Anda di halaman 1dari 14

AKTUALITA

INDUSTRI GULA RAFINASI DI INDONESIA;


ANALISIS STRUKTUR PASAR DAN KEBIJAKAN
Lely Pelitasari S.

RINGKASAN
Beberapa tahun terakhir industri gula yang pernah menjadi primadona di Indonesia
menunjukkan adanya ketimpangan antara produksi dan konsumsi. Implikasinya adalah terjadi
peningkatan jumlah impor gula dalam jumlah yang cukupsignifikan. Pada sisi lain, seiring
dengan perkembangan ekonomi negara-negara di dunia, konsumsi gula untuk industri
mengalami peningkatan relatif yang lebih tinggi daripada konsumsi rumah tangga. Dalam
konteks kebijakan perdagangan Indonesia, kecenderungan ini direspon antara lain dengan
diaturnya tarif impor bagi gula kristal mentah (raw sugar) dan gula rafinasi (refined sugar)
sebagaibahan pemanis bagi industri. Pada perkembangannya beberapa kebijakan terhadap
gula rafinasi dinilai telah melahirkan realitas yang berbeda dari yang diharapkan dan diduga
akan mengakibatkan distorsi pada industri ini. Dengandasar pemikiran tersebut tulisan ini
disusun untuk menganalisis perkembangan industri ini di Indonesia melalui pendekatan
struktur industri dan kebijakan pemerintah terhadap industri ini dalam kaitannya dengan
kebijakan perlindungan kepentingan petani, konsumen tingkat rumah tanggadan mendorong
persaingan usaha yang sehat antar industri

PENDAHULUAN konsumsi untuk industri. Seiring dengan


pesatnya perkembangan industri makanan
Perkembangan industri gula di dan minuman, kebutuhan gula untuk industri
Indonesia menunjukkan adanya terus meningkat sehingga komposisi konsumsi
ketimpangan antara produksi dalam gula untuk kedua pasar ini perlahan-lahan
negeri dan tingkat konsumsi. Tingkat produksi mengalami pergeseran. Sebelum 1995
hingga tahun 2002 terus menunjukkan tren pangsa konsumsi gula langsung oleh rumah
yang menurun hingga mencapai kisaran 1,7- tangga lebih dari 82%, namun hingga 1999
1,8 juta ton per tahun, sedangkan konsumsi konsumsi gula oleh rumah tangga menurun
terus menunjukkan peningkatan. Dengan rata- menjadi kurang dari 70% (Sumaryanto dkk
rata konsumsi sebesar 15 kg per kapita per dalam Sawit dkk (ed), 1999).
tahun dan jumlah penduduk + 214 juta jiwa,
maka kebutuhan konsumsi mencapai 3,2 juta
Konsumsi gula untuk industri umumnya
ton per tahun (Sawit dalam Lembaga membutuhkan kualifikasi yang lebih tinggi
Penelitian IPB, 2002). Departemen daripada gula untuk konsumsi rumah tangga.
Perdagangan melalu Dirjen Pergangan Dalam Untuk memperoleh gula mutu tinggi bahan
Negeri-nya sebagai-mana yang dikutip oleh baku gula mentah (raw sugar) harus diolah
BUMN-online menyatakan bahwa estimasi dengan proses yang dikenal dengan proses
rafinasi. Proses rafinasi adalah suatu seri
produksi gula dalam negeri tahun 2006
mencapai 2,478 juta ton, sementara pemisahan atau pemurnian untuk meng-
kebutuhan konsumsi diperkirakan sebesar 2,7 hilangkan sekitar 2-4% non sukrosa dari bahan
juta ton (dasar penghitungan konsumsi per baku raw sugar. Proses tersebut melalui
kapita kemungkinan berbeda). beberapa sub proses, yaitu : afinasi, klarifikasi,
filtrasi, dekolorisasi, dan kristalisasi.
Berdasarkan peruntukannya, konsumsi (Hanyokrowati dkk dalam Sawit dkk, 1999).
gula secara umum dibagi atas konsumsi
langsung untuk masyarakat/rumah tangga dan

Edisi No. 46/XV/Januari/2006 PANGAN 63


Kenaikan laju pertumbuhan konsumsi gula, cukup. Artinya jika harus dilakukan impor,
khususnya untuk industri ini tidak diimbangi cukup berupa raw sugar saja sebagai bahan
dengan produksi gula domestik. Akibatnya, baku untuk gula rafinasi.
untuk memenuhi kebutuhan sebesar itu,
Indonesia harus mengimpor gula dalam Analisis ini tidak akan menarik jika pada
akhir November 2004 yang lalu Badan
jumlah yang terus meningkat setiap tahunnya.
Bahkan dalam 5 tahun terakhir jumlah impor Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tidak
memberikan izin investasi kepada 12 industri
gula mencapai 1,5 juta ton. Berdasarkan
pengolah gula rafinasi. Pemberian izin ini
Keputusan Menperindag Nomor 527/MPP/
dinilai akan membuat pasokan gula rafinasi
Kep/9/2004 jenis gula yang boleh diimpor berlebihan karena dengan tujuh pabrik gula
terdiri dari Gula adalah Gula Kristal Mentah/
rafinasi yang ada saat ini saja jumlah
Gula Kasar' (Raw Sugar), Gula Kristal produksinya telah mencukupi kebutuhan.
Rafinasi' (Refined Sugar), dan Gula Kristal
Dalam konteks persaingan usaha, kebijakan
Putih3 (Plantation White Sugar). Gula kristal
ini sebenarnya positif untuk menstimulir pasar
mentah/gula kasar dan gula kristal rafinasi
agar mengarah pada harga yang kompetitif,
hanya dapat diimpor oleh perusahaan yang namun pada sisi lain adanya kekhawatiran
diakui sebagai Importir Produsen (IP). bocornya gula rafinasi ke pasar non industri
Sedangkan Gula Kristal Putih dapat diimpor sebagai akibat dari excess supplyjuga perlu
oleh perusahaan yang tercatat sebagai diperhitungkan. Untuk itu tujuan penulisan
ImportirTerdaftar(IT). Berdasarkan keputusan makalah ini adalah untuk mengkaji industri
tersebut juga izin dan bea masuk khusus impor gula rafinasi dalam kaitannya dengan analisis
raw sugar untuk pabrik gula rafinasi kebijakan pemerintah guna mewujudkan
didasarkan pada pasar atau kerja sama pabrik persaingan usaha yang sehat sekaligus
gula dengan pasar industrinya. Pasar itu melindungi kepentingan masyarakat,
adalah industri minuman, makanan, dan obat- termasuk petani dan pabrik gula dalam negeri.
obatan. Dengan demikian gula jenis itu hanya
dipergunakan sebagai bahan baku untuk
proses produksi dari industri yang dimiliki oleh METODE ANALISIS
IP Gula dan dilarang diperdagangkan maupun Tulisan ini disusun dengan mengunakan
dipindahtangankan, serta dilarang diper metode analisis Structure-Conduct-
dagangkan ke pasar di dalam negeri. Performance (S-C-P). Pendekatan S-C-P
Selama ini kebutuhan gula rafinasi berkisar dikenal dengan dua aliran yaitu SCP School
antara 700.000 ton hingga 800.000 ton. atau Chicago School dan New Economics
Sebelumnya gula sebanyak itu harus diimpor. Industrial Organization (NEIO) (Martin, 1993).
Namun dengan adanya tujuh pabrik gula (PG) Aliran pertama pada dasarnya mengakui
rafinasi yang saat ini telah beroperasr1, maka proses sebab akibat secara linier, dimana SCP
pada 2006 diperkirakan dapat diproduksi School menggarisbawahi bahwa kekuatan
sekitar 1 juta ton dari total kapasitas 1,5 juta pasar yang timbul dari suatu perusahaan
ton gula rafinasi. Dengan demikian, produksi merupakan sumber penyebab buruknya
gula rafinasi dalam negeri sudah lebih dari kinerja pasar sehingga pasar berada pada
kondisi persaingan tidak sempuma. Dengan
1Gula yang cipe'gunakan sebagai bahan baku proses produksi demikian pemerintah perlu mengeluarkan
(termasuk dalam Pos Tarif/HS. 1701.11.00.00 dan
1701.12.00.00) kebijakan untuk membatasi perilaku
1Gula yang dipergunakan sebagai bahan baku proses produksi perusahaan. Sedangkan aliran Chicago
(termasuk dalam Pos rarif/HS.1701.99.11.00 dan School meyakini bahwa sumber terjadinya
1701.99.19.00) dengan kualifikasigulaputih mutt tinggi. Untuk
menghasilkan gula jer.is ini cilakuxan proses rafinasi yang
kekuatan monopoli adalah pemerintah,
merupakan seri pem:sahan ataj pemjrnian untuk sehingga agar tercipta kinerja pasar yang
merghilangkan 2-4% non-sukrosa dari bahan baku rawsugar diinginkan harus diserahkan pada mekanisme
yang meliputi proses : afinasi. klarifikasi. filtrasi, dekolorisasi pasar.
dan kristalisasi.
3Gulayang dapat dikonsumsi langsungtarpa proses lebih lanjut Adapun pendekatan NEIO merupakan
(termasuk dalam Pos Tarif/HS. 1701.91.00.00 dan pendekatan yang anti linier dan berpendapat
1701.99.90.00)
* PT Indolampung Perkasa. PT Sweet Irdolanpung. PT Jawa bahwa jika pendekatan hanya memperhatikan
Manis. PT Ange:s Products. PT Sentra Usahatama Jaya. FT satu arah saja, misalnya struktur mem
Dharmapala Usaha Sukses Can PT Permata Bumi Kencana pengaruhi perilaku dan perilaku mem-

64 PANGAN Edisi No. 46/XV/Januari/2006


pengaruhi kinerja, maka dianggap tidak cukup bersifat efsien. Di sisi lain, pasar yang bersifat
memadai. Sulit untuk menentukan faktor mana monopoli hanya dilayani oleh seorang penjual,
yang bersifat ekstemal dan faktor mana yang yang menentukan tingkat harga dan jumlah
sifatnya internal dari suatu perusahaan karena output yang akan dilempar ke pasar.
kadang-kadang faktor eksternal bisa menjadi Ada dua indikator kuantitatif yang sering
faktor internal. digunakan untuk menentukan struktur, yaitu
Struktur menunjukkan ukuran atau Rasio Konsentrasi (CR=Consentration Ratio)
distribusi perusahaan dalam pasar. Ukuran dan Indeks Herfindahl (HHI=/-//Vsc/?mar7-
yang biasanya digunakan sebagai indikator HerfmdahlIndex). Metode CR dilakukan untuk
adalah market share dan konsentrasi. Market menghitung market share dari beberapa
share adalah prosentase pangsa dari suatu perusahaan terbesar (biasanya 4 perusahaan
perusahaan terhadap total industri dalam terbesar atau CR4) sehingga dapat ditentukan
pasar yang berkisar antara 0-100%. Market jenis pasar pada industri tersebut.
share diukur antara lain berdasarkan nilai Martin (1993) berpendapatjikaCR4 >40%
penjualan, unit penjualan, unit produksi, maka pasar tersebut bersifat oligopoli.
kapasitas produksi, dll. Dalam konteks ini Sedangkan Shepard (1997) membagi
Martin (1993) menyatakan bahwa pangsa beberapa jenis pasar berdasarkan rasio
pasar pada produk yang terdiferensiasi sebagai berikut:
(differentiated goods) merupakan pangsa
- CR 100% = pure monopoli
pasar efektif yang dihitung sebagai prosentase
pangsa dari perusahaan terhadap output - CR1 > 40% dan tidak ada saingan yang
efektif (bukan output total), sedangkan pada berarti = dominant firm
produk yang homogen dihitung berdasarkan - CR4 > 60% = tight oligopoli
total output. - CR4 < 40% = persaingan efektif
Konsentrasi adalah penjumlahan pasar (effective competition)/
dari perusahaan-perusahaan terbesar loose oligopoli
(umumnya 4 perusahaan). Nilai konsentrasi Secara teknis metode CR mudah
pasar dapat menunjukkan derajat oligopoli. digunakan karena cukup membutuhkan data
Studi empiris yang dilakukan oleh Bain dalam dari sejumlah perusahaan terbesar yang
Firmansyah (2003) menunjukkan adanya diinginkan (4 perusahaan jika CR4, 3
hubungan positif antara entry conditions dan perusahaan jika CR3, dst). Namun
konsentrasi pasar terhadap kekuatan pasar. kelemahannya, metode ini tidak mampu
Semakin tinggi konsentrasi pasar maka menunjukkan ukuran atau kontribusi dari
semakin sulit bagi entrant untuk masuk pasar. masing-masing perusahaan serta kondisi
sehingga kekuatan pasar semakin besar. potensial dan entry.
Faktor-faktor yang menentukan struktur Metode HHI, yang umumnya dikaitkan
industri antara lain dapat dilihat dari jumlah dengan model oligopoli, dihitung dengan
perusahaan, kondisi entry, dan kondisi penjumlahan kuadrat pangsa pasar (S)
permintaan. Dari ketiga faktor tersebut kondisi masing-masing perusahaan dalam industri.
entry merupakan pusat dari paradigma S-C-P Untuk melihat pangsa pasar biasanya didekati
karena hambatan masuk (barrier to entry) antara lain dengan total aset dll.
dijelaskan sebagai kondisi yang disebabkan
oleh pemanfaatan kekuatan pasar (abuse of
power) dari dominant firm untuk membatasi HHI = S. + s2? + s/ + + S
persaingan. Barher to entry mencakup skala
ekonomi, kemampuan memperoleh modal, Kisaran nilai HHI adalah antara 0 dan 1.
akses terhadap bahan baku, diferensiasi Semakinbesarnilai HHI maka pasarsemakin
produk dan keunggulan lain yang dimiliki terkonsentrasi. Nilai HHI = 1 menunjukkan
incumbent, serta sunk cost (Budi. 2005). konsentrasi hanya pada 1 perusahaan
Dalam lingkup pasar persaingan sempurna (monopoli). sedangkan nilai HHI mendekati 0
terdapat banyak penjual dan pembeli, mengindikasikan jumlah perusahaan yang
sehingga tidak satupun yang dapat banyak namun market share masing-masing
mempengaruhi tingkat harga. Artinya pasar perusahaan kecil. Shepard dalam Epakartika

Edisi No. 46/X\7Januai-i/2006 PANGAN 65


(2002) mengkategorikan nilai HHI sebagai 2004. Hasil penghitungan market share ini
berikut : dapat dilihat pada Tabel 1. Dengan per
- HHI < 0,1, artinya pasar tidak timbangan menjaga kerahasiaan responden,
terkonsentrasi/tidak terjadi monopoli identitas kelima perusahaan menggunakan
- 0,1 < HHI < 0,018. artinya pasar cukup inisial A sampai E.
terkonsentrasi Mengacu pada pendapat Martin (1993),
- HHI > 1,8, artinya pasar sangat
hasil perhitungan di atas baru menunjukkan
terkonsentrasi
struktur oligopoli pada CR8, sedangkan
perhitungan CR2 dan CR4 masih menunjuk
Kelebihan metode HHI adalah bisa kan kecenderungan pasar persaingan.
menunjukkan ada tidaknya dominasi dari satu Namun jika mengacu pada pendapat Shepard
atau beberapa perusahaan dalam pasar. (1997) jelas bahwa struktur pasar gula adalah
Namun demikian cara penghitungan yang oligopoli, dilihat dari nilai CR2 dan CR4 yang
membutuhkan data dari seluruh perusahaan < 40% (loose oligopoly) dan CR8 > 40%
dalam industri menjadi satu kelemahan (dominant firm).
metode HHI. Oleh karena itu untuk
mengantisipasinya seringkali dihitung Indeks
Herfindahl minimum yang menggunakan data 2. Jumlah dan Distribusi Pembeli
dari beberapa perusahaan terbesar saja. Konsumen gula rafinasi meliputi industri
makanan, minuman dan obat-obatan.
A. STRUKTUR INDUSTRI Berdasarkan Klasifikasi Lapangan Usaha
Industri (KLUI), dari seluruh industri tersebut
1. Jumlah dan Distribusi Penjual ada 18 jenis industri yang menggunakan gula
Berdasarkan SK Menperindag nomor 527/ rafinasi sebagai salah satu bahan baku. Dilihat
2004 tentang Ketentuan Impor Gula, ijin impor dari prosentase perusahaan besar yang
gula mentah (raw sugar) hanya diberikan meningkat, sementara jumlah seluruh
kepada Importir Produsen (IP)5. Berdasarkan perusahaan dalam industri ini menurun (Tabel
klasifikasi usahanya, IP untuk raw sugar ini 3), sehingga struktur makin menjauh dari
terbagi menjadi IP untuk industri farmasi, pasar persaingan. Artinya semakin memper-
MSG, dan LLysine serta IP untuk industri gula besar peluang pasar yang terkonsentrasi.
rafinasi. Hingga Februari 2005 jumlah Importir Kecenderungan ini sangat dimungkink.an,
Produsen raw sugar yang terdaftar berjumlah karena faktor efisiensi dan ketatriya
11 buah, terdiri dari 6 industri farmasi, MSG persaingan dalam industri ini. Persaingan ini
dan L Lysine, serta 5 pabrik gula rafinasi. Ke- bukan hanya antar industri pengguna gula di
5 pabrik gula rafinasi tersebut adalah : PT dalam negeri, juga dengan industri makanan/
Angels Products, PT Indolampung Perkasa minuman di luar negeri yang memperoleh
dan PT Sweet Indolampung (Sugar Group), peluang lebih besar untuk masuk pasar
PT Jawa Manis, dan PT Sentra Usahatama domestik dengan fasilitas bea masuk 5%.
Jaya. Dilihat dari jumlah tenaga kerja pada 18
Dilihatdari jumlah penjualnya, industri gula jenis industriini, jauh lebih besar dibandingkan
rafinasi ini dapat dikatakan memiliki struktur jumlah tenaga kerja pada seluruh perusahaan
oligopoli. Indikatorterjadinya struktur oligopoli di industri gula rafinasi. Sebagai gambaran
ini diukur dengan perhitungan pangsa pasar jumlah tenaga kerja di industri gula rafinasi
(market share). Pengukuran market share digunakan data statistik industri tahun 2002.
dilakukan melalui perhitungan kapasitas DariTabel4 terlihatbahwa jumlah tenaga kerja
terpasang, jumlah impor raw sugar yang pada 18 industri pengguna gula rafinasi inijauh
direkomendasi oleh Departemen Perindus- lebih besar dibandingkan jumlah tenaga kerja
trian, realisasi jumlah impor raw sugai, pada seluruh perusahaan di industri gula
produksi riil, dan jumlah tenaga kerja dari rafinasi sebanyak 1.339 orang (Tabel 1). Dari
masing-masing perusahaan hingga tahun total jumlah tenaga kerja tersebut. distribusi
terbesar adalah pada industri besar (82,55%).
s importsProdusen adalah perusahaan yang telah memperoleh
rekomendasi dari Departemen Perindustrian can Departemen Hal ini semakin menegaskan signifikannya
Perdagangan untuk melakukan impor raw sugar can peranan perusahaan besar pada industri
mengolahnya menjadi refined sugar makanan/minuman pengguna gula. Oleh

66 PANGAN
Edisi No. 46/XV/Januari/2006
Tabel 1 Marketshare Perusahaan Gula Rafinasi berdasarkan Kapasitas Terpasang, Jumlah Impor
Raw Sugar. Produksi Riii, dan Jumlah Tenaga Kerja tahun 2004.

Dasar A B C D E Total
000 ton 500.00 500.00 270.00 270 00 360.00 1,900.00
(1) S 26.32 26.32 14.21 14.21 18.95 100.00

s? 692.52 692.52 201.94 201.94 359.00 2.147.92


_a
000 ton 100.00 338.00 180.00 280.00 596.0C

(2) S 11.14 37.64 20.04 -


31 18 100.00

s; 124.01 1.416.71 401.78 -


972.22 2,914.72
_a
000 ton 66.51 302.00 72.04 50.00 490.55

(3) S 13.56 61.56 14.69 - 10.19 100.00

s2 183.83 3.79007 215.67 - 103.89 4,293.45


000 ton 130.00 260.00 145.91 148.65 30.00 714.56

(4) S 18.19 36.39 20.42 20.80 4.20 100.00

s2 330.99 1,323.95 416.94 432.77 17.63 2,522.28


Org 400.00 348.00 130.00 132.00 329.00 1,339 00
(5) S 29.87 25.99 9.71 986 24.57 100.00

S2 892.40 67546 94.26 97.18 603.71 2,363.01


(1) Kapasitas Terpasang
;2) Jumlah Impor raw sugar yang direkomendasi Rp 1,52 trilyun, atau masing-masing
(3) Jumlah impor raw sugar riil meningkat 184% dan 127%. Dari jumlah
(4) Produksi Gala Rafinasi tersebut volume impornya meningkat 180%
(5) Jumiah tenaga kerja
dimana nilainya bertambah 131%.
a Perusahaan D tidak melakukan impor raw sugar Dari data dan indikator di atas dapat
disimpulkan bahwa struktur pasar gula rafinasi
adalah pasar oligopoli.
Tabel 2: Rasio Konsentrasi Industri Gula 1998-2001
• ••*• ~,
Tahun CR2 CRT4 CR8 Tabel 3. Jumlah Perusahaan Pengguna Gula
Rafinasi th 1997-2002
-995 0,18 0,26 0.39
1999 0,19 0,29 0.43
Tahun Total PB %PB
2000 0,20 0.33 0,47
2001 0,21 0.33 0,47 1997 1595 405 25,39
Sumber BPS 1998 1680 400 23,81
1999 1651 407 24,65
karena itu dapat dipahami jika aspek
2000 1 335 402 24,59
ketenagakerjaan ini menjadi salah satu faktor
2001 1578 409 25,92
penting yang diungkap oleh sebagian besar
responden industri makanan/minuman dalam 2002 1 585 417 26,26
kaitannya dengan perlindungan dan dasar 2003 494 n.a. n.a.

penyusunan regulasi oleh pemerintah. 2004 502 n a. n.a.


Sumber:BPS (1997-2032). Dep. Perndustrian (2003-2004)
Indikator lain yang juga penting untuk
PB = Perusahaan Besar, n.a. = data tidak tersedia
mengukur jumlah dan distribusi pembeli
adalah jumlah gula rafinasi yang dikonsumsi.
3. Diferensiasi Produk
Dalam periode 1999-2002" jumlah total gula
yang digunakan sebagai bahan baku ke-18 Pengolahan gula mentah (raw sugar)
industri pengguna meningkat dari 285.610 ton menjadi gula rafinasi pada dasarnya ditujukan
pada 1999 dengan nilai Rp 669,49 milyar, terutama untuk menghasilkan gula rafinasi
menjadi 810.596 ton pada 2002 dengan nilai dengan standar mutu industri yang dikenal

Edisi No. 46/XV/Januari/2006 PANGAN 67


Tabel 4. Jumlah Tenaga Kerja pada Industri 4. Kondisi Entry
Makanan/Minuman Pengguna Gula Rafinasi Salah satu kondisi entry yang berpengaruh
Tahun 2002 signifikan adalah barrier to entry (hambatan
2002 bagi entrant untuk masuk ke pasar). Barber
KLUI
to entry mencakup skala ekonomi.
Total PB % PB
kemampuan memperoleh modal, akses
15131 8,786 8,497 9671 terhadap bahan baku, diferensiasi produk dan
15132 477 -
0.00 keunggulan lain yang dimiliki incumbent, serta
15133 950 100 10.53 sunk cost.
15139 358 112 31.28 Bagi industri seperti gula rafinasi, skala
15211 5,706 5,194 91.03 ekonomi dan kemampuan memperoleh modal
15213 2,381 2,102 88.28 dicerminkan antara lain oleh besarnya nilai
15410 44,395 29.556 66.58 investasi, sebagai berikut:
15421 67,873 67,873 100.00 Barrierto entryjuga sangat ditentukan oleh
15423 300 255 85.00 kebijakan pemerintah terhadap industri ini. Di
15424 1,140 341 29.91 Indonesia pihak pemerintah yang berwenang
15429 302 1 73 57.28
mengeluarkan ijin untuk berinvestasi adalah
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
15432 16,125 13,863 85.97
Pada bulan November 2004 yang lalu BKPM
15491 52,401 47,102 89.89
telah mengeluarkan ijin kepada 12 perusahaan
15493 7.614 5,037 56.15
untuk berinvestasi dalam industri gula rafinasi.
15497 9318 8,257 88.61 Dengan demikian. total perusahaan yang telah
15498 2,586 562 21.73 memperoleh ijin berinvestasi dalam industri ini
15499 15,583 9,117 58.51 berjumlah 17 perusahaan.
15540 22 853 15,779 69.05 Faktor lain yang mempengaruhi kondisi
Total 259,148 213,920 82.55 entry adalah akses terhadap bahan baku.
Sumber: BPS (diolanl Bahan baku terbesar dari gula rafinasi adalah
gula mentah (raw sugar) yang hingga saat ini
dengan istilah R1, R2, R3 dan seterusnya. R1 masih harus diimpor dari beberapa negara
adalah gula rafinasi kualitas terbaik dan produsen. Aksesibilitas kelima pabrik gula
digunakan untuk industri dengan kebutuhan rafinasi terhadap bahan baku dilihat juga dari
standar mutu gula yang sangat tinggi, seperti metode pembelian yang dilakukan.
farmasi. Beragamnya kualitas gula rafinasi
Kondisi entry lain adalah keunggulan in
sesuai dengan kebutuhan industri
cumbent dan sunk cost. Bagi industri gula
konsumennya membuat permintaan gula
rafinasi yang mulai beroperasi pada waktu
rafinasi cenderung bersifat inelastis, karena
yang relatif bersamaan, dapat dikatakan tidak
setiap industri konsumen biasanya agak sulit ada keunggulan dari incumbent. Mengingat
mentolerir kualitas gula yang dibutuhkan
untuk komoditas seperti gula rafinasi yang
apabila terjadi perubahan harga.
elastisitasnya relatif rendah dan jumlah
Dibandingkan dengan tebu yang produksinya hari ini masih lebih rendah
menghasilkan banyak produk selain gula. daripada kebutuhan industri, maka hingga
seperti alkohol dan ethanol, pengolahan raw saat ini belum dirasakan adanya kebutuhan
sugar menjadi refined sugar hanya sedikit untuk melakukan brandimage buildingmelalui
memiliki by product (misalnya menjadi iklan misalnya, kecuali ada satu perusahaan
molases), antara lain karena ampas yang yang mengemas gula dengan brand "gulaku".
tersisa dari proses yang dilakukan relatif kecil Hal ini berimplikasi pada sunk cost yang relatif
(<2%). Oleh karena itu secara umum produk rendah untuk komponen yang sifatnya adver
gula rafinasi yang berasal dari raw sugar dapat tisement.
dikatakan tidak terdeferensiasi.
Berdasarkan ciri-ciri dan analisis tersebut
dapat disimpulkan bahwa pasar gula rafinasi
di Indonesia bersifat oligopoli tanpa dominant
firm.

68 PANGAN Edisi No. 46/XV7Januari/2006


Tabel 5. Jumlah dan Nilai Impor Gula Rafinasi dibandingkan dengan Jumlah dan Nilai
Impor Total Gula, 1995-2003

Total Impor Gula Rafinasi


Total Impor Gula
Non farmasi

Tahun Vol (kg) Nilai Vol (kg) Nilai


(000 Rp) (000 Rp)

1995 553.366.424 250.449.919 309.576.344 139.000.579


1996 1.107.738.653 468.365.051 675.986.681 283.912.006
1997 1.188.369.540 431.384.212 572.270.320 229.207.140
1998 972.984.846 349.469.886 68.217.824 21.548.276

1999 2.179.965.288 527.367.941 642.790.594 146.568.283


2000 1.556.687.801 283.108.882 384.401.036 72.069.064
2001 1.284.791.283 237.561.118 111.523.589 21.220.454

2002 970.978.227 .196.011.243 190.571.586 37.417.069

2003 1.490.268.402 330.392.776 184.161.945 43.029.802

B. PERILAKU (CONDUCT) 2. Strategic Behaviour


1. Legal Tactics Salah satu bagian dari strategic behavior
Berdasarkan hasil wawancara (Pelitasari. adalah kebijakan harga. Kebijakan harga
2005) kelima perusahaan menyatakan tidak produk tidak ditentukan antar industri, namun
pernah melakukan kesepakatan dalam lebih banyak dipengaruhi oleh skala ekonomis
pembentukan harga. Harga hanya ditentukan perusahaan yang direfleksikan antara lain
oleh hasil kompromi dengan pembeli/ dengan biaya produksi. Pada tatanan harga
konsumen.
bahan baku (raw sugar), industri gula rafinasi
harus tunduk pada kebijakan pemerintah
Berdasarkan pendekatan institusional, tiga dalam pengaturan tarif (bea masuk) dan harga
dari lima pabrik gula rafinasi tersebut raw sugar di pasar dunia yang relatif sama.
bergabung dalam Asosiasi Gula Rafinasi In Pada akhir maret 2005 harga gula rafinasi di
donesia (AGRI). Dua lainnya tidak turut serta tingkat pabrik berkisar antara Rp 4600 -
karena dinilai memiliki visi, misi dan prinsip Rp 4700 per kg6.
bisnis yang berbeda dengan AGRI, selain
karena perbedaan sumber bahan baku (tebu Bagian dari strategic behavior yang lain
dan raw sugar impor). Jika pendekatan ini adalah iklan (advertising). Sebagai produk
digunakan sebagai salah satu indikator yang tergolong inelastis pada pasar yang
adanya tindakan kolutif antar industri, maka bersifat oligopoli, sebagian besar industri gula
dapat dikatakan telah terjadi legal tactics. rafinasi belum memandang perlu melakukan
advertising, karena seluruh produknya pasti
terserap di pasar. Karena itu biaya advertis-

Tabel 6. Nilai Investasi 5 Industri Gula Rafinasi

Perusahaan Lokasi Pabrik Berdiri/Operasi Nilai Investasi

A Jawa 2001 Rp. 180Milyar


B Jawa 2002/2003 Rp. 690 Milyar
C Luar Jawa 2001 USS 18 Juta
D Luar Jawa 2301 USS 18 Juta
E Jawa 2004/2004 Rp. 310 Milyar
Sumber: Dit. Agro. Depper n S perusahaan ybs (diolah)
' Sumber : Hasil wawancara dengan pihak Oil. Agro Dep.
Peindustrian tgl 24 Ma-et 2005

Edisi No. 46/XV/Januari/2006 PANGAN 69


ing pada industri ini relatif rendah. industri tersebut. Namun jika kebijakan
Bagian lain dari strategic behavior adalah segmentasi pasar gula rafinasi tetap
penelitian (R&D). Sebagian besar biaya diberlakukan hanya bagi kepentingan industri
penelitian dalam pabrik gula rafinasi lebih sebagai bahan baku, maka perkembangan ini
ditujukan bagi pengembangan teknologi pada gilirannya akan mencapai titik jenuh.
pengolahan daripada penelitian terhadap Akibatnya ada 2 kemungkinan: produk gula
preferensi pasar dan penjajagan diversifikasi rafinasi akan merembes pada konsumen
produk. umum (rumah tangga) sebagai gula konsumsi
langsung, atau perang harga dengan
konsekuensi perusahaan yang tidak efisien
C. KINERJA (PERFORMANCE) akan terancam keluar dari pasar.
1. Profitabilitas
Untuk itu tingkat kemajuan (progressive
Dengan ketersediaan data yang dimiliki, ness) industri gula rafinasi akan sangat
pengukuran profitablitas dilakukan ber tergantung pada kemampuan industri tersebut
dasarkan beberapa referensi dengan melakukan upaya-upaya efisiensi dan
menggunakan beberapa pendekatan seperti: akselerasi terhadap kebutuhan industri
harga raw sugar di pasar internasional, penggunanya. Selain itu faktor yang tidak
perkiraan biaya angkut, termasuk beberapa kalah pentingnya adalah regulasi atau
indikator biaya lainnya. kebijakan pemerintah yang responsif dan
Perhitungan keuntungan di bawah ini mampu menjaga iklim usaha yang sehat dan
didasarkan pada beberapa asumsi dan kondisi kondusif bagi semua stakeholders.
umum sebagai berikut' :
Selisih tersebut merupakan biaya 3. Perkembangan Teknologi
prosesing dan margin perusahaan gula Teknologi pengolahan raw sugar menjadi
rafinasi. Untuk informasi mengenai biaya refined sugar[ems mengalami perkembangan
pengolahan raw sugar ini, Ketua AGRI meskipun beberapa fungsi dasar dan prinsip-
menyatakan bahwa rata-rata biaya prinsip kerjanya tidak jauh berbeda.
pengolahan adalah sebesar US$60-80/MT8. Perbedaan tingkat teknologi umumnya dapat
Jika asumsi ini menjadi acuan, maka terlihat dari kapasitas terpasang yang
keuntungan yang dicapai berkisar USS6-37/ terefleksikan oleh nilai investasi dan jenis-jenis
MT. Tentang profit ini kalangan industri mesin yang digunakan.
pengguna gula rafinasi menilai profit yang
mungkin dicapai jauh lebih besar karena
Aspek lain dari teknologi yang menjadi
adanya berbagai keringanan. fokus bagi industri gula rafinasi adalah
teknologi bahan bakar. Saat ini bahan bakar
Dengan demikian secara umum dapat yang umum digunakan adalah solar yang
dikatakan bahwa tingkat keuntungan industri mengambil porsi terbesar dari komponen
gula rafinasi saat ini cukup tinggi. Jika tingkat biaya produksi (30-35%). Untuk itu upaya-
keuntungan menjadi indikator tingkat efisiensi, upaya untuk menurunkan biaya produksi
maka kinerja perusahaan gula rafinasi saat ini melalui penghematan bahan bakar terus
bisa dikatakan "efisien". dilakukan, antara lain dengan mencari
alternatif bahan bakar seperti batu bara.
2. Progressiveness Secara umum perkembangan teknologi
Berdasarkan perbandingan jumlah pada industri gula rafinasi menunjukkan
produksi, kebutuhan dalam negeri, dan harga kemajuan, meski belum signifikan. Teriebihjika
gula rafinasi yang menarik, industri gula dibandingkan dengan teknologi pada pabrik
rafinasi diperkirakan akan mengalami gula tebu milik PTP misalnya, teknologi pabrik
perkembangan yang cukup signifikan, Hal ini gula rafinasiharus diakuijauh lebih tinggi, lebih
didukung pula oleh regulasi pemerintah saat higienis, dan lebih efisien.
ini yang dinilai sangat kondusif bagi investasi
4. Perspektif Konsumen
' Wawarcara cengan pihakDi;, Agro Dep. Perindustnan tg! 24
Maret 2005 Pengukuran perspektif konsumen
* Wawancara dengan Ketua AGRI di Jakarta, 5 Jjli 2005 dilakukan melalui kuesioner persepsi

70 PANGAN Edisi No. 46/XV/Januari/2006


(Pelitasari, 2005). Mengingat keterbatasan menyatakan kebijakan pemerintah terlalu
dan kendala yang dihadapi dipiiih 5 ketat. Sebaliknya terhadap industri makanan/
perusahaan dan 2 asosiasi perusahaan minuman, 80% responden menyatakan
makanan/minuman sebagai representatif kebijakan pemerintah terlalu mengikat/tidak
industri yang didasarkan pada beberapa menguntungkan industri makanan/minuman
kriteria, misalnya : status kepemilikan, skala dalam kaitannya dengan konsumsi gula
perusahaan, besarnya proporsi gula rafinasi rafinasi lokal dan 20% lainnya menyatakan
dalam produk, jenis produk, dll. Dengan sudah cukup fair.
pertimbangan unsur keterwakilan perusahaan Secara konseptual pengembangan industri
serta misi & visinya, maka dalam gula rafinasi sesungguhnya memperoleh
Tabel 7. Gambaran Biaya Produksi & Margin Industri Gula Rafinasi
melalui Pendekatan Harga Bahan Baku & Biaya Impor per Maret 2005

Komponen Biaya Estimasi Harga Keterangan


- Raw sugar USS 200 - 223 MT FOB
- Freight USS 70/MT Asumsi dari Uni Eropa
- Bea masuk USS 58/MT Asumsi: dari Thailand
- Premium USS 70/MT
- Total (a) USS 398-418/MT Kurs: 1USS = Rp. 9.500,-
- Harga jual (b) Rp. 4.600 - 4.700/kg
(USS 484-495/MT)
- Selisih (b - a) Rp. 629 - 919/kg
(USS 66-97/MT)

penghitungan hasil kuesioner. unsur asosiasi respon positif dari kalangan industri makanan/
memperoleh skor 2,5 kali lebih besar daripada minuman dan mereka tidak berkeberatan
unsurperusahaan. menggunakan gula rafinasi lokal sepanjang
Dari sisi kualitas produk, 80% responden prasyarat pokok terpenuhi, yaitu : kualitas,
menyatakan bahwa kualitas gula rafinasi harga, dan ketersediaan (kontinuitas). Tetapi
produk industri dalam negeri (lokal) masih justru tiga faktor inilah yang saat ini dianggap
lebih rendah daripada kualitas gula rafinasi belum bisa dipenuhi oleh industri gula rafinasi
impor, sehingga tidak memenuhi syarat/ lokal, dimana 80% responden menilai kinerja
kualifikasi yang dibutuhkan Industri. Sebanyak industri gula rafinasi lokal masih perlu
itu pula jumlah responden yang menyatakan ditingkatkan dan faktor-faktor yang paling
ketersediaan gula rafinasi lokal relatif terbatas siginifikan untuk diperbaiki adalah (responden
atau tidak selalu ada pada saat dibutuhkan. boleh memilih >1 faktor) : kualitas (seluruh
Penilaian minor ini tampaknya semakin responden menyatakan "ya" dan 70%
lengkap karena dari aspek harga, 100% diantaranya memilih sebagai prioritas pertama
responden sepakat menyatakan harga gula untuk diperbaiki), harga (disetujui oleh seluruh
rafinasi lokal masih lebih mahal daripada gula responden, 30% diantaranya memilih menjadi
rafinasi impor. Namun demikian ada satu prioritas pertama dan 35% lainnnya memilih
aspek teknis dalam penggunaan gula rafinasi sebagai prioritas kedua), kontinuitas/
dalam negeri, yaitu dari sisi prosedur. dimana ketersediaan antar waktu (dipiiih oleh seluruh
80% responden menyatakan prosedur (ship responden tapi hanya 10% yang memilih
ment, cara pembayaran, dll) pembelian gula sebagai prioritas kedua, 55% memilihnya
rafinasi lokal lebih mudah/sederhana sebagai prioritas ketiga). Adapun faktor-faktor
dibanding pembelian gula rafinasi impor. lainnya, seperti ketepatan jumlah dipiiih oleh
40% responden, prosedur dan regulasi dipiiih
Dalam konteks kebijakan pemerintah, 55%
masing-masing oleh 20% responden.
responden menilai bahwa kebijakan
pemerintah dalam industri gula rafinasi masih Sebagai gambaran profil perusahaan yang
sangat longgar dan sangat menguntungkan menjadi responden dalam kaitannya dengan
industri gula rafinasi. Sebanyak 35% lainnya penggunaan bahan baku. 3 dari 5 perusahaan

Edisi No. 46/XV/Januari/2006 PANGAN


tersebut merupakan perusahaan dengan Pemerintah telah menetapkan bea masuk
kebutuhan gula rafinasi <60.000 ton per tahun, impor gula putih sebesar 20-25 % dengan
sedangkan 2 lainnya membutuhkan gula Surat Keputusan Menteri Keuangan SK No.
rafinasi dalam jumlah 60.000-120.000 ton per 568/KMK.01/1999 tanggal 31 Desember 1999.
tahun. Dari sisi sumber bahan bakunya, 4 dari Namun demikian kebijakan Pemerintah ini
5 perusahaan tersebut menyatakan sebagian belum dapat sepenuhnya menahan laju
gula rafinasi yang digunakan berasal dari masuknya gula putih dari luar sehingga harga
impor dan selebihnya dari industri gula rafinasi gula produksi dalam negeri semakin tertekan.
dalam negeri, dengan komposisi penyerapan Pemerintah kemudian menetapkan kebijakan
gula rafinasi dalam negeri sebesar <10% (2 baru dengan memberiakukan bea masuk tarif
perusahaan) dan 20-50% (2 perusahaan). spesifik Rp 550/kg untuk raw sugar dan Rp
Hanya 1 perusahaan yang menyatakan 790/kg untuk gula putih/rafinasi (white/refined
menggunakan seluruh bahan baku gula sugar). Kebijakan ini berlaku sejak
rafinasinya dari pabrik gula dalam negeri. dikeluarkannya SK Menteri Keuangan no 324/
Alasan yang dikemukakan oleh seluruh KMK.01/2002 tertanggal 3 Juli 2002.
responden yang menggunakan sebagian Keputusan ini kemudian disusul dengan
gulanya dari impor antara lain : harga lebih pemberlakuan tataniaga impor gula yang baru
murah, jumlah gula impor tidak mencukupi sesuai dengan SK Menteri Perindustrian dan
kebutuhan, menjaga stok dan menyeim- Perdagangan No 643/MPP/Kep/9/2002
bangkan kualitas produk, adanya komitmen tanggal 23 September 2002. Tataniaga ini
antar industri, adanya regulasi pemerintah, berupa pembatasan importir raw sugar dan
dan lainnya. refined sugar hanya boleh dilakukan oleh
Meskipun penilaian secara keseluruhan Importir Produsen (IP) gula yang memakai
terhadap industri gula rafinasi dalam negeri gula tersebut sebagai bahan baku untuk
cukup minor, namun kelima perusahaan proses produksi dan industri yang dimiliki oleh
tampaknya masih menyimpan harapan akan IP gula dan dilarang diperjualbelikan maupun
membaiknya kinerja industri tersebut. Hal ini dipindahtangankan. Sedangkan gula putih
tercermin dari jawaban seluruh perusahaan (plantation white sugar) hanya dapat diimpor
responden yang menyatakan siap menyerap jika harga gula putih di tingkat petani mencapai
gula rafinasi lokal jika faktor-faktor yang Rp 3.100/kg dan hanya dilaksanakan oleh
menjadi kelemahan di atas dapat diperbaiki. perusahaan yang ditunjuk sebagai Importir
Saat inipun sesungguhnya kelima perusahaan Terdaftar (IT) gula. Sebagai pelangkap aturan
responden telah melakukan kerjasama tataniaga ini yang tidak kalah pentingnya
dengan industri gula rafinasi dalam negeri, adalah SK Menteri Perdagangan mengenai
paling tidak dengan 1 pabrik gula rafinasi (3 Perdagangan Antar Pulau.
perusahaan), 1 perusahaan lainnya sudah Penelitian ini diarahkan untuk analisis dan
melakukan kerjasama dengan 2 pabrik gula kajian terhadap berbagai produk kebijakan
rafinasi, bahkan ada satu perusahaan yang pemerintah tersebut dari sudut pandang stake
menyatakan bekerjasama dengan seluruh holders, yaitu petani, konsumen rumah
pabrik gula rafinasi. tangga, konsumen industri pengguna gula
rafinasi dalam konteks mendorong persaingan
usaha yang sehat antar industri. Pendekatan
ANALISIS KEBIJAKAN
yang digunakan antara lain melalui wawancara
Pada tahun 1998 telah dilakukan dengan beberapa orang yang dianggap dapat
pembebasan tataniaga gula putih yang mewakili kepentingan setiap stakeholders.
merupakan kesepakatan antara Pemerintah
Indonesia dengan International Monetary
Fund (IMF). Pada kondisi ini produksi gula Kebijakan Perlindungan pada Petani
putih dalam negeri semakin berkurang dan Bagi petani tebu yang direpresentasikan
impor dari berbagai negara semakin oleh APTR (Asosiasi Petani Tebu Rakyat),
meningkat. Untuk menghindari membanjirnya kebijakan pemerintah saat ini dalam
gula impor yang harganya lebih rendah pengembangan industri gula rafinasi maupun
dengan kualitas lebih baik sehingga menekan gula pada umumnya belum dapat dikatakan
gula putih produksi dalam negeri, maka konsisten dan sangat berpotensi menimbulkan

72 PANGAN Edisi No. 46/XV/Januari/2006


iklim usaha yang tidak sehat antar pelaku. pasaran umum, konsumen tingkat rumah
Akibatnya gula rafinasi di pasar menjadi over- tangga dinilai akan terkena dampak, baik
supply dan berpeluang rembes ke pasar positif maupun negatif, dari 'perembesan' ini.
konsumen umum/rumah tangga. Kondisi ini Salah satu temuan di lapangan pada saat
dinilai petani antara lain karena tidak adanya penelitian (Pelitasari. 2005) adalah benar
investigasi pemerintah lebih lanjut terhadap bahwa indikasi 'perembesan' tersebut terjadi,
kapasitas terpasang pabrik gula rafinasi. antara lain dari lokasi penjualan yang tidak
Akibatnya. APTR menilai banyak ijin impor sesuai dengan ketentuan. Demikian juga dari
yang jauh lebih besar daripada kapasitas segi harga, gula rafinasi ini jauh lebih murah
terpasangnya dan banyak raw sugar impor daripada gula putih. Temuan ini setidaknya
yang hanya melalui proses afinasi (pencucian) membuktikan beberapa hal. antara lain bahwa
kemudian langsung masuk pasar umum. dalam hal penegakan aturan mengenai
Pada dasarnya APTR memahami maksud segmentasi pasar pemerintah tidak optimal
pemerintah mengembangkan industri gula melakukan pengawasan di pasar. Selain itu,
rafinasi selama pemerintah bisa mengatur peran distributor sangat menentukan tingkat
tataniaganya dalam upaya menjaga kebocoran gula rafinasi di pasar. Lemahnya
keseimbangan supply dan demand gula pengawasan dari industri gula rafinasi untuk
nasional, dan pemerintah tetap konsisten mengontrol distribusi turut mendorong
dengan segmentasi pasar gula rafinasi hanya terjadinya kebocoran itu. Pada titik inilah
bagi industri besar dan menengah. Namun sebenarnya pemerintah perlu melihat kembali
demikian APTR menganggap bahwa pada efektifitas segmentasi pasar.
satu titik tertentu pemerintah harus memilih Dari sisi konsumen rumah tangga, adanya
satu kebijakan saja. gula rafinasi yang dijual bebas di pasar dengan
Terlepas dari alternatif mana yang dipiiih harga lebih murah daripada gula putih
oleh pemerintah, asosiasi petani berharap memberi peluang untuk melakukan
pemerintah memberikan perlakuan yang penjualan k ?mbali (re-saler) secara eceran,
seimbang kepada stakeholders lain, meskipun tide* tertutup kemungkinan untuk
khususnya petani gula dalam negeri. sehingga dikonsumsi secara langsung. Namun
petani kelak mampu berkompetisi dengan kemungkinan dikonsumsinya gula rafinasi
industri gula rafinasi. Saat ini kebijakan yang secara langsung oleh konsumen ini agak
telah dilakukan pemerintah terhadap petani disangsikan oleh para responden, karena
adalah insentif berupa harga pembelian gula konsumsi juga dipengaruhi oleh faktor lain,
sebesar Rp 4.000/kg dan adanya program seperti selera dan budaya. Karena itu pada
akselerasi produktifitas, sehingga rendemen umumnya responden lebih melihat relevansi
tebu petani bisa meningkat. Akan tetapi konsumen rumah tangga dengan kebijakan
dengan sistem produksi gula yang masih pemerintah dalam industri gula rafinasi adalah
sangat tergantung pada pabrik gula (PTP), pada harga produk akhir berbahan baku gula
maka program tersebut hanya akan menjadi rafinasi. Untuk itu satu hal yang disepakati oleh
angin surga" bagi petani. Untuk itu dibutuhkan sebagian besar responden adalah
kemauan baik pemerintah untuk melakukan mengoptimalkan kapasitas dan kualitas
perbaikan di tingkat pabrik. antara lain dengan produk industri gula rafinasi dalam negeri,
restrukturisasi pabrik gula, termasuk sehingga bisa mencapai kapasitas terpasang
mekanisme penentuan rendemen yang lebih dan kualitas yang sesuai dengan kebutuhan
fair. industri. Dalam kerangka tersebut, pihak
industri gula rafinasi sepakat dengan kebijakan
Kebijakan Perlindungan Konsumen tingkat optimalisasi, namun selama titik optimasi &
Rumah Tangga tingkat ketersediaan gula di dalam negeri
belum tercapai pemerintah diharapkan dapat
Mengacu pada ketentuan pemerintah
menurunkan bea masuk raw sugar dan
mengenai pangsa pasar gula rafinasi. membatasi impor refined sugar, sehingga
semestinya tidak ada keterkaitan langsung dapat mempercepat proses pencapaian
antara konsumen rumah tangga dengan
industri gula rafinasi. Tetapi dengan indikasi 1 Wawncara dgn seorang responden Industri Gula Rafinasi di
'perembesan' distribusi gula rafinasi ke Jakarta. 30 Mei 2005

Edisi No. 46/XV/Januari/2006 PANGAN 73


optimalisasi tersebut.9 kebijakan segmentasi pasar gula rafinasi.
Kebijakan Mendorong Persaingan Usaha Seiring dengan itu kepentingan petani
yang Sehat sebagai produsen gula wajib dilindungi
dengan cara penerapan kuota impor raw
Bagi kalangan industri gula rafinasi
sugar dan refined sugar dengan dasar
kebijakan pemerintah untuk mendorong
perhitungan hasil produksi gula petani.
investasi dinilai sudah cukup fair dan kondusif
dalam menumbuhkan atmosfir persaingan 2. Pemerintah perlu membuka kran investasi
usaha yang sehat. Namun demikian di pasar dalam industri gula rafinasi seluas-luasnya,
gejala persaingan harga sebenarnya mulai sehingga terjadi iklim usaha kompetitif. Jika
terlihat, khususnya dari dua pabrik gula rafinasi perlu. industri gula rafinasi diharuskan
yang produknya beredardi pusat grosir. bekerjasama dengan petani dengan
mengambil bahan baku (raw sugar) dari
Bagi kalangan industri makanan dan
petani.
minuman kebijakan pemerintah dinilai sangat
menguntungkan industri gula rafinasi. Hal ini Pada perkembangan selanjutnya,
dilihat antara lain dari adanya "himbauan" pemerintah memang tampak berusaha
untuk menggunakan gula rafinasi lokal mengakomodir kepentingan industri gula
meskipun harganya lebih tinggi, sementara rafinasi maupun industri konsumennya. Hal ini
pada sisi lain industri makanan/minuman terbukti dengan dikeluarkannya Peraturan
menanggung beban biaya tambahan yang Menteri Keuangan Rl nomor 86/PMK.010/
tidak sedikit. Industri makanan/minuman pada 2005 tentang keringanan tarif bea masuk atas
dasarnya mendukung upaya pemerintah impor gula yang intinya antara lain adalah
mengembangkan industri gula rafinasi lokal. penurunan tarif bea masuk bagi raw sugar
Namun selain adanya kenyataan bahwa menjadi sebesar Rp 250/Kg. Sedangkan bea
industri rafinasi belum siap memenuhi gula masuk refined sugar dan white sugar impor
dengan kuaiifikasi yang dibutuhkan, mereka juga diturunkan menjadi Rp 530/Kg. Kebijakan
juga menilai Pemerintah kurang bijak dan yang menjadi bagian dari Paket Insentif 2005
memahami praktek bisnis yang sebenarnya yang dikeluarkan Kantor Menteri
terjadi. Industri gula rafinasi menyatakan siap Perekonomian ini mulai diberlakukan sejak
menghasilkan produk dengan ICUMSA yang tanggal 1 Oktober 2005. Kebijakan ini
diminta industri (<45 IU), namun beberapa tampaknya cukup efektif meredam potensi
responden industri makanan/minuman menilai konflik khususnya antara industri gula rafinasi
bahwa industri gula rafinasi tidak sungguh- dan industri penggunanya. Namun ironisnya,
sungguh menghasilkan produk yang sesuai di saat kebijakan yang seharusnya memacu
dengan kuaiifikasi industri karena dengan produktifitas gula nasional ini dilakukan dan
ICUMSA saat ini saja produknya sudah pada gilirannya diharapkan dapat menurunkan
terserap di pasar. bahkan dengan harga yang harga gula di tingkat konsumen, justru sejak
lebih tinggi (Pelitasari, 2005). itu pula harga gula merambat naik. Terhitung
sejak bulan November 2005 hingga minggu
Jika visi bisnis semacam ini memang dianut
ke-3 Januari 2006 harga gula dunia bergerak
oleh sebagian besar kalangan industri gula
naik mulai dari US$365 sampai US$412
rafinasi, maka yang menjadi pertanyaan
(FOB). Akibatnya harga di tingkat
kemudian adalah : bagaimana pemerintah
konsumenpun meningkat hingga mencapai Rp
menerapkan standar kualitas produk industri.
6.500/Kg.
gula rafinasi ? apa yang salah dengan
kebijakan pemerintah ? definisi industri mana Dalam situasi semacam ini tampaknya sa-
yang menjadi acuan dalam menentukan ran untuk meninjau ulang kebijakan
segmentasi pasar gula rafinasi ? perlukah segmentasi pasar gula rafinasi perlu
pemerintah meninjau ulang segmentasi pasar memperoleh perhatian serius dari pemerintah.
gula rafinasi ? Salah satu solusi jangka pendek yang mungkin
dapat dilakukan pemerintah adalah
Untuk itu dalam mendorong iklim
memberiakukan sistem buka-tutup bagi
persaingan usaha yang sehat antar kedua
industri rafinasi. Pada saat harga tinggi, gula
industri ini, solusi alternatif yang diajukan oleh
rafinasi bisa dilempar ke pasaran umum
industri makanan/minuman, antara lain :
hingga harga kembali stabil. Setelah itu
1. Pemerintah harus meninjau ulang

74 PANGAN Edisi No. 46/XV/Januari/20()6


kembali pada segmentasi industn pengguna. beberapa perbaikan kualitas dan pelayanan
Namun jika kebijakan ini diberlakukan tentu sebagaimana yang diharapkan, sehingga
harus diikuti dengan sistem pengawasan yang dapat mengurangi ketergantungan pada gula
ketat dan konsisten. rafinasi impor dan menghemat devisa. Pada
Pada dasarnya kebijakan pemerintah gilirannya nanti, ketika pemerintah menghapus
terhadap gula rafinasi bukanlah kebijakan kebijakan impor gula rafinasi semua pihak
tunggal yang hanya terkait dengan industri telah siap mengantisipasi.
gula rafinasi, namun merupakan bagian dari Banyaknya kepentingan stakeholders gula
kebijakan pergulaan nasional. Bagaimana rafinasi tersebut mengharuskan pemerintah
proses alot yang terjadi ketika pemerintah untuk pandai-pandai memainkan peran
akan menetapkan harga penyanggaan sebagai mediator. Dalam jangka panjang
pemerintah sebagai harga patokan/dasargula kebijakan terhadap gula rafinasi harus
beberapa waktu yang lalu menjadi refleksi terintegrasi dalam kebijakan pergulaan, tidak
tingginya kepentingan pada setiap pelaku gula lagi bersifat parsial atau reaktif seperti saat
dalam negeri, baik petani, pabrik gula, industri ini. Untuk itu usulan agar pemerintah
gula rafinasi, industri makanan minuman, menyusuncetakbiru(blueprint)sebagai navi
maupun konsumen. Oleh karena itu ketika gator'bagi pengembangan pergulaan nasional
pemerintah akhirnya sampai pada keputusan perlu didukung seluruh pemangku
menetapkan HDG sebesar Rp 4.800/kg, maka kepentingan, tidak saja dalam konteks
itu dapat dikatakan harga kompromi, pencapaian swasembada gula, namun juga
mengingat usulan yang sebelumnya diajukan dalam upaya menciptakan harmonisasi
adalah antara Rp 4.200 - 5.200 per kg. persaingan usaha sebagai landasan menuju
Awalnya AGRI memang berharap pemerintah era baru industri pergulaan dalam negeri.
menetapkan harga dasar di atas Rp 5.000/kg
untuk menjaga tidak terjadinya selisih harga PENUTUP
yang terlalu besar antara harga gula ex
Dalam perspektif investasi, pengembangan
pabrikan dalam negeri dengan harga gula
rafinasi, selain untuk mengimbangi tingginya industri gula rafinasi patut diapreasiasi sebagai
salah satu terobosan dan alternatif pencapaian
harga gula internasional, namun dengan harga
dasar sebesar itu semestinya petani maupun
upaya swasembada gula. Namun berbagai
industri gula rafinasi relatif terlindungi, tinggal koreksi tentu harus pula dicermati sebagai
bagaimana instrumen harga tersebut mampu bagian dari upaya perbaikan dan penyem-
dikontrol pemerintah sampai ke tingkat eceran
purnaan industri ini. Pada sisi lain sebagai
sehingga dapat dijangkau dengan daya beli industri pemula (infant) tentu sangat
masyarakat. Di atas kertas pada tingkat harga dibutuhkan soliditas yang kuat antar pelaku
industri ini. Karena itu keberadaan Asosiasi
ini petani sudah memperoleh margin sekitar
Gula Rafinasi semestinya dapat dioptimalkan,
10% dari total biaya produksi sebesar Rp
4 400/kg, sementara harga eceran di tingkat baik oleh kalangan industri rafinasi maupun
konsumen diperkirakan sebesar Rp 6.000 pemerintah dan pihak lain yang berkepen-
(untuk Jawa) dan Rp 6.200 (luar Jawa). Pada tingan. Yang juga penting adalah upaya
sisi lain, tingginya harga gula internasional mengkritisi kebijakan pemerintah yang terkait
semestinya menjadi peluang bagi industrigula dengan industri ini harus diikuti dengan solusi
rafinasi untuk memasok gula yang lebih konstruktif dalam bingkai spirit untuk
banyakpada industri penggunanya (makanan/ mengembangkan industri dalam negeri yang
minuman dan farmasi), tentu dengan diikuti sehat dan mandiri. •

Edisi No. 46/XV/Januari/2006 PANGAN 75


DAFTAR PUSTAKA 21 Juni 1997. Serang.
Dewan Gula Indonesia (2004). Kebijakan Pergulaan
BPS. (1997-2002). Statistik Industri Buku Nil. Biro Pusat Terintegrasi DGI Jakarta.
Statistik. Jakarta. Epakarti (2002) Analisis Industri Telekomunikasi Seluler
Budi S, Titi. (2005) Analisis Kebijakan Industri di Indonesia; Pendekatan Organisasi Industri.
Penerbangan Domestik Berjadwal di Indonesia. Fakultas Ekonomi Ul, Jakarta.
Fakultas Ekonomi Ul, Jakarta. Firmansyah,Ade Ferry (2003)Analisa Persaingan Industri
Departemen Keuangan Rl. (2004). Peraturan Menteri Perbankan dan Implikasinya terhadap Kinerja
Keuangan No. 60O/PMK.O10/.2004 tanggal 23 perbankan Pasca Krisis tahun 1997; Studi Kasusu
Desember 2004 tentang Perubahan Klasifikasi dan Bank Mandiri. Fakultas Ekonomi Ui, Jakarta.
Penetapan Kembali TarifBea Masuk Produk-Produk Henderson, J & Quandt, R. (1980). Microeconomic
Pertanian, Perikan, Pertambangan, Farmasi. Theory A Mathematical Approach, third Editon.
Keramikdan Bcsi Baja. Depkeu, Jakarta McGraw-Hill International Book Co., Singapore.
Departemen Perdagangan. (2004). Keputusan Menteri Khudori. (2005) Gula Rasa Neoliberatisme: Pergumulan
Perdagangan RINomor02/MIKep!XIU2004 Tanggal Empat Abad Industri Gula. LP3ES, Jakarta.
7 Desember 2004 Tentang Perubahan Atas Lembaga Penelitian IPB. (2002). Studi Pengembangan
Keputusan MenteriPerindustrian dan Perdagangan Agribisnis Pergulaan Nasional. IPB Press Bogor.
Nomor 527/MPP/Kep/9/2004 Tentang Ketentuan Martin, Stephen. ("993). Industri Economics :
ImporGula Deoartemen Perdagangan Rl, Jakarta. Economics Analysis and Public Policy 2nd Edition.
Departemen Perindustrian dan Perdagangan (2002) Prentice HII, New Jersey.
Keputusan MenteriPerindustriandan Perdagangan Pelitasari S., Lely (1999) Indusatri Gula Rafinasi dan
No. 643/MPP/Kep/9/2002 tanggal 23 September Strategi Kebijakarnya di Indonesia. Fakultas
2002 tentang Tataniaga Impor Gula. Depperindag, Ekonomi Ul, Jakarta
Jakarta. Sawit, H dkk (Ed). (1999). Ekonomi Gula di Indonesia.
Departemen Perindustrian dan Perdagangan. (2004). IPB Press Bogor.
Keputusan Menperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004 Siregar, B. (2006). Artikel-artikel Berita pada BUMN Online
tentang Ketentuan ImporGula. Depperindag, 2004. edisi 13 Februari - 20 April 2006.
Departemen Pertanian. (2003). Ekonomi Gula
Perbandingan Negara-Negara Produsen Dunia
dalam Perspektif Indonesia. Badan Ketaharan
Pangan Departemen Pertanian. Lely Pelitasari S, SP, ME. Kepala Seksi Pangan,
Departemen Pertanian. (2003). Statistik Pertanian 2003. Subdivisi Perdagangan Luar Negeri, Divisi
Pusat Data dan Informasi Pertanian Departemen Perdagangan, Direktorat Pengembangan & IT. Perum
Pertanian.
BULOG. Meryelesaikan S1 (1995) Sosial Ekonomi
Cewan Gula Indonesia (1997). Sambutan Direktur Pertanian. Fak. Pertanian IPB, dan S2 (2005)
Jendaral Perkebunan Departemen Pertanian/ Perencanaan Kebijakan Publik. FE-Universitas
Sekretaris Dewan Gula Indonesia pada peresmian Indonesia.
Pabrik RafinasiGula PT Bermis MaduSejati tanggal

76 PANGAN
Edisi No. 46/XV/Januari/2006

Anda mungkin juga menyukai