Anda di halaman 1dari 20

Review Buku Filsafat Modern Barat

Judul Buku : Filsafat Modern Barat


Pengarang : Zaprulkhan
Penerbit : IRCiSoD
Tahun : 2018
Tebal Buku : 354 halaman
Reviewer : Fiqih Kurniawan (18200010173)
Mata Kuliah : Filsafat Umum

Buku ini sangat layak dibaca bagi orang yang ingin memahami dan mendalami
materi filsafat—terutama tradisi filsafat yang muncul setelah masa pencerahan (1500 M)
hingga abad modern. Bahasa yang digunakan dalam buku ini cukup renyah, tidak terlalu
bertele-tele, analogi-analogi yang cukup mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari,
dan juga istilah-istilah penting yang disajikan membantu pembaca untuk mengerti bahwa
setiap filsuf memiliki kata kunci atau istilah yang ditawarkan. Di samping itu, penulis
memberikan ulasan pengantar yang jernih agar pembaca mendapatkan gambaran materi
yang akan dibaca. Penulis juga memasukkan foto dari setiap filsuf, sehingga memudahkan
pembaca untuk mengenal mereka dari sisi profil seorang filsuf yang sedang dibahas.
Kesemuanya ini memberikan kesan bahwa, filsafat menarik untuk dibaca, mudah
dipahami, dan dipelajari bagi siapapun.
Secara khusus, buku ini membahas pemikiran tokoh atau filsuf Barat dilihat dari
sudut pandang epistemologi. Oleh karena itu, buku ini memuat sembilan bab ihwal
epistemologi sebagai berikut.
Bab pertama merupakan pengenalan terhadap tonggak pertama, penggagas, atau
pembuka menuju epistemologi-epistemologi lainnya. Penggagas yang dimaksud adalah
epistemologi rasionalisme. Sebelum masuk ke dalam pembahasan, penulis mengantar
pembaca terlebih dahulu dengan memberikan ulasan tentang doktrin filsafat
rasionalisme. Bagi penulis, doktrin filsafat rasionalisme meyakini bahwa sejumlah ide
atau konsep adalah dapat terlepas dari pengalaman, dan bahwa kebenaran itu juga dapat
diketahui hanya dengan kekuatan penalaran. Selain pengantar, di dalam bab ini juga
pembaca bisa mengetahui pengertian rasionalisme yang dibahas secara detil, tokoh
rasionalisme yang masyhur, yakni Rene Descartes dan pemikirannya mengenai metode
kesangsian metodis, tahapan keraguan metodis Descartes, ide bawaan dan Tuhan, dan di
akhir pembahasan penulis memberikan penutup dan catatan kritis terhadap
rasionalisme.
Bab kedua membahas tentang epistemologi empirisme dengan melampirkan
materi pengertian empirisme, dan tokoh-tokoh empirisme seperti John Locke dan David
Hume berikut biografi dan pemikiran epistemologinya. Dalam pengantarnya penulis
mengatakan, para filsuf aliran empirisme memang sangat menekankan fakta-fakta
empiris yang bisa diobservasi secara objektif melalui kapasista indrawi kita. Secara
sederhana, semua pengetahuan yang hadir ke dalam kehidupan kita harus dapat
dibuktikan melalui penglihatan, pendengaran, sentuhan fisikal, penciuman, ataupun cita
rasa lidah kita. Setelah membahas epistemologi empirisme secara detil, penulis
memberikan catatan kritis.
Bab ketiga penulis membahas epistemologi fenomenalisme dengan memfokuskan
pada satu tokoh, yakni Immanuel Kant. Seperti yang disampaikan penulis di awal
pengantarnya, epistemologi fenomenalisme bukan hanya mengkritisi sejumlah
kelemahan masing-masing pijakan filosofis paham rasionalisme dan empirisme, tapi juga
berupaya mendamaikan keduanya dengan suatu formula filosofis yang benar-benar
orisinil. Penulis sangat jeli dalam menengah-nengahi “pertengkaran” yang terjadi antara
rasionalisme dan empirisme melalui kacamata Kant. Adapun materi yang diuraikan pada
bab ketiga ini meliputi pengertian fenomenalisme, biografi Immanuel Kant, dan
epistemologi fenomenalisme Immanuel Kant yang secara khusus membahas dua
pemikiran: kritik terhadap akal murni dan kritik terhadap rasionalisme dan empirisme.
Di akhir bab penulis memberikan penutup dengan menyajikan kontribusi epistemologi
fenomenalisme Kant dengan tetap memberikan kritik terhadap pemikirannya.
Bab keempat penulis membahas epistemologi positivisme dan positivisme logis.
Pada bab ini penulis tidak hanya menampilkan pengertian yang mendetil, tetapi juga
mendeskripsikan sejarah perkembangan positivisme yang dalam pandangan penulis
terdapat tiga tahapan kunci. Pertama, mengacu pada positivismenya Saint Simont,
Auguste Comte, dan para pengikutnya pada abad kesembilas belas. Kedua, mengacu pada
postivisme logis awal abad kedua puluh. Dan, terakhir, mengacu pada model deduktif
nomonologisnya Ernest Nagel dan Carl Hempel pada pertengahan abad kedua puluh.
Untuk memetakan persoalan positivisme dan positivisme logis ini penulis menampilkan
dua filsuf yang dikaji di antaranya adalah Auguste Comte dan Alfred Jules Ayer. Setelah
dijelaskan secara panjang lebar, penulis memberikan catatan kritis dengan segala
pertimbangan-pertimbangan yang ada.
Bab kelima, membahas epistemologi idealisme. Pada bab ini pembaca akan
disuguhkan bagaimana perbedaan metafisika abad pertengahan dan metafisika yang
dipelopori oleh sekelompok Jerman. Penulis menyebutnya sebagai metafisika “gaya baru”.
Di sini penulis tidak hanya menjabarkan pengertian idealisme, tetapi menampilkan wajah
tipologi yang dibagi penulis ke dalam dua bagian, yakni idealisme subjektif dan objektif.
Untuk membahas persoalan ini, penulis menampilkan pemikiran dua tokoh: Johann
Gottlieb Fichte dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Dari kedua tokoh tersebut, penulis
memperlihatkan deskripsi yang lebih luas dan lebar terhadap idealisme Hegel ketimbang
idealisme Fichte. Ada dua fokus yang dikaji dalam idealisme Hegel, (1) rasio, ide, dan ruh,
(2) metode dialektika, dan (3) filsafat ruh. Di akhir bab, penulis memberi catatan apresiasi
dan kritik terhadap idealisme.
Bab keenam yang dibahas ihwal epistemologi materialisme historis. Bab ini secara
khusus membahas satu tokoh, yaitu Karl Marx. Di sini penulis mengurai epistemologi Karl
Marx dengan uraian yang panjang. Adapun materi yang dibahas meliputi biografi Karl
Marx, infrastruktur dan suprastruktur—dua komponen yang sangat mendasar dalam
materialisme historis. Kemudian penulis juga mengkaji basis atau dasar dan bangunan
atas yang dikembangkan Karl Marx di dalam menyoroti produksi kehidupan material dan
kehidupan sosial, politik, dan spiritual. Poin selanjutnya adalah perkembangan sejarah
dan mode produksi. Pada poin ini penulis menyuguhkan sejarah dan produksi yang
ditujukan pada eksploitasi kelas. Pemikiran Marx berikutnya yang disajikan penulis
adalah ideologi dan kesadaran semu. Ideologi yang ditawarkan Marx berupa kritik
ideologi sebagai bentuk perlawanan terhadap ideologi kapitalisme. Pemikiran Marx
terakhir yang tersaji dalam buku ini berkaitan dengan kesadaran kelas dan revolusi.
Ringkasnya, poin terakhir dari pemikiran Marx itu menyoal kembali ihwal kesadaran
kelas yang dinilai sebagai kesalahan atau hal yang semu.
Bab ketujuh, berbicara tentang epistemologi intuisionisme. Tokoh yang dikaji
mengenai ini adalah Henri Bergson. Kehadiran epistemologi model ini merupakan
sanggahan atau kritikan terhadap dominasi sains yang cenderung materalistik, sekaligus
kecewa dengan prioritas penggunaan akal dalam kajian filsafat. Adapun poin-poin yang
dibahas meliputi pengertian intuisionisme, biografi Henri Bergson, dan intuisionisme
Henri Bergson. Ringkasnya, pada bab ini penulis akan disuguhkan mengenai cara lain
dalam memeroleh pengetahuan yang cenderung dilupakan dalam tradisi pemikiran barat
kala itu. Cara tersebut adalah dengan menilik aspek instrinsik manusia, yakni intuisi.
Sebagai pengayaan, pada poin terakhir penulis memberikan apresiasi dan kritik terhadap
bab yang sedang dibahas.
Bab kedelapan, materi yang dibahas adalah epistemologi eksistensialisme. Dalam
pengantar bab ini, penulis mengatakan bahwa eksistensialisme merupakan suatu upaya
filosofis yang berangkat dari pengalaman atau sudut pandang konkret sang pemain secara
langsung dengan seluruh problematika aktual yang dihadapinya. Pada bab ini penulis
menyuguhkan persoalan eksistensialisme secara panjang lebar dengan menyoroti dua
tokoh, yaitu Soren Kierkegaard dan Jean Paul Sartre. Persoalan yang dikaji masih seputar
perdebatan objektivisme dan subjektivisme. Sedangkan poin-poin yang dibahas
meyangkut: pertama, sejarah dan pengertian eksistensialisme, biografi Soren
Kierkegaard, pemikiran eksistensialisme Soren Kierkegaard yang mana secara khusus
mengkritisi objektivis versi Hegel. Kedua, biografi Jean Paul Sartre, eksistensialisme Jean
Paul Sartre tentang dua cara bertanggung jawab, dan kebebasan dan tanggung jawab.
Bab kesembilan berbicara mengenai epistemologi nihilisme. Filsuf yang dikaji
dalam bab ini adalah Nietzche. Pada bab ini dijelaskan mengenai biografi Nietzsche dn
corak filsafatnya. Cerdiknya, penulis memetakan perjalanan pemikiran Nietzche ke dalam
tiga periode: periode pertama, periode kedua, dan periode ketiga. Sebelum melangkah
lebih jauh, poin yang disajikan berikutnya tentang bagaimana corak filsafat Nietzsche.
Poin inti dari bab epistemologi di sini berbicara tentang nihilisme Nietzschean yang
penulis bagi ke dalam empat pembahasan, yakni kebutuhan untuk percaya, manifesto
kematian Tuhan, manusia tunggal, dan moralitas tuan. Sebagai penutup, penulis
menyajikan kritik dan apresiasi.
Demikian bab-bab yang tersaji dalam buku Filsafat Modern Barat anggitan
Zaprulkhan. Dalam pandangan reviewer, ia sangat cerdas dalam menjelaskan
epistemologi filsafat modern dengan kerangka, sistematisasi dan periodisasi yang sangat
tepat. Meskipun periode waktu yang dibahas adalah modern, buku ini tetap mengadopsi
pemikiran filsafat era Yunani. Tetapi sayangnya, ia tidak memaparkan perkembangan
filsafat modern dan relasinya dengan sejarah filsafat Yunani secara lebih mendalam.
Karena dalam beberapa hal terlihat jelas ada kemiripan epistemologi dengan filsafat abad
modern. Artinya, untuk membahas filsafat modern, jangan sampai mengabaikan tradisi-
tradisi yang sudah ada sebelumnya karena bisa jadi terjalin ikatan yang saling terkait.
Terlepas dari adanya kekurangan, dalam kesempatan ini reviewer mencoba akan
mereview beberapa bab saja.
******
A. Akal Sebagai Basis Epistemologi: Telaah Epistemologi Rene Descartes
Perkembangan filsafat modern diawali oleh abad pencerahan yang terjadi di Barat
pada abad 15 M. Pada abad ini ditandai dengan adanya pintu ijtihad untuk berfalsafat yang
terbuka secara lebar. Karena keterbukaan itu, para pemikir “liberal” Barat tidak lagi kuatir
akan tindakan represif ortodoksi Gereja seperti masa-masa sebelumnya. Ringkasnya,
pada masa ini bisa disebut dengan zaman peralihan, yakni dari ortodoksi-dogmatik
menuju penalaran yang fakultatif.
Dalam mendiskusikan filsafat pencerahan, kita tidak bisa melepaskan sosok yang
sangat masyhur dan kontroversial pada masanya, yakni Rene Descartes. Kehadiran
Descartes pada era ini yang kemudian sering disebut-sebut sebagai “Bapak Filsafat
Pencerahan”. Dalam menggali pengetahuan, ia sangat menekankan pada aspek akal.
Dominasi akal dimaksud ini yang kemudian dikenal sebagai epistemologi rasionalisme.
Lalu apa pengertian rasionalisme itu sendiri? Seperti yang dijelaskan penulis, secara
umum, rasionalisme adalah pendekatan filosofis yang menekankan akal budi (rasio)
sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas)
dari pengamatan indrawi.1
Pengertian tadi setidaknya dapat disederhanakan bahwa, pendekatan rasionalis
ini tetap berpijak pada hal-hal yang konkret, yang dapat diteliti melalui akal. Semua
realitas yang ada, singkat kata, dapat diketahui kepastian dan kebenarannya melalui
pondasi logika. Ini berlaku untuk sesuatu yang dekat maupun yang jauh seperti alam
semesta. Kendatipun diakui, bahwa sebagian penganut aliran ini tidak semuanya menaruh
kebebasan pada rasio, ada yang “mengawinkannya” dengan pancaindra. Alasan ini sangat
logis.
Misalnya, untuk meneliti bentuk riil bulan secara pasti, tidak cukup hanya dengan
mengandalkan akal, terkadang memerlukan bantuan pancaindra dalam melakukan
observasi. Meski demikian, mayoritas penganut aliran ini tetap memprioritaskan akal
sembari menutup peran pancaindra dalam menggali sebuah pengetahuan. Sebagai
contoh, angka sepuluh lebih besar daripada angka sembilan, partikular lebih kecil dari
universal, dan lain sebagainya. Yang demikian tidak perlu lagi melakukan pengamatan
apakah angka sepuluh lebih besar daripada angka sembilan. Secara pintas, akal sudah
dapat memahami dan tahu mengenai jawaban itu.
Sebagaimana yang sudah disinggung sebelumnya, tokoh yang sangat berperan di
dalam menggelembungkan aliran ini adalah Rene Descartes. Karena itu, pemikirannya
terkait filsafat akan diuji sejauh mana metodenya berpijak pada dasar-dasar yang
argumentatif (ilmiah bisa dipertanggungjawabkan). Untuk mendapatkan gambaran
mengenai metodenya, ia meletakkan dasarnya sebagaimana penjelasan beriku:
1. Metode Kesangsian Metodis.
Yang dimaksud dari kesangsian di sini bagi reviewer, adalah suatu hal abstrak,
mengambang, dan belum menemukan jawaban yang pasti. Maka dari itu, sangsi selalu
bersifat ragu-ragu. Di sinilah letak pemikiran Descartes, yaitu menempatkan keraguan di
atas metodologi rasionalismenya. Untuk memecahkan persoalan keraguan ini
membutuhkan prosedur. Seperti yang tertera dalam buku tertulis:
“Prosedur yang disarankan oleh Descartes disebut “keraguan metodis universal”.
Keraguan ini bersifat universal karena direntang tanpa batas, atau sampai
keraguan ini membatasi diri. Artinya, usaha meragukan tersebut akan berhenti bila
ada sesuatu yang tidak dapat diragukan lagi. Usaha meragukan ini disebut metodik,
karena keraguan yang diterapkan di sini merupakan cara yang digunakan oleh
penalaran reflektif filosofis untuk mencapai kebenaran. Akibatnya, keraguan yang

1
Zaprulkhan, Filsafat Modern Barat, (yogyakarta: IRCiSoD, 2018) hlm. 24.
digunakan ini bukan menunjuk kepada kebingungan yang berkepanjangan, tetapi
sebagai usaha mempertanyakan yang dilakukan akal budi atau jiwa manusia.2
Terlihat ada sesuatu yang rancu dari istilah universal yang tersebut di atas. Apalagi
diartikan sebagai hal yang tanpa batas. Kerancuan itu ketika kita menemukan
pengetahuan yang sedari awal sudah dikategorikan sebagai pengetahuan yang pasti.
Misalnya, ilmu matematika. Barangkali semua orang sudah mengetahui jika 1 x 1 maka
jawabannya adalah 1, begitupun seterusnya. Kepastian jawaban di sini tentu sudah tidak
lagi menjadi hal yang perlu diperdebatkan kembali.
Akan tetapi, kebenaran yang diperoleh dari ilmu matematika tadi, dalam
pandangan Descartes masih belum dikatakan kebenaran yang absolut. Karena lagi-lagi, ia
meletakkan basis keraguan dalam usaha mencari kebenaran. Ini berlaku bagi semua
cabang pengetahuan—selain dari logika, aritmatika, dan matematika, yang dapat dicapai
kebenerannya melalui akal. Seperti yang dikutip penulis, sebab kata Descartes, sangat
mungkin saya salah menghitung jumlah angka-angka, baik dalam penjumlahan maupun
perkalian (apalagi dalam jumlah yang sangat besar). Bisa jadi juga saya keliru dalam
mengukur atau menghitung sisi yang terdapat dalam sebuah segi empat dan lainnya.3
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa, tidak ada kebenaran yang mutlak.
Dengan kata lain, keraguan yang diajukan oleh Descartes bisa dikategorikan—meminjam
terma uhsul fiqh, keraguan adalah taqyid li al-mutlaq (membatasi perkara yang mutlak,
tak terbatas). Ada beberapa tahapan metode keraguan yang dimaksud Descartes sebagai
berikut.
(1) Pancaindera dan benda-benda eksternal tidak eksis
(2) Dunia idea-idea Platonis tidak eksis
(3) Logika, Aritmatika, dan Matematika juga tidak eksis
(4) Namun saya tidak bisa menyangkal eksistensi saya yang sedang ragu
(5) Saya meragukan semua eksistensi karena saya berpikir
(6) Dengan demikian, karena saya berpikir, maka eksistensi saya eksis
(7) Cogito ergo sum; I think therefore I am.

Bertolak dari keraguan metodis yang terlampir di atas, setidaknya kita bisa
menyimpulkan, Descartes tidak mengatakan sesuatu—dalam hal ini proses mencari
kebenaran, tanpa pijakkan dasar yang jelas (a priori). Langkah-langkah yang tersaji di atas
merupakan proses yang dialami Descartes dalam mengukuhkan rasionalisnya. Dengan
adanya tahapan, pemikiran Descartes tidak lagi tersekat-sekat, abstrak. Karena metode
keraguan tadi merupakan titik kulminasi filsafat Descartes.

2
Zaprulkhan, Filsafat Modern Barat, hlm. 28.
3
Zaprulkhan, Filsafat Modern Barat, hlm. 33.
Dengan demikian, jargon cogito ergo sum Descartes tadi menekankan pikiran
sebagai sumber pengetahuan sejati. Karena jargon tersebut memuat istilah penting, yaitu
berfikir atau pikiran. Sedangkan “berpikir atau pikiran” harus ada subjek yang berpikir.
Dalam hal ini Descartes pada awalan jargonnya, “saya”. Interpretasi “saya” yang
dimaksudkan Descartes menunjukkan keharusan adanya entitas yang berpikir. Pikiran
tidak akan bisa berpikir jika tidak ada entitas “saya” yang berpikir.
Oleh karenanya, entitas yang berpikir itu keberadaan sejati di alam semesta.
Entitas yang dimaksud adalah manusia. Dari sini kita bisa melihat betapa “saya berpikir
maka aku ada” yang telah disebutkan, memperlihatkan adigdaya manusia di atas alam
semesta. Artinya, manusia menjadi subjek yang bebas untuk melakukan apa pun terhadap
alam di luar manusia yang dalam hal ini dijadikan sebagai objek. Pada akhirnya dualisme
subjek-objek tadi akan berdampak buruk pada perkembangan sains di Barat setelahnya.
Zaprulkhan mendeskripsikan:4

“Pandangan antropologis Descartes yang menganut paham dualisme, yang


memisahkan akal dari badan, akal dari materi, ternyata membawa pengaruh yang
amat dalam bagi pengetahuan secara saintifik di dunia Barat. Dalam kajian kritis
yang dilakukan Fritjof Cacpra, pemisahan itu telah menyebabkan kita menetapkan
nilai yang lebih tinggi pada kerja mental daripada kerja manual. Pemisahan itu juga
telah memungkinkan industri-industri raksasa menjual produknya—terutama
kepada wanita—yang memungkinkan menjadi pemilik “tubuh ideal”. Pemisahan
itu telah menghalangi dokter memikirkan secara serius tentang dimensi-dimensi
psikologis suatu penyakit, menghalangi para psikoterapis memikirkan tentang
tubuh pasien.”

2. Ide bawaan dan Tuhan.


Kita mungkin sudah tidak asing mendengar istilah ide bawaan. Yang kedua ini
merupakan kelanjutan dari sebelumnya, yaitu cogito, dengan menetapkan kesadaran
dalam berfikir. Apa yang kita lihat sebagai objek eksternal, apakah tumbuh dalam pikiran
sebagai sesuatu yang baru, atau tidak. Di sinilah posisi Descartes ketika mencari sebuah
pengetahuan, menemukan kesesuaiannya dengan apa yang ia sebut sebagai ide bawaan.
Ide bawaan ini sejatinya istilah yang sudah dikenalkan oleh Plato. Jadi, bukanlah
sesuatu yang baru. Seperti yang diakui penulis, konsep-konsep tentang ide bawaan itu
memang bersifat abstrak, seperti prinsip-prinsip dasar dalam logika, geometri, aritmatika,
dan matematika. Dalam geometri seperti ungkapan bahwa jarak terdekat antara dua titik

4
Zaprulkhan, Filsafat Modern Barat, hlm. 46.
adalah sebuah garis lurus. Dalam aritmatika seperti proposisi bahwa jika jumlah yang
sama (misal genap) dijumlahkan dengan jumlah yang sama, maka hasilnya sama (genap).
Di sini tampak ide bawaan kembali berbenturan dengan hal-hal yang sulit
disederhanakan oleh rasio. Ide bawaan sendiri dapat diartikan dengan ide yang telah ada
sejak manusia lahir. Artinya, manusia sudah memperoleh—bahkan menyimpan
pengetahuannya sejak ia lahir tanpa harus menunggu dewasa sehingga ia mampu
menangkap objek-objek yang ada di sekelilingnya. Yang diperlihatkan pada masa muda
dan tua adalah pengulangan kembali atau dengan kata lain, manusia hanya perlu
mengingat kembali pengetahuannya tersebut yang telah ia dapatkan sejak ia lahir.
Namun, bagaimana ide bawaan ini jika dipertemukan dengan sains dan persoalan
eksistensi? Seperti yang kita tahu, sains selalu menuntut untuk diobservasi karena untuk
diketemukan nilai jawabannya. Tapi bagi aliran rasionalis ini, agar tidak terjebak pada
empirisme (pengamatan) mereka mengalihkan pandangannya pada prinsip dasar sains,
yaitu setiap kejadian pasti memiliki suatu sebab, termasuk pula prinsip eksistensi: tidak
ada yang dapat muncul dari ketiadaan.5 Dari sinilah kemudian Descartes
mempertemukan soal eksistensi tadi dengan Tuhan.
Secara implisit Descartes terlihat tampak kebuntuannya dalam mempertemukan
eksistensi dan ide bawaan. Pengikatan terhadap Tuhan seolah-olah hanya dijadikan
prasyarat ketika sulit untuk menjawab, tegasnya, ide bawaan yang diperoleh oleh
manusia sejak lahir, didapatkan melalui cara yang seperti apa dan bagaimana
mekanismenya, tampak sangat sulit untuk didamaikan. Oleh karena itu, Tuhan hadir
dibawa oleh Descartes untuk menyatakan, Tuhan merupakan ide bawaan yang sejati.
Dari semua penjelasan yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik kesimpulan:
pertama, epistemologi rasionalisme sangat menjunjung tinggi peran akal. Karenanya,
eksistensi akal di sini sangat mengabaikan sama sekali peran indera, kendati dalam
persoalan alam semesta. Kedua, Descartes, dengan memainkan akalnya yang dominan
berhasil menemukan “brand” dalam menggali pengetahuan, yang ia sebut dengan
keraguan metodis.

B. Epistemologi Empirisme
Paradigma rasionalisme kenyataannya tidak melulu mulus, dengan pengertian
tidak bisa bertahan lama sebagai pemikiran yang mapan. Dominasi akal yang digawangi
aliran rasionalisme pada gilirannya mendapatkan respons dengan hadirnya paradigma
baru yang bertolak belakang. Sebelumnya, pengetahuan harus didasarkan ukuran akal
semata. Inilah faktor yang melahirkan aliran baru dalam studi filsafat yang biasa disebut
dengan empirisme.

5
Zaprulkhan, Filsafat Modern Barat,hlm. 39.
Empirisme adalah aliran yang lahir di era modern dengan menekankan
pengalaman indrawi sebagai basis penelitiannya. Secara sederhana, semua pengetahuan
yang hadir ke dalam kehidupan kita harus dibuktikan melalui penglihatan, pendengaran,
sentuhan fisikal, penciuman, ataupun cita rasa lidah kita. Tanpa bisa diverifikasi secara
faktual, validitas suatu pengetahuan masih bisa diragukan nilai kebenarannya. Dengan
kata lain, pengetahuan yang kita peroleh dalam kehidupan ini adalah hasil dari
pengalaman faktual kita dalam bersentuhan dengan semua fakta kehidupan empiris.6
Komponen indrawi yang telah disebutkan menunjukkan perbedaan yang sangat
mendasar dengan cara kerja akal itu sendiri. Oleh karenanya, aliran rasionalisme dan
empirisme bisa dikatakan sebagai dua kutub yang saling berseberangan. Para filsuf
empirisme ini—seperti halnya aliran empirisme, mereka juga sangat mendewakan peran
pengalaman, sehingga kebenaran atau pengetahuan yang didapatkan bisa dikategorikan
salah ketika menggunakan medium selain dari pengalaman indrawi. Ini sejalan dengan
pengertian dari empirisme, seperti yang dicantumkan penulis:7

Semua yang kita ketahui, pada akhirnya bergantung pada data indrawi. Semua
pengetahuan turun langsung dari, atau disimpulkan secara tidak langsung dari,
data indrawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika dan matematik).
Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa
acuan pada pengalaman idrawi dan penggunaan pancaindra kita. Informasi yang
disediakan oleh indra kita berguna sebagai fundamen bagi semua ilmu
pengetahuan. Akal budi mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang
diperoleh dari pengalaman. Metode yang diterapkan ialah induktif.

Tampak sekali konstruksi yang dibangun dari epistemologi empirisme ini adalah
pengalaman indrawi sembari menafikan peranan nalar atau akal. Sebagai contoh, keju
meleleh ketika dipanaskan. Untuk mengetahui kejadian tersebut tentu harus dengan
pengamatan dan penelitian. Seseorang boleh jadi membuktikannya dengan cara menaruh
keju di atas wajan teflon yang sudah disediakan minayak, kemudian letakkan di atas
kompor yang apinya menyala. Atau dengan cara lain, seperti meletakkan wajan teflon
yang berisi keju tadi di bawah panas terik matahari. Penelitian atau pengamatan itu
sampai memunculkan kesimpulan bahwa, keju bila dipanaskan akan meleleh.

Untuk mengetahui lebih jelas tentang epistemologi empirisme, ada seorang filsuf
yang kita tidak bisa abaikan, yakni John Locke. Ia merupakan filsuf yang representatif
dalam mengajukan argumentasinya ihwal empirisme.

6
Zaprulkhan, Filsafat Modern Barat, hlm. 49.
7
Zaprulkhan, Filsafat Modern Barat, hlm. 51.
1. Empirisme John Locke
Kehadiran pemikiran John Locke tidak bisa dicerabut dari para filsuf
rasionalisme. Ia mempunyai ikatan yang kuat. Akan tetapi, pemikirannya justru untuk
meng-counter narasi-narasi yang dikembangkan oleh pendahulunya, yakni rasionalisme.
Salah satu pemikiran yang ditolak oleh Locke perihal ide-ide bawaan: ide yang bersifat
instrik ini dijadikan patokan dalam mendeskripsikan manusia kaitannya dengan
interaksinya dengan lingkungan sekitar, dan hitung-hitungan. Puncak eksistensi
eksistensi aliran rasionalisme adalah ketiadaan tidak akan pernah bisa menciptakan
keberadaan.
Untuk menolak ide bawaan tadi, kemudian Locke memperlihatkan argumentasi
baru dengan analogi yang metaforis. Argumentasi metaforis Locke ini sudah sangat
masyhur untuk didengar, yaitu kapasitas manusia itu bagaikan kertas putih kosong yang
belum terwarnai apa pun. Menurut penulis, kalu ditanya apa yang bisa mengisi kertas
kosong itu? Jawabanya tidak lain adalah tulisan. Kalau disuguhkan kertas kosong ke
hadapan saya, maka saya bisa menuliskan apa saja di permukaannya sesuka hati saya.
Pengisian kertas kosong tadi bergantung pada keahlian atau selera manusia
masing-masing, apa yang hendak ditulis di atasnya. Seorang yang suka novel boleh jadi
akan mengisi coretannya dengan muatan novel, seorang yang sedang galau mungkin akan
menuliskan kertas kosong tadi dengan curahan hati dia, seorang insinyur bisa membuat
gambar atau skema perencaan pembangunan suatu rumah atau sejenisnya.
Pendek kata, sejak lahir manusia belum membawa ide-ide bawaan seperti yang
ditunjukkan Descartes, tetapi ia laiaknya kertas putih kosong yang masih polos belum
tersentuh oleh apa pun, termasuk pengetahuan. Oleh karenanya, sumber pengetahuan
sejati adalah indra. Dengan demikian, manusia yang lahir tidak mungkin dikatakan
langsung membawa pengetahuan-pengetahuan, tetapi pancaindra yang nantinya akan
menuntut pengetahuan manusia tersebut. Setidaknya ada tiga noktah pemikiran filosofis
Locke:8
Pertama, penolakan terhadap ide-ide bawaan dalam diri manusia dengan
mengajukan beberapa argumentasi, salah satunya, “dari jalan masuknya pengetahuan kita
mengetahui bahwa innate itu tidak ada. Memang agak umum orang beranggapan bahwa
innate itu tidak ada. Ia itu seperti distempelkan pada jiwa manusia dan jiwa membawanya
ke dunia ini. Sebenarnya, kenyataan telah cukup menjelaskan kepada kita bagaimana
pengetahuan itu datang, yakni melalui daya-daya yang alamiah tanpa bantuan kesan-
kesan bawaan, dan kita sampai pada keyakinan tanpa suatu pengertian asli”.

8
Zaprulkhan, Filsafat Modern Barat, hlm. 56-57.
Kedua, ide-ide simpleks dan ide-ide kompleks. Ide-de simpleks merupakan ide-ide
yang kita terima secara langsung melalui pengalaman nyata dengan penalaran
pancaindra: penglihatan, pendengaran, sentuhan, penciuman, dan rasa (taste), seperti ide
tentang terang, ide tentang manis, ide tentang jelas, dan lain-lain. Perjumpaan langsung
antara pancaindra kita dengan pengalaman eksternal dunia disebut oleh Locke sebagai
sensasi. Kemudian, semua ide-ide simpleks yang telah ditangkap pancaindra itu diproses
kembali secara internal dalam diri kita dengan lebih rumit sehingga menghasilkan ide-ide
kompleks, seperti keraguan, kepercayaan, penalaran, pengetahuan, cinta, benci,
kesenangan, keinginan, dan lain-lain.
Ketiga, kualitas primer (primary qualities) dan kualitas sekunder (secondary
qualities). Locke menguraikan bahwa ada daya atau kekuatan dalam diri objek atau
benda-benda yang bisa menghasilkan ide-ide dalam pikiran kita. Daya inilah yang
disebutnya dengan kualitas. Katakanlah, bola salju memiliki daya dalam menghasilkan ide
dalam pemikiran kita tentang putih, bulat, dan dingin.
Melihat dari noktah tersebut dapat disimpulkan bahwa, sumber pengetahuan yang
sebenarnya hanya dapat diketahui melalui pancaindra. Sementara, akal hanya bersifat
passif, sebatas memproses apa yang ditangkap oleh pancaindra. Jika diperhatikan,
argumentasi epistemologi empirisme yang disajikan sedikit banyak bersifat metaforis.
Artinya, ia sering memberi analogi-analogi untuk memperkuat pandangannya. Oleh
karenanya, konsep ide atau pengetahuan dalam pemikiran filosofis Locke adalah
merupakan hasil interaksi antara suatu objek yang dipersepsi dan subjek yang
memersepsinya. Kita mempunyai pengetahuan mengenai suatu benda, gedung, hutan,
kapal, dan lautan, misalnya, karena hasil interaksi kita subjek yang memiliki pengalaman
bersentuhan dengan objek-objek tersebut. Tanpa adanya pengalaman berinteraksi
dengan benda-benda tersebut, kita tidak akan memiliki pengetahuan tentang semua
benda-benda itu.9
Jadi, yang memberikan penjelasan, penilaian, dan anggapan adalah karena faktor
subjektivitas manusia yang mendeskripsikan dan menamakannya seperti apa. Kita bisa
mengetahui kalau di setiap ruangan kampus selalu tersedia infocus karena kita sering
menjumpainya, sehingga lewat pengamatan indrawi kita bisa berinteraksi dengan objek-
objek yang kita lihat. Maka dari itu, kebenaran itu bersifat objektif karena objek sendiri
yang menginformasikan sendiri kepada pengamat, peneliti, atau orang yang melihatnya
tanpa harus mengandalkan akal pikiran. Sebagai contoh, meja, kursi, bangku dan
sejenisnya memperkenalkan nama dan bentuknya sendiri. Karena itu subjek tidak
mempunyai peran dalam menilai benda-benda tadi.

9
Zaprulkhan, Filsafat Modern Barat, hlm. 58.
Contoh lain, seperti yang sering banyak dikatakan orang, pengalaman juga adalah
sebuah ilmu yang berharga. Misalnya, si A pernah berkeliling ke tanah sunda, tanah jawa,
dan luar jawa untuk tujuan tertentu, baik ilmu ataupun sekedar jalan-jalan. Tentu saja si
A tadi telah mendapatkan banyak pengetahuan yang ia temui di dalam perjalanannya,
yang belum tentu orang lain bisa menirunya. Si A dalam perjalanannya banyak melakukan
interaksi dengan budaya sekitar, karenanya subjek akan me-persepsikan objek-objek
yang ditemuinya hingga membentuk ke dalam sebuah pengetahuan.
2. Empirisme David Hume
Berbeda dengan Locke, Hume dikatakan sebagai seorang filsuf aliran empirisme
yang paling radikal. Yang dimaksud radikal di sini merupakan sebuah istilah untuk
menangkap perkembangan pemikiran aliran empirisme yang dikemukakan Hume
berbeda drastis dengan pendahulunya. Atau dengan kata lain, pemikiran filsafat
empirisme yang ada sebelum Hume masih standar, biasa. Maka dari itu, berangkat dari
ke-‘standar’-an pendahulunya, Hume mengajukan argumentasi yang lebih tajam dan
bernas ihwa empirisme. Ia mengeluarkan beberapa doktrin filsafatnya sebagai berikut.
Pertama, tentang kesan (impressions) dan ide (ideas). Seperti yang tertulis di buku,
Hume membedakan antara kesan dan ide. Kesan adalah ihwal dunia eksternal memberi
pengaruh secara langsung kepada kita melalui kelima pancaindra kita. Sementara, ide
merujuk kepada citra atau konsep yang kita tarik dari kesan-kesan yang telah kita
dapatkan sebelumnya.10
Untuk memudahkan penjelasan ihwal kesan dan ide, perlu diberikan contoh
misalnya Aji Pintoko, seorang mahasiswa UIN Jogja, ketika dia berangkat kuliah lalu dia
melihat seorang perempuan yang sangat cantik dengan memakai gamis berwarna merah
sedang jalan kaki menuju kantin. Karena Aji sedang mengendarai sepeda motor, maka dia
tidak bisa memandangnya terlalu lama. Kendatipun pertemuannya singkat, dia terus
membayang-bayangkan sosok perempuan yang dia temui tadi ketika sudah masuk kelas.
Yang terus menyelimuti pikirannya adalah wajahnya yang sangat cantik dan gamisnya
yang berwarna merah. Jadi, dengan pikirannya Aji telah mampu menangkap ide
perempuan tadi dengan “wajah cantik dan gamis berwarna merah”.
Kedua, penolakan terhadap substansi dan kesadaran diri. Menurut Zaprulkhan,
Hume menolak keberadaan hakikat substansi karena seluruh pengetahuan manusia dapat
dilacak pada pengalaman bersentuhan dengan kesan-kesan terhadap dunia eksternal.11
Substansi sendiri ringkasnya, ialah sesuatu yang bisa berdiri sendiri, tidak bergantung
pada yang lain, dikenal meskipun tanpa embel-embel yang menempel pada substansi

10
Zaprulkhan, Filsafat Modern Barat, hlm. 62.
11
Zaprulkhan, Filsafat Modern Barat, hlm. 63.
tersebut. Tanpa mengamati objek-objek eksternal, tidak akan ada ide ataupun kesan yang
tertangkap oleh pikiran.
Empirisme sangat menekankan pada pancaindra, sehingga apa yang terlihat,
terdengar, tercium, tersentuh, bukan berarti benda-benda tersebut ditangkap begitu saja.
Tentu ada hal lain yang memunculkan pertanyaan dari empirisme, apakah benda yang
ditangkap oleh pancaindra itu substansi atau aksiden? Pada titik ini, Hume menolak
konsep substansi karena menurutnya pengalaman sudah dapat menyimpulkan terhadap
benda-benda yang dilacak oleh ide.
Bukan berarti benda atau objek eksternal tadi tidaklah eksis sama sekali, hanya
saja untuk mendapatkan pengetahuan mengenai substansi secara sempurna tidak akan
pernah terjadi, tidak akan pernah divalidasi baik melalui pembuktian ataupun rasional.
Oleh karena itu, apa yang kita tangkap sejatinya hanyalah kesan-kesan yang memantul
dari objek tersebut, bukanlah hakikat atau substansinya.
Ketiga, hukum kausalitas. Ketika mendiskusikan hukum kausalitas, kita dapat
memulainya dengan cara kerja pikiran yang diuraikan Hume. Hume menyatakan bahwa
pikiran bekerja melalui tiga prinsip, yaitu keserupaan atau kemiripan, relasi atau
hubungan, atau kontak serta sebab dan akibat. Ketika kita memiliki suatu ide tentang
sesuatu, misalnya, lazimnya kita mulai memikirkan peristiwa-peristiwa lain yang
memiliki kemiripan dengan ide yang sedang kita pikirkan. Kemudian, kita mulai
menghubungkan ide yang sedang dipikirkan dengan pengalaman-pengalaman kita
sebelumnya yang kita anggap relevan.12
Umumnya, hukum kausalitas selalu melibatkan dua kejadian, misalnya A dan B. Di
samping itu, hukum kausalitas sering kali dimaknai dengan kejadian yang pasti terjadi
karena adanya sebab tertentu. Adanya penekanan terhadap kepastian terjadi, maka mau
tidak mau relasi A dan B harus selalu beriringan. Padahal bagi Hume, hukum kausalitas
bukanlah sesuatu yang pasti terjadi. Ia tidak lebih hanyalah sekedar perspektif-perspektif
yang kita temui dalam bentuk kebiasaan.
Misalnya seperti ini, ketika saya sedang ngopi di depan rumah, hampir setiap hari
saya melihat Aji Pintoko mengantarkan ibunya ke pasar sayur pada waktu pagi hari.
Besoknya lagi, saya masih tetap bisa memastikan Aji keluar sama ibunya di waktu yang
sama. Begitupun seterusnya, sehingga kebiasaan yang dilakukan oleh Aji tadi sudah
terekam di dalam benak saya. Ketika saya duduk kembali di depan rumah, pikiran saya
sudah terbayang akan adanya mas Aji yang hendak lewat di depan rumah.
Rutinitas yang saya lakukan, setiap hari, minggu, bulan, atau tahun belum tentu
bisa memastikan apakah Aji pasti akan keluar di setiap pagi hari di jam yang sama. Ketika

12
Zaprulkhan, Filsafat Modern Barat,, hlm. 66.
itu, sedang ada peralihan cuaca dari kemarau menuju hujan. Suatu waktu saya dapat kabar
bahwa Aji sedang sakit panas. Maka dari itu, pas itu juga pikiran saya sesaat
menggugurkan kepastian saya bahwa setiap hari melihat Aji pergi ke pasar bersama
ibunya. Dengan demikian, hukum kausalitas yang saya temui tadi, sejatinya hanyalah
sekedar kesan-kesan ihwal relasi yang berurutan, yang saya temukan lewat pengalaman
yang telah menjadi kebiasaan.

Sebagaimana kaum rasionalis, kaum empirisme juga memiliki kekurangan dalam


menggali sumber pengetahuan. Pancaindra yang kita gunakan adalah komponen tubuh
yang diberikan Tuhan dengan bentuknya yang ragam. Tidak jarang kita jumpai saudara
kita yang mengalami cacat fisik, terutama cacat pancaindra yang ia dapatkan sejak lahir
maupun karena kejadian tertentu, misalnya, kecelakaan. Oleh karena itu, pancaindra—
seperti yang terus digelorakan oleh kaum empirisme, tidak dapat mengetahui
pengetahuan yang sejati karena keterbatasan indrawi yang telah disebutkan tadi.

Seseorang bisa saja penglihatannya kabur ketika bangun tidur atau karena asap
bakaran api yang pekat, sehingga seseorang tersebut tidak mampu menangkap apa saja
yang dilihat oleh matanya. Ini juga yang dikritik oleh penulis. Menurutnya, suatu teori
yang sangat menitikberatkan pada persepsi pancaindra kiranya melupakan kenyataan
bahwa pancaindra manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Pancaindra kita sering
menyesatkan yang hal ini tidak disadari oleh kaum empiris sendiri, empirisme tidak
mempunyai kelengkapan untuk membedakan antara khayalan dan fakta.13

Selain itu, pengetahuan sendiri dapat disederhanakan menjadi dua, yaitu ilmiah
dan metafisika. Kaum empiris hanya berkutat pada hal-hal yang nyata, ilmiah. Tidak
pernah berani untuk menyelidiki hal-hal yang bersifat metafisis. Kembali lagi, karena
pancaindra hanya mengandalkan penglihatan yang pasti, tanpa pernah bisa melihat hal-
hal yang di luar indrawi. Di sini salah satu letak perbedaan aliran rasionalisme dan
empirisme. Kaum rasionalis seperti yang dikatakan Descartes, meyakini keberadaan
Tuhan melalui akal pikirannya, sementara kaum empirisme tidak mampu mengjangkau
hal tersebut melalui pengalamannya. Dalam buku tertulis:14

“Penolakan metafisika oleh empirisme sebagai pengetahuan yang melampaui


pengalaman, gagal untuk melihat bahwa pengalaman itu sendiri dikondisikan oleh
dasar-dasar yang melampaui pengalaman. Jadi, di dalam semua pengetahuan yang
benar, pengalaman selalu dilampaui.”

13
Zaprulkhan, Filsafat Modern Barat, hlm. 72.
14
Zaprulkhan, Filsafat Modern Barat, hlm. 72.
C. Epistemologi Fenomenalisme
Pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana sejarah epistemologi di Barat selalu
meniscayakan “tumpang-tindih, afirmasi, rekonstruksi, atau dekonstruksi” terhadap apa
yang sudah ada sebelumnya. Ini memberikan simpulan awal bahwa teori-teori yang
berkembang akan selalu dieliminasi oleh teori baru yang akan datang berikutnya. Hanya
persoalan waktu. Begitupun berlaku terhadap teori rasionalisme dan empirisme, dua
aliran besar yang berkembang di Barat pada era modern.
Sebelumnya sudah disinggung bahwa, baik rasionalisme maupun empirisme
sangat sulit untuk dikompromikan. Sebab, para filsuf dari mereka sangat gigih dalam
mempertahankan idealisme kelompoknya masing-masing dalam menggali sumber-
sumber pengetahuan. Yang satu menyandarkan pada akal, sementara yang lain berbasis
pada pengalaman indrawi. Pada titik inilah, kemudian muncul paradigma baru—yang
mengkritisi keduanya (rasionalisme dan empirisme) pada satu sisi, dan mendamaikan
antar keduanya pada sisi yang lain.
Paradigma baru yang dimaksud adalah epistemologi fenomenalisme. Pandangan
sederhana dari epistemologi ini, yakni hendak menambal ketimpangan kebenaran yang
tidak ada pada rasionalisme dan empirisme. Ada beberapa arti fenomena, antara lain
objek persepsi, yang diamati, yang tampak pada kesadaran kita, objek pengalaman idrawi
atau yang tampak pada pancaindra kita, dan suatu fakta atau peristiwa yang dapat
diamati. Fenoemenalisme sendiri memiliki berbagai doktrin, salah satunya:15

“Berbeda dengan idealime epistemologis, fenomenalisme dalam arti yang tepat


menegaskan dan menandaskan eksistensi segala sesuatu yang terlepas dari
pikiran. Tetapi, hakikat segala sesuatu yang berada di dalam dirinnya sendiri tetap
tidak dapat kita ketahui. Di sini pula letak perbedaan antara realisme dan
fenomenalisme. Kaum fenomenalis menegaskan bahwa segala sesuatu
memberikan kesan-kesan kepada kita. Dalam kesan-kesan ini, segala sesuatu yang
tampak kepada kita sesuai dengan ciri khas subjek bersangkutan. Dan, gejala
(kesan) yang kita terima secara pasif ini merupakan objek pengetahuan kita. Oleh
karena itu, fenomenalisme berbeda, baik dari realisme maupun idealisme.”

Dari pengertian dan doktrin fenomenalisme yang tersaji di atas, sekilas mirip
dengan kesan (impressions) dan ide (ideas) yang digagas oleh David Hume. Kesan, dalam
pandangan Hume menggantikan substansi sebagai hal yang tidak eksis. Yang ada hanya
kesan-kesan yang kita tangkap. Sedangkan, dalam pandangan fenomenalisme, kesan-
kesan dinilai sebagai sesuatu yang sesuai dengan apa yang subjek persepsikan. Tokoh

15
Zaprulkhan, Filsafat Modern Barat, hlm. 74-75.
yang representatif dalam mendiskusikan ini adalah Immanuel Kant, sorang filsuf besar
yang lahir di abad modern.

Mengenal Epistemologi Immanuel Kant


1. Kritik terhadap Akal Murni
Pada awalnya, kritik terhadap akal murni Kant tidak bisa lepas dari perdebatan
aliran empirisme dan rasionalisme. Baik empirisme maupun rasionalisme tidak ada yang
mengalah dan terus melakukan pembelaan terhadap kelompoknya masing-masing.
Pertentangan itu segera dilerai oleh Kant dengan memadukkan keduanya, tanpa
mengabaikan salah satunya. Karena baik indra maupun akal, keduanya sama-sama
instrument yang tidak bisa dielakkan dalam menggali sebuah pengetahuan.
Sebagai contoh, dalam proses belajar di bangku kuliah, mahasiswa hanya diberikan
pengetahuan 50 persen oleh seorang dosen. Dosen mengatakan, selebihnya tugas
mahasiswa sendiri untuk menjelajahi lebih jauh tentang apa yang ia peroleh dari
dosennya. Dari sini kita bisa menangkap posisi Kant dalam kasus tersebut, bahwa akal
mahasiswa mungkin melakukan proses dialog internal selama mendengarkan penjelasan
dosen, tetapi untuk mengerti lebih dalam mahasiswa harus mengamati secara langsung
apa yang telah disampaikan dosennya tersebut.
Pemikiran besar Kant dimulai dari pertanyaan yang sangat mendasar ihwal, sejauh
mana pengetahuan manusia? Dari pertanyaan ini, kita dapat mendeskripsikan benih-
benih filsafat kritisisme yang dikonstruk Kant bermula dari pertanyaan tadi. Oleh karena
itu, dalam proses menemukan pengetahuan, Kant selalu bergelut dengan terus mencari
batasan-batasan yang tidak dicapai oleh akal seperti yang disampaikan penulis.16
“Semua filsafat sebelum Kant itu tidak pernah menguji dahulu kapasitas akal
manusia dalam memperoleh pengetahuan, kemampuan rasio manusia diterima
dan dipercaya begitu saja dalam mengonstruksi ilmu pengetahuan dan konsep-
konsep filsafat. Sikap penerimaan mereka itulah yang disebut Immanuel Kant
dengan dogmatisme. Padahal, dalam perspektif Kant, sebelum melakukan
penjelajahan filosofis untuk menurunkan wacana-wacana filosofis, seorang filsuf
semestinya menguji terlebih dahulu sejauh mana kemampuan dan batas-batas
yang dimiliki oleh alat yang digunakannya, yaitu akal.”

Dengan demikian, melalui batasan instrument Kant bermaksud mengkritisi para


pendahulunya yang cenderung taken for granted, tanpa melihat pada aspek yang
tersembunyi dari posisi akal itu sendiri yang pada hal tertentu tidak bisa memberikan
pengetahuan sejati. Dengan kata lain, faktanya kerja rasio atau akal itu juga terbatas. Ini

16
Zaprulkhan, Filsafat Modern Barat, hlm. 80.
yang disadari Kant. Titik pijak yang dijadikan dasar dalam kritik akal murni Kant,
barangkali hanya terkait proyek aliran rasionalisme dan empirisme yang sama sekali
tidak memperhatikan, bagaimana akal itu sendiri dalam bekerja. Keduanya sama-sama
memiliki kekurangan. Aliran rasionalisme membebaskan dirinya melalui akal tanpa batas,
sedangkan empirisme menjadikan pancaindra sebagai instrument yang aktif. Objek-objek
yang tertangkap, diserahkan pada entitas objek itu sendiri, tanpa membutuhkan bantuan
subjektivitas. Ringkasnya, membiarkan objek-objek itu berbicara dengan sendirinya.

Dalam perspektif Kant, pengetahuan manusia merupakan hasil kerja sama antara
pancaindra dan pemahaman akal. Melalui pancaindra objek-objek menampakkan diri ke
hadapan kita, dan melalui pemahaman akal objek-objek tersebut dapat dipahami. Bagi
Kant, filsuf mesti mengkaji cara kerja pancaindra dan akal pikiran dalam membentuk
pengetahuan. Sebab, ada dua level pengetahuan: pengetahuan pada level pancaindra yang
dinamakan oleh Kant sebagai estetika transendental (the transcendental aesthetic) dan
pengetahuan pada level akal yang dinamakannya dengan logika transendental (the
transcendental logic).17

Pertama, estetika transendental. Sebagaimana para filsuf abad ke-17 dan 18


sebelumnya, Kant menilai fakultas pancaindra sebagai kekuatan pasif dalam menerima
penampakan objek-objek eksternal. Namun, Kant membuat perbedaan antara materi dan
bentuk dari pengalaman pancaindra kita. Materi adalah sesuatu yang berasal dari sensasi
secara langsung. Sedangkan, bentuk merupakan pengaturan yang berasal dari
pemahaman kita yang belum teratur. Aspek materi dari sensasi, misalnya, mencakup
perbedaan antara sekilas warna biru dan warna hijau atau semerbak mewangi bunga
mawar dan sepotong keju.

Kedua, logika transendental. Apakah kemampuan pancaindra sendiri mencukupi


dalam memotret realitas? Dalam perspektif Kant, sensasi pancaindra harus dilengkapi
oleh pemahaman (understanding) akal, sebab pemahaman akal itulah yang mengatur
data-data yang telah ditangkap oleh pancaindra. Jadi, proses kerja pancaindra mesti
diikuti dengan proses kerja intelek agar bisa menjadi konsep-konsep atau gagasan-
gagasan ilmu pengetahuan: estetika transendental mesti diikuti dengan logika
transendental.

2. Kritik terhadap Rasionalisme dan Empirisme


Epistemologi fenomenalisme Immanuel Kant berupaya melakukan rekonsiliasi
terhadap epistemologi rasionalisme dan empirisme dengan terlebih dulu mengkritisi

17
Zaprulkhan, Filsafat Modern Barat, hlm. 81-84.
kelemahan-kelemahan keduanya.18 Kritisisme yang diajukan Kant tidak lebih, merupakan
pengejawantahan terhadap refleksi filosofis. Refleksi di sini yang pada gilirannya
menyematkan Kant sebagai seorang filsuf pendamai yang cerdas. Karena terkadang
kritikan itu muncul justru malah mengaburkan apa yang dikritik, terlebih terdapat
kecenderungan yang berat sebelah.
Akan tetapi, refleksi filosofis yang menjadi penekanan Kant tentang dasar awal
dalam memahami aliran rasionalisme dan empirisme. Misalnya, refleksi filosofis
rasionalisme, terkait bagaimana akal didayahgunakan dalam meneliti objek-objek yang
ada di alam semesta. Ketika kita melakukan refleksi filosofis tentang fenomena alam
semesta dengan benar-benar mengamati objek-objek semesta, maka hasil dari refleksi
kita terhadap alam semesta beserta hukum-hukumnya akan benar-benar akurat
sebagaimana eksistensi hukum-hukum dalam alam semesta itu sendiri.19
Refleksi filosofis Kant merupakan pondasi awal sebelum masuk untuk mengkritik
rasionalisme dan empirisme. Atau refleksi di sini tepatnya lebih bersifat rekonsiliasi.
Mendamaikan terlebih dahulu.

D. Epistemologi Positivisme
Revolusi Industri begitu amat mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan
yang terjadi di dunia Barat. Boleh jadi perubahan itu disebabkan oleh ingatan sejarah
masa lalu yang begitu mendeskriminasi ilmu pengetahuan, khususnya ingatan terhadap
sikap gereja di masa lampau yang sangat membatasi ruang akal untuk bereksplorasi
secara bebas. Maka, pada masa modern muncul sekelompok filsuf empiris yang
memandang bahwa pengetahuan harus dilihat dari kacamata yang riil, nyata, dan pasti.
Sejalan dengan empirisme, belakangan muncul kaum positivis yang sama-sama
menaruh pemikiran filsafatnya pada hal-hal yang fakta. Oleh karena itu, keduanya, baik
empiris maupun positivis hanya berpijak pada apa yang terindra. Sebagai
konsekuensinya, sebagaimana kaum emprisis, kaum positivis juga menafikan metafisika
di dalam ranah pengetahuan. Dengan demikian, menurut penulis, dalam perspektif
positivisme, kita tidak perlu mencari sesuatu yang berada di balik fenomena atau
menemukan sebab-sebab yang bersifat teologis atau metafisis. Dalam sikap dasar
ideologisnya, positivisme memang bersifat duniawi, sekuler, anti teologi, dan anti
metafisika. 20

18
Zaprulkhan, Filsafat Modern Barat, hlm. 91.
19
Zaprulkhan, Filsafat Modern Barat, hlm. 91.
20
Zaprulkhan, Filsafat Modern Barat, hlm. 102.
1. Epistemologi Positivisme Auguste Comte
Comte terlihat sangat “radikal” dalam mengembangkan ide-ide yang berkaitan
dengan keilmiahan pengetahuan. Sesuatu yang tidak bisa diteliti secara ilmiah diabaikan
sama sekali karena tidak bisa dipertanggungjawabkan kevalidannya. Segala hal yang tidak
positif atau faktual, maka ia jelas akan ditolak. Misalnya persoalan teologis seperti apa
cara mengetahui keberadaan Tuhan? Bagaimana ilmu pengetahuan menjelaskan hal
tersebut? Bagi kelompok yang memandang faktual sebagai pijakannya, terlihat sangat
mudah untuk mematahkannya. Apalagi prinsip yang digunakan adalah sikap positivistik.
Oleh karenanya, sedari awal Comte telah menolak keberadaan metafisis.
Titik berangkat epistemologi positivisme Comte bisa kita lihat dari analisisnya
mengenai hukum tiga tahapan perkembangan intelektual umat manusia (law of the three
phases of intellectual development), yaitu tahap teologis, metafisis, dan tahap positif.
Pertama, tahap teologis. Tahap teologis ini dicirikan oleh mentalitas yang memandang
sebagian besar hal-hal lain berdasarkan analogi-analoginya dengan pikiran manusia, dan
yang oleh sebab itu akan mengembalikan kepada fenomena alam sebagai segala penyebab
perasaan-perasaan dan berbagai kemauan, yang merupakan ciri khas tanggapan kita
terhadap mereka.21
Kedua, tahap metafisis. Pada tahap metafisis, kecenderungan berpikir secara
animistis untuk pertama kalinya mulai lenyap. Para metafisikawan tak lagi
mengonsepsikan alam sebagai ciptaan suci dari dewa penyelenggara, namun sebagai
prinsip pertama atau penyebab yang memang perlu diandalkan adanya bagi
berlangsungnya keterlibatan dunia.22 Ketiga, tahap positif. Tahap positif tercapai ketika
semua problem tersebut terlampaui secara permanen sebagai sesuatu yang tak berguna
dan ilmu positif diterima sebagai gudang pengetahuan manusia. Pada tahap ini,
penjelasan dikonsepsikan semata-mata berdasarkan hipotesis-hipotesis atau hukum-
hukum empiris yang menggambarkan hubungan konstan yang terjadi di antara kelompok
fenomena yang bisa diobservasi.23
Dari tiga tahapan di atas dapat dismpulkan bahwa, epistmologi positivisme yang
dibangun oleh Comte bercermin pada sejarah keilmuan yang ada sebelumnya. Tahapan
teologis dipandang sebagai pengetahuan yang abstrak karena sulit untuk mencari
penjelasan dan pembenarannya. Tahapan metafisis menggantikan peran tuhan atau dewa
karena alam ini ada dan untuk keperluan hidup manusia. Dan terakhir tahapan positif,
tidak lagi berbicara apa itu teologi dan metafisika, tetapi tentang pengetahuan yang
konkret dan saintifik.

21
Zaprulkhan, Filsafat Modern Barat, hlm. 111.
22
Zaprulkhan, Filsafat Modern Barat, hlm. 112.
23
Zaprulkhan, Filsafat Modern Barat, hlm. 114.
Kaum positivis, terutama Comte, tidak jauh berbeda dengan kaum empiris. Titik
kesamaannya adalah sama-sama meniadakan peran subjektif dalam menggali sumber-
sumber pengetahuan. Akan tetapi, apa yang dikerjakan oleh positivisme yang sangat
mengandalkan pengetahuan objektif, apakah tidak melibatkan peran subjektif secara
total? Saya rasa sulit untuk menerima ide bahwa subjektivitas dapat dilepaskan ketika
seseorang melakukan pengamatan atau observasi, misalnya, terhadap bom bunuh diri
yang dirancang oleh para teroris.
Seperti halnya ilmuan fisika dan biologi yang sering kali melakukan observasi di
ruang laboratorium. Seorang mahasiswa UIN Jogja jurusan Biologi, misalnya,
mendapatkan tugas untuk meneliti proses perubahan kacang hijau sebelum akhirnya
menjadi toge. Tentunya, sebelum melakukan observasi perlu memahami dan mengerti
objek apa yang sedang diteliti secara teoirits. Dan ini melibatkan akal pikiran di awal.
Ketika eksperimen sedang berjalan, barangkali mahasiswa tadi melakukan pengamatan
disertai dugaan-dugaan apa yang akan terjadi: bisa gagal dan sukses. Penelitian terhadap
kacang hijau yang berubah menjadi toge dengan demikian selalu melibatkan pikiran-
pikiran manusia. Dengan kata lain, unsur subjektif tidak bisa dilepaskan begitu saja dalam
proses pengamatan secara indrawi.

Anda mungkin juga menyukai