Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kelenjar prostat adalah organ tubuh pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli
dan membungkus uretra posterior (Citra, 2009). Bentuk kelenjar prostat sebesar buah
kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Prostat sendiri mulai umur 40
tahun akan bertambah besar, dan pembesaran ini dikenal sebagai BPH (Benign Prostate
Hyperplasia) (Purnomo, 2009).

Pada tahun 2005 Rochani mengemukakan insidensi Benigna Prostat Hipertropi


(BPH) di Indonesia cukup banyak, sekitar 24-30 persen dari kasus urologi yang dirawat
di beberapa Rumah Sakit. Dalam rentang 1994-1997 misalnya, RS Cipto Mangunkusumo
menangani 462 kasus, dan kasus di RS Hasan Sadikin Bandung selama kurun 1976-1985
tercatat menangani 1.185 kasus. Sementara pada tahun 1993-2002, tercatat 1.038 kasus.
Di RS Dr. Soetomo Surabaya terdapat 1.948 kasus BPH pada periode 1993-2002 dan RS
Sumber Waras sebanyak 617 pada rentang waktu itu juga (Sujiyati, 2010).

Menurut (Tobing, 2004), pembesaran prostat akan timbul seiring dengan


bertambahnya usia. Sebab BPH erat kaitannya dengan proses penuaan. Sekitar 30 persen
penderita BPH adalah pria yang berumur 40 tahunan. Sedangkan 50 hingga 75 persen
penderita berumur 80 tahunan.BPH adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar
prostat membesar, memanjang kearah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat
aliran keluar urin, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter. Penyebabnya tidak
pasti, tetapi bukti-bukti menunjukan adanya keterlibatan hormonal, (Baugman, 2000).

Menurut (Jong, 1997), dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan


keseimbangan testosteron dan estrogen, karena produksi testosteron menurun dan terjadi
konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Prostat sudah
dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya

1
sekitar 50% dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas
akan menyebabkan gejala dan tanda klinik.

Menurut (Yatim, 2004), kadar hormon testosteron yang tinggi berhubungan


dengan peningkatan resiko BPH. Testosteron akan diubah menjadi androgen yaitu
dihydrotestosteron (DHT) oleh enzim 5 alpha-reductase, yang memegang peran penting
dalam proses pertumbuhan sel-sel prostat.

Pembesaran ukuran prostat ini akibat adanya hiperplasia stroma dan sel epitelial
mulai dari zona periurethra (Citra, 2009). Pada usia yang lebih tua, prostat dapat berubah
menjadi ganas yang dikenal sebagai kanker atau karsinoma prostat (Ca Prostat). Semua
keluhan yang berasal dari prostat biasanya disebut sebagai symptom saluran kemih
bagian bawah (Lower Urinary Tract Symptoms = LUTS) (Soebadi , 2011).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Hiperplasia Prostat Benigna adalah suatu keadaan dimana kelenjar periuretral prostat
mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer. Selain itu,
BPH merupakan pembesaran kelenjar prostat yang bersifat jinak yang hanya timbul pada
laki-laki yang biasanya pada usia pertengahan atau lanjut (Purnomo, 2007).

Gambar 2.1 Benign Prostat Hyperplasia

B. Anatomi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior. Prostat berbentuk seperti pyramid
terbalik dan merupakan organ kelenjar fibromuskuler yang mengelilingi uretra pars
prostatica. Bila mengalami pembesaran organ ini menekan uretra pars prostatika dan
menyebabkan terhambatnya aliran urin keluar dari buli-buli. Prostat merupakan kelenjar
aksesori terbesar pada pria; tebalnya ± 2 cm dan panjangnya ± 3 cm dengan lebarnya ± 4
cm, dan berat 20 gram.

3
Gambar 2.2 Alat Reproduksi Pria

Kelenjar prostat terbagi atas 5 lobus :


a. Lobus medius
b. Lobus lateralis (2 lobus)
c. Lobus anterior
d. Lobus posterior

Pada kelenjar prostat juga dibagi dalam 5 zona :


a. Zona Anterior atau Ventral
Sesuai dengan lobus anterior, tidak punya kelenjar, terdiri atas stroma fibromuskular.
Zona ini meliputi sepertiga kelenjar prostat.
b. Zona Perifer
Sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa kelenjar prostat. Zona
ini rentan terhadap inflamasi dan merupakan tempat asal karsinoma terbanyak.
c. Zona Sentralis.
Lokasi terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai dengan lobus tengah
meliputi 25% massa glandular prostat.Zona ini resisten terhadap inflamasi.

4
d. Zona Transisional.
Zona ini bersama-sama dengan kelenjar periuretra disebut juga sebagai kelenjar
preprostatik. Merupakan bagian terkecil dari prostat, yaitu kurang lebih 5% tetapi
dapat melebar bersama jaringan stroma fibromuskular anterior menjadi benign
prostatic hyperpiasia (BPH).
e. Kelenjar-Kelenjar Periuretra
Bagian ini terdiri dari duktus-duktus kecil dan susunan sel-sel asinar abortif tersebar
sepanjang segmen uretra proksimal (Mulyono, 1995).

Gambar 2.3 Zona Kelenjar Prostat

C. Epidemiologi

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)/ pembesaran prostat jinak merupakan penyakit


pada laki-laki usia diatas 50 tahun yang sering dijumpai. Karena letak anatominya yang
mengelilingi uretra, pembesaran dari prostat akan menekan lumen uretra yang
menyebabkan sumbatan dari aliran kandung kemih. Signifikan meningkat dengan
meningkatnya usia. Pada pria berusia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada
usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan menyebabkan
gejala dan tanda klinis (Furqan, 2003).

Di Indonesia BPH merupakan urutan kedua setelah batu saluran kemih dan
diperkirakan ditemukan pada 50% pria berusia diatas 50 tahun dengan angka harapan
5
hidup rata-rata di Indonesia yang sudah mencapai 65 tahun dan diperkirakan bahwa lebih
kurang 5% pria Indonesia sudah berumur 60 tahun atau lebih. Kalau dihitung dari seluruh
penduduk Indonesia yang berjumlah 200 juta lebih, kira-kira 100 juta terdiri dari pria, dan
yang berumur 60 tahun atau lebih kira-kira 5 juta, sehingga diperkirakan ada 2,5 juta laki-
laki Indonesia yang menderita BPH (Furqan, 2003).

Di Amerika Serikat, hasil survei di kota Olmstead, pada sampel dari pria Kaukasia
berumur 40-79 tahun, memperlihatkan gejala moderat-berat yang terjadi pada sekitar 13 %
pada pria berumur 40-49 tahun, dan sekitar 28%, pada pria yang berumur lebih dari 70
tahun (Rosette et al, 2006).

Di Kanada, 23 % dari hasil studi kohort memperlihatkan gejala moderatberat.


Prevalensi LUTS di Eropa sama dengan prevalensi di Amerika Serikat. Di Skotland dan di
area sekitar Maastrict, Netherland, prevalensi berdasarkan gejala meningkat dari 14% pada
pria saat berumur 40 tahun menjadi 43% saat berumur 60 tahun (Rosette et al, 2006).

D. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia
prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya
dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua) .
Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat jinak
adalah : (1) Teori Dihidrotestosteron, (2) Adanya ketidakseimbangan antara estrogen-
testosteron, (3) Interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat, (4) Berkurangnya
kematian sel (apoptosis), dan (5) Teori Stem sel.
a. Teori Dihidrotestosteron (DHT)
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel- sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat
oleh enzim 5α-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah
terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA
pada inti dan sel selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat.
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh
berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim
6
5α-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini
menyebabkan pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih
banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.

b. Ketidakseimbangan estrogen dan testosteron


Pada usia yang semakin tua, kadar testosterone menurun, sedangkan kadar
estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen : testosterone relatif
meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam
terjadinya proliferasi sel- sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas
sel- sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor
androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel- sel prostat (apoptosis). Hasil akhir
dari semua keadaan ini adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel- sel baru
akibat rangsangan testosterone menurun, tetapi sel – sel prostat yang telah ada
mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar.
c. Interaksi stroma epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel
prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel- sel stroma melalui suatu mediator
(growth factor) tertentu. Setelah sel- sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan
estradiol, sel- sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel- sel stroma itu sendiri secara intrakin dan autokrin, serta
mempengaruhi sel- sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya
proliferasi sel- sel epitel maupun stroma (Rahardjo, 1996).
d. Berkurangnya kematian sel prostat (Apoptosis)
Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik homeostatis kelenjar
prostat. Pada jaringan nomal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel
dengan kematian sel. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang apoptosis
menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan makin meningkat sehingga
mengakibatkan pertambahan massa prostat. Diduga hormon androgen berperan
dalam menghambat proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi
peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat (Koozar et al, 2005).
e. Teori stem cell
Isaac dan Coffey mengajukan teori ini berdasarkan asumsi bahwa pada
kelenjar prostat, selain ada hubungannya dengan stroma dan epitel, juga ada
hubungan antara jenis-jenis sel epitel yang ada di dalam jaringan prostat. Stem sel

7
akan berkembang menjadi sel aplifying, yang keduanya tidak tergantung pada
androgen. Sel aplifying akan berkembang menjadi sel transit yang tergantung secara
mutlak pada androgen, sehingga dengan adanya androgen sel ini akan berproliferasi
dan menghasilkan pertumbuhan prostat yang normal.

E. Patofisiologi

Peningkatan volume prostat terjadi karena peningkatan jumlah sel otot polos
stromal. Rasio stroma terhadap epitel meningkat menjadi 5 : 1 pada BPH, sementara itu 2 :
1 pada prostat yang normal. Penyebab pasti BPH tidak diketahui. Beberapa faktor yaitu,
hormonal, genetik dan penuaan diyakini juga berhubungan. Testosteron berperan dalam
proliferasi sel prostat. Testosteron dan hormon terkait diyakini hanya memainkan peran
saat penting pada BPH. Hal ini didukung oleh temuan bahwa tingkat testosteron serum
yang relatif rendah ditemukan pada pasien dengan BPH. Namun, kebanyakan ahli percaya
pada peran dihydrotestosterone (DHT) dalam pembesaran prostat yang patologis. DHT
terbentuk dari testosteron dengan bantuan enzim 5α-reduktase. Hal ini yang menjadi dasar
penggunaan 5α-reduktase inhibitor sebagai terapeutik, yang mencegah konversi testosteron
menjadi DHT. Teori lain mengatakan peranan reaktivasi stem sel. Faktor neuron juga
berperan dalam perkembangan dan pertumbuhan prostat normal. Kontraksi sel otot polos
stroma didominasi oleh saraf adrenergik melalui reseptor α1A. Reseptor ini yang
ditargetkan oleh penghambat reseptor α1A (Shailesh,et all, 2013).

Patofisiologi BPH sangat kompleks (Gambar 1). Hiperplasia prostat


meningkatkan resistensi uretra, sehingga menyebabkan perubahan kompensasi pada
fungsi vesika urinaria. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal.
Meskipun, peningkatan tekanan detrusor dibutuhkan untuk mengatur aliran urine, sebagai
kompensasi terhadap peningktan resistensi aliran urine yang terjadi akibat perubahan
fungsi penyimpanan vesika urinaria. Obstruksi menginduksi perubahan pada fungsi
detrusor, serta proses degenerasi dan gangguan fungsi sistem saraf juga dapat
menyebabkan gangguan pada vesika urinaria , yang menimbulkan gangguan fekuensi,
urgensi, dan nokturia, yang menjadi keluhan utama pada BPH. Oleh karena itu, untuk
mengetahui patofisiologi BPH membutuhkan penjabaran bahwa obstruksi dapat
menginduksi disfungsi vesika urinaria. (Roehrborn, et all. 2007) (Purnomo, 2007).
8
Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna tidak hanya
disebabkan oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga
disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot
polos pada leher vesika urinaria. Otot polos itu dipersarafi oleh serabut simpatis yang
berasal dari nervus pudendus (Hamm, et all. 2008)

Gambar 2.4 Patofisilogi BPH

F. Gejala Klinis

Gejala saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Track Syndrome (LUTS)
yang menunjukkan adanya hiperplasia prostat jinak dapat mencakup gejala obstruksi dan
gejala iritasi. Sulit memulai aliran urine (hesitancy), pancaran kencing yang lemah (weak
stream), kencing merasa tidak tuntas ( incomplete emptying ), mengedan saat kencing (
straining ), dan kencing terputus-putus (Intermittency), termasuk dalam gejala obstruktif.
Sedangkan frekuensi buang air kecil delapan kali atau lebih dalam sehari (frequency),
ketidakmampuan untuk menunda buang air kecil (urgency), sering buang air kecil selama
masa tidur atau dimalam hari (nocturia), nyeri setelah ejakulasi atau saat buang air kecil ,
urine yang memiliki warna atau bau yang tidak biasa (Anil Kapoor, 2012).

9
Berdasarkan perkembangan penyakit, Ada juga yang membagi berdasarkan derajat
penderita hiperplasi prostat berdasarkan gambaran klinis (Sjamsuhidajat
dan De Jong, 2005)

- Derajat I : Ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur : penonjolan prostat,


batas atas mudah diraba, dan sisa volume urin kurang dari 50ml.
- Derajat II : Pada colok dubur : penonjolan prostat jelas, batas atas dapat dicapai, sisa
volume urin 50-100 ml
- Derajat III : Pada colok dubur; batas atas prostat tidak dapat diraba, sisa volume
urin>100 ml
- Derajat IV : Terjadi retensi urin total.

G. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis BPH diperlukan beberapa tindakan seperti:
1) Anamnesis
Hal yang perlu ditanyakan pada pasien adalah usia dan gejala-gejala yang dialami
pasien seperti pada gejala klinis. Sistem skoring diperlukan untuk menilai tingkat
keparahan dari keluhan pasien yg diisi secara subjektif. Sistem skoring yang
digunakan adalah Skor Internasional Gejala Prostat atau International Prostate
Symptom Score (IPSS) (Purnomo, 2009).

Tabel 1. International Prostate Symptom Score (IPSS)


Tidak Kurang Kurang Kadang- Lebih Hampir Skor
pernah dari dari kadang dari selalu anda
sekali setengah sekitar setengah
dalam (50%)
lima
kali

1. Selama sebulan 0 1 2 3 4 5
terakhir,
seberapa sering
Anda merasa
tidak lampias
10
saat selesai
berkemih?
2. Selama sebulan 0 1 2 3 4 5
terakhir
seberapa sering
Anda harus
kencing dalam
waktu kurang
dari 2 jam
setelah selesai
berkemih?
3. Selama sebulan 0 1 2 3 4 5
terakhir,
seberapa sering
Anda
mendapatkan
bahwa Anda
kencing
terputus-putus?
4. Selama sebulan 0 1 2 3 4 5
terakhir,
seberapa sering
Anda
mendapatkan
bahwa Anda
sulit menahan
kencing?
5. Selama sebulan 0 1 2 3 4 5
terakhir,
seberapa sering
pancaran
kencing Anda

11
lemah?
6. Selama sebulan 0 1 2 3 4 5
terakhir,
seberapa sering
Anda harus
mengedan untuk
mulai
berkemih?
7. Selama sebulan 0 1 2 3 4 5
terakhir,
seberapa sering
Anda harus
bangun untuk
berkemih sejak
mulai tidur pada
malam hari
hingga bangun
di pagi hari?
Skor IPSS Total (pertanyaan 1 sampai 7) = …

Senang senang Pada Campuran Pada Tidak Buruk


sekali umumnya antara umumnya bahagia sekali
Puas puas dan tidak
tidak puas

Seandainya 0 1 2 3 4 5 6
Anda harus
menghabiskan
sisa hidup
dengan fungsi
berkemih saat
ini bagaimana
perasaan Anda

Total Skor IPSS:


12
 Ringan (Mild = 0-7
 Sedang (Moderate) = 8-19
 Berat (Servere) = 20-35

 Keluhan pada saluran kemih bagian bawah


Manifestasi klinis timbul akibat peningkatan intrauretra yang pada akhirnya
dapat menyebabkan sumbatan aliran urin secara bertahap. Meskipun manifestasi
dan beratnya penyakit bervariasi, tetapi ada beberapa hal yang menyebabkan
penderita datang berobat, yakni adanya LUTS (Fadlol dan Mochtar, 2005).
Keluhan LUTS terdiri atas gejala obstruksi dan gejala iritatif. Gejala obstruksi
antara lain: hesitansi, pancaran miksi melemah, intermitensi, miksi tidak puas,
menetes setelah miksi. Sedangkan gejala iritatif terdiri dari: frekuensi, nokturia,
urgensi dan disuri.Untuk menilai tingkat keparahan dari LUTS beberapa
ahli/organisasi urologi membuat skoring yang secara subjektif dapat diisi dan
dihitung sendiri oleh pasien. Sistem skoring yang dianjurkan oleh WHO adalah
International Prostatic Symptom Score (IPSS). Sistem skoring IPSS terdiri atas 7
pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan LUTS dan 1 pertanyaan yang
berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Dari skor tersebut dapat
dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu: Ringan (skor 0-7); Sedang
(skor 8-19); dan Berat (skor 20-35).
 Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan dapat berupa gejala obstruksi antara lain, nyeri pinggang, benjolan di
pinggang (hidronefrosis) dan demam (infeksi, urosepsis).
 Gejala diluar saluran kemih
Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis
atau hemoroid, yang timbul karena sering mengejan pada saat miksi sehingga
mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdominal (Purnomo, 2007).
2) Pemeriksaan Fisik
 Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang penuh dan teraba massa
kistik di daerah supra simpisis akibat retensi urin.
 Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Examination (DRE) merupakan
pemeriksaan fisik yang penting pada BPH, karena dapat menilai tonus sfingter ani,
pembesaran atau ukuran prostat dan kecurigaan adanya keganasan seperti nodul
atau perabaan yang keras. Pada pemeriksaan ini dinilai besarnya prostat,
konsistensi, cekungan tengah, simetri, indurasi, krepitasi dan ada tidaknya nodul.

13
Colok dubur pada BPH menunjukkan konsistensi prostat kenyal, seperti meraba
ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris, dan tidak didapatkan nodul.
Sedangkan pada karsinoma prostat, konsistensi prostat keras dan teraba nodul, dan
mungkin antara lobus prostat tidak simetri (Purnomo, 2007).
3) Pemeriksaan Penunjang
o Pemeriksaan Laboratorium
Darah lengkap: komponen yang diperiksa antara lain ureum, kreatinin, elektrolit,
BUN, dan gula darah.
Urin: dilakukan kultur urin dan sensitivitas untuk melihat kemungkinan infeksi
(Purnomo, 2009).
Pemeriksaan Prostate Spesific Antigen (PSA): pemeriksaan PSA ditujukan pada
pasien yang memiliki resiko BPH. Pemeriksaan ini dilakukan sebagai skreening
untuk deteksi dini kanker prostat (Deters, 2011).
o Pemeriksaan Radiologi
Modalitas pemeriksaan radiologi dalam membantu penegakan diagnosis BPH dan
komplikasi akibat BPH mulai dari yang paling sederhana menggunakan radiasi
sinar X, sampai dengan modalitas canggih. Modalitas paling sederhana adalah
radiografi konvensional abdomen polos atau sering disebut dengan BNO (Blass
Nier Oversich), BNOIVP atau sering disebut intravenous urography atau excretrory
urography, yaitu pemberian zat kontras untuk menilai anatomi saluran kemih.
Selanjutnya terdapat modalitas pemeriksaan canggih seperti ultrasonografi,
Computed Tomography Scan (CT-scan), Magnetic Resonance Imaging (MRI),
serta kedokteran nuklir dengan penggunaan radiofarmaka.
Untuk pengukuran volume prostat, modalitas yang cukup berperan adalah
ultrasonografi, CT-scan, atau MRI. Foto polos abdomen tidak banyak memberikan
informasi, walaupun beberapa keadaan seperti adenoma prostat dapat disertai
komponen kalsifikasi, sehingga dapat terlihat pada foto polos abdomen. Kalsifikasi
terletak di sisi belakang simfisis pubis atau sedikit di atas simfisis pubis. Ekstensi
kalsifikasi di atas simfisis pubis merupakan salah satu tanda pembesaran prostat
(Biddulth, 2016).
a) Foto polos abdomen (Buik Nier Overzich, BNO)
Foto polos abdomen digunakan untuk mencari adanya batu opak di saluran
kemih, adanya batu atau kalkulosa prostat, dan kadang dapat menunjukkan
bayangan kandung kemih yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari

14
suatu retensi urin (Purnomo, 2009). Modalitas radiografi konvensional seperti
foto polos abdomen dilanjutkan dengan intravenous pyelography (BNO-IVP)
membantu menilai pembesaran kelenjar prostat secara tidak langsung. Pada saat
kandung kemih penuh, akan terlihat indentasi pada bagian dasar kandung
kemih apabila terdapat pembesaran prostat. Selain itu, indentasi bagian dasar
kandung kemih dapat menyebabkan elevasi trigonum buli-buli dan orifisium
ureter, sehingga ureter distal dapat terlihat seperti huruf “J” atau mata
pancing. Pada fase pengosongan buli-buli, akan terlihat sisa urin cukup banyak
akibat bladder outlet obstruction.

Gambar 2.5. Pada pemeriksaan BNO-IVP, kandung kemih terindentasi


oleh prostat, dan elevasi ureter distal, membentuk seperti mata pancing
atau huruf “J”.

b) Intravenous Pyelography (IVP)


IVP digunakan untuk melihat kemungkinan adanya hidroureter atau
hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh
adanya indentasi prostat (pendesakan kandung kemih oleh kelenjar prostat).
Memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan dengan indentasi
prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter bagian distal

15
yang berbentuk seperti mata kail (hooked fish) dan penyulit-penyulit yang lain
yakni trabekulasi, divertikel, atau sakulasi buli-buli. Pemeriksaan IVP sekarang
tidak direkomendasikan pada BPH (Purnomo, 2007).
c) Ultrasonografi (USG)
Modalitas radiologi yang dapat menghitung volume prostat serta menentukan
pembesaran prostat dan komplikasinya adalah USG, CT-scan, dan MRI. USG
cukup banyak digunakan. Pemeriksaan USG untuk mengevaluasi morfologi
prostat serta ukuran volume prostat dapat secara transabdominal dan
transrektal. USG transabdominal menggunakan transmisi gelombang ultrasonik
melalui dinding abdomen untuk melihat organ-organ dalam, termasuk kelenjar
prostat. USG transabdominal dan transrektal dapat memberikan informasi
signifikan pembesaran prostat, adanya batu buli-buli, serta residu urin
(Biddulth, 2016). Ultrasonografi transabdominal digunakan untuk mendeteksi
adanya hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang lama
(Purnomo, 2009).
USG transabdominal memerlukan pengisian buli-buli yang cukup sebagai
acoustic window. Terdapat korelasi kuat pengukuran volume buli menggunakan
transabdominal dan transrektal pada volume buli kurang dari 400 ml.
Transduser curve frekuensi 2,5-5 MHz yang diletakkan di supra simfisis serta
menyudut ke arah kaudal dapat memvisualisasikan kelenjar prostat. Gambar
diambil pada potongan transversal dan longitudinal (Biddulth, 2016).

16
Gambar 2.6. Gambaran USG transabdominal kelenjar prostat potongan
transversal (kanan) dan longitudinal (kiri) dengan kandung kemih penuh sebagai
acoustic window.

Pada volume buli kurang dari 400 ml, pengukuran volume prostat
menggunakan USG transabdominal dan transrektal berkorelasi cukup tinggi.
Pengukuran volume prostat dengan USG transabdominal pada kapasitas
kandung kemih antara 100-200 ml dengan ketepatan yang mendekati USG
transrektal. USG transabdominal memerlukan persiapan isi kandung kemih
yang cukup agar dapat menjadi acoustic window, sehingga penetrasi gelombang
dapat mencapai kelenjar prostat. Kelenjar prostat terletak di dasar buli, anterior
rectum. Transduser curve dengan frekuensi 3,5-5 MHz diletakkan pada regio
supra pubis dengan posisi transversal dan longitudinal. Pada USG
transabdominal, ukuran normal kelenjar prostat tidak melebihi 3 x 3 x 5 cm atau
volume tidak melebihi 25 mL. Pengukuran volume prostat menggunakan
formula geometrik ellipsoid. USG trans-abdominal memiliki akurasi cukup baik
untuk mendeteksi dan menilai pembesaran prostat.

Gambar 2.7. Sonoanatomi menggunakan USG transrektal pada


penderita BPH. Terlihat zona transisional (TZ) membesar dengan

17
ekostruktur hipoekoik serta menekan zona perifer (PZ) yang lebih
hiperekoik.

USG transrektal (TRUS) dapat mengevaluasi anatomi serta menghitung volume


kelenjar prostat secara akurat pada penderita BPH yang akan menjalani terapi
bedah atau minimal invasif. Perhitungan volume prostat dengan TRUS
menggunakan proyeksi sagital dan transversal, sama seperti dengan USG
transabdominal. Pemeriksaan menggunakan transduser khusus frekuensi 6-10
MHz. Frekuensi lebih rendah, maka kemampuan gelombang untuk penetrasi
jaringan akan lebih dalam, namun resolusi gambar rendah. Volume kelenjar
prostat dapat dihitung menggunakan rumus geometik ellipsoid yang sama
seperti pada USG transabdominal. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara
volume prostat yang didapatkan dengan TRUS dan USG transabdominal
(Biddulth, 2016).
d) Transrectal Ultrasound (TRUS)
TRUS digunakan untuk mengetahui volume kelenjar prostat, adanya
kemungkinan pembesaran prostat maligna, sebagai petunjuk untuk melakukan
biopsi aspirasi prostat, menentukan jumlah residu urin, dan mencari kelainan
lain yang mungkin ada di dalam kandung kemih (Purnomo, 2009).

Gambar 2.8. Pemeriksaan TransRectal UltraSound


18
e) Sistografi
Sistografi digunakan bila terdapat hematuria atau kemungkinan terdapat tumor.
f) CT-scan / MRI jarang digunakan (Purnomo, 2009).
o CT-scan
CT-scan regio pelvis mulai dari krista iliaka sampai dengan tuberositas
ischium dengan tebal potongan (slice thickness) 5 mm atau kurang. CT scan
dapat mengevaluasi ukuran prostat, namun tidak digunakan untuk
menentukan stadium BPH, karena penentuan stadium berdasarkan gejala
klinis. Pada CT-scan, BPH terlihat sebagai pembesaran prostat dengan
ukuran diameter lebih dari 5 cm pada potongan transversal (Biddulth, 2016).

Gambar 2.9. CT-scan potongan aksial kelenjar prostat, dengan


pemberian kontras tampak penyangatan pada zona transisional kelenjar
prostat.

o MRI
Pada MRI, kelenjar prostat tampak sebagai organ dengan intensitas signal
intermediate homogen pada T1 weighted image (T1WI). Sekuen T2
weighted image (T2WI) dapat memperlihatkan zona-zona kelenjar prostat.
Intensitas signal pada T2WI tergantung komponen kelenjar, stroma, dan otot
polos penyusunnya. Zona perifer pada T2WI, karena banyak komponen
kelenjar, akan memberikan intensitas signal yang tinggi. Sedangkan zona
19
sentral dan zona transisional lebih banyak mengandung komponen otot
polos dan stroma, sehingga memberikan intensitas signal yang rendah
(Biddulth, 2016).

Gambar 2.10. MRI potongan aksial T2WI echo-train-spin echo (ETSE),


zona perifer tampak hiperintens, dengan sentral yang hipointens (zona
sentral dan transisional).

Tabel 2. Perbandingan antara Pemeriksaan USG, CT-scan, dan MRI terhadap Kelenjar Prostat
USG Transabdominal Computed Tomography Scan Magnetic Resonance
(CT-scan) Imaging (MRI)

Mobile. Dapat dilakukan pada pasien Diferensiasi jaringan lunak


yang sulit menahan kemih, lebih baik.
obesitas, serta pasien dengan
banyak udara di usus.

Dapat dilakukan dengan Waktu akuisisi gambar lebih Dapat membedakan batas
cepat. cepat. prostat dengan jelas.

Tidak invasive. Evaluasi lebih baik ukuran Mendeteksi kelainan prostat.


prostat.

Murah. Dapat digunakan untyuk Menilai metabolit (functional

20
staging pada keganasan imaging) dengan MR
prostat. spektroskopi.

Tidak menggunakan
radiasi.

Ketersediaan alat cukup


banyak.

g) Pemeriksaan lain
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan mengukur:
o Residual urin, diukur dengan kateterisasi setelah miksi atau dengan
pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi.
o Pancaran urin (flow rate), dengan menghitung jumlah urin dibagi dengan
lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan uroflowmetri.

H. Diagnosis banding
Gejala saluran kemih bawah (LUTS) yang terdapat pada BPH kemungkinan berasal
dari striktur uretra, kontraktur leher vesika urinaria (primer atau sekunder untuk operasi
prostat), meatal stenosis, karsinoma prostat lanjutan, batu vesika urinaria. Frekuensi dan
urgensi kemungkinan berasal dari infeksi saluran kemih, diabetes, obat-obatan diuretic,
atau konsumsi alcohol (Paterson.R.F, et al, 2000).

I. Penatalaksannan

21
Tujuan terapi pada BPH :

- Memperbaiki keluhan miksi

- Meningkatkan kualitas hidup

- Mengurangi obstruksi infravesika

- Mengembalikan fungsi ginjal

- Mengurangi volume residu urin setelah miksi

- Mencegah progressivitas penyakit

1. Watchful waiting

Pilihan tanpa terapi ini untuk pasien BPH dengan skor IPSS<7, yaitu keluhan ringan yang
tidak menganggu aktivitas sehari-hari. Perubahan gaya hidup disarankan. Pasien hanya
diberikan edukasi mengenai hal-hal yang dapat memperburuk keluhan :

- Jangan mengkonsumsi kopi atau alkohol

22
- Kurangi makanan dan minuman yang mengiritasi vesika urinaria (kopi, coklat, alkohol)

- Kurangi makanan pedas atau asin

- Jangan menahan kencing terlalu lama

- Pembatasan cairan terutama sebelum tidur

- Penghindaran / pemantauan pemakaian beberapa obat (misalnya, diuretik, Dekongestan,

antihistamin, antidepresan)

-Menghindari atau mengobati sembelit

2. Medikamentosa

Tujuan:

- Mengurangi resistensi otot polos prostat dengan adrenergik α blocker

- Mengurangi volume prostat dengan menurunkan kadar hormon testosteron

melalui penghambat 5α-reduktase.

23
Tabel 1 dan Tabel 2. Contoh Nama Obat Golongan α blocker dan 5α-reduktase.

24
3. Operasi

Pasien BPH yang mempunyai indikasi pembedahan:

- Tidak menunjukkan pebaikan setelah terapi medikamentosa

- Mengalami retensi urin

- Infeksi Saluran Kemih berulang

- Hematuri

- Gagal ginjal

- Timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi saluran kemih bagian

bawah

Jenis pembedahan yang dapat dilakukan:

 Pembedahan terbuka (prostatektomi terbuka)

Paling invasif dan dianjurkan untuk prostat yang sangat besar (±100

gram). Pada Pembedahan Terbuka yang biasa digunakan adalah:

- Prostatektomi suprapubik
Salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Insisi ini dibuat
didalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas. Teknik ini dapat
digunakan untuk kelenjar dengan segala ukuran dan komplikasi yang mungkin
terjadi ialah pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak dibanding dengan
metode lain. Kerugian lain yang dapat terjadi ialah insisi abdomen akan disertai
bahaya dari semua prosedur bedah abdomen mayor.
- Prostatektomi perineal
Suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum.
Teknik ini lebih praktis dan sangat berguna untuk biopsi terbuka. Pada periode pasca
operasi luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dengan
rektum. Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan ini adalah inkontinensia,
impotensi dan cedera rektal.

- Prostatektomi retropubik
25
Tindakan lain yang dapat dilakukan dengan cara insisi abdomen rendah mendekati
kelenjar prostat yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki
kandung kemih. Teknik ini sangat tepat untuk kelenjar prostat yang terletak tinggi
dalam pubis. Meskipun jumlah darah yang hilang lebih dapat dikontrol dan letak
pembedahan lebih mudah dilihat akan tetapi infeksi dapat terjadi diruang retropubik.

 Pembedahan endourologi

Operasi terhadap prostat dapat berupa reseksi (Trans Urethral Resection of

the Prostat/TURP), Insisi (Trans Urethral Incision of the Prostate/TUIP) atau

evaporasi.

- Trans Urethral Resection of the Prostat (TURP)


Transurethral resection of the prostate (TURP) merupakan standar
pembedahan endoskopik untuk Benign Prostat Hypertrophy (pembesaran
prostat jinak). TURP dilakukan dengan cara bedah elektro (electrosurgical)
atau metode alternative lain yang bertujuan untuk mengurangi perdarahan,
masa rawat inap, dan absorbsi cairan saat operasi. Metode alternatif ini
antara lain vaporization TURP (VaporTode), TURP bipolar, vaporisasi
fotoselektif prostat (PVP), dan enuleasi laser holmium serta tidanakan
invasive minimal lainnya seperti injeksi alcohol, pemasangan stent prostat,
laser koagulasi.
Menurut Agency for Health Care Policy and Research guidelines, indikasi
absolut pembedahan pada BPH adalah sebagai berikut :
Retensi urine yang berulang.
Infeksi saluran kemih rekuren akibat pembesaran prostat.
Gross hematuria berulang.
Insufisiensi ginjal akibat obstruksi saluran kemih pada buli.
Kerusakan permanen buli atau kelemahan buli-buli.
Divertikulum yang besar pada buli yang menyebabkan pengosongan
buli terganggu akibat pembesaran prostat.

Secara umum pasien dengan gejala LUTS sedang-berat yang tidak


berespon terhadap pengobatan dengan alfa-adrenergik bloker dan/atau 5-alfa
reduktase blok inhibitor dipertimbangakan untuk menjalani prosedur

26
pembedahan. TURP diindikasikan pada pasien dengan gejala sumbatan
saluran kencing menetap dan progresif akibat pembesaran prostat yang
tidak mengalami perbaikan dengan terapi obat-obatan.
Kontraindikasi TURP
TURP merupakan prosedur elektif dan tidak direkomendasian pada pasien
tertentu. Hampir semua kontraindikasinya adalah kontraindikasi relatif,
berdasarkan kondisi komorbid pasien dan kemampuan pasien dalam
menjalani prosedur bedah dan anestesi. Kontraindikasi relatif antara lain
adalah status kardipulmoner yang tidak stabil atau adanya riwayat kelainan
perdarahan yang tidak bisa disembuhkan. Pasien yang baru mengalami
infark miokard dan dipasang stent arteri koroner sebaiknya ditunda sampai 3
bulan bila akan dilakukan TURP.
Pasien dengan disfungsi spingter uretra eksterna seperti pada penderita
miastenia gravis, multiple sklerosis,atau Parkinson dan/atau buli yang
hipertonik tidak bleh dilakukan TURP karena akan menyebabkan
inkontinensia setelah operasi. Demikian pula pada pasien yang mengalami
fraktur pelvis mayor yang menyebabkan kerusakan spingter uretra eksterna.
TURP akan menyebabkan hilangnya spingter urin internal sehingga pasien
secara total akan tergantung pada fungsi otot spingter eksternal untuk tetap
kontinen. Jika spingter eksternal rusak, trauma, atau mengalami disfungsi,
pasien akan mengalami inkontinesia.
Kontrandikasi yang lain adalah pasien kanker prostat yang baru menjalani
radioterapi terutama brachyterapi atau krioterapi dan infeksi saluran kencing
yang aktif.

27
- Trans Urethral Incision of the Prostate (TUIP)
Tindakan ini dilakukan apabila volume prostat tidak terlalu besar atau
prostat fibrotik. Indikasi dari penggunaan TUIP adalah keluhan sedang atau
berat dengan volume prostat normal/kecil (30 gram atau kurang). Teknik ini
dilakukan dengan memasukkan instrument kedalam uretra. Satu atau dua
buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan
prostat pada uretra dan mengurangi konstriksi uretral. Komplikasi dari TUIP
adalah pasien bisa mengalami ejakulasi retrograde (0-37%)

J. Prognosis
Prognosis secara umum baik jika dikelola dengan medikamentosa maupun
pembedahan. BPH yang tidak dapat diobati memicu timbulnya infeksi saluran kemih, batu
vesika urinaria, gagal ginjal, atau retensi urin yang merupakan akibat dari obstruksi.

28
BAB III
KESIMPULAN

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah keadaan dimana terjadi hiperplasia sel - sel
stroma dan sel – sel epitel prostat, sehingga terjadi pembesaran volume prostat regio periuretral,
sering terjadi pada zona transisional prostat dan menyerang laiki-laki usia lebih dari 50 tahun.
Gejala klinis BPH terdiri atas gejala obstriktid dan iritatif.

Berdasarkan skoring IPSS, BPH dibagi menjadi 3 derajat yaitu derajat ringan (0-7),
derajat sedang (8-19), dan derajat berat ( skor 20-35). Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan
diagnosa BPH diantaranya foto polos abdomen (BNO/IVP), USG, CT-Scan, MRI, Sistrografi,
Residual urine dan pancaran urine (flow rate). Penatalaksanaan BPH dibagi berdasarkan derajat
skoring IPSS yaitu watchful waiting, medikamentosa dan operatif.

29
DAFTAR PUSTAKA

Anil Kapoor. 2012. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) management in primary care
setting. The Canadian Journal of Urology. Vol. 19. Page: 10-17

Biddulth. 2016. Pemilihan Modalitas Pemeriksaan Radiologi untuk Diagnosis Benign


Prostatic Hyperplasia. CKD-241. Vol. 43. No. 6. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Deters, Levi A. 2011. Benign Prostatic Hypertrophy, Dartmouth Hitchcock Medical


Centre. Tersedia di http://emedicine.medscape.com/article/437359-
overview.

Furqan. 2003. Evaluasi Biakan Urin Pada Penderita BPH Setelah Pemasangan Kateter
Menetap Pertama Kali dan Berulang. USU Digital Library; hal. 10-3

Hamm, B. Asbach, P. Beyersdoff.D. Hein, P. Lemke,U. 2008. Direct Diagnosis in


Radiologi; Urogenital Imaging. New York. Thieme Publishing Groups.
Page: 171.

Kozar Rosemary A, Moore Frederick A. 2005. Schwartz’s Principles of Surgery 8th


Edition. Singapore: The McGraw-Hill Companies, Inc;

Mulyono, A. 1995. Pengobatan BPH Pada Masa Kini. Dalam : Pembesaran Prostat
Jinak. Yayasan penerbit IDI, Jakarta ; 40-48.5.

Purnomo, Basuki B. 2007. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Kedua. Jakarta : Sagung Seto.

Purnomo, B. 2007. Dasar-Dasar Urologi. Edisi Kedua. Jakarta: CV.Sagung Seto. Hal.
69-85.

Rahardjo, J. 1996. Prostat Hiperplasi. Dalam : Kumpulan Ilmu Bedah. Binarupa aksara,
Jakarta ; 161-703.

30
Roehrborn, C, G. Mc.Connel, J, D. Benign prostatic Hyperplasia; Etiology,
Pathophysiology, Epidemiology, and natural History. Urology 9th ed.
Philadelphia. Sounders Elsevier. 2007. Chapter 86. P.1-14.

Rosette., Alivizatos., C.Madersbaher., Sanz,R., Nordling, J., emberton, M., Gravas,S.,


Michel., Oelke. 2006. Guidelines on Benign Prostatic Hyperplasia.
European Association of Urology. ; Hal ; 5, 13-9, 30-9

Shailesh yadav, Praveen gupta, Manoj Goyal, Monika bansa. 2013. Benign Prostatic
Hyperplasia: Current and Future Therapeutics. Indian Journal of Clinical
Practice. Vol. 24, No. 2. Page: 179-182.

Sjamsuhidayat, R dan De Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Copy Editor:
Adinda Candralela. Jakarta: EGC.

31

Anda mungkin juga menyukai