Anda di halaman 1dari 6

Elda Cipta Dwiliansyah 14/369631/SA/17637 Esai Folklore

Kaulinan Kakawihan Barudak


(Permainan Nyanyian Anak-anak Sunda)
Latar Belakang

Diketahui benar bahwa kebudayaan Indonesia itu mengandung nilai-nilai etik, estetik dan
artistik yang sungguh agung. Namun dari keagungan nilai-nilai budaya bangsa itu mulai terdesak
dan terlupakan, sementara nilai-nilai yang baru belum terbentuk dengan kokoh dan mantap. Oleh
karena itu, masyarakat seakan-akan kehilangan pegangan dalam menentukan sikap dan tingkah
laku. Hal ini tentunya dapat menimbulkan kebingungan dan pertentangan yang merupakan
hambatan dalam pembangunan kebudayaan nasional Indonesia. Jadi, pengaruh pembangunan
yang tidak dapat dihindari adalah terjadinya pergeseran nilai-nilai yang berlaku pada suatu
masyarakat. Masyarakat menjadi labil karena tidak ada nilai yang bisa dijadikan acuan untuk
mencapai tujuan hidup. Sementara perwujudan kebudayaan nasional yang tunggal dan baku
belum berkembang sepenuhnya, maka sangat dirasakan perlu adanya upaya untuk menanamkan
nilai-nilai budaya kepada masyarakat. Salah satu upaya tersebut adalah pembinaan kebudayaan
daerah melalui pengkajian nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kegiatan kehidupan
bermasyarakat. Pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional, harus dimulai dengan
inventarisasi unsur-unsur budaya yang masih bertahan dan hidup dalam masyarakat. Salah satu
unsur budaya yang dianggap masih tetap bertahan adalah folklor lisan dalam bentuk nyanyian
rakyat (Kakawihan Barudak). Adapun tradisi lisan itu berfungsi antara lain sebagai pengkokoh
norma-norma serta nilai nilai budaya yang telah berlaku secara turun-temurun. Norma-norma
serta nilai-nilai budaya itu ditampilkan dengan peragaan secara simbolis dalam bentuk nyanyian
rakyat ini, dilakukan secara riang oleh masyarakat yang mendukungnya, dan dirasakan sebagai
bagian yang integral dan akrab serta komunikatif dalam kehidupan kulturalnya. Pengungkapan

6
kakawihan barudak yang banyak mengandung simbol ini merupakan suatu cara yang dapat
mempercepat terjadinya sosialisasi. Juga, terkandung di dalamnya ungkapan-ungkapan emosional
yang merangsang terciptanya kekukuhan norma dan nilai yang bersifat kohesif di antara para
pendukungnya.

Berkaitan dengan pernyataan di atas, apalagi lebih diperparah lagi oleh hiruk pikuknya
lalu-lintas teknologi informasi yang begitu mengglobal sekarang ini, masyarakat kita termasuk
salah satu yang tidak bisa berbuat banyak. Salah satunya yang dirasakan sangat terpuruk adalah
Elda Cipta Dwiliansyah 14/369631/SA/17637 Esai Folklore

dunia anak-anak (telah lama para orang tua, pendidik serta mereka pemerhati dunia anak-anak
melontarkan keprihatinan bahwa anak-anak sedang kehilangan dunianya). Maksudnya
keprihatinan yang dirasakannya itu bila dibandingkan dengan dunia orang tua mereka tempo
dulu. Buktinya memang sangat nyata dan gamblang bahwa perilaku kehidupan anak-anak
sekarang sudah sangat lain dengan pola kehidupan orang tua mereka semasa kanakkanan.
Menurut pengamatan dan penilaian berbagai pihak, perilaku kehidupan anak terutama dalam
bermain, sekarang ini tidak mendidik dan cenderung ke arah sikap yang konsumtif dan
individualistis. Dari gejala itu, banyak orang yang sepakat bahwa sinyalemen seperti itu memang
tepat adanya. Anak-anak tempo dulu sangat tertantang oleh alam dan lingkungan hidupnya
berada. Mereka memanfaatkan apa yang ada di lingkungannya. Sebagai akibatnya, mereka harus
kreatif, selalu siap menghadapi tantangan dan rintangan yang muncul setiap saat.

Pembahasan

Umumnya dalam permainan anak-anak yang sifatnya rekreatif sangat bertautan dengan
kakawihan barudak. Kakawihan berupa alat yang dimanfaatkan oleh masyarakat agar apa yang
ada dalam di dalam hatinya tidak dimengerti oleh kawan yang ada di luar komunitasnya (bahasa
sandi). Antara permainan dan kakawihan itu merupakan dwitunggal yang tidak bisa dipisahkan.
Umpamanya dalam permainan-perminan anak yang dipentaskan atau ditampilkan saat acara
Seren Taun di daerah Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Di dalam acara Seren Taun yang rutin
dilaksanakan setiap tahun ini, selalu ada penampilan beberapa permainan-permainan anak yang
disebut “Kaulinan Kakawihan Barudak” yang ditampilkan pada saat pembukaan di hari pertama
perayaan Seren Taun.

Urutan gerakan dalam kaulinan barudak atau permainan anak tersebut berdasarkan urutan
kakawihan (nyanyian) yang dinyanyikan, yang pertama adalah nyanyian Jaleu-leu Ja. Gerakan

6
yang dilakukan pada nyanyain pertama adalah menaruh tangan di atas mulut sambil bersahut-
sahutan bergantian atau saling membalas. Apabila beberapa orang serempak menyebutkan
“jaleu-leu..”, maka beberapa orang yang lain akan menyahutnya dengan mengatakan “ja...”,
begitupun seterusnya sampai ahir nyanyian ini tetap bersahut-sahutan.

Nanyian ini konon dibuat saat Tatar Sunda diserang oleh Kerajaan Mataram. Nyanyian
Jaleu-leu Ja pernah ada yang menafsirkan seperti ini:
Elda Cipta Dwiliansyah 14/369631/SA/17637 Esai Folklore

Jaleuleu ja (ada orang Jawa)


Atulak tu ja éman – gog (Menyuruh kepada anak muda bernama Eman jika ada orang
Jawa harus menyediakan pengunci (untuk memukul) kemudian jongkok – pasang kuda-
kuda, artinya harus siap-siap)
Seureuh leuweung – bay (Seureuh leuweung/sirih hutan yang biasa disebut gebay,
bentuknya seperti tameng/perisai – maka dari itu apabila ada orang Jawa, selain jongkok
juga harus menyiapkan tameng/perisai)
Jambé kolot - bug (Jambe tua di Sunda disebut jebug – jaid jika ada musuh datang harus
digebug/dipukul)
Ucing katinggang songsong - Ngék (Memukulnya seperti kucing yang tertimpa songsong
atau alat peniup tungku – ngék ……………….)

Setelah menyanyikan Jaleu-leu Ja, dilanjut dengan menyanyikan hompila-hompimpah


alaiyum gambreng. Sebelum melakukan permainan, hompila-hompimpah ini digunakan untuk
menentukan yang kalah atau mengundi & memulai jaga (misal pada permainan ucing sumput/
petak umpet). Gerakan yang dilakukan adalah berkumpul membentuk lingkaran dan masing-
masing anak mengeluarkan satu tangan untuk digerak-gerakan atau digoyang-goyangkan dan
pada ahirnya bagian punggung atau telapak tangan akan menentukan siapa yang memulai terlebih
dahulu atau siapa yang harus menjaga.

Selanjutnya adalah nyanyian yang berjudul Sasalimpetan. Dinyanyikan oleh anak-anak


sambil bermain saling berpegangan tangan dengan membentuk lingkarang, berjalan ke arah kiri
atau kanan sambil menggoyangkan tangannya ke atas dan ke bawah. Dari lingkaran besar
tersebut, dibentuk lagi lingkaran-lingkaran kecil. Dalam lingkaran-lingkaran kecil tersebut, salah
satu anak yang berada di ujung masuk diantara dua orang pertama dan kedua. Lirik nyanyian
tersebut, yaitu: 6
Sasalimpetan jajahan aing nu panjang hey-hey……
(Sasalimpetan jajahan saya yang panjang)
Aki janggotan numpak kuda heheotan hey hey ……
(Kakek berjanggut menunggangi kuda sambil bersiul)
Elda Cipta Dwiliansyah 14/369631/SA/17637 Esai Folklore

Tidak ada yang tahu pasti makna filosofis dari lagu ini dan mengapa gerakannya seperti
itu, tapi sejak dulu secara turun temurun nyanyian tersebut dilakukan sambil berpegangan tangan.
Mungkin ada makna bahwa berpegangan erat antar kawan itu lebih baik agar bisa bekerja sama
melawan penjajah dan tidak terpisah-pisah.

Nyanyian “Tokecang” juga tak pernah lepas dari kehidupan sehari-hari masyarakat
Sunda. Arti dari Tokecang sendiri menurut sejumlah orang adalah “Tokek Makan Kacang.”
Secara tersurat, nyanyian Tokecang berpesan agar anak-anak tidak membuang makanan atau
menyia-nyiakan makanan begitu saja. Gerakan yang dilakukan dalam permainan anak-anak di
acara Seren Taun adalah mengangkat kedua tangan sambil berjalan, ini menunjukkan bahwa
manusia harus bersyukur.

Tokecang tokecang bala gendir tosblong


Angeun kacang sapependil kosong

Aya listrik di masigit meuni caang katingalna


Aya istri jangkung alit karangan dina pipina

Pada bagian kelima, ada nyanyian Salam Sabrang yang dinyanyikan dengan tempo lebih
cepat dibanding nyanyian-nyanyian sebelumnya. Gerakan yang dilakukan menepuk-nepukan
tangan ke tangan lawan.
Salam sabrang kadong-dong cina
Abah datang kabina bina nyiuk cai
Kanu tampolong nyebut nyai kanu lolong

Setelah Salam Sabrang ada nyanyian Ayang-ayang Gung yang dinyanyikan sambil
meletakan tangan ke atas pundak (ayang-ayangan), berbaris sejajar. Biasanya merupakan lagu

6
pangantar dalam bermain ucing kuriling atau ucing peungpeun. Kawih atau nyanyian Ayang-
Ayang Gung dapat dikatakan nyanyian yang diwariskan dari generasi ke generasi, termasuk
belajar kawih ini saat bermain dengan teman-teman sebaya, biasanya ada anak yang berusia lebih
tua yang mengajarkan kawih ini sambil melingkar berpegangan tangan.

Ayang ayang gung (Berjalan santai, lamban dan bergerombol)


Gung goongna rame (Gong berbunyi nyaring)
Elda Cipta Dwiliansyah 14/369631/SA/17637 Esai Folklore

Menak ki mas tanu (Bangsawan bernama Ki Mas Tanu)


Nu jadi wadana (Yang menjabat Wedana)
Naha maneh kitu (Kenapa kamu begitu)
Tukang olo-olo (Berkelakuan ‘lebay’)
Loba anu giruk (Banyak yang membenci)
Ruket jeung kumpeni (Dekat dengan Belanda)
Niat jadi pangkat (Niat mencari jabatan)
Katon kagorengan (Malah mendapat kejelekan)
Ngantos kanjeng dalem (Menanti bapak bupati)
Lempa lempi lempong (Lempa lempi lempong (sampiran sebuah pantun))
Ngadu pipi jeung nu ompong (Cipika cipiki/beradu pipi dengan orang ompong)
Jalan ka Batawi ngemplong (Jalan ke Betawi terbuka)
Yang terahir, permainan tradisional oray-orayan dimainkan oleh sekira 5 hingga 20 anak
atau lebih. Cara bermainnya, yaitu anak-anak berbaris berurutan memanjang ke belakang, sambil
berpegangan pada bahu anak (pemain) yang di depannya. Salah seorang anak bertindak sebagai
pemimpin atau kepala ular, dan tangannya dalam posisi bebas. Sedangkan anak-anak lainnya
bertindak sebagai badan dan ekor ular. Sambil diiringi lagu yang di atas tadi tuh, para pemain
yang berjejer memanjang ke belakang ini meliuk-liuk menirukan gerakan seekor ular, mengitari
arena permainan. Nyanyian seperti ini:
Oray-orayan luar léor mapay sawah (Bermain ular-ularan meliak-liuk ke sawah)
Entong ka sawah paréna keur sedeng beukah (Jangan ke sawah, padinya sedang
merekah)
Mending ka leuwi di leuwi loba nu mandi (Di lubuk banyak yang mandi)
Saha anu mandi – anu mandina pandeuri (Yang mandiyang mana? yang mandinya

6
terakhir)

Meskipun nyanyian-nyanyian tersebut merupakan nyanyian Sunda, terkadang ada


beberapa yang hampir mirip dengan nyanyian rakyat dari daerah lain, contohnya nyanyian
“hompila-hompimpah alaiyum gambreng”. Dalam budaya Betawi, hompimpa dilakukan dengan
lagu berlirik "Hompimpa alaium gambreng. Mpok Ipah pakai baju rombeng." Hal ini
menunjukkan bahwa nyanyian rakyat Sunda (entah itu dipengaruhi atau mempengaruhi) tetap
Elda Cipta Dwiliansyah 14/369631/SA/17637 Esai Folklore

berkaitan dengan kebudayaan lain. Bisa saja karena letak daerahnya berdekatan atau karena latar
belakang sejarah yang hampir sama.

Mengenai makna asli nyanyian-nyanyian Sunda, terkadang orang tidak tahu pasti artinya
apa, tetapi masyarakat Sunda dengan mudahnya mengikuti gerakan dan lirk nyanyian tersebut
yang biasanya mereka peroleh secara turun temurun. Seperti lagu Jaleu-leu Ja yang telah
dipaparkan di atas. Makna nyanyian tersebut hanya sebata pemikiran beberapa orang. Mungkin
saja ada makna lain dari sudut pandang yang lain yang lebih tepat. Seperti yang telah disebutkan
di atas bahwa nyanyian-nyanyian tersebut dulunya merupakan sandi atau bahasa yang hanya
dimengeti oleh komunitasnya.

Kesimpulan

Dilihat dari segi fungsinya, kaulinan barudak dengan kakawihan barudaknya, yang paling
menonjol adalah fungsi rekreatifnya. Fungsi ini menjadi sangat penting bagi petani pedesaan
yang bertempat tinggal di daerah pedalaman yang sangat terpencil dan kurang mempunyai
hiburan yang lain kecuali permainan dan kegiatan kesenian. Fungsi yang lain adalah sebagai
media belajar. Hal ini penting terutama bagi anak-anak. Permainan bertanding yang bersifat
keterampilan fisik, misalnya, berfungsi mengembangkan kecekatan gerakan otot-otot para
pemain kecil itu. Permainan bertanding yang bersifat siasat berfungsi untuk mengembangkan
daya berpikir. Sedangkan fungsi yang lain adalah fungsi pedagogik yang mendidik seorang anak,
juga orang dewasa, untuk menjadi orang yang berjiwa sportif. Dari semua fungsi-fungsi itu, dapat
diperas menjadi satu, yaitu apa yang oleh R.E. Herron dan B. Sutton-Smith disebut sebagai
fungsi untuk menyiapkan kanak-kanak agar kelak dapat berpartisipasi dalam kehidupan
masyarakat orang dewasa (1971 : 4)

Banyak sekali hal positif dan nilai baik yang terkandung dalam permainan anak tersebut. 6

Namun saat ini permainan atau nyanyian semacam itu sudah jarang dipraktekan kecuali di acara-
acara tertentu (tak lain ini ada hubungannya dengan pengaruh globalisasi),itupun biasanya pada
acara-acara yang ditampilkan setahun sekali. Contohnya pada pembukaan Seren Taun 22
Rayagung Saka Sunda. Tapi setidaknya meskipun hanya ditampilkan setahun sekali, itu
menandakan bahwa nyanyian-nyanyian tersebut masih tetap dilestarikan oleh masyarakat Sunda.

Anda mungkin juga menyukai