PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Anak adalah tumpuan dan harapan orang tua. Anak jugalah yang akanmenjadi penerus
bangsa ini. Sedianya, wajib dilindungi maupun diberikan kasih sayang. Namun fakta berbicara
lain. Maraknya kasus kekerasan pada anak sejak beberapa tahun ini seolah membalikkan pendapat
bahwa anak perlu dilindungi. Begitu banyak anak yang menjadi korban kekerasan keluarga,
lingkungan maupun masyarakat dewasa ini.
Pasal 28b ayat 2 menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminas”. Namun apakah
pasal tersebut sudah dilaksanakan dengan benar? Seperti yang kita tahu bahwa Indonesia masih
jauh dari kondisi yang disebutkan dalam pasal tersebut.
Berbagai jenis kekerasan diterima oleh anak-anak, seperti kekerasan verbal, fisik, mental
maupun pelecehan seksual. Ironisnya pelaku kekerasan terhadap anak biasanya adalah orang yang
memiliki hubungan dekat dengan si anak, seperti keluarga, guru maupun teman sepermainannya
sendiri. Tentunya ini juga memicu trauma pada anak, misalnya menolak pergi ke sekolah setelah
tubuhnya dihajar ole gurunya sendiri.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
C. TUJUAN
PEMBAHASAN
Menurut Sutanto (2006) kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa atau anak yang
lebih tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang
seharusnya menjadi tanggung jawab dari orangtua atau pengasuh yang berakibat penderitaan,
kesengsaraan, cacat/kematian.Kekerasan pada anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan
fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak.
Nadia (2004) mengartikan kekerasan anak sebagai bentuk penganiayaan baik fiisk maupun
psikis. Penganiayaan fisik adalah tindakan kasar yang mencelakakan anak dan segala bentuk
kekerasan fisik pada anak yang lainnya.Sedangkan penganiayaan psikis adalah semua tindakan
merendahkan/meremehkan anak.
Lebih lanjut Hoesin (2006) melihat kekerasan anak sebagai bentuk pelanggaran terhadap
hak-hak anak dan dibanyak negara dikategorikan sebagai kejahatan sehingga untuk mencegahnya
dapat dilakukan oleh para petugas hukum.
Sedangkan Patilima (2003) menganggap kekerasan merupakan perlakuan yang salah dari
orangtua. Patilima mendefinisikan perlakuan yang salah pada anak adalah segala perlakuan
terhadap anak yang akibat dari kekerasannya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang
anak, baik secara fisik, psikologi sosial maupun mental.
Lemahnya pengawasan orang tua terhadap anak dalam menonton tv, bermain dll. Hal ini
bukan berarti orang tua menjadi diktator/over protective, namun maraknya kriminalitas di
negeri ini membuat perlunya meningkatkan kewaspadaan terhadap lingkungan sekitar.
Anak mengalami cacat tubuh, gangguan tingkah laku, autisme, terlalu lugu
Kemiskinan keluarga (banyak anak).
Keluarga pecah (broken Home) akibat perceraian, ketiadaan Ibu dalam jangka panjang.
Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidak mampuan mendidik anak, anak
yang tidak diinginkan (Unwanted Child)atau anak lahir diluar nikah.
Pengulangan sejarah kekerasan orang tua yang dulu sering memperlakukan anak-anaknya
dengan pola yang sama
Kondisi lingkungan yang buruk, keterbelakangan
Kesibukan orang tua sehingga anak menjadi sendirian bisa menjadi pemicu kekerasan
terhadap anak
Kurangnya pendidikan orang tua terhadap anak.
1. Kekerasan Fisik
Bentuk kekerasan seperti ini mudah diketahui karena akibatnya bisa terlihat pada tubuh
korban Kasus physical abuse: persentase tertinggiusia 0-5 tahun (32.3%) dan terendah usia 13-15
tahun (16.2%).Kekerasan biasanya meliputi memukul, mencekik, menempelkan benda panas ke
tubuh korban dan lain-lainnya. Dampak dari kekerasan seperti ini selain menimbuBlkan luka dan
trauma pada korban, juga seringkali membuat korban meninggal
Bentuk kekerasan seperti ini sering diabaikan dan dianggap biasa atau bahkan dianggap
sebagai candaan. Kekerasaan seperti ini biasanya meliputi hinaan, makian, maupun
celaan. Dampak dari kekerasaan seperti ini yaitu anak jadi belajar untuk mengucapkan kata-kata
kasar, tidak menghormati orang lain dan juga bisa menyebabkan anak menjadi rendah diri.
Bentuk kekerasan seperti ini juga sering tidak terlihat, namun dampaknya bisa lebih besar
dari kekerasan secara verbal. Kasus emotional abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (28.8%)
dan terendah usia 16-18 tahun (0.9%) Kekerasaan seperti ini meliputi pengabaian orang tua
terhadap anak yang membutuhkan perhatian, teror, celaan, maupun sering membanding-
bandingkan hal-hal dalam diri anak tersebut dengan yang lain, bisa menyebabkan mentalnya
menjadi lemah.Dampak kekerasan seperti ini yaitu anak merasa cemas, menjadi pendiam, belajar
rendah diri, hanya bisa iri tanpa mampu untuk bangkit.
4. Pelecehan Seksual
Bentuk kekerasan seperti ini biasanya dilakukan oleh orang yang telah dikenal anak, seperti
keluarga, tetangga, guru maupun teman sepermainannya sendiri. Kasus pelecehan eksual:
persentase tertinggiusia 6-12 tahun (33%) dan terendah usia 0-5 tahun (7,7%).Bentuk kekerasan
seperti ini yaitu pelecehan, pencabulan maupun pemerkosaan. Dampak kekerasan seperti ini selain
menimbulkan trauma mendalam, juga seringkali menimbulkan luka secara fisik.
(1) diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian materiil maupun
moril sehingga menghambat fungsi sosialnya (Pasal 77);
(2) penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan fisk,
mental, maupun social (Pasal 77);
(3) membiarkan anak dalam situasi darurat, seperti dalam pengusian, kerusuhan, bencana alam,
dan/atau dalam situasi konflik bersenjata (Pasal 78);
(4) membiarkan anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan
terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan,
anakyang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkhohol, psikotropika, dan zat adiktif lainya
(napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, padahal anak tersebut memerlukan
pertolongan dan harus dibantu (Pasal 78);
(5) pengangkatan anak yang tidak sesuai dengan Pasal 39 (Pasal 79);
(6) melakukan kekejaman, kekerasan atau penganiayaan terhadap anak (Pasal 80);
(7) melakukan kekerasan terhadap anak untuk melakukan persetubuhan (Pasal 81)
(8) melakukan kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul (Pasal 82);
(9) memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual (Pasal
83);
(10) melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, secara melawan hukum(Pasal 84);
(11) melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak(Pasal 85);
(12) melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak, tanpa memperhatikan
kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objeknya tanpa
mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, secara melawan hukum (Pasal 85);
(13) membujuk anak untuk memilih agama lain dengan menggunakan tipu muslihat atau
serangkaian kebohongan (Pasal 86);
(14) mengeksploitasi ekonomi dan seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain (Pasal 88);
Dampak kekerasan pada anak yang diakibatkan oleh orangtuanya sendiri atau orang lain
sangatlah buruk antara lain:
1. Agresif.
Sikap ini biasa ditujukan anak kepada pelaku kekerasan. Umumnya ditujukan saat anak
merasa tidak ada orang yang bisa melindungi dirinya. Saat orang yang dianggap tidka bisa
melindunginya itu ada disekitarnya, anak akan langsung memukul datau melakukan tindak agresif
terhadap si pelaku. Tetapi tidak semua sikap agresif anak muncul karena telah mengalami tindak
kekerasan.
2. Murung/Depresi
Kekerasan mampu membuat anak berubah drastis seperti menjadi anak yang memiliki
gangguan tidur dan makan, bahkan bisa disertai penurunan berat badan. Ia akan menjadi anak yang
pemurung, pendiam, dan terlihat kurang ekspresif.
3. Memudah menangis
Sikap ini ditunjukkan karena anak merasa tidka nyaman dan aman dengan lingkungan
sekitarnya. Karena dia kehilangan figur yang bisa melindunginya, kemungkinan besar pada saat
dia besar, dia tidak akan mudah percaya pada orang lain.
Dari semua ini anak dapat melihat bagaimana orang dewasa memperlakukannya
dulu. Ia belajar dari pengalamannya, kemudian bereaksi sesuai dengan apa yang dia alami.
Agar anak terhindar dari bentuk kekerasan seperti diatas perlu adanya pengawasan dari orang tua,
dan perlu diadakannya langkah-langkah sebagai berikut:
Jangan sering mengabaikan anak, karena sebagian dari terjadinya kekerasan terhadap anak
adalah kurangnya perhatian terhadap anak. Namun hal ini berbeda dengan memanjakan
anak.
Tanamkan sejak dini pendidikan agama pada anak. Agama mengajarkan moral pada anak
agar berbuat baik, hal ini dimaksudkan agar anak tersebut tidak menjadi pelaku kekerasn
itu sendiri.
Sesekali bicaralah secara terbuka pada anak dan berikan dorongan pada anak agar bicara
apa adanya/berterus terang. Hal ini dimaksudkan agar orang tua bisa mengenal anaknya
dengan baik dan memberikan nasihat apa yang perlu dilakukan terhadp anak, karena
banyak sekali kekerasan pada anak terutama pelecehan seksual yang terlambat diungkap.
Ajarkan kepada anak untuk bersikap waspada seperti jangan terima ajakan orang yang
kurang dikenal dan lain-lain.
Sebaiknya orang tua juga bersikap sabar terhadap anak. Ingatlah bahwa seorang anak
tetaplah seorang anak yang masih perlu banyak belajar tentang kehidupan dan karena
kurangnya kesabaran orang tua banyak kasus orang tua yang menjadi pelaku kekerasan
terhadap anaknya sendirI
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Joni, Muhammad, (1999) Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak
Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti
Wadong, Maulana Hassan, (2000) Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta:
PT. Gramedia Indonesia, Jakarta 2000