Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

MIKROBIOLOGI KLINIK
“ Penyebab Infeksi Nosokomial”

Oleh

Dyah Ratna Ayu Puspita Sari

N012171016

Program Magister Farmasi


Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin
Makassar
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi nosokomial merupakan salah satu penyebab meningkatnya angka
kesakitan (morbidity) dan angka kematian (mortality) di rumah sakit. Infeksi
nosokomial dapat menjadi masalah kesehatan baru, baik di negara berkembang
maupun di negara maju. Oleh karena itu rumah sakit dituntut untuk dapat
memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar yang sudah
ditentukan dan harus diterapkan oleh semua kalangan petugas kesehatan. Infeksi
yang muncul selama seseorang tersebut dirawat dirumah sakit dan mulai
menunjukkan suatu gejala selama seseorang itu dirawat atau setelah selesai
dirawat disebut infeksi nosokomial. Secara umum pasien yang masuk rumah sakit
dengan tanda infeksi yang timbul kurang dari 3 kali 24 jam, menunjukkan bahwa
masa inkubasi penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit,
sedangkan infeksi dengan gejala 3 kali 24 jam setelah pasien berada dirumah sakit
tanpa tanda-tanda klinik infeksi pada waktu penderita mulai dirawat, serta tanda
infeksi bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumya, maka ini yang disebut
infeksi nosokomial (Salawati, 2012).
Infeksi nosokomial merupakan masalah serius bagi rumah sakit. Kerugian
yang ditimbulkan sangat membebani rumah sakit dan pasien. Pencegahan dan
pengendalian infeksi nosokomial merupakan upaya penting dalam meningkatkan
mutu pelayanan medis rumah sakit. Program pengendalian infeksi ini dapat
dikelompokan dalam tiga kelompok yaitu tindakan operasional, tindakan
organisasi, dan tindakan struktural. Tindakan operasional mencakup kewaspadaan
standar dan kewaspadaan berdasarkan penularan/transmisi (Salawati, 2012).
Selain itu, infeksi nosokomial dapat menambah keparahan penyakit dan
stres emosional yang mengurangi kualitas hidup pasien. Bertambahnya lama hari
perawatan, penggunaan obat dan pemeriksaan laboratorium karena adanya infeksi
nosokomial menyebabkan peningkatan biaya perawatan pasien. Dampak infeksi
nosokomial yang didapat di rumah sakit juga dalam beberapa kasus,
menyebabkan kondisi yang mengurangi kualitas hidup. Infeksi nosokomial juga
merupakan salah satu penyebab utama kematian (Salawati, 2012).
Secara umum proses terjadinya penyakit melibatkan tiga faktor yang
saling berinteraksi yaitu faktor penyebab penyakit yang sering disebut agen,
faktor manusia yang sering disebut pejamu/host, dan faktor lingkungan. Ketiga
faktor tersebut saling mempengaruhi dan dalam epidemilogi disebut trias
penyebab penyakit. Penyakit dapat timbul dengan beberapa penyebab salah
satunya adalah mikroba patogen seperti bakteri, virus, jamur, dan lain-lain.
Penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen ini disebut penyakit infeksi.
Mikroba sebagai makhluk hidup (biotis) harus berkembang biak, bergerak dan
berpindah tempat untuk bertahan hidup. Habitat mikroba ini berkembang biak dan
bertahan hidup disebut reservoir (Darmadi, 2008).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Infeksi Nosokomial
Istilah nosokomial berasal dari bahasa Yunani yaitu nosokomeion yang
berarti rumah sakit (nosos = penyakit, komeo = merawat). Infeksi nosokomial
dapat diartikan infeksi yang berasal atau terjadi di rumah sakit. Infeksi yang
timbul dalam kurun waktu 48 jam setelah dirawat di rumah sakit sampai dengan
30 hari lepas rawat dianggap sebagai infeksi nosokomial. Suatu infeksi pada
pasien dapat dinyatakan sebagai infeksi nosokomial bila memenuhi beberapa
kriteria :
1. Pada waktu pasien mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda
klinis infeksi tersebut.
2. 2. Pada waktu pasien mulai dirawat di rumah sakit tidak sedang dalam
masa inkubasi infeksi tersebut.
3. Tanda klinis infeksi tersebut baru timbul sekurangkurangnya 48 jam sejak
mulai perawatan.
4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa infeksi sebelumnya (Khan et al.,
2017)
Terjadinya infeksi nosokomial dipengaruhi oleh banyak faktor
(multifaktorial), baik faktor yang ada di dalam diri (badan, tubuh) penderita
sendiri, maupun faktor yang berada disekitarnya (Darmadi, 2008). Infeksi
nosokomial berdasar sifatnya dapat dikelompokkan menjadi infeksi nosokomial
endemik (lebih sering terjadi) dan infeksi nosokomial epidemik. Pada kelompok
infeksi nosokomial epidemik terjadi peningkatan yang luar biasa jumlah
penderita. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya frekuensi infeksi
nosokomial rumah sakit adalah:
1. Status Immunocompromised penderita yang rawat inap.
2. Tindakan invasif dan pengobatan yang dilakukan
3. Perlengkapan dan fasilitas rumah sakit yang tidak baik meningkatkan
penularan mikroorganisme penular penyakit
4. Penggunaan antibiotika yang berlebihan memicu terjadinya resistensi
terhadap antibiotika

2.2 Tipe Infeksi Nosokomial


Jenis infeksi yang paling sering terjadi adalah infeksi aliran darah berpusat
garis tengah (Central line-associated bloodstream infections), infeksi saluran
kencing terkait kateter (Catheter associated urinary tract infections), infeksi di
tempat operasi (Surgical site infections) dan pneumonia terkait ventilator
(Ventilator associated pneumonia) (Khan et al., 2017).

2.2.1 Central line-associated bloodstream infections (CLABSI)


CLABSI adalah infeksi nosokomial yang mematikan dengan tingkat
kejadian kematian 12% -25%. Kateter digunakan untuk menyediakan cairan dan
obat-obatan namun penggunaannya yang berkepanjangan dapat menyebabkan
infeksi saluran darah yang serius yang mengakibatkan kesehatan yang terganggu
dan kenaikan biaya perawatan . Meskipun ada penurunan 46% di CLABSI dari
tahun 2008 ampai 2013 di rumah sakit AS namun diperkirakan 30.100 CLABSI
masih terjadi di ICU dan fasilitas akut di AS setiap tahunnya (Khan et al., 2017).

2.2.2 Catheter associated urinary tract infections (CAUTI)


CAUTI adalah jenis infeksi nosokomial yang paling umum di dunia.
Menurut statistik perawatan akut di tahun 2011, ISK mencakup lebih dari 12%
infeksi yang dilaporkan. CAUTI disebabkan oleh mikroflora asli endogen pasien.
Kateter ditempatkan di dalam berfungsi sebagai saluran untuk masuk bakteri
sedangkan drainase yang tidak sempurna dari kateter mempertahankan beberapa
volume urin di kandung kemih yang memberikan stabilitas pada kediaman
bakteri. CAUTI dapat berkembang menjadi komplikasi seperti, orchitis,
epididimitis dan prostatitis pada pria, dan pielonefritis, sistitis dan meningitis pada
semua pasien (Khan et al., 2017).
2.2.3 Surgical site infections (SSI)
SSI adalah infeksi nosokomial yang terjadi pada 2% -5% pasien yang
menjalani operasi. Ini adalah jenis infeksi nosokomial yang paling umum kedua
yang terutama disebabkan oleh Staphylococcus aureus yang mengakibatkan rawat
inap dan risiko kematian yang berkepanjangan. Patogen penyebab SSI timbul dari
mikroflora endogen pasien (Khan et al., 2017). Infeksi nosokomial yang terjadi di
daerah pembedahan berkisar antara 0,5 sampai 15% tergantung pada jenis
pembedahan dan keadaan kesehatan penderita. Terjadinya infeksi nosokomial di
daerah pembedahan memperpanjang masa rawat inap pasca bedah yang berkisar
antara 3 dan 20 hari.
Infeksi pada luka bedah dapat terjadi di tempat luka bedah selama operasi
sedang berlangsung, dapat bersifat eksogen yang berasal dari luar daerah operasi,
misalnya dari udara, berasal dari alat-alat bedah, dari dokter bedah dan perawat,
atau bersifat endogen yang berasal dari flora kulit, atau dari tempat operasi, atau
kadangkadang berasal dari darah yang digunakan dalam operasi. Mikroorganisme
yang menyebabkan infeksi nosokomial bermacam-macam jenisnya tergantung
pada macam dan lokasi pembedahan, dan dari jenis antimikroba yang diberikan
pada penderita (Soedarto, 2016).
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi nosokomial di tempat
pembedahan selama berlangsungnya pembedahan adalah teknik dan cara kerja
pembedahan (misalnya kebersihan), lama berlangsungnya operasi, dan kondisi
kesehatan umum penderita. Faktor lainnya adalah adanya benda asing termasuk
drain (pipa saluran), virulensi mikroorganisme, adanya infeksi di tempat lain,
pencukuran rambut preoperasi, dan kerjasama tim pembedah (Soedarto, 2016).

2.2.4 Ventilator associated pneumonia (VAP)


VAP adalah pneumonia nosokomial yang ditemukan pada 9-27% pasien
dengan ventilator mekanis. Biasanya terjadi dalam 48 jam setelah inkubasi trakea.
86% pneumonia nosokomial berhubungan dengan ventilasi. VAP memiliki gejala
umum seperti demam, leukopenia, dan suara bronkial (Khan et al., 2017).
Pneumonia nosokomial dapat terjadi pada berbagai kelompok penderita
yang berbeda, yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU) yang dilengkapi
ventilator. Mikroorganisme dapat ditemukan di dalam lambung, di jalan napas
bagian atas dan bronki dapat menyebabkan infeksi paru (pneumonia). Mikroba
penyebabnya terutama bersifat endogen yang berasal dari sistem pencernaan atau
hidung dan tenggorok, atau dapat juga bersifat eksogen yang berasal dari alat
bantu pernapasan yang tercemar mikroba. Dasar penetapan diagnosis pneumonia
didasarkan pada kriteria klinik dan radiologik, adanya dahak bernanah, dan
adanya demam. Disamping terkait dengan pencemaran ventilator, infeksi
nosokomial pneumonia dipengaruhi oleh keadaan kesadaran penderita.
Bronchiolitis viral (respiratory syncytial virus- RSV) sering ditemukan di unit
perawatan anak, sedangkan influenza dan pneumonia bakterial sekunder sering
ditemukan di rumah perawatan orang lanjut usia. Pada penderita
immunocompromized yang rendah daya tahan tubuhnya, pneumonia dapat
disebabkan oleh Legionella dan jamur Aspergillus (Soedarto, 2016).

2.2.5 Bacterimia Nosocominal


Infeksi ini mewakili sebagian kecil infeksi nosokomial (sekitar 5%) namun
angka kejadian karsinat tinggi - lebih dari 50% untuk beberapa mikroorganisme.
Kejadiannya meningkat, terutama untuk organisme tertentu seperti multiresisten
koagulase-negatif Staphylococcus dan Candida spp. Infeksi dapat terjadi di tempat
masuk kulit perangkat intravaskular, atau di jalur subkutan kateter (infeksi
terowongan). Organisme yang mengkolonisasi kateter dapat memproduksi
bakteremia tanpa infeksi eksternal yang nyata. Faktor risiko utama adalah
panjangnya kateterisasi, tingkat asepsis pada insersi, dan melanjutkan perawatan
kateter (WHO, 2002).

2.3 Faktor Penyebab Infeksi Nosokomial


2.4.1 Agen mikroba
Pasien terinfeksi berbagai mikroorganisme selama dirawat di rumah sakit.
Kontak antara pasien dan mikroorganisme tidak dengan sendirinya berakibat pada
perkembangan penyakit klinis. Faktor lain mempengaruhi sifat dan frekuensi
infeksi nosokomial. Kemungkinan terpapar yang menyebabkan infeksi sebagian
bergantung pada karakteristiknya dari mikroorganisme, termasuk resistensi untuk
agen antimikroba, virulensi intrinsik, dan jumlah (inokulum) bahan infektif.
Banyak bakteri, virus, jamur dan parasit yang berbeda dapat menyebabkan infeksi
nosokomial. Infeksi mungkin terjadi disebabkan oleh mikroorganisme yang
diperoleh dari yang lain orang di rumah sakit (cross-infection) atau mungkin
disebabkan oleh flora pasien sendiri (endogenous infection) (WHO, 2002).
Beberapa organisme dapat diperoleh dari benda mati atau zat baru
terkontaminasi dari sumber manusia lain (lingkungan infeksi). Kebanyakan
infeksi rumah sakit disebabkan oleh patogen yang berasal dari luar (penyakit
bawaan makanan dan udara, gangren gas, tetanus, dll) atau disebabkan oleh
mikroorganisme yang bukan merupakan flora normal pasien (misalnya difteri,
tuberkulosis). Kemajuan dalam pengobatan antibiotik terhadap infeksi bakteri
telah berkurang drastis. Kematian dari banyak penyakit menular. Sebagian besar
infeksi yang didapat di rumah sakit saat ini disebabkan oleh mikroorganisme yang
umum terjadi pada populasi umum, yang menyebabkan penyakit tidak ada atau
lebih ringan daripada pasien rumah sakit (Staphylococcus aureus, staphylococci
negatif koagulase, enterococci, Enterobacteriaceae) (WHO, 2002).

2.4.2 Kerentanan Pasien


Faktor pasien yang mempengaruhi infeksi adalah usia, status kekebalan
tubuh, penyakit bawaan, intervensi diagnostik dan terapeutik. Masa ekstrem
kehidupan bayi dan usia tua terkait dengan penurunan resistensi terhadap infeksi.
Penderita penyakit kronis seperti tumor ganas, leukemia, diabetes mellitus, gagal
ginjal, atau acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) memiliki kerentanan
yang meningkat terhadap infeksi patogen oportunistik. Yang terakhir adalah
infeksi dengan organisme yang biasanya tidak berbahaya, misalnya bagian dari
flora bakteri normal pada manusia, tapi bisa menjadi patogen ketika pertahanan
imunologi tubuh terganggu. Obat imunosupresif atau iradiasi dapat menurunkan
resistensi terhadap infeksi. Luka pada kulit atau selaput lendir bypass mekanisme
pertahanan alami. Malnutrisi adalah juga resiko Banyak prosedur diagnostik dan
terapeutik modern, seperti biopsi, pemeriksaan endoskopik, kateterisasi, intubasi /
ventilasi dan suction dan prosedur bedah meningkatkan risiko infeksi. Benda atau
zat yang terkontaminasi dapat langsung dikenalkan ke jaringan atau tempat yang
biasanya steril seperti saluran kemih dan saluran pernapasan bagian bawah
(Soedarto, 2016).

2.4.3 Resistensi Antibiotik


Resistensi terhadap antimikroba adalah keadaan dimana suatu
mikroorganisme sudah kebal terhadap antibiotik yang biasa digunakan.
Organisme-organisme yang sudah kebal dapat berupa bakteri, jamur, virus, atau
parasit yang sudah resisten terhadap antibiotik, antijamur, antivirus atau
antiparasit, sehingga standard pengobatan menjadi tidak lagi efektif, sehingga
infeksi dapat lebih mudah menyebar ke orang lain. Evolusi terjadinya strain yang
resisten merupakan fenomena alami yang terjadi jika mikroorganisme terpapar
obat-obatan antimikroba, dan terjadi perpindahan sifat resisten antara jenisjenis
tertentu mikroorganisme. Penggunaan antimikroba yang tidak tepat dapat
mempercepat fenomena alami resistensi. Pengendalian infeksi yang buruk
pelaksanaannya meningkatkan penyebaran mikroorganisme yang sudah resisten.
Infeksi oleh mikroorganisme yang resisten antibiotik tidak dapat diobati dengan
antibiotik yang biasa diberikan, sehingga memperpanjang masa sakit dan
meningkatkan biaya perawatan serta berisiko lebih tinggi terjadinya kematian
(Soedarto, 2016).
Mycobacterium tubercukosis yang sudah kebal terhadap isoniazid dan
rifampicin (multiple drug-resistance: MDR-TB) membutuhkan waktu pengobatan
yang lebih lama karena pengobatan menjadi kurang efektif. Menurut WHO
terdapat sekitar 630.000 orang menderita MDR-TB di seluruh dunia. Di negara-
negara endemik malaria, jumlah penderita malaria yang resisten terhadap
klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin semakin banyak. Sejumlah besar infeksi
nosokomial rumah sakit ( hospital acquired infections) disebabkan oleh bakteri
yang sudah resisten antibiotik, misalnya MRSA (methicillin-resistant
Staphylococcus aureus) dan multidrug-resistant (MDR) bakteri Gram-negatif.
Terjadinya mekanisme resistensi yang baru menyebabkan generasi terbaru
antibiotik banyak yang tidak efektif (Soedarto, 2016).

2.4.4 Manusia sebagai sumber terjadinya infeksi nosokomial


Dalam hal ini manusia dapat bertindak sebagai :
 Sumber dan cadangan utama mikroorganism
 Penular utama, terutama selama pengobatan
 Reseptor bagi mikroorganisme, sehingga menjadi sumber cadangan
baru

2.5 Mikroorganisme Penyebab Infeksi Nosokomial


Infeksi nosokomial dapat disebabkan oleh berbagai jenis patogen, yang
berbeda jenisnya, tergantung pada perbedaan populasi penderita, pengaturan
sarana perawatan kesehatan, dan perbedaan negara. Mikroorganisme patogen
penyebab infeksi nosokomial dapat berupa bakteri, virus, parasit dan jamur.
A. Bakteri
Bakteri merupakan patogen yang paling sering menjadi penyebab infeksi
nosokomial. Bakteri dapat dikelompokkan menjadi bakteri komensal (commensal
bacteria) dan bakteri patogenik (patogenic bacteria) (Soedarto, 2016). Bakteri
adalah patogen yang paling umum yang bertanggung jawab atas infeksi
nosokomial. Sebagian berasal dari flora alami pasien dan hanya menyebabkan
infeksi ketika sistem kekebalan pasien menjadi rentan terhadap infeksi. Adapun
bakteri-bakteri tersebut adalah sebagai berikut :
1. S. Aureus
Dari banyak spesies genus Staphylococcus, S. aureus dianggap sebagai
salah satu patogen yang paling penting, bertanggung jawab atas infeksi
nosokomial. S. Aureus merupakan cocci Gram positif, pembentukan non-
spora, katalase dan koagulase-positif, immotile, fakultatif anaerob. Bukan
hanya organisme penyebab penyakit tapi juga berperan sebagai komensal.
Bakteri ini umunya berkoloni di nasal. Pasien rawat inap dengan kekebalan
tubuh menurun dan orang yang imunokompeten di masyarakat lebih rentan
terhadap infeksi S. aureus. S. aureus menginfeksi tidak hanya jaringan
dangkal tetapi juga jaringan dalam dan lesi abses lokal. Penyakit yang
disebabkan oleh toksin S. aureus termasuk keracunan makanan, karena
konsumsi enterotoksin, sedangkan toksin toksin toksik toksik 1 bertanggung
jawab atas sindrom kejutan toksik dan racun eksfoliatif menyebabkan
sindrom kulit tersumbat staphylococcal. Mekanisme virulensi S. aureus
meliputi racun, enzim dan modulator imun. Penularan S. aureus melalui kulit
individu yang terinfeksi atau kontak melalui barang dan permukaan bersama
seperti gagang pintu, bangku, handuk dan keran (Khan et al., 2015).
2. E. Coli
E. coli adalah patogen nosokomial yang menyebabkan masalah pada
pengaturan perawatan kesehatan. E. coli adalah bakteri anaerob fakultatif
gram negatif dan oksidatif negatif. Bisa berkoloni di saluran pencernaan
manusia dan hewan lainnya. E. coli bertanggung jawab atas sejumlah
penyakit termasuk ISK, septikemia, pneumonia, meningitis neonatal,
peritonitis dan gastroenteritis. Faktor virulensi yang dimaksudkan untuk
patogenisitasnya adalah endotoksin, kapsul, adhesi dan sistem sekresi tipe 3.
Faktor virulensi khusus terlihat pada kasus ISK dan gastroenteritis. E. coli
dapat ditularkan melalui orang ke orang, lingkungan atau air dan makanan
yang terkontaminasi (Khan et al., 2015).
3. Enterococci resisten vankomisin
Enterococci adalah penyebab utama kedua infeksi yang didapat di seluruh
dunia di seluruh dunia dan penyebab utama utama di Amerika Serikat
berkontribusi 20% -30% infeksi. Ini adalah mikroba enterik Gram positif
fakultatif fakultatif. Mereka adalah bagian mikrobiota normal di saluran
genital wanita dan saluran pencernaan juga. Enterococci terlibat dalam infeksi
yang ditularkan melalui darah; ISK dan infeksi luka mengikuti prosedur
operasi. Faktor virulensi meliputi protein permukaan ekstraselular, sitolysin,
adhesi, hemolisme, gelatinase, superoksida ekstraselular dan zat agregasi.
Pasien dengan diare adalah sarana penularan yang umum. Item kamar mereka
seperti permukaan dan peralatan bertindak sebagai reservoir. Bakteri ini dapat
bertahan di permukaan tesis selama berhari-hari atau berminggu-minggu dan
menjadi sumber kontaminasi bagi individu perawatan kesehatan dan pasien
lainnya (Khan et al., 2015).
4. K. Pneumonia
Tiga sampai tujuh persen infeksi bakteri yang didapat di rumah sakit
terkait dengan K. pneumonia, yang merupakan patogen penting kedelapan di
rangkaian layanan kesehatan.Bakteri ini adalah basil Gram positif dan bakteri
oportunistik, yang merupakan bagian dari keluarga Enterobacteriaceae.
Biasanya menjajah saluran pencernaan, pharink dan kulit. Ini terlibat dalam
penyakit seperti septikemia neonatal, pneumonia, infeksi luka dan septikemia.
Faktor virulensinya meliputi endotoksin, reseptor dinding sel dan polisakarida
kapsul. Di rumah sakit, K. pneumonia dapat ditularkan melalui kontak
langsung ke orang dan terutama bila petugas kesehatan tidak mencuci atau
membersihkan tangan setelah memeriksa pasien yang terkontaminasi. Mesin
pernapasan, kateter atau luka terbuka bisa menjadi sumber penularannya. K.
pneumoniae dilaporkan ditularkan melalui tinja (77%), tangan pasien (42%)
dan pharynx (19%) (Khan et al., 2015).
5. P. aeruginosa
P. aeruginosa menyumbang 11% dari semua infeksi nosokomial, yang
menghasilkan tingkat mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Ini adalah
organisme gram negatif non-fermentasi yang menyebabkan penyakit terutama
di kalangan orang yang mengalami kekebalan kekebalan. Situs kolonisasi
adalah ginjal, saluran kencing dan saluran pernapasan bagian atas. Ini adalah
penyebab infeksi bedah dan luka, ISK, pneumonia, fibrosis kistik dan
bakteremia. Beberapa faktor virulensi penting adalah adhesi, hemolisme,
eksotoksin, protease dan siderophores. Reservoir umum untuk kontaminasi
meliputi pompa payudara, inkubator [26], bak cuci dan tangan staf rumah
sakit dan sabun tangan. (Khan et al., 2015).
6. Clostridium difficile (C. difficile)
C.difficale adalah spesies bakteri Gram-positif dan basil pembentuk spora,
bersifat anaerob, bisa bergerak (motil), berada di semua tempat di alam,
terutama di tanah. C.difficile adalah patogen nosokomial penting yang
terutama menyebabkan diare (Soedarto,2016). Biasanya berkoloni di saluran
usus dan berfungsi sebagai mikrobiota normal.

Gambar 1. Gambaran mikroskopik menunjukkan C.difficile bakteri-resisten antibiotika


penyebab diare berat

Di bawah mikroskop, clostridia berbentuk seperti pemukul gendang atau


seperti jarum dengan pembesaran di ujungnya. Sel C.difficile bersifat Gram-
positif, tumbuh optimum pada agar darah (blood agar) pada suhu tubuh pada
suasana tidak ada oksigen.

Gambar 2. Biakan Clostridium difficile pada medium agar darah


Pada lingkungan yang tidak sesuai, bakteri membentuk spora yang mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. C.difficile termasuk penyebab
diare yang sangat penting, yaitu antibiotic-associated diarrhea (AAD) dan
dapat menyebabkan kolitis pseudomembran (pseudomembranous colitis),
suatu keradangan berat pada kolon, yang sering terjadi karena lenyapnya fl
ora normal usus oleh antibiotik. Selain itu dapat juga terjadi toxic megacolon
yang dapat membahayakan jiwa penderita (Soedarto, 2016). Lebih dari 50%
orang sehat mengandung bakteri ini di dalam ususnya. Organisme ini berada
dalam pengendalian bakteri simbion (bakteri sehat) yang hidup di tempat
yang sama, misalnya oleh bakteri Lactobacillus. Jika bakteri simbion
menghilang, maka Clostridium akan dengan bebas berkembang biak
(overgrowth) dan menghasilkan toksin yang dapat menimbulkan kerusakan
pada permukaan kolon. Keadaan ini menyebabkan terjadinya kolitis
pseudomembran, keradangan seluruh bagian kolon disertai pembentukan
pseudomembran, suatu kumpulan sel radang, fibrin dan sel nekrotik yang
lengket. Penderita akan mengalami kembung, konstipasi, diare dan nyeri
perut. Jika toksin masuk ke dalam sirkulasi darah, hal ini dapat menyebabkan
gejala yang mirip flu (Soedarto, 2016).
Toksin yang dihasilkan oleh strain C.difficile yang patogen adalah
enterotoxin (toksin A C.difficile) dan cytotoxin (toksin B C.difficile) yang
keduanya dapat menyebabkan diare. Antibiotik berspektrum lebar yang sering
memicu terjadinya infeksi dengan Clostridium adalah Amoksisilin, Ampisilin
dan atau Klindamisin. Selain itu Eritromisin, Azitromisin, Klaritromisin dan
Penisilin dapat juga menimbulkan masalah ini. Tanda pertama jika terjadi
diare yang disebabkan oleh infeksi dengan bakteri ini akan dikeluarkan toksin
yang dapat melumpuhkan kolon sehingga diare berhenti, tetapi perut menjadi
o
membesar. Penderita dapat mengalami demam sampai 40,5 C dan dapat juga
terjadi perdarahan akibat terjadi kerusakan permukaan kolon (Soedarto,
2016). Bakteri C.difficile terdapat di dalam tinja. Seseorang dapat terinfeksi
jika memegang benda-benda atau permukaan benda yang tercemar tinja, lalu
menyentuh mulut atau selaput lendir (membran mukosa). Karena itu
C.difficile dapat ditularkan dari seorang penderita ke orang lainnya melalui
jalur fecal-oral. Petugas kesehatan yang terinfeksi bakteri ini dapat
menyebarkan bakteri pada penderita-penderita yang dirawatnya atau
mencemari benda-benda yang dipegangnya. Organisme ini dalam jumlah
besar membentuk spora yang tahan terhadap suhu tinggi dan alkohol yang
terdapat dalam larutan pembersih tangan. Karena itu spora tetap hidup pada
lingkungan rumah sakit dan lingkungan tempat perawatan dalam waktu lama.
Spora yang tertelan akan melewati lambung dengan aman karena sifatnya
yang tahan asam, kemudian akan menjadi sel vegetatif di dalam kolon.
Sesudah itu sel vegetatif akan terpapar asam empedu dan berkembang biak.
Beberapa jenis disinfektan yang biasa digunakan di rumah sakit tidak efektif
membunuh spora C.difficile, dan bahkan merangsang terbentuknya spora.
Akan tetapi, disinfektan yang mengandung bahan pemutih (bleach) mampu
membunuh organisme ini dengan efektif (Soedarto,2016).
Mencegah infeksi dengan menggunakan sarung tangan pada waktu
merawat penderita CDAD terbukti efektif, karena dapat membatasi
penyebaran C.difficile di tatanan rumah sakit. Selain itu, mencuci tangan
dengan sabun dan air akan membersihkan spora dari tangan yang tercemar.
Penggunaan pembersih yang mengandung sodium hipoklorit 0.55% dapat
membunuh spora dan mencegah penularan antar penderita. Akan tetapi
penggunaan pembersih tangan beralkohol tidak efektif. Pembuatan toilet
berpenutup dan menutup toilet sebelum disiram (flushing) dapat mengurangi
risiko kontaminasi. Melakukan sterilisasi kamar penderita sesudah penderita
pulang dengan mengasapi dengan hydrogen peroxide vapor (HPV) dapat
mengurangi risiko infeksi dan angka infeksi (infection rate) sebesar 42%-53%
(Soedarto,2016).
7. Acinetobacter baumannii
Bakteri ini adalah basil gram-negatif yang bersifat adalah organisme air
yang hidup. Sel A. baumannii pleomorfik aerobik yang sering dapat diisolasi
dari penderita yang dirawat di rumah sakit, dan dari lingkungan rumah sakit.
Acinetobacter baumannii berkelompok di lingkungan yang berair. Organisme
ini sering dapat dibiakkan dari dahak penderita yang dirawat di rumah sakit
atau dari cairan pernapasan, luka-luka, dan urine. Pada perlengkapan rumah
sakit, organisme ini biasanya hidup sebagai koloni dalam cairan intravenus
dan ciran pelarut lainnya. Spesies Acinetobacter rendah virulensinya tetapi
masih mampu menyebabkan infeksi (Soedarto,2016).

Gambar 3. Sel A. Baumannii dibiakkan pada medium Luria-Bertani. Pada pewarnaan gram.
Panah menunjukkan satu individu sel.

Kuman ini jarang ditemukan pada orang sehat, tetapi dapat menjadi
patogen yang oportunistik pada manusia, yang menyebabkan penyakit pada
orang yang terganggu sistem imun tubuhnya (compromised) dan menjadi
penyebab penting infeksi dapatan di rumah sakit (penyakit nosokomial).
A.baumannii juga disebut “iraqibacter” karena berkaitan dengan terjadinya
keadaan kedaruratan yang mendadak di fasilitas pengobatan militer selama
perang Irak. Kejadian tersebut juga berlanjut pada tentara dan veteran yang
ditugaskan di Irak dan Afganistan. A.baumannii yang resisten terhadap
banyak obat (multidrug resistant-MDR) kemudian menyebar ke rumah sakit-
rumah sakit sipil yang pernah merawat tentara yang terinfeksi A.baumannii
melalui alat-alat kesehatan yang digunakan. Acinetobacter baumannii adalah
bakteri Gram negatif berbentuk batang pendek agak bulat (coccobacilus).
Bakteri ini tidak mempunyai flagel (Soedarto, 2016). Acinetobacter
seringkali ditemukan pada penderita-penderita yang sedang dirawat di ICU,
terutama penderita yang mendapatkan perawatan intubasi dan yang
memerlukan banyak saluran intravenous atau perlengkapan monitoring, pipa-
pipa pembedahan, atau kateter saluran urinari. Berbagai faktor yang
mempengaruhi pembentukan koloni koloni bakteri atau terjadinya infeksi
dengan spesies Acinetobacter yang sudah kebal terhadap banyak obat, antara
lain adalah :

 Masa rawat inap yang lebih lama di rumah sakit,


 terjadinya kontaminasi di unit perawatan intensif (Intensive Care Unit-
ICU)
 penggunaan alat pernapasan mekanik (ventilator)
 paparan dengan agen antimicrobial
 akibat pembedahan
 tindakan yang invasif
 adanya penyakit berat yang tidak diketahui (underlying disease)

Meskipun Acinetobacter berasal dari kelompok bakteri dari lingkungan


rumah sakit, tetapi jarang menimbulkan infeksi. Angka kesakitan (morbiditas)
dan angka kematian (mortalitas) akibat infeksi Acinetobacter yang terdapat
bersama-sama penyakit yang sudah ada sebelumnya (underlying diseases)
misalnya penyakit-penyakit kardiopulmonal dan menurunnya sistem imun
penderita, dan bukan karena keganasan kuman. Morbiditas dan mortalitas
yang meningkat pada penderita infeksi Acinetobacter yang berat karena
penyakit multisistem juga terutama disebabkan oleh underlying illness dan
bukan memberatnya infeksi Acinetobacter. Infeksi Acinetobacter tidak
dipengaruhi oleh perbedaan ras dan jenis kelamin, dan dapat diderita oleh
semua kelompok umur (Soedarto,2016).

Masuknya A.baumannii di rumah sakit dan akibat yang ditimbulkannya


telah banyak dilaporkan. Bakteri ini biasanya terbawa oleh penderita yang
berobat ke rumah sakit karena penyakit lain yang dideritanya. Karena
kemampuannya untuk bertahan hidup pada benda-benda buatan dan tahan
terhadap kekeringan, bakteri ini tetap ada dan mampu pada suatu waktu
menginfeksi penderita baru. Diduga terdapatnya A.baumannii di rumah sakit
disebabkan oleh penggunaan antibiotika yang terus menerus oleh penderita di
rumah sakit tersebut. Karena sebagian besar infeksi Acinetobacter pada waktu
ini telah bersifat resisten terhadap banyak obat (multi drug resistant-MDR),
diperlukan upaya untuk menemukan obat yang masih mampu memberantas
galur bakteri ini. Pada waktu ini infeksi Acinetobacter diobati dengan
imipenem atau meropenem. Karena terjadi peningkatan yang terus menerus
resistensi Acinetobacter terhadap carbapenem, metoda pengobatan kembali
menggunakan polimiksin dan kolistin. Kolistin sedapat mungkin hanya
digunakan sebagai pilihan terakhir, mengingat obat ini dapat merusak ginjal
disamping efek samping lainnya. Tindakan pencegahan di rumah sakit
difokuskan pada meningkatkan kebiasaan untuk selalu mencuci tangan dan
memperbaiki prosedur sterilisasi perlengkapan perawatan penderita.

B. Virus
Selain bakteri, virus juga merupakan penyebab penting infeksi
nosokomial. Pemantauan yang biasa mengungkapkan bahwa 5% dari semua
infeksi nosokomial disebabkan oleh virus. Mereka bisa ditularkan melalui mulut
ke mulut, jalur pernafasan dan rute oral (Khan et al., 2017).
Infeksi nosokomial dapat disebabkan berbagai jenis virus, termasuk virus-
virus hepatitis B dan C, respiratory syncytial virus (RSV), rotavirus, dan
enterovirus. Virus hepatitis B dan C dapat ditularkan melalui darah transfusi,
dialisis, suntikan, dan endoskopi, sedangkan enterovirus dapat ditularkan melalui
jalur penularan tangan- ke mulut atau jalur penularan tinja-mulut. Virus-virus lain
yang dapat ditularkan sebagai infeksi nosokomial antara lain adalah
cytomegalovirus, HIV, Ebola, virus influenza, virus herpes simplex, virus
vaicella-zoster, dan hepatitis virus (Soedarto, 2016).
1. Virus hepatitis
Hepatitis adalah radang hati yang bisa disebabkan oleh sebagai penyakit
nosokomial. Infeksi atau bukan infeksi. Infeksi dapat disebabkan oleh virus,
bakteri, jamur atau parasit. Hepatitis viral nosokomial dapat disebabkan oleh
virus hepatitis A (HAV-hepatitis A virus), virus hepatitis B (HBV atau virus
hepatitis C (HCV). HAV adalah picornavirus yang termasuk virus RNA,
HBV adalah DNA virus yang termasuk keluarga hepadnavirus, sedangkan
HCV adalah flavivirus yang termasuk virus RNA. HBV adalah virus dari
keluarga hepadnavirus yang dapat menyebabkan hepatitis serum. HBV adalah
virus DNA berselubung (enveloped) mempunyai ukuran garis tengah sekitar
40 nm, tahan terhadap larutan organik.

Gambar 4. Mikrograf elektron Hepatitis A virus (HAV)

Gambar 5. Gambaran mikroskop elektron virus Hepatitis B

Gambar 6. Hepatitis Virus C

HCV adalah flavivirus penyebab hepatitis non-A, non-B. Partikel virus


RNA ini mempunyai diameter antara 30-60 nm dan membentuk selubung
(enveloped virus). Pada infeksi akut, hepatitis viral dapat bersifat subklinis
tetapi dapat juga menyebabkan infeksi yang berat dengan gejala-gejala yang
nyata berupa mual, nyeri perut, rasa lelah, malaise, dan jaundis. Pada infeksi
kronis, hepatitis viral dapat berkembang menjadi sirosis dan karsinoma
hepatoseluler. Penderita karier hepatitis kronis tetap masih dapat menularkan
penyakitnya selama bertahun-tahun. Orang dewasa yang menderita infeksi
akut hepatitis A atau B biasanya menunjukkan gejala klinis (simtomatik),
sedangkan hepatitis C akut bisa bersifat simtomatik maupun asimtomatik.
Hepatitis kronis berkembang dari 90-95% hepatitis akut B pada bayi, dari 5%
hepatitis akut B pada orang dewasa dan dari 85% kasus hepatitis C. Sebagian
penderita dengan hepatitis kronis tidak menunjukkan gejala klinis
(asimtomatis) sepanjang masa sisa hidupnya. Hepatitis A tidak pernah
berkembang menjadi hepatitis kronis, baik klinis maupun histologis. Sekitar
20% penderita hepatitis kronis B atau C akan berkembang menjadi sirosis
hati. Sebagian penderita sirosis bersifat asimtomatik, tetapi sebagian lainnya
dapat mengalami komplikasi yang membahayakan jiwa (Soedarto, 2016).
Hepatitis B merupakan penyakit nosokomial yang terjadi pada waktu
dilakukan transfusi darah, pada unit dialisis dan pada bangsal onkologi.
Petugas perawatan kesehatan berisiko terinfeksi hepatitis B nosokomial dari
penderita yang dirawat dan sebaliknya perawat yang terinfeksi HBV dapat
menularkan virus hepatitis pada penderita yang sedang dirawat. HAV
biasanya terjadi melalui jalur fekal-oral yang terjadi dari orang-ke-orang
dengan menelan makanan atau minuman tercemar atau kontak langsung
dengan penderita hepatitis A. Masa inkubasi infeksi HAV sekitar 28 hari
(antara 2-6 minggu). Di negara-negara maju infeksi virus hepatitis A jarang
dilaporkan, tetapi wabah virus ini bisa saja terjadi. Virus hepatitis A jarang
ditularkan sebagai penyakit nosokomial (Soedarto, 2016).
Penularan HCV seperti halnya penularan HBV terutama terjadi melalui
paparan dengan darah penderita, yaitu penggunaan bersama jarum suntik,
paparan melalui luka akibat irisan benda tajam atau patahan jarum, penularan
vertikal dari ibu terinfeksi virus pada bayi yang dilahirkannya pada waktu
persalinan (Soedarto, 2016).
2. HIV
HIV adalah retrovirus yang umumnya menyerang sel-sel sistem imun
tubuh manusia. Sel-sel yang sering diserang antara lain adalah sel T CD4,
makrofag dan sel dendrit. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)
adalah sehingga jumlah sel T CD4 berkurang jumlahnya menjadi di bawah
200 per μL darah, yang menyebabkan kemampuan kekebalan penderita
menghilang.

Gambar 7. Scanning electron micrograph (SEM), warna hijau menunjukkan virus HIV-1.

HIV dapat ditularkan melalui perpindahan cairan tubuh dari penderita HIV
ke orang lain, antara lain melalui darah, air susu ibu, cairan semen dan sekresi
vaginal.HIV tidak dapat ditularkan melalui ciuman, bersalaman, melalui
penggunaan benda pribadi bersama, atau melalui makanan dan minuman.
Keadaan dan kebiasaan yang berisiko tinggi untuk tertular HIV antara lain
melalui hubungan seks anal atau vaginal tanpa pengaman, menderita penyakit
yang ditularkan melalui hubungan seksual lainnya, misalnya sifilis, herpes,
chlamydia, gonore dan vaginosis bakterial, dan pemakaian bersama jarum
suntik dan alat suntik lainnya dan obat suntik terlarang secara bersama,
mendapatkan suntikan, tranfusi darah, tindakan pembedahan yang tidak
aman/steril, kecelakaan pada petugas kesehatan, misalnya tertusuk jarum
suntik penderita (Soedarto, 2016).

C. Parasit dan Jamur


Protozoa usus, misalnya Giardia lamblia mudah ditularkan dalam
kelompok dewasa maupun anak-anak. Banyak jamur dan parasit lainnya
merupakan organisme oportunis dan menyebabkan infeksi pada penderita
yang mendapatkan pengobatan antibiotika dalam jangka waktu yang lama dan
dalam keadaan imunosupresi yang berat. Contoh jamur dan parasit ini antara
lain adalah Candida albicans, Aspergillus spp., Cryptococcus neoformans,
dan Cryptosporidium. Organisme-organisme ini merupakan penyebab utama
infeksi sistemik yang dialami oleh penderita-penderita dengan
immunocompromised. Pencemaran lingkungan melalui udara dengan
Aspergillus spp. yang berasal dari debu dan tanah juga dapat juga terjadi,
terutama pada waktu dilakukan perbaikan/konstruksi rumah sakit. Sarcoptes
scabiei penyebab penyakit scabies (gudig atau kudis) adalah ektoparasit yang
dapat menimbulkan wabah berulang di lingkungan fasilitas perawatan
kesehatan (Soedarto, 2016).

2.6 Sumber Penularan dan Penyebaran


Bakteria penyebab infeksi nosokomial dapat diperoleh melalui berbagai jalan,
yaitu :
 Infeksi endogen : Bakteri berasal dari flora normal menyebabkan
infeksi di luar habitat alaminya, menyebabkan infeksi di saluran
kencing, luka/kerusakan jaringan atau terjadi pertumbuhan yang
berlebihan (overgrowth) dari ragi dan C.difficale sesudah pengobatan
dengan antibiotika yang berlebihan. Misalnya, bakteri Gram-negatif
yang terdapat di dalam usus sering menyebabkan infeksi di tempat
operasi abdomen atau infeksi di saluran kencing pada penderita yang
sedang menggunakan kateter.
 Infeksi-silang eksogen : Flora berasal dari penderita lain atau dari staf
rumah sakit. Bakteri yang ditularkan dari penderita lain ditularkan
dengan cara:
 Sentuhan langsung antar penderita melalui tangan, percikan air liur
atau cairan tubuh, atau cara lainnya.
 Terhirup melalui titik ludah atau debu yang tercemar bakteri
penderita.
 Pencemaran terjadi melalui staf perawat/dokter selama merawat
penderita, melalui tangan, pakaian, hidung dan tenggorok
(selanjutnya menjadi carrier).
 Melalui benda yang terpapar oleh penderita (termasuk alat-alat
perawatan), tangan staf, pengunjung atau sumber lingkungan
lainnya (misalnya air, larutan lainnya, makanan).
 Flora berasal dari lingkungan perawatan kesehatan : Infeksi lingkungan
yang bisa bersifat endemik atau epidemik ini berasal dari mikroorganisme
yang dapat hidup dengan baik di lingkungan rumah sakit yaitu:
 Di dalam air, di tempat lembab, kadang-kadang di bahan steril atau
yang sudah didisinfeksi (Contoh: Pseudomonas, Acinetobacter,
Mycobacterium).
 Pada benda-benda di ruang perawatan misalnya kain, alat dan
perlengkapan untuk merawat penderita.
 Makanan
 Debu halus dan titik ludah waktu batuk atau berbicara. Bakteri
berukuran garis tengah kurang dari 10 μm dapat
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang berasal atau terjadi di rumah sakit

3.2 Infeksi nosokomial disebabkan oleh berbagai faktor yaitu kerentanan pasien,
resistensi antibiotik dan agen mikroba yang meliputi bakteri, virus, dan jamur

3.3
DAFTAR PUSTAKA

Darmadi. 2008. Infeksi Nosokomial Problematika dan Pengendaliannya. Penerbit


Salemba Medika : Jakarta

Khan, H.A., F. K. Baig., dan R. Mehboob. 2017. Nosocomial: Epidemilogy,


Prevention, Control and Surveilance. Asian Pasific Journal of Tropical
Biomedicine. Vol 7(5). pp. 478-482

Khan, H.A., A.Ahmad., dan R. Mehboob. 2015. Nosocomial Infection and Their
Control Strategic. Asian Pasific Journal of Tropical Biomedicine. Vol 5 (7).
pp. 509-514

Salawati, L. 2012. Pengendalian Infeksi Nosokomial di Ruang Intensive Care


Unit di Rumah Sakit. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. Vol 12 (1)

Soedarto, S. 2016. Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit. CV. Sagung Seto : Jakarta

WHO, 2002. Prevention of Hospital-Acquired Infections. World Health


Organization : Malta

Anda mungkin juga menyukai