Diketahui benar bahwa kebudayaan Indonesia itu mengandung nilai-nilai etik, estetik dan
artistik yang sungguh agung. Namun dari keagungan nilai-nilai budaya bangsa itu mulai terdesak
dan terlupakan, sementara nilai-nilai yang baru belum terbentuk dengan kokoh dan mantap. Oleh
karena itu, masyarakat seakan-akan kehilangan pegangan dalam menentukan sikap dan tingkah
laku. Hal ini tentunya dapat menimbulkan kebingungan dan pertentangan yang merupakan
hambatan dalam pembangunan kebudayaan nasional Indonesia. Jadi, pengaruh pembangunan
yang tidak dapat dihindari adalah terjadinya pergeseran nilai-nilai yang berlaku pada suatu
masyarakat. Masyarakat menjadi labil karena tidak ada nilai yang bisa dijadikan acuan untuk
mencapai tujuan hidup. Sementara perwujudan kebudayaan nasional yang tunggal dan baku
belum berkembang sepenuhnya, maka sangat dirasakan perlu adanya upaya untuk menanamkan
nilai-nilai budaya kepada masyarakat. Salah satu upaya tersebut adalah pembinaan kebudayaan
daerah melalui pengkajian nilai-nilai budaya yang terkandung dalam kegiatan kehidupan
bermasyarakat. Pembinaan dan pengembangan kebudayaan nasional, harus dimulai dengan
inventarisasi unsur-unsur budaya yang masih bertahan dan hidup dalam masyarakat. Salah satu
unsur budaya yang dianggap masih tetap bertahan adalah folklor lisan dalam bentuk nyanyian
rakyat (Kakawihan Barudak). Adapun tradisi lisan itu berfungsi antara lain sebagai pengkokoh
norma-norma serta nilai nilai budaya yang telah berlaku secara turun-temurun. Norma-norma
serta nilai-nilai budaya itu ditampilkan dengan peragaan secara simbolis dalam bentuk nyanyian
rakyat ini, dilakukan secara riang oleh masyarakat yang mendukungnya, dan dirasakan sebagai
bagian yang integral dan akrab serta komunikatif dalam kehidupan kulturalnya. Pengungkapan
6
kakawihan barudak yang banyak mengandung simbol ini merupakan suatu cara yang dapat
mempercepat terjadinya sosialisasi. Juga, terkandung di dalamnya ungkapan-ungkapan emosional
yang merangsang terciptanya kekukuhan norma dan nilai yang bersifat kohesif di antara para
pendukungnya.
Berkaitan dengan pernyataan di atas, apalagi lebih diperparah lagi oleh hiruk pikuknya
lalu-lintas teknologi informasi yang begitu mengglobal sekarang ini, masyarakat kita termasuk
salah satu yang tidak bisa berbuat banyak. Salah satunya yang dirasakan sangat terpuruk adalah
Elda Cipta Dwiliansyah 14/369631/SA/17637 Esai Folklore
dunia anak-anak (telah lama para orang tua, pendidik serta mereka pemerhati dunia anak-anak
melontarkan keprihatinan bahwa anak-anak sedang kehilangan dunianya). Maksudnya
keprihatinan yang dirasakannya itu bila dibandingkan dengan dunia orang tua mereka tempo
dulu. Buktinya memang sangat nyata dan gamblang bahwa perilaku kehidupan anak-anak
sekarang sudah sangat lain dengan pola kehidupan orang tua mereka semasa kanakkanan.
Menurut pengamatan dan penilaian berbagai pihak, perilaku kehidupan anak terutama dalam
bermain, sekarang ini tidak mendidik dan cenderung ke arah sikap yang konsumtif dan
individualistis. Dari gejala itu, banyak orang yang sepakat bahwa sinyalemen seperti itu memang
tepat adanya. Anak-anak tempo dulu sangat tertantang oleh alam dan lingkungan hidupnya
berada. Mereka memanfaatkan apa yang ada di lingkungannya. Sebagai akibatnya, mereka harus
kreatif, selalu siap menghadapi tantangan dan rintangan yang muncul setiap saat.
Pembahasan
Umumnya dalam permainan anak-anak yang sifatnya rekreatif sangat bertautan dengan
kakawihan barudak. Kakawihan berupa alat yang dimanfaatkan oleh masyarakat agar apa yang
ada dalam di dalam hatinya tidak dimengerti oleh kawan yang ada di luar komunitasnya (bahasa
sandi). Antara permainan dan kakawihan itu merupakan dwitunggal yang tidak bisa dipisahkan.
Umpamanya dalam permainan-perminan anak yang dipentaskan atau ditampilkan saat acara
Seren Taun di daerah Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Di dalam acara Seren Taun yang rutin
dilaksanakan setiap tahun ini, selalu ada penampilan beberapa permainan-permainan anak yang
disebut “Kaulinan Kakawihan Barudak” yang ditampilkan pada saat pembukaan di hari pertama
perayaan Seren Taun.
Urutan gerakan dalam kaulinan barudak atau permainan anak tersebut berdasarkan urutan
kakawihan (nyanyian) yang dinyanyikan, yang pertama adalah nyanyian Jaleu-leu Ja. Gerakan
6
yang dilakukan pada nyanyain pertama adalah menaruh tangan di atas mulut sambil bersahut-
sahutan bergantian atau saling membalas. Apabila beberapa orang serempak menyebutkan
“jaleu-leu..”, maka beberapa orang yang lain akan menyahutnya dengan mengatakan “ja...”,
begitupun seterusnya sampai ahir nyanyian ini tetap bersahut-sahutan.
Nanyian ini konon dibuat saat Tatar Sunda diserang oleh Kerajaan Mataram. Nyanyian
Jaleu-leu Ja pernah ada yang menafsirkan seperti ini:
Elda Cipta Dwiliansyah 14/369631/SA/17637 Esai Folklore
Tidak ada yang tahu pasti makna filosofis dari lagu ini dan mengapa gerakannya seperti
itu, tapi sejak dulu secara turun temurun nyanyian tersebut dilakukan sambil berpegangan tangan.
Mungkin ada makna bahwa berpegangan erat antar kawan itu lebih baik agar bisa bekerja sama
melawan penjajah dan tidak terpisah-pisah.
Nyanyian “Tokecang” juga tak pernah lepas dari kehidupan sehari-hari masyarakat
Sunda. Arti dari Tokecang sendiri menurut sejumlah orang adalah “Tokek Makan Kacang.”
Secara tersurat, nyanyian Tokecang berpesan agar anak-anak tidak membuang makanan atau
menyia-nyiakan makanan begitu saja. Gerakan yang dilakukan dalam permainan anak-anak di
acara Seren Taun adalah mengangkat kedua tangan sambil berjalan, ini menunjukkan bahwa
manusia harus bersyukur.
Pada bagian kelima, ada nyanyian Salam Sabrang yang dinyanyikan dengan tempo lebih
cepat dibanding nyanyian-nyanyian sebelumnya. Gerakan yang dilakukan menepuk-nepukan
tangan ke tangan lawan.
Salam sabrang kadong-dong cina
Abah datang kabina bina nyiuk cai
Kanu tampolong nyebut nyai kanu lolong
Setelah Salam Sabrang ada nyanyian Ayang-ayang Gung yang dinyanyikan sambil
meletakan tangan ke atas pundak (ayang-ayangan), berbaris sejajar. Biasanya merupakan lagu
6
pangantar dalam bermain ucing kuriling atau ucing peungpeun. Kawih atau nyanyian Ayang-
Ayang Gung dapat dikatakan nyanyian yang diwariskan dari generasi ke generasi, termasuk
belajar kawih ini saat bermain dengan teman-teman sebaya, biasanya ada anak yang berusia lebih
tua yang mengajarkan kawih ini sambil melingkar berpegangan tangan.
6
terakhir)
berkaitan dengan kebudayaan lain. Bisa saja karena letak daerahnya berdekatan atau karena latar
belakang sejarah yang hampir sama.
Mengenai makna asli nyanyian-nyanyian Sunda, terkadang orang tidak tahu pasti artinya
apa, tetapi masyarakat Sunda dengan mudahnya mengikuti gerakan dan lirk nyanyian tersebut
yang biasanya mereka peroleh secara turun temurun. Seperti lagu Jaleu-leu Ja yang telah
dipaparkan di atas. Makna nyanyian tersebut hanya sebata pemikiran beberapa orang. Mungkin
saja ada makna lain dari sudut pandang yang lain yang lebih tepat. Seperti yang telah disebutkan
di atas bahwa nyanyian-nyanyian tersebut dulunya merupakan sandi atau bahasa yang hanya
dimengeti oleh komunitasnya.
Kesimpulan
Dilihat dari segi fungsinya, kaulinan barudak dengan kakawihan barudaknya, yang paling
menonjol adalah fungsi rekreatifnya. Fungsi ini menjadi sangat penting bagi petani pedesaan
yang bertempat tinggal di daerah pedalaman yang sangat terpencil dan kurang mempunyai
hiburan yang lain kecuali permainan dan kegiatan kesenian. Fungsi yang lain adalah sebagai
media belajar. Hal ini penting terutama bagi anak-anak. Permainan bertanding yang bersifat
keterampilan fisik, misalnya, berfungsi mengembangkan kecekatan gerakan otot-otot para
pemain kecil itu. Permainan bertanding yang bersifat siasat berfungsi untuk mengembangkan
daya berpikir. Sedangkan fungsi yang lain adalah fungsi pedagogik yang mendidik seorang anak,
juga orang dewasa, untuk menjadi orang yang berjiwa sportif. Dari semua fungsi-fungsi itu, dapat
diperas menjadi satu, yaitu apa yang oleh R.E. Herron dan B. Sutton-Smith disebut sebagai
fungsi untuk menyiapkan kanak-kanak agar kelak dapat berpartisipasi dalam kehidupan
masyarakat orang dewasa (1971 : 4)
Banyak sekali hal positif dan nilai baik yang terkandung dalam permainan anak tersebut. 6
Namun saat ini permainan atau nyanyian semacam itu sudah jarang dipraktekan kecuali di acara-
acara tertentu (tak lain ini ada hubungannya dengan pengaruh globalisasi),itupun biasanya pada
acara-acara yang ditampilkan setahun sekali. Contohnya pada pembukaan Seren Taun 22
Rayagung Saka Sunda. Tapi setidaknya meskipun hanya ditampilkan setahun sekali, itu
menandakan bahwa nyanyian-nyanyian tersebut masih tetap dilestarikan oleh masyarakat Sunda.