Anda di halaman 1dari 11

A.

Askariasis

1. Definisi Askariasis

Ascariasis adalah infeksi kecacingan yang disebabkan oleh cacing

Ascaris lumbricoides. Ascariasis sendiri termasuk penyakit cacing yang paling

besar prevalensinya diantara penyakit cacing lainnya yang menginfeksi tubuh

manusia. Manusia merupakan satu-satunya hospes untuk A.lumbricoides

Cacing A.lumbricoides merupakan golongan nematoda. Nematoda

berasal dari kata nematos yang berarti benang dan oidos yang berarti bentuk,

sehingga cacing ini sering disebut cacing gilik ataupun cacing gelang.

Nematoda itu sendiri dibagi menjadi 2 jenis yakni nematoda usus dan

nematoda jaringan. Manusia merupakan hospes untuk beberapa nematoda usus

yang dapat menimbulkan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.

Diantara nematoda usus yang ada terdapat beberapa spesies yang

membutuhkan tanah untuk pematangannya dari bentuk non infektif menjadi

bentuk infektif yang disebut Soil Transmitted Helminths (STH). Cacing yang

termasuk golongan STH adalah A.lumbricoides, Trichuris trichiura,

Ancylostoma duodenale, Necator americanus, Strongyloides stercoralis, dan

beberapa spesies Trichostrongylus.

2. Morfologi Ascariasis

Secara umum dapat dilihat bahwa cacing A. lumbricoides berwarna

merah berbentuk silinder. Cacing jantan lebih kecil ukurannya daripada cacing

betina. Pada stadium dewasa, cacing ini akan hidup dan berkembang didalam

rongga usus kecil.


Cacing jantan berukuran 15-25 cm x 3 mm disertai ujung posteriornya

yang melengkung ke arah ventral dan diikuti adanya penonjolan spikula yang

berukuran sekitar 2 mm. Selain itu, di bagian ujung posterior cacing juga

terdapat banyak papil-papil kecil. Cacing betina berukuran 25-35 cm x 4 mm

dengan ujung posteriornya yang lurus. Cacing ini memiliki 3 buah bibir,

masing-masing satu dibagian dorsal dan dua lagi dibagian ventrolateral.

Cacing dewasa hidup dalam jangka waktu ±10 – 24 bulan . Cacing

dewasa dilindungi oleh pembungkus keras yang kaya akan kolagen dan lipid

serta menghasilkan enzim protease inhibitor yang berfungsi untuk melindungi

cacing agar tidak tercerna di sistem pencernaan manusia. Cacing ini juga

memiliki sel-sel otot somatik yang besar dan memanjang sehingga mampu

mempertahankan posisinya di dalam usus kecil. Jika otot somatik tersebut

lumpuh oleh obat cacing, maka cacing akan mudah keluar melalui anus karena

gerakan peristaltic di usus.

Cacing betina mampu bertahan hidup selama 1- 2 tahun dan

memproduksi 26 juta telur selama hidupnya dengan 100.000 – 200.000 butir

telur per hari yang terdiri dari telur yang telah dibuahi (fertilized), yang tidak

dibuahi (unfertilized), maupun telur dekortikasi. Telur dekortikasi adalah telur

A.lumbricoides yang telah dibuahi tapi kehilangan lapisan albuminoid.

3. Patogenesis Ascariasis
Patogenesis yang disebabkan infeksi Ascaris dihubungkan dengan:

a. respon imun hospes

b. efek migrasi larva

c. efek mekanik cacing dewasa

d. defisiensi gizi akibat keberadaan cacing dewasa

Setelah tertelan telur askariasis yang inefektif, telur ini akan menetap

di bagian atas usushalus dengan melepaskan larva yang berbentuk rabditiformis.

Larva ini akan menembus dinding usus dan mencapai venule dan pembuluh

limfe kemudian melalui sirkulasi portal mencapai hati, bagian kanan jantung

dan paru-paru.

Di dalam paru, larva akan merusak kapiler dan mulai mengikuti

percabangan parusampai mencapai glotis dan kemudian melewati epiglotis

masuk ke dalam esofagusuntuk seterusnya kembali ke usus halus, dimana

meraka akan jadi matur dan berubah menjadi cacing dewasa.

Keseluruhan siklus mulai dari telur yang infektif sampai menjadi

cacing dewasamemerlukan waktu sekitar 2 bulan. Infeksi bertahan dalam

masyarakat akibat pembuangan feses di tanah yang memungkinkan

perkembangan telur menjadi infektif lagi. Ini memerlukan waktu 2 minggu.

Selama fase migrasi, larva askariasis menyebabkan reaksi peradangan

dengan terjadinya infiltrasi eosinofilia. Antigen ascariasis dilepaskan selama

migrasi larva yang akanmerangsang respon imunologis dalam tubuh dan respon

ini telah pernah dibuktikanadanya pelepasan antibodi terhadap kelas IgG yang

spesifik yang dapat membentukreaksi complement-fixation dan precipitating.

Mengenai respon kelas IgA terhadap infeksi ascariasis masih kurang diketahui.
Mekanisme pertahanan primer pada infestasi ascariasis mungkin suatu

bentuk seluler.Selama fase intestinals maka gejala terutama berasal dari adanya

cacing dalam usus atauakibat migrasi kedalam lumen usus yang lain atau

perforasi ke dalam peritoneum.Lebih lanjut ascariasis mengeluarkan antienzim

sebagai suatu fungsi proteksi terhadapkelangsungan hidupnya dan ternyata

antienzim ini di duga berhubungan denganterjadinya malabsorbsi.

4. Gejala

Gejala klinis yang timbul dari Ascariasis tergantung dari beratnya

infeksi, keadaan umum penderita, daya tahan, dan kerentanan penderita

terhadap infeksi cacing ini. Penderita Ascariasis tidak akan merasakan gejala

dari infeksi ini (asimptomatik) apabila jumlah cacing sekitar 10-20 ekor

didalam tubuh manusia sehingga baru dapat diketahui jika ada pemeriksaan

tinja rutin ataupun keluarnya cacing dewasa bersama dengan tinja. Gejala

klinis yang timbul bervariasi, bisa dimulai dari gejala yang ringan seperti

batuk sampai dengan yang berat seperti sesak nafas dan perdarahan. Gejala

yang timbul pada penderita Ascariasis berdasarkan migrasi larva dan

perkembangbiakan cacing dewasa, yaitu:

 Gejala akibat migrasi larva A. lumbricoides Selama fase migrasi, larva

A. lumbricoides di paru penderita akan membuat perdarahan kecil di

dinding alveolus dan timbul gangguan batuk dan demam. Pada foto

thorak penderita Ascariasis akan tampak infiltrat yaitu tanda terjadi

pneumonia dan eosinophilia di daerah perifer yang disebut sebagai

sindrom Loeffler. Gambaran tersebut akan menghilang dalam waktu 3

minggu
 Selama fase didalam saluran pencernaan, gejala utamanya berasal dari

dalam usus atau migrasi ke dalam lumen usus yang lain atau perforasi

ke dalam peritoneum. Cacing dewasa yang tinggal dilipatan mukosa

usus halus dapat menyebabkan iritasi dengan gejala mual, muntah, dan

sakit perut. Pada anak-anak anak dapat memperlihatkan gejala berupa

perut buncit, pucat, lesu, dan rambut yang jarang. Penderita Ascariasis

juga dapat mengalami alergi yang berhubungan dengan pelepasan

antigen oleh A. lumbricoides dalam darah dan kemudian merangsang

sistem imunologis tubuh sebagai defence mechanism dengan gejala

berupa asma bronkial, urtikaria, hipereosinofilia, dan sindrom Loeffler

5. Pengobatan

Cacing Ascaris lumbricoides seringkali berada dalam usus manusia

bersama-sama dengan cacing tambang. Sebaiknya cacing A.lumbricoides

dibasmi lebih dahulu baru kemudian cacing tambang.

Oabt-obat yang digunakan adalah:

a) Piperazin

Piperazin merupakan obat pilihan utama, diberikan dengan dosis

sebagai berikut:

 Berat badan 0-15 kg : 1g sekali selama 2 hari berturut-turut


 Berat badan 15-25 kg : 2g sekali sehari selama 2 hari berturut-
turut
 Berat badan 25-50 kg : 3g sekali sehari selama 2 hari berturut-
turut
 Berat badan lebih dari 50 kg : 3,5g sekali sehari selama 2 hari
berturut-turut
Satu tablet obat ini mengandung 250 dan 500mg piperazin. Efek
samping penggunaan obat ini adalah pusisng, rasa melayang dan
gangguan penglihatan.

b) Heksilresolsinol
Obat ini baik untuk infeksi Ascaris lumbricoides dalam usus. Obat ini
diberikan setelah pasien dipuasakan terlebih dahulu. Baru kemudian
diberikan 1g heksilresolsinol sekaligus disusul dengan pemberian 30g
mgSO4 yang diulangi 3 jam kemudian untuk tujuan mengekuarkan cacing.
c) Pirantel pamoat
Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis mg/kg berat badan,
maksimum 1g. Efek samping obat ini adalah rasa mual, mecret, pusing
ruam kulit dan demam
d) Lavamisol
Obat ini cukup efektif bila diberikan dalam dosis tunggal 150 mg
e) Albendazol
Obar ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis tunggal 400mg
f) Mebendazol
Obat ini cukup efektif bila diberikan dengan dosis 100 mg, 2 kali
sehari selama 3 hari
6. Diagnosis
Cara menegakkan diagnosis penyakit adalah dengan pemeriksaan tinja
secaralangsung. Adanya telur memastikan diagnosis askariasis. Diagnosis juga
dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui hidung, mulut,
maupun tinja.Dari gejala klinis sering kali susah untuk menegakkan diagnosis,
karena tidak adagejala klinis yang spesifik sehingga diperlukan pemeriksaan
laboratorium. Diagnosisascariasis ditegakkan berdasarkan menemukan telur
cacing dalam tinja (melalui pemeriksaan langsung atau metode konsentrasi),
larva dalam sputum, cacing dewasakeluar dari mulut, anus, atau dari hidung.
Tingkat infeksi ascariasis dapat ditentukandengan memeriksa jumlah
telur per gram tinja atau jumlah cacing betina yang adadalam tubuh penderita.
Satu ekor cacing betina per-hari menghasilkan lebih kurang 200.000 telur, atau
2.000-3.000 telur per-gram tinja. Jika infeksi hanya oleh cacing jantan atau
cacing yang belum dewasa sehingga tidak ditemukan telur dalam tinja
penderita, untuk diagnosis dianjurkan dilakukan pemeriksaan foto thorax.

B. Filariasis
1. Definisi filariasis
Filariasis atau elephantiasis atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal
sebagai penyakit kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untuk
adalah penyakit yang disebabkan karena infeksi cacing filaria.
Filariasis adalah suatu infeksi siskemik yang disebabkan oeh cacing
filaria. Dimana cacing dewasa hidup dalam saluran limfe dan kelenjar limfe
manusia. Secara biologik filariasis ditularkan oleh serangga (Nyamuk).
2. Klasifikasi
Limfedema pada filariasis bancrofti biasanya mengenai seluruh
tungkai. Limfedema tungkai ini dapat dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu:
Tingkat 1: Edema pitting pada tungkai yang dapat kembali normal (reversibel)
bila tungkai diangkat.
Tingkat 2 : Pitting/ non pitting edema yang tidak dapat kembali normal
(irreversibel) bila tungkai diangkat.
Tingkat 3 : Edema non pitting, tidak dapat kembali normal (irreversibel )
bilatungkai diangkat, kulit menjadi tebal.
Tingkat 4 : Edema non pitting dengan jaringan fibrosis dan verukosa pada
kulit (elephantiasis)
3. Morfologi
Menurut Nugroho tahun 1996 bahwa secara umum daur hidup ketiga
spesies cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup parasit terjadi didalam tubuh
manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut makrofilaria) hidup di
saluran dan kelenjar limfe, sedangkan anaknya (disebut mikrofilaria) ada di
dalam sistem peredaran darah.

a. Makrofilaria
Makrofilaria (cacing dewasa) berbentuk silindris, halus seperti benang
berwarna putih susu dan hidup sistem limfe. Cacing betina bersifat
ovovivipar dan berukuran 55-100 mm x 0,16 mm, dapat menghasilkan
jutaan mikrofilaria. Cacing jantan berukuran lebih kecil ± 55 mm x 0,09
mm dengan ujung ekor melingkar.
b. Mikrofilaria
Cacing dewasa betina setelah mengalami fertilisasi mengeluarkan
jutaan anak cacing yang di sebut mikrofilaria. Ukuran mikrofilaria 200-
600 µm x 8µm dan mempunyai sarung. Secara mikrokopis morfologi
spesies mikrofilaria dapat di bedakan berdasarkan ukuran ruang kepala
serta warna sarung pada pewarnaan giemsa, susunan inti badan, jumlah
dan letak inti pada ujung ekor.
c. Larva Dalam Tubuh Nyamuk
Pada saat nyamuk menghisap darah manusia/hewan yang mengandung
mikrofilaria, maka mikrofilaria akan terbawa masuk ke dalam lambung
nyamuk dan melespaskan selubungnya, kemudian menembus dinding
lambung dan bergerak menuju otot atau jaringan lemak di bagian dada.
Setelah ± 3 hari mikrofilaria mengalami perubahan bentuk menjadi larva
stadium 1 (L1) bentuknya seperti sosis berukuran 125-250 µm x 10-17 µm
dengan ekor runcing seperti cambuk. Setelah ± 6 hari larva tumbuh
menjadi larva stadium 2 (L2) disebut larva preinfektif yang berukuran
200-3000 µm x 15-30 µm dengan ekor yang tumpul atau memendek. Pada
stadium 2 ini larva menunjukkan adanya gerakan. Hari ke 8-10 pada
spesies Brugia atau pada hari ke 10-14 pada spesies Wuchereria larva
tumbuh menjadi larva stadium 3 (L3) yang berukuran ± 1400 µm x 20 µm
Larva stadium L3 tampak panjang dan ramping di sertai dengan gerakan
yang aktif stadium 3 ini merupakan cacing infektif.
4. Patofisiologi
Parasit memasuki sirkulasi saat nyamuk menghisap darah lalu parasit
akanmenuju pembuluh limfa dan nodus limfa. Di pembuluh limfa terjadi
perubahan darilarva stadium 3 menjadi parasit dewasa. Cacing dewasa akan
menghasilkan produk-produk yang akan menyebabkan dilaasi dari pembuluh
limfa sehingga terjadidisfungsi katup yang berakibat aliran limfa retrograde.
Akibat dari aliran retrogradetersebut maka akan terbentuk limfedema.
Perubahan larva stadium 3 menjadi parasit dewasa menyebabkan
antigen parasit mengaktifkan sel T terutama sel Th2 sehingga melepaskan
sitokin seperti IL 1,IL 6, TNF α. Sitokin-sitokin ini akan menstimulasi sum-
sum tulang sehingga terjadieosinofilia yang berakibat meningkatnya mediator
proinflamatori dan sitokin jugaakan merangsang ekspansi sel B klonal dan
meningkatkan produksi IgE. IgE yangterbentuk akan berikatan dengan parasit
sehingga melepaskan mediator inflamasisehingga timbul demam. Adanya
eosinofilia dan meningkatnya mediator inflamasimaka akan menyebabkan
reaksi granulomatosa untuk membunuh parasit dan terjadikematian parasit.
Parasit yang mati akan mengaktifkan reaksi inflam dangranulomatosa. Proses
penyembuhan akan meninggalkan pembuluh limfe yangdilatasi, menebalnya
dinding pembuluh limfe, fibrosis, dan kerusakan struktur. Hal inimenyebabkan
terjadi ekstravasasi cairan limfa ke interstisial yang akan menyebabkan
perjalanan yang kronis.
5. Upaya Pencegahan
Menurut Sembel (2009) upaya pencegahan yang dilakukan adalah
menghindari terjangkitnya suatu penyakit dan dapat mencegah terjadinya
penyebaran penyakit. Pada dasarnya tujuan dilakukan upaya ini adalah untuk
mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit yaitu
yang terdiri dari penyebab (agent), tuan rumah (host), lingkungan
(environmental). Upaya pencegahan penting dan selalu diutamakan karena
dapat dilakukan dengan biaya yang murah serta mudah pelaksanaannya hasil
yang diperoleh lebih optimal. Upaya pencegahan dan pengeliminasi Fialariasis
yang efektif antara lain:
a. Memutuskan rantai penularan filariasis melalui program pengobatan
massal di daerah endemis filariasis.
b. Mencegah dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus
filariasis.
c. Pengendalian vektor secara terpadu.
d. Memperkuat kerjasama lintas batas daerah dan negara.
e. Memperkuat surveilans dan pengembangan penelitian.
6. Pengobatan
Dietilkarbamasin (diethylcarbamazine (DEC) adalah satu-satunya obat
filariasis yang ampuh baik untuk filariasis bancrofti maupun malayi, bersifat
makrofilarisidal dan mikrofilarisidal. Obat ini tergolong murah, aman dan
tidak ada resistensi obat. Penderita yang mendapatkan terapi obat ini mungkin
akanmemberikan reaksi samping sistemik dan lokal yang bersifat sementara
dan mudah diatasi dengan obat simtomatik.
Dietilkarbamasin tidak dapat dipakai untuk khemoprofilaksis.
Pengobatan diberikan oral sesudah makan malam, diserap cepat, mencapai
konsentrasi puncak dalam darah dalam 6 jam, dan diekskresi melalui air
kemih. Dietilkarbamasintidak diberikanpada anak berumur kurang dari 2
tahun, ibu hamil/menyusui, dan penderita sakit berat atau dalam keadaan
lemah.
Namun pada kasus penyakit kaki gajah yang cukup parah (sudah
membesar) karena tidak terdeteksi dini, selain pemberian obat-obatan tentunya
memerlukan langkah lanjutan seperti tindakan operasi.
7. Diagnosis
a. Diagnosis Klinik
Diagnosis klinik ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaanklinik.
Diagnosis klinik penting dalam menentukan angka kesakitan akut
danmenahun
(Acute and Chronic Disease Rate).
Pada keadaan amikrofilaremik, gejala klinis yang mendukung
dalamdiagnosis filariasis adalah gejala dan tanda limfadenitis
retrograd,limfadenitis berulang dan gejala menahun
b. Diagnosis Parasitologik
` Diagnosis parasitologik ditegakkan dengan ditemukannya mikrofilaria
pada pemeriksaan darah kapiler jari pada malam hari. Pemeriksaan dapat
dilakukan siang hari, 30 menit setelah diberi DEC 100 mg. Dari
mikrofilariasecara morfologis dapat ditentukan species cacing filaria.
c. Radiodiagnosis
Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum dan
kelenjarlimfe inguinal penderita akan memberikan gambaran cacing yang
bergerak-gerak (filarial dance sign).
Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran
ataualbumin yang dilabel dengan radioaktif akan menunjukkan
adanyaabnormalitas sistem limfatik, sekalipun pada penderita yang
mikrofilaremia asimtomatik
d. Diagnosis Immunologi
Pada keadaan amikrofilaremia seperti pada keadaan prepaten,
inkubasi,amikrofilaremia dengan gejala menahun, occult filariasis, maka
deteksiantibodi dan/atau antigen dengan cara immuno diagnosis
diharapkan dapat menunjang diagnosis. Adanya antibodi tidak
menunjukkan korelasi positif dengan mikrofilaremia, tidak membedakan
infeksi dini dan infeksi lama. Deteksiantigen merupakan deteksi metabolit,
ekskresi dan sekresi parasit tersebut, sehingga lebih mendekati diagnosis
parasitologik. Gib 13, antibodi monoklonal terhadap O.gibsoni
menunjukkan korelasi yang cukup baik dengan mikrofilaremia W .
bancrofti di Papua New Guinea

Anda mungkin juga menyukai