Anda di halaman 1dari 61

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih dan
Penyayang dengan selesainya penyusunan Modul Kebijakan Jalan
Berkeselamatan. Modul ini disusun untuk memenuhi kebutuhan peserta
pendidikan dan pelatihan di bidang jalan yang berasal dari kalangan pegawai
pemerintah daerah dan Aparatur Sipil Negara (ASN).

Modul Kebijakan Jalan Berkeselamatan ini disusun dalam 3 (tiga) bab yang terdiri
dari Pendahuluan dan Kegiatan Belajar. Penyusunan modul yang sistematis
diharapkan mampu mempermudah peserta pelatihan dalam memahami segala
kebutuhan terkait jalan berkeselamatan. Penekanan orientasi pembelajaran
pada modul ini diisi oleh adanya pergeseran aktivitas peserta latih dan pelatih
yakni dengan menonjolkan peran serta aktif peserta latih.

Akhirya, ucapan terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada tim
penyusun atas tenaga dan pikiran yang dicurahkan untuk mewujudkan modul ini.
Penyempurnaan maupun perubahan modul di masa mendatang senantiasa
terbuka dan dimungkinkan mengingat akan perkembangan situasi, kebijakan dan
peraturan yang terus menerus terjadi. Harapan kami tidak lain modul ini dapat
memberikan manfaat.

Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Jalan, Perumahan,


Permukiman, dan Pengembangan Infrastruktur Wilayah

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN i


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i


DAFTAR ISI ..............................................................................................................ii
DAFTAR TABEL ....................................................................................................... iv
PETUNJUK PENGGUNAAN MODUL ........................................................................v
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 2
1.2. Deskripsi Singkat ................................................................................... 3
1.3. Standar Kompetensi .............................................................................. 3
1.4. Kompetensi Dasar ................................................................................. 3
1.5. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok .................................................... 3
1.6. Estimasi Waktu ...................................................................................... 4
BAB 2 KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN ........................................................ 5
2.1. Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 Tentang Jalan.............................. 6
2.2. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan ...................................................................................................... 6
2.3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 34 Tahun 2006 tentang
Jalan ...................................................................................................... 8
2.4. Resolusi PBB “decade of Action for Road Safety” ................................. 8
2.5. Rencana Umum Nasional Keselamatan (RUNK) .................................... 9
2.6. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 4 Tahun 2013 tentang
Program Decade Aksi Keselamatan Jalan ........................................... 11
2.7. Visi dan Misi Jalan Berkeselamatan .................................................... 11
2.8. Visi dan Misi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
dalam Penyelenggaraan Jalan ............................................................. 15
2.9. Rencana Strategis Direktorat Jendral Bina Marga 2015-2019 ............ 16

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN ii


2.10. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 11/PRT/M/2010 tentang Cara
dan Persyaratan Laik Fungsi Jalan....................................................... 18
2.11. Peraturan Menteri PU No. 19/PRT/M/2011 tentang Persyaratan Teknis
Jalan dan Kriteria Perencanaan Jalan.................................................. 19
2.12. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 20
Tahun 2016 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis
Kementerian PUPR .............................................................................. 19
2.13. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 15
Tahun 2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian PUPR . 20
2.14. Instruksi Direktur Jenderal Bina Marga No. 02/in/db/2012 Tentang
Panduan Teknis Rekayasa Keselamatan Jalan .................................... 20
2.15. Rangkuman.......................................................................................... 21
2.16. Latihan ................................................................................................. 23
BAB 3 IMPLEMENTASI KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN ........................... 24
3.1. Organisasi Jalan Berkeselamatan ........................................................ 25
3.2. Pendanaan Jalan Berkeselamatan....................................................... 28
3.3. Pelaksanaan Penyelenggaraan Jalan Berkeselamatan ........................ 29
3.4. Rangkuman.......................................................................................... 42
3.5. Latihan ................................................................................................. 44
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 46
GLOSARIUM......................................................................................................... 47

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN iii


DAFTAR TABEL

Tabel 1 Target Penurunan Tingkat Fasilitas ........................................................ 14

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN iv


PETUNJUK PENGGUNAAN MODUL

Petunjuk penggunaan modul Diklat Jalan Berkeselamatan ini digunakan untuk


mempermudah peserta dalam memahami materi Kebijakan Jalan
Berkeselamatan. Adapun teknik penggunaannya adalah sebagai berikut :
1. Peserta Diklat Jalan Berkeselamatan membaca dengan seksama setiap
bab dan coba dibandingkan dengan pedoman dari peraturan yang ada
dan ketentuan terkait, kemudian disesuaikan dengan pengalaman
peserta yang telah dialami di lapangan.
2. Jawablah pertanyaan dan latihan, apabila masih belum dapat menjawab
dengan sempurna, hendaknya peserta Diklat Jalan Berkeselamatan
latihan mengulang kembali materi yang belum dikuasai.
3. Selanjutnya buatlah rangkuman, kemudian buatlah latihan dan diskusi
dengan sesama peserta Diklat Jalan Berkeselamatan untuk
memperdalam materi.

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN v


BAB 1
PENDAHULUAN

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 1


1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang


Keselamatan jalan tidak saja merupakan perbincangan dalam skala nasional,
tetapi sudah merupakan skala global yang mengemuka dari waktu ke waktu,
tidak sekedar masalah transportasi saja tetapi sudah merupakan permasalahan
sosial kemasyarakatan, sebagaimana yang dicanangkannya dalam Decade of
Action for Road Safety 2010-2020 oleh PBB.
Kepemilikan kendaraan bermotor di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini
telah bertambah secara signifikan dan semakin bertambahnya penduduk serta
beragamnya jenis kendaraan telah mengakibatkan masalah keselamatan jalan
yang semakin memburuk. Oleh karena itu, keselamatan jalan menjadi
pertimbangan pertama dalam menentukan kebijakan yang menyangkut aspek
jalan.
Kecelakaan lalu lintas diprediksi akan menjadi penyebab kematian kelima
terbesar di dunia pada Tahun 2030. Kerugian masyarakat akibat kecelakaan lalu
lintas diperkirakan sekitar 2% dari total Penghasilan Domestik Regional Bruto
(PDRB) suatu negara. Di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian terkini, kerugian
akibatkan kecelakaan lalu lintas mencapai 2,9% dari PDRB Indonesia. Di negara-
negara berkembang dengan laju motorisasi yang tinggi seperti di Afrika, Asia
Tenggara, Asia Selatan, dan Amerika Selatan, kerugian yang diakibatkan oleh
kecelakaan lalu lintas bahkan lebih tinggi daripada bantuan internasional yang
diterima
Keselamatan jalan di Indonesia telah diatur di Undang- Undang No. 38 Tahun
2004 tentang Jalan, Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan,
Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta
Rencana Umum Nasional Keselamatan (RUNK) jalan yang telah diluncurkan.
Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat, sebagai instansi yang bertanggung jawab di jalan nasional telah
melaksanakan berbagai upaya dalam peningkatan keselamatan jalan.
Kematian atau cedera akibat kecelakaan lalu lintas bukan hanya sebatas masalah
kesehatan masyarakat namun juga memberi beban kerugian ekonomi yang besar

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 2


bagi negara dan masyarakat. Untuk mengurangi kecelakaan lalu lintas di jalan,
tidak hanya akan menolong individu dan keluarganya, namun juga berkontribusi
positif bagi perekonomian suatu negara.
Upaya meningkatkan keselamatan jalan harus diupayakan tidak hanya kepada
pengguna jalan semata, tetapi juga kepada pembuat kebijakan yaitu Aparatur
Sipil Negara (ASN), dengan meningkatkan profesionalisme ASN melalui
Pendidikan dan Pelatihan Jalan Berkeselamatan dengan modul Kebijakan Jalan
Berkeselamatan.
Dengan demikian para ASN Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat pada umumnya dan Ditjen Bina Marga khususnya diharapkan mampu
menyediakan prasarana jalan yang memberikan keselamatan bagi penggunanya.

1.2. Deskripsi Singkat


Mata Diklat ini membekali peserta dengan pengetahuan tentang kebijakan jalan
berkeselamatan. Diklat dilakukan dengan menggunakan metoda pelatihan orang
dewasa (andragogi) yang meliputi ceramah, tanya jawab, pemaparan dan diskusi.

1.3. Standar Kompetensi


Setelah mengikuti pembelajaran ini para peserta diharapkan mampu memahami
hakekat kebijakan jalan berkeselamatan dan juga dapat memahami
implementasi jalan berkeselamatan di Indonesia.

1.4. Kompetensi Dasar


Kompetensi dasar yang akan dicapai dari pembelajaran ini antara lain:
1. Peserta mampu memahami kebijakan jalan berkeselamatan
2. Peserta mampu memahami implementasi jalan berkeselamatan

1.5. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok


Dalam modul Kebijakan Jalan Berkeselamatan terdapat 2 (dua) materi yang akan
dibahas, yaitu:
1. Kebijakan Jalan Berkeselamatan , meliputi:
a. Undang Undang No. 38 Tahun 2004,
b. Undang Undang No. 22 Tahun 2009,
c. Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006,

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 3


d. RUNK
e. Inpres No.4 Tahun 2013,
f. Visi Misi Jalan Berkeselamatan,
g. Visi Misi PUPR
h. Renstra Bina Marga 2015 – 2019
i. Permen PU No.11 Tahun 2010
j. Permen PU No. 19 Tahun 2011
k. Permen PUPR No 20 Tahun 2016
l. Permen PUPR No. 15 Tahun 2015,
m. Instruksi Dirjen Bina Marga No. 02 Tahun 2012.
2. Implementasi Jalan Berkeselamatan, meliputi:
a. Organisasi jalan berkeselamatan.
b. Pendanaan jalan berkeselamatan.
c. Pelaksanan penyelenggaraan jalan berkeselamatan.

1.6. Estimasi Waktu


Alokasi waktu yang diberikan untuk pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk
mata diklat “Kebijakan Jalan Berkeselamatan” pada peserta diklat teknis ini
adalah 3 (tiga) jam pelajaran.

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 4


BAB 2
KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 5


2. Kebijakan Jalan Berkeselamatan

Indikator keberhasilan

Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diklat


diharapkan mampu menjelaskan kebijakan-kebijakan yang
diacu dalam jalan berkeselamatan.

2.1. Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 Tentang Jalan


Bab II Asas, Tujuan dan Lingkup pasal 2, Penyelenggara jalan berdasarkan pada
asas kemanfaatan, keamanan dan keselamatan, keserasian, keselarasan dan
keseimbangan, keadilan, transparansi dan akuntabilitas, keberdayaan dan
keberhasilan, serta kebersamaan dan kemitraan. Salah satu upaya untuk
memenuhi keselamatan, maka jalan harus laik fungsi.

2.2. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan


Angkutan Jalan
 Pasal 23
Penyelenggara Jalan dalam melaksanakan preservasi jalan dan/atau
peningkatan kapasitas jalan wajib menjaga keamanan, keselamatan,
ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan.

 Pasal 203
Pemerintah bertanggung jawab atas terjaminnya keselamatan lalu lintas
dan angkutan jalan.
 Pasal 206 Ayat 1
Pengawasan terhadap pelaksanaan program Keamanan dan
Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan meliputi:
1. Audit;
2. Inspeksi; dan
3. Pengamatan dan pemantauan.
 Pasal 206 Ayat 3

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 6


Audit bidang Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilaksanakan
oleh auditor independen yang ditentukan oleh Pembina Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan.
Ketentuan mengenai Laik Fungsi Jalan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disebutkan pada Pasal 8 dan Pasal
22. Ketentuan Laik Fungsi Jalan di dalam Undang-undang ini mengatur mengenai
penanggung jawab pelaksanaan kelaikan fungsi jalan. Penyelenggaraan laik
fungsi jalan dilaksanakan oleh Pemerintah sesuai dengan tugas pokok dan fungsi
instansi terkait yaitu penyelenggara di bidang jalan, baik jalan Nasional, Provinsi
maupun Kota/Kabupaten.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 8 Huruf (f) yang berbunyi:
“Penyelenggaraan di bidang Jalan meliputi kegiatan pengaturan, pembinaan,
pembangunan, dan pengawasan prasarana Jalan yang meliputi Uji Kelaikan
Fungsi Jalan sesuai dengan standar keamanan dan keselamatan berlalu lintas”
Dalam Undang-undang yang sama diatur mengenai ketentuan pelaksanaan laik
fungsi jalan pada paragraf Penggunaan dan Perlengkapan Jalan. Ketentuan yang
dijabarkan pada Pasal 22 Ayat 1 sampai dengan 7 adalah sebagai berikut.
1. Jalan yang dioperasikan harus memenuhi persyaratan laik fungsi jalan
secara teknis dan administratif.
2. Penyelenggara Jalan wajib melaksanakan uji kelaikan fungsi jalan
sebelum pengoperasian Jalan.
3. Penyelenggara Jalan wajib melakukan uji kelaikan fungsi Jalan pada Jalan
yang sudah beroperasi secara berkala dalam jangka waktu paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau sesuai dengan kebutuhan.
4. Uji kelaikan fungsi Jalan dilakukan oleh Tim Uji Laik Fungsi Jalan yang
dibentuk oleh penyelenggara Jalan.
5. Tim Uji Laik Fungsi Jalan terdiri atas unsur Penyelenggara Jalan, instansi
yang bertanggung jawab di bidang Sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, serta Kepolisian Negara Republik Indonesia.
6. Hasil uji kelaikan fungsi Jalan wajib dipublikasikan dan ditindaklanjuti
oleh Penyelenggara Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang
Sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dan/atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia.

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 7


7. Uji kelaikan fungsi Jalan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Melalui penilaian laik fungsi jalan untuk suatu ruas jalan akan diperoleh data
kinerja jalan sampai dengan setidaknya 10 tahun. Kecuali ditemukan kondisi
khusus, maka dilakukan penilaian kembali, sehingga diperoleh data yang lebih
kecil rentang waktu pengambilannya. Data yang diperoleh dari Uji Laik Fungsi
Jalan (ULFJ) bersifat menyeluruh dan bersama-sama dengan hasil penilaian rutin
(sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 13 Tahun 2011 tentang
Tata Cara Pemeliharaan Dan Penilikan Jalan) merupakan data dasar dalam
penyusunan program pemeliharaan, rekonstruksi, serta peningkatan kapasitas
jalan, yang meliputi pelebaran dan peningkatan sruktur. Selain itu, melalui hasil
penilaian laik fungsi jalan, pengawasan dan pengendalian ruang manfaat jalan,
ruang milik jalan, maupun ruang pengawasan jalan dapat ditingkatkan.

2.3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 34 Tahun 2006


tentang Jalan
 Pasal 93
Penyelenggara Jalan wajib menjaga kelancaran dan keselamatan lalu
lintas selama pelaksanaan konstruksi jalan.
 Pasal 98
Pelaksanaan pemeliharaan jalan harus memperhatikan keselamatan
pengguna jalan dengan penempatan perlengkapan jalan secara jelas
sesuai dengan peraturan perundang-undangan - Pasal 98.

2.4. Resolusi PBB “decade of Action for Road Safety”


Indonesia mengambil sikap mendukung “Decade of Action for Road Safety” yang
dicetuskan oleh PBB. Hal ini akan dinyatakan melalui kegiatan “ Pencanangan Aksi
Keselamatan Jalan Indonesia” dengan pengesahan Rencana Umum Nasional
Keselamatan (RUNK) oleh Presiden Indonesia pada tanggal 11 Mei 2011.
Tanggal 11 Mei 2011 merupakan tanda dimulainya “Aksi Keselamatan Jalan
Indonesia 2011 – 2020” yang mentargetkan penurunan tingkat kecelakaan.
Dalam Resolusi PBB No. 64/255 butir 7 diamanatkan kepada setiap Negara
angggota PBB untuk menetapkan targetnya masing masing .
“I call on Member States, international agencies, civil society organization,
businesses and community leader to ensure that the Decade leads to real

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 8


improvement. As astep in the direction, government should release their national
plans for the Decade when it is launched globaly on 11 May 2011. Mr Ban Ki-
moon, UN Secretary General”.

 Resolusi PBB No 62/255 Tahun 2010 Tentang Improving Road Safety.


 Resolusi PBB A/RES/64/255 Decade of Action for Road Safety (2 Maret
2010)
1) Tahun 2011-2020 : Dekade Aksi Keselamatan Jalan
o menstabilisasi kondisi umum,
o pengurangan jumlah prakiraan korban kecelakaan lalu lintas melalui
kegiatan global, regional dan lokal.
2) Rencana Aksi Nasional dengan konsep 5 pilar
o road safety management,
o road infrastructure,
o vehicle safety,
o road user behavior and
o post crash care.
3) Setiap negara menetapkan target penurunan jumlah korban kecelakaan
o dicapai diakhir dekade, sesuai dengan rencana aksi nasional
4) Pemerintah memimpin pelaksanaan Dekade Aksi dan memfasilitasi
kolaborasi multisektoral (pemerintah, dunia usaha dan masyarakat)

2.5. Rencana Umum Nasional Keselamatan (RUNK)


Merupakan amanat pasal 203 Undang Undang No 22 Tahun 2009, sebagai wujud
pemerintah dalam menjamin keselamatan lalu lintas. RUNK ini bersifat jangka
panjang yaitu 2011 – 2035 dan menggunakan pendekatan 5 ( lima ) pilar
keselamatan jalan yang meliputi :

 Pilar 1, Manajemen keselamatan jalan,


 Pilar 2, Jalan yang berkeselamatan
 Pilar 3, Kendaraan yang berkeselamatan
 Pilar 4, Perilaku pengguna jalan yang berkeselamatan dan
 Pilar 5, Penanganan kurban pasca kecelakaan.

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 9


Untuk memastikan bahwa seluruh aspek dalam penyelenggaraan keselamatan
jalan tertangani secara baik, pada level Nasional dilakukan pengelompokan aspek
keselamatan jalan dalam 5 (lima) pilar yaitu :

 Pilar 1
Manajemen Keselamatan Jalan, bertanggung jawab untuk mendorong
terselenggaranya koordinasi antar pemangku kepentingan dan
terciptanya kemitraan sektoral guna menjamin efektifitas dan
keberlanjutan pengembangan dan perencanaan strategis keselamatan
jalan pada level nasional, termasuk didalamnya penetapan target
pencapaian dari keselamatan jalan dan melaksanakan evaluasi untuk
memastikan penyelenggaraan keselamatan jalan telah dilaksanakan
secara efektif dan efisien.
 Pilar 2
Jalan Yang Berkeselamatan bertanggung jawab untuk menyediakan
infrastruktur jalan yang berkeselamatan dengan melakukan perbaikan
pada tahap perencanaan, desain, konstruksi dan operasional jalan,
sehingga infrastruktur jalan yang disediakan mampu mereduksi dan
mengakomodir kesalahan dari pengguna jalan,
 Pilar 3
Kendaraan Yang Berkeselamatan, bertanggung jawab untuk memastikan
bahwa setiap kendaraan yang digunakan di jalan telah mempunyai
standar keselamatan yang tinggi, sehingga mampu meminimalisir
kejadian kecelakaan yang diakibatkan oleh sistim kendaraan yang tidak
berjalan dengan semestinya. Selain itu, kendaraan juga harus mampu
melindungi pengguna dan orang yang terlibat kecelakaan untuk tidak
bertambah parah, jika menjadi korban kecelakaan.
 Pilar 4
Perilaku Pengguna Jalan Yang Berkeselamatan, bertanggung jawab untuk
meningkatkan perilaku pengguna jalan, dengan mengembangkan
program program yang komprehensif termasuk di dalamnya peningkatan
penegakan hokum dan pendidikan.
 Pilar 5
Penanganan Korban Pasca Kecelakaan, bertanggung jawab untuk
meningkatkan penanganaan tanggap darurat pasca kecelakaan dengan
meningkatkan kemampuan pemangku kepentingan terkait, baik dari sisi

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 10


system ketanggap daruratan maupun penanganan korban termasuk di
dalamnya melakukan rehabilitasi jangka panjang untuk korban
kecelakaam.

2.6. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 4 Tahun 2013 tentang


Program Decade Aksi Keselamatan Jalan
Inpres 4/2013 bertujuan untuk memperkuat koordinasi antar pemangku
kepentingan di bidang keselamatan jalan. Dalam rangka penguatan koordinasi
antar pemangku kepentingan di bidang keselamatan jalan dan untuk pelaksanaan
Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 64/255 tanggal 10 Maret 2010
tentang Improving Global Road Safety melalui Progra Decade of Action for Road
Safety 2011-2020.
Kementerian terkait untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai
tugas, fungsi, dan kewenangan masing masing untuk melaksanakan Program
Dekade Aksi Keselamatan Jalan sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Instruksi Presiden ini.
Kementerian Pekerjaan Umum untuk melaksanakan pilar 2, yaitu :
a. Badan Jalan yang Berkeselamatan;
b. Perencanaan dan Pelaksanaan Pekerjaan Jalan yang Berkeselamatan;
c. Perencanaan dan Pelaksanaan Perlengkapan Jalan;
d. Penerapan Manajemen Kecepatan;
e. Menyelenggarakan Peningkatan Standar Kelaikan Jalan Yang
Berkeselamatan;
f. Lingkungan Jalan yang Berkeselamatan;
g. Kegiatan Tepi Jalan yang Berkeselamatan.
Menteri Pekerjaan Umum untuk Pilar II, yang bertanggung jawab untuk
menyediakan infrastruktur jalan yang lebih berkeselamatan dengan melakukan
perbaikan mulai tahap perencanaan, desain, konstruksi dan operasional jalan.

2.7. Visi dan Misi Jalan Berkeselamatan


Hasil analisis data kecelakaan tahun 2010 menunjukkan bahwa kecelakaan lalu
lintas jalan di Indonesia telah mengakibatkan sekitar 86 orang meninggal setiap
harinya. Sebanyak 67% korban kecelakaan berada pada usia produktif (22 – 50
tahun). Loss productivity dari korban dan kerugian material akibat kecelakaan

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 11


tersebut diperkirakan mencapai 2,9 - 3,1% dari total PDB Indonesia, atau setara
dengan Rp205 – 220 trilyun pada tahun 2010 dengan total PDB mencapai
Rp7.000 trilyun.
Kondisi ini mendorong perlunya pengarusutamaan keselamatan jalan sehingga
Pemerintah dituntut lebih serius dengan menjadikannya sebagai prioritas
nasional. Guna mewujudkan hal tersebut, masing-masing pemangku
kepentingan yang terkait dengan keselamatan jalan, yaitu: Kementerian
Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perindustrian,
Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Kesehatan, Kementerian
Pendidikan Nasional, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian
Dalam Negeri, Kementerian Keuangan dan Kepolisian Republik Indonesia
bersama masyarakat dan dunia usaha harus memastikan bahwa program
program kerjanya mengutamakan keselamatan dan mensinergikan semua
potensi yang ada. Penyusunan dan pelaksanaan program dilakukan secar
terkoordinasi dalam semangat kebersamaan dengan menghilangkan ego
sektoral.
Laporan Asian Development Bank (ADB) tahun 2004 menjelaskan bahwa salah
satu kelemahan dari penyelenggaraan keselamatan jalan di Indonesia adalah
buruknya koordinasi dan manajemen.
Koordinasi merupakan kunci sukses bagi tercapainya keselamatan jalan di suatu
Negara. Oleh karena itu focus utama pemerintah adalah memastikan
penyelenggaraan keselamatan jalan sebagai tanggung jawab bersama yang harus
dilaksanakan secara selaras dan terkoordinasi dengan menerapkan prinsip
prinsip orchestra.
Penyusunan visi RUNK jalan tahun 2011 – 2035 menggunakan kata kunci yaitu
terbaik, Asia Tenggara dan koordinasi. Guna mendukung visi diatas, aspek aspek
yang harus diakomodasi dalam misis RUNK jalan, yaitu prioritas nasional,
mengutamakan keselamatan, serta mensinergikan segala potensi.
Berdasarkan uraian diatas, berikut adalah Visi dan Misi Penyelenggaraan
Keselamatan Jalan Indonesia 2011 – 2035.

2.7.1. Visi Jalan Berkeselamatan


“Keselamatan Jalan Terbaik di Asia Tenggara melalui Penguatan
Koordinasi“

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 12


2.7.2. Misi Jalan Berkeselamatan
1. Mengarusutamakan keselamatan jalan menjadi prioritas nasional;
2. Membudayakan penyelenggaraan lalu lintas jalan yang
mengutamakan keselamatan;
3. Mensinergikan segala potensi guna memaksimalkan kinerja
keselamatan jalan;

a. Arah Penyelenggaraan Jalan


Arah penyelenggaraan keselamatan jalan Indonesia adalah sebagai
berikut:
1. Formalisasi dan standarisasi proses penanganan kecelakaan
lalu lintas.
2. Sistem penjaminan bagi penyelesaian kerugian akibat
kecelakaan lalu lintas.
3. Pendidikan keselamatan yang terarah dan penegakan hukum
yang berefek jera.
4. Penyediaan pendanaan yang berkelanjutan guna
peningkatan keselamatan jalan.
5. Pemberian hak mengemudi secara ketat.
6. Penyelenggaraan kelembagaan keselamatan jalan yang
efektif yang didukung oleh sistem informasi yang akurat.
7. Penyediaan sarana dan prasarana lalu lintas jalan yang
memenuhi standar kelaikan keselamatan.
Target Jangka Panjang menurunkan tingkat fatalitas korban
kecelakaan lalu lintas sebesar 80% pada tahun 2035 berbasis data
tahun 201014 yang diukur berdasarkan tingkat fatalitas per 10.000
kendaraan atau disebut indeks fatalitas per 10.000 kendaraan. Pada
tahun 2035, indeks fatalitas yangdiinginkan sebesar 0,79.
Target jangka panjang penyelenggaraan keselamatan jalan Indonesia
ini akan dicapai secara incremental menjadi target 5 tahunan sebagai
berikut :

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 13


Tabel 1 Target Penurunan Tingkat Fasilitas

Indeks Fasilitas per


Periode Sasaran
10.000 Kendaraan
2010 0% 3.93
2010-2015 20% 3.14
2016-2020 50% 1.96
2021-2025 65% 1.37
2026-2030 75% 0.98
2031-2035 80% 0.79

RUNK ini juga menggunakan indikator angka kematian per 100.000


populasi dan case fatality rate (CFR)15 sebagai alat untuk
mengukur dan mengevaluasi keberhasilan kinerja keselamatan
jalan. Pada Tahun 2010 angka kematian per 100.000 populasi
adalah sebesar 13,1516 dan di targetkan pada tahun 2020 dan 2035
akan menjadi 6,57 (penurunan 50%) dan 2,63 (80%). Nilai CFR pada
tahun 2010 sebesar 50,70%, dan ditargetkan pada tahun 2020 dan
2035 menjadi 25,35% (penurunan 50%) dan 10,14% (80%).
b. Strategi Penyelenggaraan Jalan
Guna memastikan tercapainya target jangka panjang maka
ditetapkan strategi sebagai berikut:
 Penyelenggaraan arah dan komitmen penyelenggaraan
keselamatan jalan melalui penerapan prinsip orchestra yang
mengkoordinir lima pilar secara inklusif..
 Penyelenggaraan keselamatan jalan menggunakan pendekatan
efisiensi biaya melalui tindakan kuratif dan preventif dalam
rangka penanganan korbann, pencegahan luka, dan
pencegahan kecelakaan.
 Pendekatan sistem keselamatan jalan yang mampu
mengakomodasi human error dan kerentanan tubuh manusia
untuk memastikan kecelakaan lalu lintas tidak mengakibatkan
kematian dan luka berat.

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 14


Untuk memastikan bahwa seluruh aspek dalam penyelenggaraan
keselamatan jalan tertangani secara baik, pada level nasional
dilakukan pengelompokan aspek keselamatan jalan dalam 5 (lima)
pilar yang merupakan penyederhanaan dari 14 sektor yang
mempengaruhi penanganan keselamatan jalan, yaitu :

 Pilar 1 : Manajemen Keselamatan Jalan.


 Pilar 2 : Jalan Yang Berkeselamatan
 Pilar 3 : Kendaraan Berkeselamatan
 Pilar 4 : Perilaku pengguna Jalan yang berkeselamatan
 Pilar 5 : Penanganan korban Pasca Kecelakaan.

Dalam pelaksanaannya kelima pilar menjalankan kewenangannya


dengan prinsip mutually inclusive atau integrasi dari interaksi pilar
pilar keselamatan jalan yang bernilai tambah.

2.8. Visi dan Misi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan


Rakyat dalam Penyelenggaraan Jalan

2.8.1. Visi Kementerian PU-PR


Dalam rangka mendukung Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015- 2019, maka visi Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat adalah “Terwujudnya Infrastruktur Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat yang handal dalam mendukung Indonesia
yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong
Royong“.

2.8.2. Misi Kementerian PU-PR


Misi Kementerian Umum dan Perumahan Rakyat sebagai rumusan upaya
upaya yang akan dilaksanakan selama periode Renstra 2015-2019 dalam
rangka mencapai visi serta mendukung upaya pencapaian target
pembangunan nasional terkait penyelenggaraan jalan adalah
mempercepat pembangunan infrastruktur jalan untuk mendukung
konektivitas guna meningkatkan produktifitas, efisiensi, dan pelayanan
sistim logistik nasional bagi penguatan daya saing bangsa di lingkup global
yang berfokus pada keterpaduan konektivitas daratan dan maritim.

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 15


 Tujuan dan Sasaran Strategis
Tujuan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
sebagai rumusan yang hendak dituju diakhir periode perencanaan
yang merupakan penjabaran dari visi yang dilengkapi dengan
rencana sasaran strategis yang hendak dicapai dalam rangka
mencapai sasaran nasional dalam RPJMN tahun 2015 – 2019 secara
umum “ Menyelenggarakan infrastruktur Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat dengan tingkat dan kondisi ketersediaan,
keterpaduan, serta kualitas dan cakupan pelayanan yang produktif
dan cerdas, berkeselamatan, mendukung kesehatan masyarakat,
menyeimbangkan pembangunan, memenuhi kebutuhan dasar, serta
berkelanjutan yang berasaskan gotong royong guna mencapai
masyarakat yang lebih sejahtera.”
Berdasarkan tujuan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat, sasaran strategis terkait infrastruktur jalan yang akan dicapai
oleh Direktorat Jenderal Bina Marga pada periode 2015-2019 pada
tujuan c) dengan sasaran strategis :
a. Meningkatnya dukungan konektifitas bagi penguatan daya saing
dengan indikator :
 Tingkat konektifitas nasional sebesar 77 % pada akhir
2019.
b. Meningkatnya kemantapan jalan nasional dengan indikator :
 Tingkat kemantapan jalan nasional mencapai 98 % pada
akhir 2019

2.9. Rencana Strategis Direktorat Jendral Bina Marga 2015-2019


Kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu kontributor sebagai penyebab
kematian. Berdasarkan data dari WHO tahun 2010, tercatat 1,24 juta orang
meninggal setiap tahunnya akibat kecelakaan di jalan. Di Indonesia sendiri,
jumlah kematian akibat kecelakaan di jalan mencapai 42.434 jiwa, atau
17,7% per 100.000 penduduk. Korlantas POLRI juga mencatat 100.106
kecelakaan sepanjang tahun 2013 dengan 26.416 korban jiwa. Jika dirata-
rata, terdapat 3 orang meninggal di jalan tiap jamnya.

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 16


Terdapat empat faktor utama penyebab kecelakaan lalu lintas, yaitu factor
manusia, kendaraan, kondisi jalan, dan cuaca. Kondisi jalan yang tidak
terawat, rusak, dan berlubang serta kurangnya pencahayaan jalan dapat
mengakibatkan kecelakaan lalu lintas. Untuk itu perlu adanya upaya
pencegahan melalui pembangunan infrastruktur jalan yang memperhatikan
faktor-faktor keselamatan sehingga dapat meminimalkan resiko kecelakaan.
Selanjutnya berdasarkan Visi dan Misi Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) serta 9 Program Prioritas (Nawa Cita) terdapat dua agenda
yang erat kaitannya dengan pembangunan jalan yaitu :
• Agenda 3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat
daerah daerah dan desa dalam kerangka Negara kesatuan membangun
konektivitas transportasi.

• Agenda 6. Meningkatkan produktifitas rakyat dan daya saing di pasar


professional. Membangun konektifitas nasional untuk mencapai
keseimbangan pembangunan melalui peningkatan kapasitas
infrastruktur jalan dalam mendukung sarana dan prasarana transportasi
lainnya dan keterpaduan system transportasi multimoda dan antarmoda.
Dari kedua agenda diatas, agenda 6 dengan sub agenda 1 yaitu membangunan
konektivitas Nasional untuk mencapai keseimbangan pembangunan, terkait
aspek keselamatan adalah sasaran kedua yaitu meningkatnya tingkat
keselamatan dan keamanan penyelenggaraan pelayanan transportasi serta
pertolongan dan penyelamatan korban kecelakaan transportasi
Rencana Strategis Direktorat Jenderal Bina Marga 2015 – 2019 dalam
meningkatkan keselamatan jalan dilakukan dengan meningkatkan target
pencapaian jalan Nasional.
 Kemantapan.
o Sampai dengan tahun 2014 jalan nasional mantap 94 %
o Ditargetkan sampai dengan tahun 2019 jalan nasional menjadi
98 %.
 Preservasi.
o Sampai dengan tahun 2014 adalah sepanjang 38.569 km
o Ditargetkan sampai dengan tahun 2019 adalah sepanjang
46.770 km.

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 17


 Peningkatan Kapasitas.
o Sampai dengan tahun 2014 adalah sepanjang 19.551 km.
o Ditargetkan sampai dengan tahun 2019 adalah sepanjang 3800
km.
 Pembangunan fly over / underpas.
o Sampai dengan tahun 2014 adalah sepanjang 22 km.
o Ditargetkan sampai dengan 2019 adalah sepanjang 26 km.
 Pembangunan Jalan baru.
o Sampai dengan tahun 2014 adalah sepanjang 1276 km.
o Ditargetkan sampai dengan tahun 2019 adalah sepanjang 2650
km.
 Jalan bebas hambatan.
o Sampai dengan tahun 2014 konstruksi sepanjang 47.7 km dan
operasi sepanjang 840 km.
o Ditargetkan sampai dengan tahun 2019 adalah sepanjang 1000
km
 Dukungan sub jalan Nasional.
o Ditargetkan sampai dengan tahun 2019 adalah sepanjang 3000
km.

2.10. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 11/PRT/M/2010 tentang


Cara dan Persyaratan Laik Fungsi Jalan
a. Bab II, Maksud, Tujuan dan Lingkup dalam pasal 2 ayat 2.b) Tata cara dan
persyaratan Laik Fungsi Jalan disusun dengan tujuan tersedianya jalan
yang memenuhi ketentuan keselamatan, kelancaran, ekonomis dan
ramah lingkungan.
b. Sesuai bab III, Persyaratan dan Pelaksanaan Uji Laik Fungsi :
• Pasal 5 ayat 2, Dalam hal pemenuhanpersyaratan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) sulit dicapai karena suatu
alasan yang sulit dihindarkan, baik untuk seluruh maupun untuk
sebagian ruas jalan, dapat dilakukan penurunan persyaratan teknis
jalan kepada tingkat yang masih memenuhi persyaratan
keselamatan.

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 18


• Pasal 5 ayat 3,Untuk jalan dengan syarat teknis yang diturunkan
sebagaimana dimaksud pada ayat ( 2 ) perlu penambahan
perlengkapan jalan untuk mengatur lalu lintas agar pengguna jalan
tetap mendapatkan perlindungan keselamatan.
• Pasal 11 ayat 1, Kategori tidak laik fungsi sebagaimana diatur dalam
pasal 8 huruf c adalah kondisi suatu ruas jalan yang sebagian
komponen jalannya tidak memenuhi persyaratan teknis
sebagaimana disyaratkan dalam pasal 4 dan pasal 5 sehingga ruas
jalan tersebut tidak mampu memberikan keselamatan bagi
pengguna jalan.

2.11. Peraturan Menteri PU No. 19/PRT/M/2011 tentang Persyaratan


Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan Jalan
Sesuai bab III Kriteria Perencanaan Teknis Jalan, Bagian kesatu umum, pasal 44
ayat (1),

 Butir (a) Perencanaan teknis awal yang melingkupi :


Pertimbangkan teknik, ekonomi, lingkungan dan keselamatan yang
melatar belakangi konsep perencanaan.

 Butir (b) Kajian Kelayakan Jalan (feasibility study) yang melingkupi :


Menetapkan pilihan alternatif yang paling layak baik secara teknis
maupun finansial, serta keselamatan lalu lintas jalan.
 Butir (c) Perencanaan Teknik Akhir (Detail Engineering Design) terdiri
dari:
Audit Keselamatan Jalan ( AKJ ).

2.12. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No.


20 Tahun 2016 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana
Teknis Kementerian PUPR
 Pasal 93 dan pasal 115
Untuk Balai Besar Pelaksanaan Jalan tipe A dan tipe B, Bidang
Pembangunan dan Pengujian menyelenggarakan fungsi pelaksanaan
program kelaikan jalan dan jembatan nasional dan audit keselamatan
jalan dan jembatan.
 Pasal 129

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 19


Untuk Balai Pelaksanaan Jalan Nasional Tipe A oleh Seksi Pembangunan
dan Pengujian serta Balai Pelaksanaan Jalan Nasional tipe B oleh Seksi
Pembangunan dan Preservasi yang mempunyai tugas pelaksanaan audit
keselamatan jalan dan jembatan.

2.13. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No.


15 Tahun 2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
PUPR
 Pasal 369
Dalam melaksanakan tugas, Subdirektorat Lingkungan dan Keselamatan
Jalan menyelenggarakan fungsi (c) yaitu Penyiapan program audit
keselamatan jalan dan investigasi lokasi rawan kecelakaan.
 Pasal 421
Dalam melaksanakan tugas, Direktorat Preservasi Jalan melalui
Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi menyelenggarakan fungsi (b)
yaitu Pembinaan pelaksanaan program audit keselamatan dan
pengaman pemanfaatan jalan.

2.14. Instruksi Direktur Jenderal Bina Marga No. 02/in/db/2012 Tentang


Panduan Teknis Rekayasa Keselamatan Jalan
Instruksi Dirjen Bina Marga ini mempertimbangkan :
a. Deklarasi PBB pada Maret tahun 2010 tentang Decade of Action (DOA)
for road safety 2011-2020 yang bertujuan untuk mengendalikan dan
mengurangi tingkat fatalitas korban kecelakaan lalu lintas jalan secara
global.
b. Deklarasi Rencana Umum Nasional Keselamatan (RUNK) pada tanggal 20
Juni 2011 sejalan dengan amanat Undang-Undang No 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
c. Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum
bertanggung jawab dalam menyediakan jalan yang berkeselamatan
(safer road) sesuai dengan pilar ke 2 RUNK, dan sejalan dengan Renstra
Bina Marga 2010-2014 dalam mengakomodir program peningkatan
keselamatan jalan.

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 20


d. Dalam rangka melaksanakan rencana aksi Pilar ke-2 jalan yang
berkeselamatan: perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan jalan
(termasuk perlengkapan jalan) yang berkeselamatan.
Selanjutnya di instruksikan kepada para Direktur dilingkungan Ditjen Bina Marga
(termasuk juga Kepala Badan Pengatur Jalan Tol, Kepalai Balai Besar/ Balai
Pelaksanaan Jalan Nasional di lingkungan Ditjen Bina Marga dan Kepala SNVT di
lingkungan Ditjen Bina Marga) untuk :
a. Mewujudkan infrastruktur jalan yang lebih berkeselamatan bagi
pengguna jalan melalui program Rencana Umum Nasional Keselamatan
Jalan.
b. Melakukan rekayasa keselamatan jalan pada tahap perencanaan jalan,
konstruksi jalan dan operasional jalan.
c. Dalam melakukan rekayasa keselamatan jalan sebagaimana yang
dimaksud dalam Diktum KEDUA, berpedoman pada :
 Panduan Teknis-1: Rekayasa Keselamatan Jalan
 Panduan Teknis-2: Manajemen Bahaya Sisi Jalan
 Panduan Teknis-3: Keselamatan di Zona Pekerjaan Jalan.

2.15. Rangkuman
1. Secara hirarkhi, peraturan tertinggi terkait Jalan berkeselamatan
adalah Undang Undang No. 38 Tahun 2004. Penjabarannya dijelaskan
dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No, 34 Tahun 2006,
yaitu penyelenggara jalan wajib menjaga kelancaran dan keselamatan
lalu lintas.
2. Peraturan eksternal terkait keselamatan jalan adalah Undang Undang
22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dimana telah
diamanatkan bahwa pemerintah bertanggung jawab menjamin
keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan.
3. Indonesia mengambil sikap mendukung “Decade of Action for Road
Safety” yang dicetuskan oleh PBB. Hal ini akan dinyatakan melalui
kegiatan “Pencanangan Aksi Keselamatan Jalan Indonesia” dengan
pengesahan “Rencana Umum Nasional Keselamatan“ oleh Presiden
Indonesia pada tanggal 11 Mei 2011.

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 21


4. Pasal 203 Undang Undang No 22 Tahun 2009 telah dicanangkan
Rencana Umum Nasional Keselamatan (RUNK) dalam 5 pilar, dimana
Ditjen Bina Marga bertanggung terkait dengan pilar ke 2 yaitu
mewujudkan jalan yang berkeselamatan.
5. Selanjutnya Instruksi Presiden Republik Indonesia No.4 Tahun 2013
Tentang Program Dekade Aksi Keselamatan Jalan bertujuan
memperkuat koordinasi antar pemangku kepentingan di bidang
keselamatan jalan.
6. Upaya mewujudkan jalan berkeselamatan salah satunya telah diatur
dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 11/PRT/M/2011 yaitu
kriteria laik fungsi dilakukan dengan membadingkan kondisi dilapangan
dengan ketentuan teknis sebagaimana yang diatur dalam Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum no. 19/PRT/M/2011.
7. Jalan berkeselamatan berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat No.15 Tahun 2015, Subdit Lingkungan
dan Keselamatan Jalan menyelenggarakan fungsi penyiapan program
audit keselamatan jalan dan Investigasi lokasi rawan kecelakaan,
sedangkan menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat No 20 Tahun 2016 sesuai tugas fungsi, kelaikan
jalan dan audit keselamatan jalan dan jembatan dilakukan Balai Besar
/ Balai Pelaksana Jalan Nasional.
8. Program Keselamatan Jalan di Lingkungan Direktorat Jenderal Bina
Marga telah diprogramkan dalam program 5 tahunan dalam Rencana
Strategis 2015–2019 diantaranya meningkatkan kemantapan,
preservasi, peningkatan kapasitas jalan nasional, dll.
9. Visi jalan berkeselamatan adalah sebagai keselamatan jalan terbaik di
Asia tenggara melalui penguatan koordinasi, sedangkan misinya adalah
mengarusutamaan keselamatan jalan menjadi prioritas nasional,
membudayakan penyelenggaraan lalu lintas berkeselamatan dan
mensinergikan segala potensi kinerja keselamatan jalan.
10. Visi Kementerian PUPR adalah terwujudnya infrastruktur yang handal
dalam mendukung Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan
berkepribadian berlandaskan gotong Royong sedangkan misinya
adalah mempercepat pembangunan infrastruktur jalan untuk
mendukung konektivitas.

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 22


11. Arah penyelenggaraan keselamatan jalan adalah formalisasi dan
standarisasi penanganan kecelakaan, sistim penjaminan, pendidikan
keselamatan, penyediaan pendanaan, pemberian hak mengemudi
secara ketat, penyelenggaraan kelembagaan keselamatan dan
penyedian
12. Target jangka panjang adalah menurunkan fatalitas korban kecelakaan
lalu lintas sebesar 80 % pada tahun 2035.
13. Untuk memastikan bahwa seluruh aspek dalam penyelenggaraan
keselamatan jalan tertangani secara baik, pada level nasional dilakukan
pengelompokan aspek keselamatan jalan dalam 5 (lima) pilar yang
merupakan penyederhanaan dari 14 sektor yang mempengaruhi
penanganan keselamatan jalan.

2.16. Latihan
1. Jelaskan peraturan internal di Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat serta Peraturan eksternal diluar Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat terkait keselamatan yang
secara hirarkhi merupakan peraturan urutan pertama!
2. Sebutkan pedoman apa saja dalam melakukan rekayasa keselamatan
jalan yang diatur dalam Instruksi Direktur Jenderal Bina Marga No.
02/in/db/2012 Tentang Panduan Teknis Rekayasa Keselamatan Jalan!
3. RUNK yang merupakan amanat pasal 203 Undang Undang No. 22
Tahun 2009, bersifat jangka panjang 2011 – 2035 mengguna
pendekatan 5 (lima) pilar keselamatan, sebutkan ke 5 pilar tersebut,
dan pilar keberapa yang menjadi tanggung jawab Kemen PUPR!
4. Jelaskan visi misi jalan berkeselamatan!
5. Untuk memastikan bahwa seluruh aspek dalam penyelenggaraan
keselamatan jalan tertangani secara baik, pada level nasional dilakukan
pengelompokan aspek keselamatan jalan dalam 5 (lima) pilar, jelaskan!

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 23


BAB 3
IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 24


3. Implementasi
Kebijakan Jalan Berkeselamatan

Indikator Keberhasilan

Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diklat


diharapkan mampu:

- menjelaskan organisasi jalan berkeselamatan

- menjelaskan pendanaan jalan berkeselamatan

- menjelaskan penyelenggaraan jalan berkeselamatan

3.1. Organisasi Jalan Berkeselamatan


Keselamatan merupakan salah satu prinsip dasar penyelenggaraan transportasi,
namun dalam perkembangan dari waktu ke waktu semakin meningkat jumlah
dan fatalitas korban kecelakaan. Menurut laporan dari Kepolisian Republik
Indonesia, tahun 2010 jumlah kematian akibat kecelakaan telah mencapai 31.234
jiwa, dimana setiap 1 jam terdapat sekitar 3-4 orang meninggal akibat kecelakaan
lalu lintas.
Selanjutnya berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
2014 Tentang Program Dekade Aksi Keselamatan Jalan, dimaksudkan dalam
rangka penguatan koordinasi antar pemangku kepentingan di bidang
keselamatan jalan.
Memperhatikan Inpres No 4 Tahun 2004, masalah keselamatan harus ditangani
secara sinergi, dan dilaksanakan baik di tingkat pusat maupun daerah untuk
mengambil langkah langkah yang diperlukan sesuai tugas fungsi dan
kewenangan. Adapun institusi yang bertanggung jawab terkait keselamatan
adalah :
1. Menteri Pekerjaan Umum ( sekarang menjadi Menteri Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat ),
2. Menteri Perhubungan,

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 25


3. Menteri Kesehatan,
4. Menteri Perindustrian,
5. Menteri Dalam Negeri
6. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
7. Menteri Keuangan
8. Menteri Komunikasi dan Informasi
9. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional.
10. Menteri Riset dan Teknologi
11. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
12. Menteri Lingkungan Hidup (sekarang menjadi Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan)
13. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia,
14. Para Gubernur, dan
15. Para Bupati / Walikota.
Dalam mengambil langkah langkah, berpedoman kepada 5 ( lima ) Pilar Program
Dekade Aksi Keselamatan Jalan yang meliputi :
 Pilar I yaitu Manajemen Keselamatan Jalan
 Pilar II yaitu Jalan yang Berkeselamatan
 Pilar III yaitu Kendaraan yang Berkeselamatan
 Pilar IV yaitu Perilaku Pengguna Jalan Yang Berkeselamatan
 Pilar V yaitu Penanganan Pra dan Pasca Kecelakaan
Adapun sebagai koordinator dari masing masing pilar adalah :
1. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional untuk Pilar 1, bertanggung jawab
mendorong terselenggaranya koordinasi antar pemangku kepentingan.
2. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk Pilar II, yang
bertanggung jawab untuk menyediakan infrastruktur jalan yang lebih
berkeselamatan dengan melakukan perbaikan mulai tahap perencanaan,
desain, konstruksi dan operasional.

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 26


3. Menteri Perhubungan untuk pilar III, yang bertanggung jawab untuk
memastikan bahwa setiap kendaraan yang digunakan di jalan telah
memenuhi standar keselamatan.
4. Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk untuk Pilar IV, yang
bertanggung jawab untuk memperbaiki perilaku pengguna jalan melalui
pendidikan keselamatan berlalu lintas, meningkatkan kualitas sistim
ujian SIM dan penegakan hokum.
5. Menteri Kesehatan untuk Pilar V, yang bertanggung jawab meningkatkan
penanganan pra kecelakaan,
Koordinator masing masing pilar melaporkan pelaksanaan Inpres No 3 Tahun
2004, kepada Presiden melalui Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional paling sedikit 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun.

3.1.1. Organisasi Jalan Berkeselamatan di Kementerian PU-PR


Keselamatan Jalan di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat merujuk pada ketentuan:
1. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
15/PRT/M/2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
2. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
20/PRT/M/2016 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana
Teknis di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor
15/PRT/M/2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat, Bab VI Direktoratat Jenderal Bina Marga,
Bagian Pertama, Kedudukan, Tugas dan Fungsi, pasal 369, butir (c) Subdit
Lingkungan dan Keselamatan Jalan Direktorat Pengembangan Jaringan
Jalan menyelenggarakan fungsi: Penyiapan program audit keselamatan
jalan dan investigasi lokasi rawan kecelakaan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Nomor 20/PRT/M/2016 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana
Teknis di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Bab IV
UPT di Direktorat Jenderal Bina Marga, Balai Besar Pelaksanaan Jalan tipe
A pasal 93, butir (e) dan sesuai paragraph 3 Susunan Organisasi Balai Besar
MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 27
Pelaksanaa Jalan tipe B, pasal 115 butir (e) Bidang Pembangunan dan
Pengujian menyelenggarakan fungsi pelaksanaan program kelaikan jalan
dan jembatan nasional dan audit keselamatan jalan dan jembatan.
Untuk Balai Pelaksanaan Jalan Nasional Tipe A pasal 129 ayat 3) Seksi
Pembangunan dan Pengujian serta Balai Pelaksanaan Jalan Nasional tipe B
Seksi Pembangunan dan Preservasi mempunyai tugas pelaksanaan audit
keselamatan jalan dan jembatan.

3.1.2. Organisasi Jalan Berkeselamatan di Daerah


Rencana Umum Nasional Keselamatan ( RUNK ) sebagai panduan dalam
merencanakan dan melaksanakan penanganan keselamatan jalan secara
sinergi dan selaras baik di tingkat pusat maupun daerah, selanjutnya oleh
pemerintah daerah digunakan sebagai acuan untuk menjabarkan langkah
langkah penanganan keselamatan jalan di wilayahnya.
Di tingkat pusat, organisasi penanggung jawab dan tugas fungsinya terkait
keselamatan jalan telah dijabarkan secara rinci, baik di Kementerian
Pekerjaan Umumdan Perumahan Rakyat, Kementerian Perhubungan dan
Kepolisian Republik Indonesi, namun di pemerintah daerah baik di Provinsi,
Kabupaten maupun Kota, aspek keselamatan dilaksanakan dan
diintegrasikan dalam organisasi yang ada dan relevan, dan hal ini berbeda
dengan kepolisian yang telah mempunyai institusi yang menangani
kecelakaan lalu lintas (laka lantas) sampai di tingkat Polisi Resort (Polres) di
tingkat Kabupaten / Kota.
Di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur institusi yang menangani aspek
keselamatan jalan berada dibawah Bidang Pengaturan dan Pengendalian
Dinas Pekerjaan Umum Provinsi, sedangkan untuk Kota Mataram dan
Surabaya berada dibawah Bidang Jalan dan Jembatan Dinas Pekerjaan
Umum Kota Mataram dan Dinas Pekerjaan Umum Kota Surabaya.

3.2. Pendanaan Jalan Berkeselamatan


Aspek keselamatan dalam bidang jalan tidak merupakan kegiatan terpisah, tetapi
merupakan satu kesatuan dari pekerjaan konstruksi jalan. Pada saat
merencanakan pekerjaan fisik jalan, ahli perencana jalan dalam melaksanakan
Detail Engineering Design (DED) seharusnya sudah direncanakan secara
komprehensif, dengan demikian tidak hanya dari aspek perkerasan dan

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 28


geometrik jalan semata, tetapi sudah harus memperhatikan aspek keselamatan,
termasuk mitigasi dan penanganan kerusakan lingkungan. Apabila merujuk
Spesifikasi Umum edisi Tahun 2010 Revisi 3, aspek keselamatan jalan telah diatur
dalam divisi 1, seksi 1.8, dimana item pembayaran hanya mengatur pengamanan
lalu lintas selama masa konstruksi, sedangkan penanganan aspek keselamatan
dalam arti lebih luas, pendanaan menjadi satu dalam pekerjaan konstruksi pada
divisi divisi dalam spesifikasi.
Pendanaan dalam pekerjaan fisik jalan terdiri dari:
Untuk lebih mengoptimalkan peran aspek keselamatan jalan, sejak tahun
anggaran 2009 aspek keselamatan jalan telah dimasukkan dalam tugas dan fungsi
Subdit Lingkungan dan Keselamatan Jalan.
Kegiatan untuk mendukung perencanaan jalan yang berkeselamatan dilakukan
dengan audit keselamatan jalan , investigasi lokasi rawan kecelakaan, laik fungsi
jalan dengan menggunakan sumber dana dari APBN, sedangkan untuk
penguatan sumber daya manusia telah dilakukan pelatihan dan mendapatkan
bantuan teknik dari INDII.
Pelaksanaan keselamatan jalan di daerah, pembiayaannya dengan menggunakan
APBD, namun dalam rangka penguatan aspek keselamatan jalan di daerah
(khususnya di Kabupaten telah mendapatkan bantuan luar negeri melaui
Program PRIM dari INDII).

3.3. Pelaksanaan Penyelenggaraan Jalan Berkeselamatan

3.3.1. Audit Keselamatan Jalan


Audit keselamatan jalan merujuk pada buku Pedoman Audit Keselamatan
jalan No Pd T-17- 2005- B, yaitu menetapkan ketentuan dan prosedur
pelaksanaan audit keselamatan jalan mulai dari tahap perencanaan awal
hingga tahap percobaan atau beroperasinya jalan secara penuh.
Audit keselamatan jalan merupakan bagian dari strategi pencegahan
kecelakaan lalu lintas dengan suatu suatu ruas jalanpendekatan perbaikan
terhadap kondisi desain geometri, bangunan pelengkap jalan, fasilitas
pendukung jalan yang berpotensi mengakibatkan konflik lalu lintas dan
kecelakaan lalu lintas melalui suatu konsep pemeriksaan jalan yang
komprehensif, sistematis dan independen.

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 29


a. Tahapan dan Lingkup Audit Keselamatan Jalan
1) Audit dapat dilakukan pada empat tahapan yaitu :
a) Audit pada tahap pra rencana
b) Audit pada tahap draft desain
c) Audit pada tahap detail desain
d) Audit pada tahap percobbaan beroperasinya jjalan atau
pada ruas jalan yang telah beroperasi secara penuh.
2) Lingkup kegiatan pekerjaan jalan yang diaudit antara
lain :
a) Kegiatan pembangunan jalan baru
b) Kegiatan peningkatan jalan
c) Kegiatan peningkatan desain persimpangan
d) Kegiatan peningkatan jalur pejalan kaki dan jalur sepeda
e) Kegiatan pembangunan / peningkatan akses jalan ke
pemukiman, perkantoran, industry dll.
Menurut Austroads 2009, Audit Keselamatan Jalan adalah
Pemeriksaan formal dari suatu proyek jalan baru maupun eksisting,
yang dilaksanakan oleh tim ahli independen untuk melaporkan
potensi tabrakan dan kinerja keselamatan.
b. Pedoman Audit Keselamatan Jalan
1) Pedoman Audit Keselamatan Jalan – Pd-T-17-2005-B
2) Austroads 2009 – Guide to Road Safety Part 6: Road Safety
Audit.
Tugas dan fungsi audit keselamatan jalan
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat No. 15 Tahun 2015 terkait dengan Tugas dan Fungsi Audit
Keselamatan Jalan.

• Pasal 369

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 30


Dalam melaksanakan tugas, Subdirektorat Lingkungan dan
Keselamatan Jalan menyelenggarakan fungsi c ) yaitu Penyiapan
program audit keselamatan jalan dan investigasi lokasi rawan
kecelakaan.
• Pasal 421
Dalam melaksanakan tugas, Direktorat Preservasi Jalan
melalui Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi
menyelenggarakan fungsi b) yaitu Pembinaan pelaksanaan
program audit keselamatan dan pengaman pemanfaatan
jalan.
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20 Tahun 2016
terkait dengan Tugas dan Fungsi Audit Keselamatan Jalan.
• Pasal 93 dan pasal 115
Untuk Balai Besar Pelaksanaan Jalan tipe A dan tipe B, Bidang
Pembangunan dan Pengujian menyelenggarakan fungsi
pelaksanaan program kelaikan jalan dan jembatan nasional dan
audit keselamatan jalan dan jembatan.
• Pasal 129
Untuk Balai Pelaksanaan Jalan Nasional Tipe A oleh Seksi
Pembangunan dan Pengujian serta Balai Pelaksanaan Jalan
Nasional tipe B oleh Seksi Pembangunan dan Preservasi yang
mempunyai tugas pelaksanaan audit keselamatan jalan dan
jembatan.

3.3.2. Investigasi/Perbaikan Lokasi Rawan Kecelakaan


a. Defenisis menurut NSPM
1) Pedoman Penanganan Lokasi Rawan Kecelakaan dari
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Republik
Indonesia (2004) adalah lokasi yang berada di persimpangan
atau ruas jalan sepanjang 200-300nmeter, memiliki faktor
penyebab yang relatif sama dengan ruang dan rentan
tertentu.
2) Pedoman Operas ABIU/UPK (Accident Blackspot
Investigation Unit/ Unit Penelitian Kecelakaan) dari

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 31


Departemen Perhubungan Republik Indonesia (2007) adalah
lokasi jaringan jalan (sebuah persimpangan atau bentuk
spesifik seperti jembatan, simpang atau panjang jalan yang
pendek, biasanya tidak lebih dari 0,3 km) dimana frekuensi
kecelakaan atau jumlah kecelakaan lalu lintas dengan korban
mati, atau kriteria kecelakaan laainnya per tahun lebih besar
dari pada jumlah minimal yang ditentukan.
3) Panduan Teknik Rekayasa Keselamatan Jalan Direktur
Jenderal Bina Marga dalam Instruksi Direktur Jenderal Bina
Marga Nomor 02/IN/Db/2012 adalah lokasi dimana memiliki
angka kecelakaan yang tinggi serta terjadi secara berulang
dalam suatu rentang waktu.
b. Defenisi Blackspot menurut Pedoman
• POLRI, menetapkan metode penentuan lokasi blackspot
yang praktis.
1) Batasan ruas jalan
2) Batasan waktu, dan
3) Nilai yang mempresentasikan kondisi keparahan.
• Pedoman versi 2011.
1) Radius 300 – 500 meter,
2) Selama 1 tahun dan
3) Nilai pembobotan 30.
• Usulan versi 2016.
1) Radius 0 – 300 meter,
2) Selama 3 tahun, dan
3) Nilai pembobotan 30.
• Sesuai usulan 2016.
1) Radius 0 – 300 meter ( berdasarkan NSPM Kementerian
Perhubungan dan Kementerian PUPR )
2) Selama 3 tahun ( merujuk dari kecenderungan rentang
waktu yang digunakan secara umum di dunia ) dan

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 32


3) Nilai pembobotan untuk setiap kejadian berdasarkan
keparahan korban :
 Kecelakaan dengan korban terparah meninggal
dunia= 10
 Kecelakaan dengan korban terparah luka berat = 5
 Kecelakaan dengan korban terparah luka ringan = 1
c. Menentukan Besaran Biaya Kecelakaan Lalu Lintas
Dalam menentukan besaran biaya kecelakaan lalu lintas,
menggunakan Pedoman No. Pd.T-02-2006-B, Perhitungan besaran
biaya kecelakaan lalu lintas dengan menggunakan “Metoda the gross
output” (human capital).
• Pedoman ini menetapkan prosedur untuk melakukan
perhitungan besaran biaya kecelakaan lalu lintas pada ruas jalan
kota dan jalan antar kota.
• Menggunakan formula yang dipergunakan dalam perhitungan,
ketentuan dan asumsi yang diberlakukan untuk factor factor
dalam penghitungan besaran biaya kecelakaan lalu lintas.
• Memberikan tuntunan untuk menghitung factor factor penting
yang digunakan dalam formula penghitungan biaya, berikut
contoh penggunaannya.
• Biaya satuan korban kecelakaan dan biaya kecelakaan lalu lintas:
1) Biaya satuan korban kecelakaan lalu lintas ( BSKO ), adalah
biaya yang diperuntukkan untuk perawatan korban
kecelakaan lalu lintas untuk setiap tingkat kategori korban,
sedangkan Tc adalah tahun dasar perhitungan biaya yaitu
tahun 2003. Perinciannya berdasar kategori korban dan
biaya satuan korban dalam Rp/korban adalah :
a) Korban meninggal dunia sebesar Rp 119.016.000,-
b) Korban luka berat sebesar Rp 5.826.000,-
c) Korban luka ringan sebesar Rp 1.045.000,-

2) Biaya satuan kecelakaan lalu lintas (BSKE), adalah biaya


kecelakaan lalu lintas yang diakibatkan oleh suatu kejadian

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 33


kecelakaan lalu lintas untuk setiap kelas kecelakaan lalu
lintas.
a) Biaya satuan kecelakaan lalu lintas di jalan antar kota
BSKE (Tc adalah 2003)
• Fatal adalah Rp 224.541.000,-
• Berat adalah Rp 22.221.000,-
• Ringan adalah Rp 9.847.000,-
• Kerugian harta benda adalah Rp 8.589.000,-
b) Biaya satuan kecelakaan lalu lintas di jalan kota BSKE
(Tc adalah 2003)
• Fatal adalah Rp 131.205.000,-
• Berat adalah Rp 18.997.000,-
• Ringan adalah Rp 12.632.000,-
• Kerugian harta benda adalah Rp 15.725.000,-
3) Estimasi biaya satuan korban dan biaya satuan kecelakaan
lalu lintas
Biaya satuan korban kecelakaan lalu lintas untuk tahun
tertentu (Tn) dapat dihitung dengan persamaan :

𝐵𝐾𝑆𝑂j (𝑇𝑛) = 𝐵𝑆𝐾𝑂 (𝑇𝑐) × (1 + 𝑔)𝑡


BKSO (Tn) = biaya satuan korban kecelakaan lalu lintas
pada tahun n untuk setiap kategori
korban, dalam rupiah / korban.
BKSO (Tj) = biaya satuan korban kecelakaan lalu lintas
pada tahun 2003 untuk setiap kategori
korban, dalam rupiah / korban, tabel 1
g = tingkat inflasi biaya satuan kecelakaan
dalam % ( g = 11% )
Tn = Tahun perhitungan biaya korban
Tc = Tahun dasar perhitungan biaya korban (
tahun 2003 )
t = selisih tahun perhitungan ( Tn – T c)

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 34


j = kategori korban
Biaya Satuan kecelakaan Lalu lintas untuk tahun tertentu ( Tn
) dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut :

𝐵𝐾𝑆𝐸i (𝑇𝑛) = 𝐵𝐾𝑆𝐸 (𝑇𝑐) × (1 + 𝑔)𝑡


i = Kelas keclakaan

3.3.3. Laik Fungsi Jalan


Uji laik fungsi jalan dilakukan baik untuk jalan baru maupun jalan eksisting
dalam rangka mewujudkan jalan berkeselamatan.
Acuan yang digunakan untuk melaksanakan uji kelaikan jalan adalah
Petunjuk Pelaksanaan Laik Fungsi Jalan No. 09/BM/2014 yang telah
ditetapkan dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Marga No.
15/SE/Db/2014 pada tanggal 31 Desember 2014.
Petunjuk pelaksanaan kelaikan fungsi jalan ini mengacu kepada ketentuan
ketentuan sebagai berikut :
a. Menurut Undang-Undang 38 Tahun 2004 tentang Jalan

Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan, pemenuhan laik


fungsi dilakukan pada jalan umum yang meliputi jalan nasional, jalan
provinsi, jalan kabupaten/kota dan jalan desa. Ketentuan mengenai
pemenuhan laik fungsi jalan disebutkan pada Pasal 30 Ayat 1 Huruf a
yang berbunyi:
“Pengoperasian jalan umum dilakukan setelah dinyatakan
memenuhi persyaratan laik fungsi secara teknis dan administratif”
Ketentuan selanjutnya disebutkan pada Pasal 30 Ayat 2 yang
berbunyi:
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan laik fungsi, tata cara
pemeliharaan, perawatan dan pemeriksaan secara berkala, dan
pembiayaan pembangunan jalan umum, serta masukan masyarakat
diatur dalam peraturan pemerintah.

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 35


b. Menurut Undang-Undang 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan

Ketentuan Laik Fungsi Jalan menurut Undang-Undang Nomor 22


Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disebutkan
dalam Pasal 8 dan Pasal 22. Ketentuan Laik Fungsi Jalan dalam
Undang-undang ini mengatur mengenai penanggung jawab
pelaksanaan kelaikan fungsi jalan.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 8 Huruf (f) yang berbunyi:
“Penyelenggaraan di bidang Jalan meliputi kegiatan pengaturan,
pembinaan, pembangunan, dan pengawasan prasarana Jalan yang
meliputi Uji Kelaikan Fungsi Jalan sesuai dengan standar keamanan
dan keselamatan berlalu lintas”.

Dalam Undang-undang yang sama diatur mengenai ketentuan


pelaksanaan laik fungsi jalan pada paragraf Penggunaan dan
Perlengkapan Jalan. Ketentuan yang dijabarkan dalam Pasal 22 Ayat
1-pasal 7 sebagai berikut:
1) Jalan yang dioperasikan harus memenuhi persyaratan laik
fungsi jalan secara teknis dan administratif.
2) Penyelenggara Jalan wajib melaksanakan uji kelaikan fungsi
jalan sebelum pengoperasian Jalan.
3) Penyelenggara Jalan wajib melakukan uji kelaikan fungsi
Jalan pada Jalan yang sudah beroperasi secara berkala dalam
jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau sesuai
dengan kebutuhan.
4) Uji kelaikan fungsi Jalan oleh Tim Uji Laik Fungsi Jalan yang
dibentuk oleh penyelenggara Jalan.
5) Tim Uji Laik Fungsi Jalan terdiri atas unsur Penyelenggara
Jalan, instansi yang bertanggung jawab di bidang Sarana dan
Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
6) Hasil uji kelaikan fungsi Jalan wajib dipublikasikan dan
ditindaklanjuti oleh Penyelenggara Jalan, instansi yang
bertanggung jawab di bidang Sarana dan Prasarana Lalu

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 36


Lintas dan Angkutan Jalan, dan/atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
7) Uji kelaikan fungsi Jalan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 15
Tahun 2005 tentang Jalan Tol

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 15 Tahun 2005


tentang Jalan Tol merupakan turunan dari Undang-Undang No. 38
Tahun 2004 tentang Jalan. Ketentuan terkait laik fungsi untuk jalan
Tol diatur pada Pasal 37, sebagai berikut
Pengoperasian jalan Tol dilakukan setelah memenuhi:
1) Laik Fungsi terhadap teknis dan administratif sebagai jalan
umum sebagaimana ditetapkan dengan peraturan Menteri
dan Menteri terkait
• Menteri yang dimaksud adalah Menteri Pekerjaan
Umum dimana ketentuan yang digunakan adalah
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
No.11/PRT/M/2010 tentang Tata Cara dan Persyaratan
Laik Fungsi Jalan.
• Menteri terkait, antara lain adalah Menteri
Perhubungan.
2) Laik Fungsi untuk sistem tol yang meliputi sistem
pengumpulan tol dan perlengkapan sarana operasi
ditetapkan dengan peraturan Menteri.
Peraturan Menteri ini adalah Peraturan Menteri Pekerjaan Umum,
saat ini peraturan menteri yang mengatur sistem pengumpulan tol
dan perlengkapan sarana operasi masih dalam proses penyusunan
sehingga masih mengacu Keputusan Menteri Kimpraswil No.
354/KTPS/M/2001 tentang Kegiatan Operasi Jalan Tol. Ketentuan
teknis atau standar teknis yang berkaitan dengan sistem tol dimuat
pada buku pedoman Geometri Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol
No. 007/BM/2009.

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 37


d. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 34
Tahun 2006 tentang Jalan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 34 Tahun 2006


tentang Jalan merupakan turunan dari Undang-Undang No. 38 Tahun
2004 tentang Jalan. Dalam peraturan tersebut, ketentuan mengenai
laik fungsi jalan dijelaskan lebih detail yang meliputi pedoman laik
fungsi jalan, masa pelaksanaan dan jangka waktu uji, serta lingkup uji
dan penetapan laik fungsi jalan. Ketentuan tersebut dijabarkan pada
Pasal 102 Ayat 1 sampai dengan ayat 8 sebagai berikut :
1) Jalan umum dioperasikan setelah ditetapkan memenuhi
persyaratan laik fungsi jalan umum secara teknis dan
administratif sesuai pedoman yang ditetapkan oleh Menteri
dan menteri terkait.
2) Uji kelaikan fungsi jalan umum dilakukan sebelum
pengoperasian jalan yang belum beroperasi.
3) Uji kelaikan fungsi jalan umum pada jalan yang sudah
beroperasi dilakukan secara berkala paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau sesuai dengan kebutuhan.
4) Suatu ruas jalan umum dinyatakan laik fungsi secara teknis
apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a) teknis struktur perkerasan jalan;
b) teknis struktur bangunan pelengkap jalan;
c) teknis geometri jalan;
d) teknis pemanfaatan bagian-bagian jalan;
e) teknis penyelenggaraan manajemen dan rekayasa
lalu lintas; dan
f) teknis perlengkapan jalan.
5) Ruas jalan umum dinyatakan laik fungsi administratif apabila
memenuhi persyaratan administrasi perlengkapan jalan,
status jalan, kelas jalan, kepemilikan tanah ruang milik jalan,
leger jalan, dan dokumen lingkungan (AMDAL).
6) Prosedur uji kelaikan fungsi jalan umum dilaksanakan oleh
tim uji laik fungsi jalan yang dibentuk oleh penyelenggara
MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 38
jalan yang bersangkutan yang terdiri dari unsur
penyelenggara jalan, instansi yang menyelenggarakan
urusan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan dan unsur
kepolisian.
Menteri Pekerjaan Umum sebagai Penyelenggara Jalan
Nasional dapat mendelegasikan urusan Kepala Badan
Pengatur Jalan Tol untuk pelaksanaan kelaikan fungsi
jalan tol yang menjadi kewenangan Badan Pengatur
Jalan Tol.
Instansi yang menyelenggarakan urusan di bidang lalu
lintas dan angkutan jalan adalah Kementerian
Perhubungan, Dinas Perhubungan Provinsi, Dinas
Perhubungan Kabupaten, dan Dinas Perhubungan Kota
atau sesuai dengan nomenklatur resmi dari setiap
daerah. Nomenklatur bidang lalu lintas dan angkutan
jalan pada peraturan pemerintah ini adalah sama
dengan bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan
angkutan jalan sebagaimana dicantumkan pada
Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan.
Unsur Kepolisan adalah Kepolisian Republik Indonesia
di Pusat maupun daerah.
7) Penetapan laik fungsi jalan suatu ruas dilakukan oleh
penyelenggara jalan yang bersangkutan berdasarkan
rekomendasi yang diberikan oleh Tim Uji Laik Fungsi Jalan.
8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan
persyaratan laik fungsi jalan dan penetapan laik fungsi
diatur dengan Peraturan Menteri.

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 39


e. Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 19 Tahun
2011 tentang Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria
Perencanaan Teknis Jalan
1) Hasil uji laik fungsi jalan selanjutnya dilakukan penilaian
dengan menggunakan acuan dari lampiran Permen PU No 19
tahun 2011 berdasarkan komponan komponen uji laik fungsi
jalan yaitu :
• A.1. Uji laik fungsi Teknis Geometrik Jalan
• A.2. UJi laik fungsi Teknis Struktur Perkerasan Jalan
• A.3. Uji laik fungsi Teknis Struktur Bangunan Pelengkap
Jalan
• A.4. Uji laik fungsi Teknis Pemanfaatan Bagian Bagian
Jalan
• A.5. Uji laik fungsi Teknis Penyelenggaraan Manajemen
dan Rekayasa Lalu lintas
• A.6 A. UJi Laik Fungsi Teknis Perlengkapan Jalan Yang
Terkait Langsung dengan Pengguna Jalan ( Tidak terkait
dengan Permen 19 tahun 2011 ).
• A 6 B. UJi Laik Fungsi Teknis Perlengkapan Jalan Yang
Tidak Terkait Langsung dengan Pengguna Jalan.
2) Pengujian dan Penilaian laik fungsi jalan harus dilakukan oleh
penilai dengan kualifikasi ahli.
3) Apabila hasil pengujian di lapangan tidak sesuai dengan
formulir di lampiran Permen PU no 19 Tahun 2011, hasil uji
laik fungsi tidak serta merta dikatakan tidak laik fungsi atau
laik fungsi bersyarat.Berdasar butir 3) diatas, hasil pengujian
dapat dikatakan laik fungsi ( sebagai contoh lebar lajur lalu
lintas tidak sesuai dengan persyaratan yaitu 3,5 m, akan
tetapi LHRT nya masih dapat melayani lalu lintas, maka lebar
lajur lalu lintas dikatakan Laik fungsi setelah dilaporkan dan
mendapat persetujuan dari pejabat yang berwenang).
4) Di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.
11/PRT/M/2010, kategori kelaikan fungsi jalan dijabarkan
atas 3 (tiga) jenis kategori yaitu:

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 40


a) Laik Fungsi (L)
Kondisi suatu ruas jalan, baik jalan baru maupun jalan
yang sudah dioperasikan, yang memenuhi semua
persyaratan teknis dan semua persyaratan administrasi
sebagaimana disyaratkan sehingga laik untuk
dioperasikan kepada umum.
b) Laik Fungsi Bersyarat (Ls)
Kondisi suatu ruas jalan yang memenuhi sebagian
persyaratan teknis Laik Fungsi Jalan dan/atau memiliki
paling tidak dokumen penetapan status jalan serta masih
mampu memberikan keselamatan bagi pengguna jalan.
Ruas jalan tersebut laik untuk dioperasikan kepada
umum dengan rekomendasi yang harus dilaksanakan
dalam jangka waktu tertentu.
c) Tidak Laik Fungsi (T).
Kondisi suatu ruas jalan yang sebagian komponen
jalannya tidak memenuhi persyaratan teknis sehingga
ruas jalan tersebut tidak mampu memberikan
keselamatan bagi pengguna jalan, dan/atau tidak
memiliki dokumen jalan sama sekali. Ruas jalan yang
berkategori Tidak Laik Fungsi dilarang dioperasikan
untuk umum.
Selain itu, adapula kategori Laik Fungsi yang diturunkan (Lt). Kategori
ini merupakan kategori Laik Fungsi (L) yang persyaratan teknisnya
diturunkan. Kategori ini diberikan hanya pada persyaratan teknis
untuk kondisi tertentu misalnya lebar jalan yang tidak cukup karena
terdapat masalah pembebasan lahan dikarenakan daerah sekitar
jalan adalah daerah yang dilestarikan atau merupakan kawasan
konservasi. Persyaratan teknis yang diturunkan harus mendapat
persetujuan dari Penyelenggara Jalan.
Pada Berita Acara Evaluasi Laik Fungsi Jalan, komponen yang dinilai
dapat berkategori L, Ls, T maupun Lt, namun pada Sertifikat Laik
Fungsi Jalan, status jalan hanya berkategori L, Ls atau T.
Instansi Penyelenggara Jalan

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 41


a) Kementerian Pekerjaan Umum (Ditjen Bina Marga dan
Badan Pengatur Jalan Tol) ntuk jalan Nasional.
b) Pemerintah Provinsi (Dinas Pekerjaan Umum Provinsi
atau Dinas Bina Marga Provinsi) untuk jalan Provinsi.
c) Pemerintah Kabupaten/Kota (Dinas Pekerjaan Umum
Kabupaten/Kota) untuk jalan Kabupaten/Kota.
Instansi yang bertanggung jawab urusan penyelenggaraan
lalu lintas dan angkutan jalan atau penyelenggaraan sarana
dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan adalah
Kementerian Perhubungan, Dinas Perhubungan
Provinsi/Kota/Kabupaten.
Unsur Kepolisian adalah Kepolisian Republik Indonesia yang
berada di pusat (Kepolisian Republik Indonesia) ataupun di
daerah (Kepolisian Daerah).

3.3.4. Instansi Penyelenggara Jalan


1) Kementerian Pekerjaan Umum (Ditjen Bina Marga dan Badan
Pengatur Jalan Tol) ntuk jalan Nasional.
2) Pemerintah Provinsi (Dinas Pekerjaan Umum Provinsi atau Dinas
Bina Marga Provinsi) untuk jalan Provinsi.
3) Pemerintah Kabupaten/Kota (Dinas Pekerjaan Umum
Kabupaten/Kota) untuk jalan Kabupaten/Kota.
Instansi yang bertanggung jawab urusan penyelenggaraan lalu lintas
dan angkutan jalan atau penyelenggaraan sarana dan prasarana lalu
lintas dan angkutan jalan adalah Kementerian Perhubungan, Dinas
Perhubungan Provinsi/Kota/Kabupaten.
Unsur Kepolisian adalah Kepolisian Republik Indonesia yang berada
di pusat (Kepolisian Republik Indonesia) ataupun di daerah
(Kepolisian Daerah).

3.4. Rangkuman
1. Kematian akibat kecelakaan lalu lintas banyak tidak dilaporkan,
menurut data dari Kepolisian jumlah kematian pada tahun 2010 adalah

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 42


31.234 jiwa, namun menurut para professional keselamatan jalan,
menunjukkan angka kematian dapat melebihi 40.000 jiwa, dimana
korban meninggal tertinggi adalah pengendara sepeda motor yaitu 60
% - 70 %, kematian berdasarkan jenis kelamin, laki laki 77 % dan
perempuan 23 %.
2. Audit keselamatan jalan merujuk pada buku Pedoman Audit
Keselamatan jalan No Pd T-17-2005-B, yaitu menetapkan ketentuan
dan prosedur pelaksanaan audit keselamatan jalan mulai dari tahap
perencanaan awal hingga tahap percobaan atau beroperasinya jalan
secara penuh.Audit keselamatan jalan merupakan bagian dari strategi
pencegahan kecelakaan lalu lintas .
3. Investigasi / Perbaikan Lokasi Rawan Kecelakaan menurut NSPM :
• Pedoman Penanganan Lokasi Rawan Kecelakaan dari
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Republik
Indonesia (2004) .
• Pedoman Operas ABIU / UPK (Accident Blackspot Investigation
Unit/ Unit Penelitian Kecelakaan) dari Departemen
Perhubungan Republik Indonesia (2007).
• Panduan Teknik Rekayasa Keselamatan Jalan Direktur Jenderal
Bina Marga dalam Instruksi Direktur Jenderal Bina Marga
Nomor 02 /IN /Db /2012.
4. Definisi Blackspot menurut Pedoman POLRI versi 2016 adalah :
a. Radius 0-300 meter (berdasarkan NSPM Kementerian
Perhubungan dan Kementerian PUPR)
b. Selama 3 tahun (merujuk dari kecenderungan rentang waktu
yang digunakan secara umum di dunia) dan
Nilai pembobotan untuk setiap kejadian berdasarkan keparahan
korban :
• Kecelakaan dengan korban terparah meninggal dunia = 10
• Kecelakaan dengan korban terparah luka berat =5
• Kecelakaan dengan korban terparah luka ringan =1
5. Dalam menentukan besaran biaya kecelakaan lalu lintas, menggunakan
Pedoman No. Pd.T-02-2006-B, Perhitungan besaran biaya kecelakaan

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 43


lalu lintas dengan menggunakan “Metoda the gross output” (human
capital).
6. Petunjuk Pelaksanaan Kelaikan Fungsi Jalan No. 09/BM/2014 dan di
tetapkan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Marga No. 15/SE/
Db/2014 pada tanggal 31 Desember 2014.
7. Dalam Undang-undang yang sama diatur mengenai ketentuan
pelaksanaan laik fungsi jalan pada paragraf Penggunaan dan
Perlengkapan Jalan. Ketentuan yang dijabarkan dalam Pasal 22 Ayat 1
-pasal 7 .
8. Instansi Penyelenggara Jalan :
• Kementerian Pekerjaan Umum (Ditjen Bina Marga dan Badan
Pengatur Jalan Tol) untuk jalan Nasional.
• Pemerintah Provinsi (Dinas Pekerjaan Umum Provinsi atau
Dinas Bina Marga Provinsi) untuk jalan Provinsi.
• Pemerintah Kabupaten/ Kota (Dinas Pekerjaan Umum
Kabupaten/ Kota) untuk jalan Kabupaten/ Kota.
9. Pembagian tugas tim dalam tahap Uji Laik Fungsi Jalan.
• Unsur Penyelenggara Jalan (Ditjen Bina Marga, Badan
Pengatur Jalan Tol, Dinas PU/ Bina Marga Provinsi/ Kabupaten/
Kota, atau instansi Penyelenggara Jalan Daerah).
• Unsur Penyelenggara Lalu Lintas dan Angkutan Jalan atau
Penyelenggara Sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan (Kementerian Perhubungan, Dinas Perhubungan atau
instansi Penyelenggara Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Daerah).
• Unsur Kepolisian RI.

3.5. Latihan
1. Menurut data resmi Kepolisian, jumlah kematian pada 2010 adalah
31.234 jiwa. Jelaskan kematian yang paling dominan dikaitkan menurut
pengguna jalan!
2. Jelaskan komponen utama dalam sistem transportasi jalan!
3. Sebutkan rujukan apa yang digunakan dalam audit keselamatan jalan,
dan kapan sebaiknya audit keselamatan jalan dilakukan!
MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 44
4. Apa yang akan saudara lakukan sebagai seorang designer jalan untuk
melakukan audit keselamatan pada jalan baru, jelaskan!
5. Pemasangan marka jalan setelah selesai overlay untuk kegiatan
pemeliharaan jalan, tanggung jawab siapa? jelaskan!

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 45


DAFTAR PUSTAKA

Undang Undang No. 38 Tahun 2004 Tentang Jalan


Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 34 Tahun 2006 Tentang Jalan
Instruksi Presiden Republik Indonesia No 4 Tahun 2013 Tentang Program decade
Aksi Keselamatan Jalan
Peraturan Menteri PU N0 11 Tahun 2010 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Laik
Fungsi Jalan
Peraturan Menteri PU No 19 Tahun 2011 Tentang Persyaratan Teknis Jalan dan
Kriteria Perencanaan Jalan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20 Tahun 2016 Tentang Organisasi dan
Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 15 Tahun 2015
Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat.
Instruksi Direktur Jenderal Bina Marga No. 02/in/db/2012 Tentang Panduan
Teknis Rekayasa Keselamatan Jalan.
Rencana Umum Nasional Keselamatan ( RUNK ).
Petunjuk Pelaksanaan Kelaikan fungsi Jalan No. 09/P/BM/2014 dan SE Dirjen Bina
Marga No 15/SE/Db/2004.
Pedoman Audit Keselamatan jalan No Pd T-17-2005-B,
Global Plan for the Decade of Action for Road Safety 2011-2020.
Pedoman Penanganan Lokasi Rawan Kecelakaan Lalu Lintas Departemen
Pekerjaan Umum No. Pd T -09-2004- .

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 46


GLOSARIUM

Abutmen/Kepala atau Pangkal Jembatan (Abutment): bangunan bawah


jembatan yang terletak pada kedua ujung jembatan, berfungsi sebagai
pemikul seluruh beban pada ujung bentang dan gaya-gaya lainnya yang
didistribusikan pada tanah pondasi.
Alat Pengendali Isyarat Lalu Lintas - APILL (Traffic Control Signal): perangkat
peralatan teknis yang menggunakan isyarat lampu untuk mengatur lalu lintas
orang dan/atau kendaraan di persimpangan atau pada ruas jalan.
APILL untuk pejalan kaki berupa:

 APILL yang Dioperasikan oleh Pejalan Kaki (Pedestrian Operated


Signals - Pos): APILL yang memiliki tiga aspek dan ditempatkan di
tengah blok antar simpang. APILL ini dilengkapi dengan tombol tekan
yang dipasang di tiang utamanya untuk memberi tahu kehadiran
pejalan kaki yang menunggu. Selain itu, ada tampilan isyarat penjalan
kaki menghadap ke seberang. Tampilan merah, kuning, dan hijau
untuk pengemudi/pengendara, sedangkan ikon manusia berdiri
berwarna merah atau manusia berjalan berwarna hijau untuk pejalan
kaki.
 Penyeberangan PELICAN (Pedestrian Light Controlled Crossing -
Pelican Crossing): tipe penyeberangan yang dioperasikan oleh pejalan
kaki, yang memiliki fase kuning berkedip yang ditampilkan sesaat
sebelum fase hijau bagi pengemudi.
 Penyeberangan PUFFIN (Pedestrian User Friendly Intelligent Crossing
- PUFFIN Crossing): penyeberangan ini beroperasi mirip APILL pejalan
kaki lainnya, namun memiliki detektor untuk menengarai kehadiran
pejalan kaki yang bergerak lambat (misal manula) sehingga mampu
menambah waktu jalan dan/atau waktu bebas APILL untuk
membantu mereka.
Alinyemen (Alignment): proyeksi garis sumbu jalan.

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 47


 Alinyemen Horizontal (Horizontal Alignment): proyeksi garis sumbu
jalan pada bidang horizontal.
 Alinyemen Vertikal (Vertical Alignment): proyeksi garis sumbu jalan
pada bidang vertikal yang melalui sumbu jalan.
Area Bebas (Clear Zone): daerah di dekat lajur lalu lintas yang harus dijaga
terbebas dari hazard sisi jalan.
Audit Keselamatan Jalan (Road Safety Audit): suatu pemeriksaan formal
jalan atau proyek lalu lintas oleh tim ahli independen yang melaporkan
potensi kecelakaan dan kinerja keselamatan suatu ruas jalan (Austroads,
2009).
Bahu Jalan (Shoulder): bagian daerah manfaat jalan yang berdampingan
dengan jalur lalu lintas untuk menampung kendaraan yang berhenti,
keperluan darurat, dan untuk pendukung samping bagi lapis pondasi bawah,
dan lapis permukaan.
Bahaya Sisi Jalan: semua objek tetap yang terdapat di sisi jalan di dalam
daerah bebas yang dapat memperbesar tingkat keparahan kecelakaan.
Bundaran (Roundabout): persimpangan tempat kendaraan berjalan searah
mengelilingi pulau lalu lintas.
Caping (Crown): bentuk mahkota pada potongan melintang di dua lajur jalan
yang memiliki dua arah kemiringan melintang.
Efek Lapis Tipis Air (Aqua Planing): terjadi ketika ada lapis tipis air yang
menyelimuti roda sehingga kendaraan tergelincir tidak terkendali di jalan
yang basah.
Garis Pandang (Line of Sight): garis langsung pada pandangan tak terhalang
antara pengemudi dan sebuah objek dengan tinggi tertentu di atas jalan.
Jalan Terbagi (Divided Road): jalan dua arah yang dipisahkan dengan median,
pagar, atau objek fisik lain. Jalur Jalan (Carriageway): bagian jalan yang
diperuntukkan untuk lalu lintas kendaraan
Jarak Berhenti yang Berkeselamatan (Safe Stopping Distance - SSD): jarak
yang dibutuhkan oleh pengemudi kendaraan untuk menangkap hazard,
bereaksi, dan mengerem untuk berhenti. Untuk keperluan perancangan,
kondisi cuaca basah dan pengereman dengan roda terkunci diperhitungkan.

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 48


Jarak Mendahului (Overtaking Distance): jarak yang dibutuhkan sebuah
kendaraan untuk mendahului kedaraan lain.
Jarak Mengerem (Braking Distance): jarak yang dibutuhkan oleh rem
kendaraan untuk menghentikan kendaraan.
Jarak Pandang (Sight Distance): jarak di sepanjang tengah-tengah suatu jalur
dari mata pengemudi ke suatu titik dimuka pada garis yang sama yang dapat
dilihat oleh pengemudi [RSNI T-14-2004].
Jarak Pandang Berkeselamatan di Persimpangan (Safe Intersection Sight
Distance - ISD): jarak pandang yang diperlukan pengendara pada jalan major
untuk mengamati kendaraan pada jalan minor sehingga dapat mengurangi
kecepatannya, atau berhenti bila diperlukan.
Jarak Pandang Henti (Stopping Sight Distance): jarak pandangan pengemudi
ke depan untuk berhenti dengan aman dan waspada dalam keadaan biasa,
didefinisikan sebagai jarak pandangan minimum yang diperlukan oleh
seorang pengemudi untuk menghentikan kendaraannya dengan aman begitu
melihat adanya halangan di depannya. Jarak pandang henti diukur
berdasarkan anggapan bahwa tinggi mata pengemudi adalah 108 cm dan
tinggi halangan adalah 60 cm diukur dari permukaan jalan [RSNI T-14-2004].
Jarak Pandang Manuver (Maneuver Sight Distance): jarak pandang yang
dibutuhkan oleh pengemudi kendaraan yang waspada untuk menyadari objek
di atas jalan dan melakukan tindakan menghindar.
Jarak Pandang Masuk (Entering Sight Distance - ESD): jarak pandang yang
diperlukan pengendara pada jalan minor untuk memotong/masuk ke jalan
major, tanpa mengganggu arus di jalan major.
Jarak Pandang Mendahului (Overtaking Sight Distance): jarak pandang yang
dibutuhkan oleh pengemudi untuk memulai dan menyelesaikan dengan
selamat manuver mendahului.
Jarak Pandang Pendekat (Approach Sight Distance - ASD): jarak pandang
henti pada suatu persimpangan.
Kanalisasi: sistem pengendalian lalu lintas dengan menggunakan pulau lalu
lintas atau marka jalan.

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 49


Kecepatan Operasional (Operating Speed): 85 persentil kecepatan
kendaraan pada suatu waktu saat kondisi lalu lintas lancar yang
memungkinkan kendaraan untuk bebas memilih kecepatan.
Kecepatan Operasional Truk (Operating Speed of Trucks): kecepatan 85
persentil truk yang diukur pada suatu waktu saat kondisi lalu lintas lancar yang
memungkinkan kendaraan untuk bebas memilih kecepatan.
Kecepatan Rencana (Design Speed): kecepatan maksimum kendaraan yang
aman yang dapat dipertahankan sepanjang bagian jalan tertentu bila kondisi
sedemikian baik sehingga ketentuan desain jalan merupakan faktor yang
menentukan.
Kelandaian (Grade): kelandaian memanjang jalan yang dinyatakan dalam
persen.
Kemiringan Balik (Adverse Crossfall): kemiringan perkerasan yang terbalik di
tikungan horizontal akan menimbulkan gaya sentrifugal pada kendaraan
sehingga tidak mampu bertahan di jalur tikungan dan menimbulkan risiko
“keluar jalan”.
Kemiringan Galian atau Timbunan (Batter): kemiringan sisi jalan, rasionya 1
unit Vertikal (V) X lebih dari 1 unit Horizontal (H). Kemiringan ini dapat berupa
kemiringan galian (memotong lahan berbukit) atau kemiringan timbunan (di
jalan yang dibangun di atas lahan sekitarnya). Rasio kemiringan timbunan 4H
: 1V atau kurang dianggap layak dilalui, namun dengan kemiringan 6H : 1V
lebih baik untuk keselamatan sisi jalan.
Kemiringan Melintang (Crossfall): kemiringan melintang jalan untuk drainase
permukaan.
Lajur Belok (Turning Lane): lajur khusus untuk lalu lintas berbelok.
Lajur Lalu Lintas (Traffic Lane): bagian dari jalur tempat lalu lintas bergerak,
untuk satu kendaraan.
Lajur Mendahului (Overtaking Lane): lajur khusus yang memungkinkan
kendaraan lebih lambat didahului. Lajur ini harus diberi marka garis agar
semua lalu lintas diarahkan dahulu ke lajur sebelah kiri karena lajur tengah
digunakan untuk mendahului.

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 50


Lajur Pendakian (Climbing Lane): lajur khusus yang disediakan pada bagian
ruas jalan yang melampaui panjang kritis tanjakan untuk menampung
kendaraan berat saat menanjak.
Lajur Penyelamat dengan Bantalan Penahan (Arrester Bed): fasilitas
keselamatan yang digunakan untuk melambatkan dan menghentikan
kendaraan dengan mengkonversi energi kinetiknya melalui pergeseran
agregat dalam gundukan pasir atau tanah keras. Bantalan penahan
merupakan perangkat keselamatan yang berguna di sisi jalan menurun yang
sering menimbulkan tabrakan truk dengan rem blong.
Lajur Percepatan (Acceleration Lane): lajur khusus yang berfungsi untuk
menyesuaikan kecepatan kendaraan pada saat bergabung dengan lajur cepat.
Lajur Tambahan (Auxiliary Lane): lajur yang disediakan khusus untuk belok
kiri/kanan, perlambatan/percepatan, dan tanjakan.
Lalu Lintas (Traffic): gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan
(prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah kendaraan, orang,
dan/atau barang yang berupa jalan dan fasilitas pendukung).
Lengkung Peralihan (Transition Curve): lengkung yang disisipkan diantara
bagian jalan yang lurus dan bagian jalan yang melengkung berjari-jari tetap R
dimana bentuk lengkung peralihan merupakan clothoide.
Lengkung Vertikal (Vertical Curve): bagian jalan yang melengkung dalam
arah vertikal yang menghubungkan dua segmen jalan dengan kelandaian
berbeda.
Lokasi Rawan Kecelakaan (Blackspot): suatu lokasi dimana memiliki angka
kecelakaan yang tinggi, serta terjadi secara berulang dalam suatu rentang
waktu.
Manajemen Bahaya Sisi Jalan (Road Side Hazard Management): manajemen
sisi jalan yang bertujuan untuk menurunkan tingkat keparahan kecelakaan.
Median Jalan (Median): bagian dari jalan yang tidak dapat dilalui oleh
kendaraan dengan bentuk memanjang sejajar jalan, terletak di sumbu/
tengah jalan, dimaksudkan untuk memisahkan arus lalu lintas yang
berlawanan.

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 51


Panjang Lengkung Peralihan (Transition Length for Alignment): panjang jalan
yang dibutuhkan untuk mencapai perubahan dari bagian lurus ke bagian
lingkaran dari tikungan.
Panjang Pencapaian Superelevasi (Transition Length for Superelevation):
panjang jalan yang dibutuhkan untuk mencapai kemiringan melintang dari
kemiringan normal sampai dengan kemiringan penuh superelevasi.
Pejalan Kaki (Pedestrians): pemakai jalan yang berjalan kaki, termasuk
mereka yang menarik gerobak, bekerja di jalan, berjalan di sepanjang, atau
menyeberangi jalan.
Persimpangan (Intersection): pertemuan jalan dari berbagai arah, yang dapat
merupakan simpang sebidang yaitu simpang 3, simpang 4 atau lebih dan/atau
berupa simpang tak sebidang.
Persimpangan dengan Kanalisasi (Channelised Intersection): persimpangan
yang menggunakan sistem kanalisasi.
Persimpangan Normal: persimpangan di sebuah jalur jalan yang
menunjukkan perincian dimensi, lokasi furnitur, dan fitur bangunan jalan
yang normal.
Persimpangan Tak Sebidang (Interchange): separasi gradasi dua atau lebih
jalan yang mempunyai setidaknya satu jalur jalan yang menghubungkan.
Artinya, paling tidak satu jalur jalan mengambil lalu lintas dari salah satu jalan
ke yang lain. Banyak tipe persimpangan tak sebidang.
Potongan Melintang (Cross Section): elemen transversal di elemen
memanjang jalan.
Potongan Memanjang (Longitudinal Section): potongan memanjang,
biasanya dengan skala vertikal yang lebih besar dibandingkan skala
horizontal, yang menunjukkan perubahan desain di sepanjang sebuah garis
memanjang sebuah jalan, atau garis lain yang ditentukan.
Potongan Normal Melintang Jalan (Normal Cross Section): potongan
melintang jalan yang tidak dipengaruhi oleh superelevasi ataupun pelebaran
jalan di tikungan.
Pulau Lalu Lintas (Traffic Island): bagian dari persimpangan yang ditinggikan
dengan kereb, yang dibangun sebagai pengarah arus lalu lintas serta

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 52


merupakan tempat lapak tunggu untuk pejalan kaki pada saat menunggu
kesempatan menyeberang.
Rambu Lalu Lintas (Traffic Sign): bagian dari perlengkapan jalan berupa
lambang, huruf, angka, kalimat dasar atau perpaduannya, diantaranya
berfungsi sebagai peringatan, larangan, perintah atau petunjuk bagi pemakai
jalan.
Segitiga Pandang (Sight Triangle): area antara dua jalur jalan yang
bersimpangan dimana kendaraan dari kedua jalur dapat terlihat oleh setiap
pengemudi.
Segmen Jalan Rawan Kecelakaan (Black Length): segmen jalan–biasanya
beberapa kilometer yang memiliki catatan sering terjadi kecelakaan dan
menimbulkan korban.
Simpang Tak Sebidang (Grade Separation): pemisahan pergerakan lalu lintas
yang berkonflik dengan penggunaan lintas atas atau lintas bawah.
Tambahan Pemotongan Bukit (Bench): tambahan potongan bukit di sebuah
sisi sempit jalan yang dibangun dalam kemiringan galian atau kemiringan
alami untuk meningkatkan jarak pandang horizontal di tikungan. Tambahan
ini juga dapat mengontrol erosi dengan lebih baik, menjadi drainase, dan
perlindungan dari tanah longsor.
Tikungan Balik (Reverse Curve): sebuah potongan alinyemen jalan yang
terdiri dari dua tikungan yang membelok ke arah berlawanan dan mempunyai
titik tangen bersama atau dihubungkan oleh tangen pendek.
Tikungan Bertolak Belakang (Broken Back Curve): dua tikungan horizontal di
arah yang sama, yang dipisahkan oleh potongan jalan lurus. Tikungan
bertolak belakang merupakan tipe khas tikungan mejemuk dan umumnya
dianggap lebih berisiko keselamatan daripada yang lain.
Tikungan Horizontal (Horizontal Curve): tikungan dalam tampak bidang
sebuah jalur jalan.
Tikungan Majemuk (Compound Curve): tikungan yang terdiri dari dua atau
lebih tikungan beradius berbeda di arah yang sama dan berbagi titik tangen
yang sama.

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 53


Tikungan Substandar (Sub-Standard Curve): tikungan dengan radius
horizontal di bawah radius minimal yang diperlukan untuk kecepatan
operasional lalu lintas.
Titik Putar (Hinge Point): titik di potongan melintang sebuah jalan yang
perkerasan di sekitarnya dirotasi untuk membentuk superelevasi.

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 54


Tim Penyusun

Ir. Agus Nugroho, MM

Ir. Dwi Sapto Haryanto

Ir. Erwin Kusnandar, MT

Ir. Janny Agustin, M.Sc

Ir. Joulla Marsela, MM

Drs. Rozali Ahmad, M.Sc

MODUL 1 | KEBIJAKAN JALAN BERKESELAMATAN 55

Anda mungkin juga menyukai