Anda di halaman 1dari 17

TUGAS INDIVIDU

FARMASI KLINIK
“MALARIA “

OLEH:

NAMA : EKA AGUSTIANI


NIM : N014191041
KELAS : FARMASI KLINIK B

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2019
“MALARIA”

A. Pendahuluan
Malaria adalah penyakit mengancam jiwa yang disebabkan oleh
parasit Protozoa genus Plasmodium. Penyakit ini ditularkan ke manusia
melalui gigitan nyamuk Anopheles spesies betina yang bertindak sebagai
vektor. Ada lima spesies Plasmodium sp. yaitu, Plasmodium falciparum,
Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium malariae, dan
plasmodium knowlesi. (kemenkes(2017) menambahkan bahwa penyakit
malaria sudah ada sejak 3000 tahun yang lalu. Penyebab dari penyakit
malaria adalah parasit Plasmodium, sedangkan penularannya pada
manusia diperantarai oleh nyamuk Anopheles betina. Penyakit malaria ini
masih menjadi permasalahan kesehatan yang besar baik di daerah tropis
maupun subtropis seperti di Brasil, Asia Tenggara dan seluruh sub-
Sahara Afrika.( Widoyono (2016))

Menurut WHO (2016) yang baru-baru ini dirilis,


mendokumentasikan kemajuan substansial menuju tingkat kejadian
malaria telah menurun sebesar 41% sejak tahun 2000, dan 21% sejak
tahun 2010. Kematian akibat malaria telah menurun sebesar 61% sejak
tahun 2000, dan 29% sejak tahun 2015. Tujuh belas negara
menghilangkan malaria antara tahun 2000 dan 2015, dengan 13 negara
selanjutnya “mendekati eliminasi. “Data ini mewakili pencapaian yang
signifikan. Namun, tantangan utama tetap ada. Tantangan yang dibahas
dalam World Malaria Report meliputi pengembangan dan penyebaran
resistensi nyamuk terhadap insektisida, resistensi terhadap artemisinin
dan obat pasangannya.

Pemerintah memandang malaria masih sebagai ancaman terhadap


status kesehatan masyarakat terutama pada rakyat yang hidup di daerah
terpencil. Hal ini tercermin dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden
Nomor: 2 tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Naional tahun 2015 - 2019 dimana malaria termasuk penyakit prioritas
yang perlu ditanggulangi. Salah satu tantangan terbesar dalam upaya
pengobatan malaria di Indonesia adalah terjadinya penurunan efikasi
pada penggunaan beberapa obat anti malaria, bahkan terdapat resistensi
terhadap klorokuin. Hal ini dapat disebabkan antara lain oleh karena
penggunaan obat anti malaria yang tidak rasional. Sejak tahun 2004 obat
pilihan utama untuk malaria falciparum adalah obat kombinasi derivat
Artemisinin yang dikenal dengan Artemisinin- based Combination Therapy
(ACT). Kombinasi artemisinin dipilih untuk meningkatkan mutu
pengobatan malaria yang sudah resisten terhadap klorokuin dimana
artemisinin ini mempunyai efek terapeutik yang lebih baik
(Kemenkes.2017)

B. Etiologi
Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh protozoa darah
yang termasuk ke dalam genus Plasmodium. Plasmodium ini merupakan
protozoa obligat intraseluler. Pada manusia terdapat 4 spesies yaitu
Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae dan
Plasmodium ovale. Penularan pada manusia dilakukan oleh nyamuk
betina Anopheles ataupun ditularkan langsung melalui transfusi darah
atau jarum suntik yang tercemar serta dari ibu hamil kepada janinnya.
(Kemenkes: 2017)

Malaria vivax disebabkan oleh P. vivax yang juga disebut juga sebagai
malaria tertiana. P. malariae merupakan penyebab malaria malariae atau
malaria kuartana. P. ovale merupakan penyebab malaria ovale,
sedangkan P. falciparum menyebabkan malaria falsiparum atau malaria
tropika. Spesies terakhir ini paling berbahaya, Karena malaria yang
ditimbulkannya dapat menjadi berat sebab dalam waktu singkat dapat
menyerang eritrosit dalam jumlah besar, sehingga menimbulkan berbagai
komplikasi di dalam organ-organ tubuh.(Barber, dkk. 2017)
1. Siklus hidup Plasmodium

Gambar 1. Siklus Hidup Plasmodium

Siklus hidup Plasmodium terdiri dari 2, yaitu siklus sporogoni (siklus


seksual) yang terjadi pada nyamuk dan siklus skizogoni (siklus aseksual)
yang terdapat pada manusia. Siklus ini dimulai dari siklus sporogoni yaitu
ketika nyamuk mengisap darah manusia yang terinfeksi malaria yang
mengandung plasmodium pada stadium gametosit (8). Setelah itu
gametosit akan membelah menjadi mikrogametosit (jantan) dan
makrogametosit (betina) (9). Keduanya mengadakan fertilisasi
menghasilkan ookinet (10). Ookinet masuk ke lambung nyamuk
membentuk ookista (11). Ookista ini akan membentuk ribuan sprozoit
yang nantinya akan pecah (12) dan sprozoit keluar dari ookista. Sporozoit
ini akan menyebar ke seluruh tubuh nyamuk, salah satunya di kelenjar
ludah nyamuk. Dengan ini siklus sporogoni telah selesai. (Centers for
Disease Control and Prevention:2015)

Siklus skizogoni terdiri dari 2 siklus, yaitu siklus eksoeritrositik dan


siklus eritrositik. Dimulai ketika nyamuk menggigit manusia sehat.
Sporozoit akan masuk kedalam tubuh manusia melewati luka tusuk
nyamuk (1). Sporozoit akan mengikuti aliran darah menuju ke hati,
sehingga menginfeksi sel hati (2) dan akan matang menjadi skizon (3).
Siklus ini disebut siklus eksoeritrositik. Pada Plasmodium falciparum dan
Plasmodium malariae hanya mempunyai satu siklus eksoeritrositik,
sedangkan Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale mempunyai bentuk
hipnozoit (fase dormant) sehingga siklus eksoeritrositik dapat berulang.
Selanjutnya, skizon akan pecah (4) mengeluarkan merozoit (5) yang akan
masuk ke aliran darahsehingga menginfeksi eritrosit dan di mulailah siklus
eritrositik. Merozoit tersebut akan berubah morfologi menjadi tropozoit
belum matang lalu matang dan membentuk skizon lagi yang pecah dan
menjadi merozoit lagi (6). Diantara bentuk tropozoit tersebut ada yang
menjadi gametosit (7) dan gametosit inilah yang nantinya akan dihisap lagi
oleh nyamuk. Begitu seterusnya akan berulang-ulang terus. Gametosit
tidak menjadi penyebab terjadinya gangguan klinik pada penderita
malaria, sehingga penderita dapat menjadi sumber penularan malaria
tanpa diketahui (karier malaria).(Centers for Disease Control and
Prevention: 2015)

C. Patofisiologi
Gejala malaria timbul saat pecahnya eritrosit yang mengandung parasit.
Demam mulai timbul bersamaan pecahnya skizon darah yang
mengeluarkan macam-macam antigen. Antigen ini akan merangsang
makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan berbagai macam
sitokin, diantaranya Tumor Necrosis Factor (TNF). TNF akan dibawa aliran
darah ke hipothalamus, yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh
manusia. Sebagai akibat demam terjadi vasodilasi perifer yang mungkin
disebabkan oleh bahan vasoaktif yang diproduksi oleh parasit. (Xin-zhuan
dkk.2019)

Limpa merupakan organ retikuloendotelial. Pembesaran limpa


disebabkan oleh terjadi peningkatan jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit,
teraktifasinya sistem retikuloendotelial untuk memfagositosis eritrosit yang
terinfeksi parasit dan sisa eritrsit akibat hemolisis. Anemia terutama
disebabkan oleh pecahnya eritrosit dan fagositosis oleh sistem
retikuloendotetial. Hebatnya hemolisis tergantung pada jenis plasmodium
dan status imunitas penjamu. Anemia juga disebabkan oleh hemolisis
autoimun, sekuentrasi oleh limpa pada eritrosit yang terinfeksi maupun
yang normal dan gangguan eritropoisis. Hiperglikemi dan
hiperbilirubinemia sering terjadi. Hemoglobinuria dan Hemoglobinemia
dijumpai bila hemolisis berat. Kelainan patologik pembuluh darah kapiler
pada malaria tropika, disebabkan kartena sel darah merah terinfeksi
menjadi kaku dan lengket, perjalanannya dalam kapiler terganggu
sehingga melekat pada endotel kapiler karena terdapat penonjolan
membran eritrosit. Setelah terjadi penumpukan sel dan bahan-bahan
pecahan sel maka aliran kapiler terhambat dan timbul hipoksia jaringan,
terjadi gangguan pada integritas kapiler dan dapat terjadi perembesan
cairan bukan perdarahan kejaringan sekitarnya dan dapat menimbulkan
malaria cerebral, edema paru, gagal ginjal dan malobsorsi usus. (Xin-
zhuan dkk.2019)

D. Tanda dan gejala


Gejala dari penyakit malaria tergantung pada imunitas penderita
dan tingginya transmisi infeksi malaria, sedangkan berat ringannya infeksi
dipengaruhi oleh jenis Plasmodium, daerah asal infeksi, umur, dugaan
konstitusi genetik, keadaan kesehatan dan nutrisi, serta kemoprofilaksis
dan pengobatan sebelumnya. Pada dasarnya, terdapat 3 gejala utama
yang spesifik pada malaria (cardinal signs), yaitu demam paroksismal,
anemia, dan splenomegali (Kemenkes.2017)

Masa inkubasi penyakit malaria, bervariasi pada masing-masing


Plasmodium. Sebelum gejala klinis timbul biasanya terdapat gejala
prodromal seperti lesu, sakit kepala, malaise, nyeri sendi dan tulang,
mual, anoreksia, demam ringan, diare ringan, perut tak enak, dan kadang-
kadang terdapat rasa dingin dipunggung. Keluhan prodormal sering terjadi
pada Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale, sedangkan pada
Plasmodium falciparum dan Plasmodium malariae keluhan prodormal
tidak jelas bahkan gejala dapat mendadak (Kemenkes.2017)

Gejala yang klasik yaitu terjadinya Trias Malaria (Malaria


Paroksismal) secara berurutan yaitu (Kemenkes.2017)

a. Periode dingin
Mulai menggigil, kulit dingin dan kering, penderita sering
membungkus diri dengan selimut atau sarung dan pada saat
menggigil sering seluruh tubuh bergetar dan gigi gemertak, pucat
sampai sianosis seperti orang kedinginan, pada anak bisa terjadi
kejang. Periode ini berlangsung 15–60 menit diikuti dengan
meningkatnya temperatur.
b. Periode panas
Muka penderita merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan
panas badan tetap tinggi dapat sampai 40° C atau lebih. Periode ini
lebih lama dapat sampai 2 jam atau lebih, seiring dengan irama
siklus eritrositik kemudian diikuti keadaan berkeringat.
c. Periode berkeringat
Penderita berkeringat mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh,
sampai basah, temperatur turun drastis, penderita merasa capek
dan sering tertidur dengan nyenyak dan setelah bangun tidak ada
keluhan kesuali badan lemah. Stadium ini berlangsung 2-4 jam.
Pada pasien–pasien yang tinggal didaerah endemis malaria, gejala
tersebut tidak khas oleh karena penderita telah mengalami semi
imun. Lebih sering dialami pada malaria klasik, yaitu penderita yang
berasal dari daerah non-endemik atau yang baru pertama kali
menderita malaria. Seluruh rangkaian Trias Malaria berlangsung ±
6-10 jam. Trias malaria lebih sering terjadi pada infeksi Plasmodium
vivax (Kemenkes.2017)
Beberapa keadaan klinik dalam perjalanan infeksi malaria ialah
(WHO.2015):

a. Serangan primer: keadaan mulai dari akhir masa inkubasi


dan mulai terjadi serangan paroksismal yang dapat pendek
atau panjang tergantung dari multiplikasi parasit dan
keadaan immunitas penderita.
b. periode tanpa gejala dan tainfeksi malaria. Biasanya terjadi
diantara dua keadaan paroksismal.
c. Recrudescense: berulangnya gejala klinik dan parasitemia
dalam masa 8 minggu sesudah berakhirnya serangan primer
yang berasal dari stadium eritrositer aseksual yang
perisisten. Dapat terjadi berupa berulangnya gejala klinik
sesudah periode laten dari serangan primer. Hal ini terjadi
pada Plasmodium falciparum dan Plasmodium malariae,
yaitu spesies yang tidak mempunyai stadium hipnozoit.
Disebut juga short term relapse.
d. Recurrence: berulangnya gejala klinik atau parasitemia
setelah 24 minggu berakhirnya serangan primer. Terjadi
disebabkan adanya merozoit yang berasal dari stadium
hipnozoit hati yang aktif kembali. Ini terjadi karena infeksi
Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale. Disebut juga long
term relapse.

Anemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi


malaria. Derajat anemia sangat bervariasi, tergantung jenis parasit
yang menginfeksi dan derajat infeksinya. Beberapa mekanisme
terjadinya anemia adalah pengerusakan eritrosit oleh parasit,
hambatan eritropoiesis sementara, hemolisis karena proses
complement mediated immune complex, eritrofagositosis,
penghambatan pengeluaran retikulosit, dan pengaruh sitokin
(Kemenkes.2017).
Limpa merupakan organ yang penting dalam pertahanan
tubuh terhadap npa parasitemia selama terjadinya infeksi malaria.
Bila terjadi infeksi malaria, splenomegali akan sering dijumpai pula
pada penderita malaria karena peningkatan fungsi sistem
retikuloendotelial. Setelah 3 hari dari serangan infeksi akut limpa
menjadi bengkak, nyeri, dan hiperemis. Mungkin juga dijumpai
gejala kuning (jaundice) disertai pembesaran hepar dan gangguan
faal hepar berupa peningkatan aktifitas enzim SGOT dan SGPT
(Kemenkes.2017).

E. Gambaran Klinis
Untuk menegakkan diagnosis malaria dapat dilakukan beberapa
pemeriksaan, antara lain: (Kemenkes.2017)

1. Pemeriksaan fisik
a. Suhu tubuh aksiler ≥ 37,5 °C
b. Konjungtiva atau telapak tangan pucat
c. Sklera ikterik
d. Pembesaran Limpa (splenomegali)
e. Pembesaran hati (hepatomegali)

2. Pemeriksaan mikroskopis
 Darah
Terdapat dua sediaan untuk pemeriksaan mikroskopis
darah, yaitu sediaan darah hapus tebal dan sediaan darah hapus
tipis. Pada pemeriksaan ini bisa melihat jenis plasmodium dan
stadium stadiumnya. Pemeriksaan ini banyak dan sering
dilakukan karena dapat dilakukan puskesmas, lapangan maupun
rumah sakit. Untuk melihat kepadatan parasit, ada dua metode
yang digunakan yaitu semi-kuantitatif dan kuantitatif. Metode
yang biasa digunakan adalah metode semi-kuantitatif dengan
rincian sebagai berikut:
(-) : SDr negatif (tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB)
(+) : SDr positif 1 (ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB)
(++) : SDr positif 2 (ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB)
(+++): SDr positif 3 (ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB)
(++++): SDr positif 4 (ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB)
Sedangkan untuk metode kuantitatif, pada SDr tebal menghitung
jumlah parasit/200 leukosit dan SDr tipis penghitungannya adalah jumlah
parasit/1000 eritrosit. (Kemenkes.2017)

1. Pulasan Intradermal (Intradermal Smears)

Penelitian di Cina belum lama ini, memperlihatkan bahwa pulasan


dari darah intradermal lebih banyak mengandung stadium
matur/matang dari Plasmodium falciparum daripada pulasan darah
perifer. Penemuan ini bisa menjadi pertimbangan untuk mendiagnosis
malaria berat dengan lebih baik dan akurat. Pulasan ini hasilnya dapat
positif atau dapat juga terlihat pigmen yang mengandung leukosit
setelah dinyatakan negatif pada pulasan darah perifer. Untuk uji
kesensitifitasannya, pulasan intradermal sebanding dengan pulasan
darah dari sumsum tulang yang lebih sensitif dari pulasan darah
perifer.

2. Tes Diagnostik Cepat (Rapid Diagnostic Test)

Metode ini untuk mendeteksi adanya antigen malaria dengan cara


imunokromatografi. Tes ini dapat dengan cepat didapatkan hasilnya,
namun lemah dalam hal spesifitas dan sensitifitas. Secara umum
terdapat 3 macam antigen yang digunakan dalam malaria rapid test,
yaitu histidine rich protein-2 (HRP-2 ), lactate dehydrogenase (LDH),
dan aldolase. HRP-2 merupakan protein yang larut air dan
disekresikan oleh berbagai stadium aseksual dan gametosit muda
P.falciparum. protein ini tidak ditemukan pada spesies plasmodium lain
hingga sangat spesifik untuk menegakan diagnosis P.falciparum.
sedangkan enzim (pLDH dan aldolase) merupakan antigen yang
ditemukan dalam glikolitik pathway parasit malaria, namun sudah
terdapat kit dengan LDH yang spesifik untuk P.vivax yaitu pvLDH.

3. Pemeriksaan dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan


Sequensing DNA

Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada fasilitas yang tersedia.


Pemeriksaan ini penting untuk membedakan antara re-infeksi dan
rekrudensi pada P. falcifarum. Selain itu dapat digunakan untuk
identifikasi spesies Plasmodium yang jumlah parasitnya rendah atau
di bawah batas ambang mikroskopis. Pemeriksaan dengan
menggunakan PCR juga sangat penting dalam eliminasi malaria
karena dapat membedakan antara parasit impor atau indigenous.

Selain pemeriksaan-pemeriksaan diatas juga terdapat


pemeriksaan penunjang lainnya. Pada malaria berat atau malaria
falciparum, terdapat beberapa indikator laboratorium, antara lain:
(Kemenkes.2017)

1. Hipoglikemi (gula darah <40 mg%)


2. Asidosis metabolik (bikarbonat plasma <15 mmol/L).
3. Anemia berat (Hb <5 gr% untuk endemis tinggi, <7gr% untuk
endemis sedang-rendah), pada dewasa Hb<7 gram % atau
hematokrit <15%)
4. Hiperparasitemia (parasit >2 % eritrosit atau 100.000 parasit
/μL di daerah endemis rendah atau > 5% eritrosit atau
100.0000 parasit /μl di daerah endemis tinggi)
5. Hiperlaktemia (asam laktat >5 mmol/L)
6. Hemoglobinuria
7. Gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >3 mg%)
F. Penatalaksanaan Farmakologi
Pengobatan yang diberikan adalah pengobatan radikal malaria
dengan membunuh semua stadium parasit yang ada di dalam tubuh
manusia, termasuk stadium gametosit. Adapun tujuan pengobatan radikal
untuk mendapat kesembuhan klinis dan parasitologik serta memutuskan
rantai penularan. Semua obat anti malaria tidak boleh diberikan dalam
keadaan perut kosong karena bersifat iritasi lambung. Oleh sebab itu
penderita harus makan terlebih dahulu setiap akan minum obat anti
malaria. Dosis pemberian obat sebaiknya berdasarkan berat badan.
(Kemenkes.2017)

Penggolongan obat antimalaria dapat dibedakan menurut cara


kerja obat pada siklus hidup Plasmodium dan berdasarkan struktur kimia
obat.

1. Penggolongan obat malaria berdasarkan cara kerja obat


pada siklus hidup Plasmodium:
a. Obat anti malaria Skizontosida
Menyerang Plasmodia yang hidup di darah. Antimalaria
jenis ini untuk pencegahan dan mengakhiri serangan
klinis. Contoh: Klorokuin, Kuinin, Kuinidin, Meflokuin,
Halofantrin, Sulfonamida, Tetrasiklin, Atovakuon dan
Artemisinin serta turunannya.
b. Obat anti malaria Skizontosida
Jaringan yang membunuh Plasmodia pada fase
eksoeritrositik di hati, mencegah invasi Plasmodia dalam
sel darah. Contoh: Primakuin, Proguanil, Pirimetamin.
c. Obat anti malaria Gametosida
Membunuh stadium gametosit di darah. Contoh:
Primakuin
d. Obat anti malaria Sporontosida.
Obat ini tidak berpengaruh langsung pada gametosit
dalam tubuh manusia tetapi mencegah sporogoni pada
tubuh nyamuk.
Perbedaan mekanisme aksi obat anti-malaria ini sebagai dasar
pengobatan zmalaria secara kombinasi. Pengobatan malaria secara
kombinasi bertujuan untuk meningkatkan efikasi dan memperlambat
perkembangan resistensi obat (Rosenthal, 2015).

2. Penggolongan obat anti malaria berdasarkan struktur kimia


obat
3. Penggolongan obat antimalaria berdasarkan tempat kerja
obat anti malaria pada organel subseluler Plasmodium
(Rosenthal, 2015).

Obat antimalaria memberikan pengaruh pada organel


subseluler Plasmodium dengan mengganggu proses atau
metabolisme pada organel subseluler yang berbeda. Beberapa
mekanisme kerja dan target dari obat anti-malaria adalah sebagai
berikut ini (Rosenthal, 2015):

a. Obat golongan 4-aminokuinolin (klorokuin, amodiakuin)


dan kuinolin metanol (kuinin dan meflokuin) berkonsentrasi
dalam vacoula makanan yang bersifat asam. Obat
golongan ini sangat esensial dalam mengganggu proses
pencernaan hemoglobin oleh parasit dengan jalan
mengadakan interaksi dengan β-hematin atau
menghambat pembentukan hemozoin. Target baru obat
golongan ini adalah menghambat enzim plasmepsin dan
enzim falcipain yang berperan dalam pemecahan globin
menjadi asam amino. Hemozoin dan asam amino
diperlukan untuk pertumbuhan parasit sehingga jika
pembentukan dihambat maka parasit akan mati.
b. Antibiotik seperti azitromisin, doksisiklin, dan klindamisin
Bekerja di dalam organel plastid seperti kloroplas yang
disebut apikoplas. Obat ini menghambat translasi protein
sehingga progeni parasit yang diberi obat mengalami
kematian.
c. Atovakuon dan senyawa lain tertentu menghambat
transport elektron dalam mitokondria dan melalui
penghambatan oksidoreduktase sitokrom C Dalam
mitokondria antifolat mengganggu biosintesis folat de novo
dalam sitosol.
d. Obat anti-malaria Sulfadoksin Pyrimetamin (SP) dan
kombinasi baru Klorproguanil-Dapson (Lapdap)
merupakan inhibitor kompetitif yang berperan dalam jalur
folat.
e. Generasi obat dari Artemisin menghasilkan radikal bebas
yang berfungsi untuk mengalkilasi membran parasit.

G. Penatalaksaan Non Farmakologi


The Center for disease Control and Prevention (CDC)
merekomendasikan hal berikut untuk membantu mencegah merebaknya
malaria). (Centers for Disease Control and Prevention: 2015)

1. Semprotkan atau gunakan obat pembasmi nyamuk di sekitar


tempat tidur.
2. Gunakan pakaian yang bisa menutupi tubuh disaat senja
sampai fajar.
3. Gunakan kelambu di atas tempat tidur, untuk menghalangi
nyamuk mendekat.
4. Jangan biarkan air tergenang lama di got, bak mandi, bekas
kaleng atau tempat lain yang bisa menjadi sarang nyamuk

H. Kesimpulan
Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh protozoa darah
yang termasuk ke dalam genus Plasmodium. Plasmodium ini merupakan
protozoa obligat intraseluler. Pada manusia terdapat 4 spesies yaitu
Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium malariae dan
Plasmodium ovale. Penularan pada manusia dilakukan oleh nyamuk
betina Anopheles ataupun ditularkan langsung melalui transfusi darah
atau jarum suntik yang tercemar serta dari ibu hamil kepada janinnya.
Memiliki siklus hidup Plasmodium terdiri dari 2, yaitu siklus sporogoni
(siklus seksual) yang terjadi pada nyamuk dan siklus skizogoni (siklus
aseksual) yang terdapat pada manusia.

Manifestasi klinis malaria tergantung pada imunitas penderita dan


tingginya transmisi infeksi malaria, sedangkan berat ringannya infeksi
dipengaruhi oleh jenis Plasmodium, daerah asal infeksi, umur, dugaan
konstitusi genetik, keadaan kesehatan dan nutrisi, serta kemoprofilaksis
dan pengobatan sebelumnya.

Di indonesia, malaria masih merupakan masalah kesehatan yang


harus diperhatikan. Di luar jawa dan bali angka morbiditas dan mortalitas
masih tinggi. Ledakan kasus atau wabah yang menimbulkan kematian
juga masih tinggi terutama di daerah transmigrasi yang merupakan
wilayah dengan campuran penduduk dari daerah endemis dan daerah non
endemis. Adapun terapi pengobatan yang dapat digunakan yaitu
diantaranya, untuk malaria falcifarum adalah artemisinin dan deriviatnya,
chinchona alkaloid, meflokuin, balofantrin, sulfadoksinpirimetamin, dan
proguanil. Sedangkan malaria vivax dan malaria ovale, menggunakan
obat anti malaria klorokuin. Namun bila digunakan sebagai terapi radikal
pemberian klorokuin diikuti dengan pemberian primakuin, tidak terkecuali
infeksi yang disebabkan plasmodium malariae, jenis obat klorokuin tetap
digunakan.
DAFTAR PUSTAKA

Barber BE, Rajahram GS, Grigg MJ, William T, Anstey NM. World malaria
report: time to acknowledge Plasmodium knowlesi malaria. Malaria J.
2017;16:135-7.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Malaria. Biology. 2015.
Full text at http://www.cdc.gov/Globalhealth.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Buku Saku


Penatalaksanaan Kasus Malaria. Jakarta.

Su, X., Lane, K. D., Xia, L., Sá, J. M., & Wellems, T. E. (2019). Plasmodium
Genomics and Genetics: New Insights into Malaria Pathogenesis,
Drug Resistance, Epidemiology, and Evolution. Clinical Microbiology
Reviews, 32(4). doi:10.1128/cmr.00019-19

Rosenthal PJ., 2015. Review Antimalarial drug discovery: old and new
approaches, The Journal of Experimental Biology 206:37353744

WHO. 2015. Guidelines For The Treatment Of Malaria.Geneva: World


Health Organization; 2016.

Widoyono. 2016. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &


Pemberantasannya. Kedua ed. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai