan kaum pergerakan dalam perkara
kemerdekaan bangsa Indonesia. ========== Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 1 Juni
2017 dengan judul "Peran BPUPKI dan PPKI di Seputar Hari Lahir Pancasila" dan merupakan
bagian dari laporan mendalam tentang pidato Pancasila Bung Karno. Kami melakukan
penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca selengkapnya di artikel "Sejarah Hari Lahir Pancasila: Peran BPUPKI dan
PPKI", https://tirto.id/cpMp

Anda mungkin juga menyukai