Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH GIZI DAN DIET

KEKURANGAN PROTEIN

NAMA : YUDHA DARMA PUTRA

KELAS : D3 KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR

PERIODE 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul kekurangan protein ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada gizi dan diet.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang kekurangan protein bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

i
DAFTAR ISI

Kata pengantar………………………………………………………………………………………………………………….i

Daftar isi ………………………………………………………………………………………………………………………….ii

Bab 1 Pendahuluan…………………………………………………………………………………………………………….1

1.1 latar belakang ……………………………………………………………………………………………………………….1

1.2 rumus masalah ……………………………………………………………………………………………………………..2

1.3 tujuan penulisan ……………………………………………………………………………………………………………2

Bab 2 Pembahasan ……………………………………………………………………………………………………………..3

2.1 definisi kurang energi protein (kep)……………………………………………………………………………….3

2.2 determinan kurang energi protein………………………………………………………………………………….3

2.3 indikator kurang energi protein (kep)……………………………………………………………………………..6

2.4 epidemiologi kurang energi protein…………………………………………………………………………………7

2.5 pencegahan kurang energi protein………………………………………………………………………………….9

2.6 penanggulangan kurang energy protein (kep)………………………………………………………………10

Bab 3 Penutup …………………………………………………………………………………………………………………….14

3.1 kesimpulan ……………………………………………………………………………………………………………………14

3.2 saran……………………………………………………………………………………………………………………………..14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

KEP merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. KEP disebabkan karena defisiensi macro
nutrient (zat gizi makro). Meskipun sekarang ini terjadi pergeseran masalah gizi dari defisiensi macro
nutrient kepada defisiensi micro nutrient, namun beberapa daerah di Indonesia prevalensi KEP masih
tinggi (> 30%) sehingga memerlukan penanganan intensif dalam upaya penurunan prevalensi KEP.

Penyakit akibat KEP ini dikenal dengan Kwashiorkor, Marasmus, dan Marasmic Kwashiorkor.
Kwashiorkor disebabkan karena kurang protein. Marasmus disebabkan karena kurang energi dan
Manismic Kwashiorkor disebabkan karena kurang energi dan protein. KEP umumnya diderita oleh balita
dengan gejala hepatomegali (hati membesar). Tanda-tanda anak yang mengalami Kwashiorkor adalah
badan gemuk berisi cairan, depigmentasi kulit, rambut jagung dan muka bulan (moon face). Tanda-
tanda anak yang mengalami Marasmus adalah badan kurus kering, rambut rontok dan flek hitam pada
kulit.

Adapun yang menjadi penyebab langsung terjadinya KEP adalah konsumsi yang kurang dalam jangka
waktu yang lama. Pada orang dewasa, KEP timbul pada anggota keluarga rumahtangga miskin olek
karena kelaparan akibat gagal panen atau hilangnya mata pencaharian. Bentuk berat dari KEP di
beberapa daerah di Jawa pernah dikenal sebagai penyakit busung lapar atau HO (Honger Oedeem).

Menurut perkiraan Reutlinger dan Hydn, saat ini terdapat ± 1 milyar penduduk dunia yang kekurangan
energi sehingga tidak mampu melakukan aktivitas fisik dengan baik. Disamping itu masih ada ± 0,5
milyar orang kekurangan protein sehingga tidak dapat melakukan aktivitas minimal dan pada anak-anak
tidak dapat menunjang terjadinya proses pertumbuhan badan secara normal.

Di Indonesia masalah kekurangan pangan dan kelaparan merupakan salah satu masalah pokok yang
dihadapi memasuki Repelita I dengan banyaknya kasus HO dan kematian di beberapa daerah. Oleh
karena itu tepat bahwa sejak Repelita I pembangunan pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan
penduduk merupakan tulang punggung pembangunan nasional kita. Bahkan sejak Repelita III
pembangunan pertanian tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan dan meningkatkan
pendapatan petani, tetapi secara eksplisit juga untuk meningkatkan keadaan gizi masyarakat.

1
1.2 RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah akan memberikan gambaran mengenai hal apa saja yang akan dibahas pada bab
selanjutnya adapun rumusan masalah yang akan dibahas ialah :

Apa definisi Kurang Energi Protein (KEP) ?

Apa determinan Kurang Energy Protein (KEP) ?

Apa indikator Kurang Energy Protein (KEP) ?

Bagaimana epidemiologi Kurang Energy Protein (KEP) ?

Bagaimana pencegahan Kurang Energy Protein (KEP) ?

Bagaimana penanggulangan Kurang Energy Protein (KEP) ?

1.3 TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :

Untuk mengetahui dan memahami definisi kurang energy protein (KEP)

Untuk mengetahui dan memahami determinan dari kejadian kurang energy protein

Untuk mengetahui dan memahami apa saja indikator sehingga dikatakan kurang energy protein

Untuk mengetahui keadaan epidemiologi dari kurang energy protein

Untuk mengetahui dan memahami cara pencegahan kejadian kurang energy protein

Untuk mengetahui dan memahami cara penanggulangan kejadian KEP.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI KURANG ENERGI PROTEIN (KEP)

Kurang energi protein (KEP) yaitu seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi
energi protein dalam makan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu sehingga tidak memenuhi
angka kecukupan gizi (AKG). Kurang energy protein merupakan keadaan kuang gizi yang disebakan oleh
rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka
kecukupan gizi (Depkes 1999). KEP itu sendiri dapat digolongkan menjadi KEP tanpa gejala klinis dan KEP
dengan gejala klinis. Secara garis besar tanda klinis berat dari KEP adalah Marasmus, Kwashiorkor, dan
Marasmus-Kwashiorkor.

2.2 DETERMINAN KURANG ENERGI PROTEIN

Sumber : UNICEF (1988) DENGAN PENYESUAIAN

Penyebab langsung adalah asupan gizi dan penyakit infeksi. Timbulnya KEP tidak hanya karena makanan
yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering
menderita diare atau demam, akhirnya akan menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang
makanannya tidak cukup (jumlah dan mutunya) maka daya tahan tubuhnya dapat melemah. Dalam
keadaan demikian akan mudah diserang infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan, dan akhirnya
dapat menderita kurang gizi/gizi buruk.

Penyebab tidak langsung adalah ketahanan pangan tingkat keluarga, pola pengasuhan anak, serta
pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Ketahanan pangan di keluarga (household food
security) adalah kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota
keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu gizinya. Pola pengasuhan adalah
kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian, dan dukungan terhadap
anak agar dapat tumbuh kembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial. Pelayanan
kesehatan dan kesehatan lingkungan, adalah tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehatan
dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan. Ketiga faktor ini saling berhubungan.
Ketiga factor penyebab tidak langsung saling berkaitan dengan tingkat pendidikan,pengetahuan, dan
keterampilan keluarga. Makin tinggi pendidikan, pengetahuan dan keterampilan kemungkinan makin
baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan anak, dan makin banyak keluarga
memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada, demikian juga sebaliknya.

3
Ketahanan pangan keluarga terkait dengan ketersediaan pangan (baik dari hasil produksi sendiri
maupun dari pasar atau sumber lain), harga pangan dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang
gizi dan kesehatan. Sebagai contoh, air susu ibu (ASI) adalah makanan bayi utama yang seharusnya
tersedia di setiap keluarga yang mempunyai bayi. Makanan ini seharusnya dapat dihasilkan oleh
keluarga tersebut sehinggatidak perlu dibeli. Namun tidak semua keluarga dapat memberikan ASI
kepada bayinya oleh karena berbagai masalah yang dialami ibu. Akibatnya, bayi tidak diberikan ASI atau
diberi ASI dalam jumlah yang tidak cukup sehingga harus diberikan tambahan makanan pendamping ASI
(MP-ASI). Timbul masalah apabila oleh berbagai sebab, misalnya kurangnya pengetahuan dan atau
kemampuan, MP-ASI yang diberikan tidak memenuhi persyaratan. Dalam keadaan demikian, dapat
dikatakan ketahanan pangan keluarga ini rawan karena tidak mampu memberikan makanan yang baik
bagi bayinya sehingga berisiko tinggi menderita gizi buruk.

Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya
dengan anak, memberikan makan, merawat, kebersihan, memberi kasih sayang dan sebagainya.
Kesemuanya berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan (fisik dan mental), status gizi,
pendidikan umum, pengetahuan dan keterampilan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam
keluarga atau dimasyarakat, sifat pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga dan masyarakat, dan
sebagainya dari si ibu atau pengasuh anak.

Pelayanan kesehatan, adalah akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan
penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan
persalinan, penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti
posyandu, puskesmas, praktek bidan atau dokter, rumah sakit, dan pesediaan air bersih. Tidak
terjangkaunya pelayanan kesehatan (karena jauh dan atau tidak mampu membayar), kurangnya
pendidikan dan pengetahuan merupakan kendala masyarakat dan keluarga memanfaatkan secara baik
pelayanan kesehatan yang tersedia. Hal ini dapat berdampak juga pada status gizi anak.

Berbagai faktor langsung dan tidak langsung penyebab gizi kurang, berkaitan dengan pokok masalah
yang ada di masyarakat dan akar masalah yang bersifat nasional. Pokok masalah di masyarakat antara
lain berupa ketidakberdayaan masyarakat dan keluarga mengatasi masalah kerawanan ketahanan
pangan keluarga, ketidaktahuan pengasuhan anak yang baik, serta ketidakmampuan memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang tersedia.

Dari pendekatan Blum, kita juga dapat mengetahui factor-faktor seperti apa saja yang terkait langsung
dengan status gizi seorang balita/anak :

STATUS GIZI

1. Yankes :

Banyaknya posyandu yang tidak berfungsi.

Rendahnya pembiayaan kesehatan oleh pemerintah

4
2. Genetik:

Tingginya peyakit infeksi

3. Perilaku :

Konsumsi energi dan protein yang masih kurang mencukupi

4. Lingkungan :

Sanitasi lingkungan yang masih kurang baik.

5. Perilaku :

Ketahanan pangan tingkat rumah tangga yang tidak memadai. Kajian pemantauan konsumsi makanan
tahun 1995 sampai dengan 1998, menyimpulkan 40-50% rumah tangga mengkonsumsi energi kurang
dari 1500 Kkal dan 25% rumah tangga mengkonsumsi protein 32 gram per orang per hari atau
mengkonsumsi <70% dari kecukupan yang dianjurkan. (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi/WKNPG,
2000). Berdasarkan SP 2000, diperkirakan jumlah rumah tangga adalah 51.513.364, berarti masalah
ketahanan pangan melanda 20-25 juta rumah tangga di Indonesia. Walaupun ada perbaikan pada tahun
2003 terhadap ketahanan pangan rumah tangga, kajian ini masih menujukkan rasio pengeluaran pangan
terhadap pengeluaran total keluarga yang masih tinggi. Paling tidak Indonesia masih menghadapi 20%
kabupaten di perdesaan dimana rasio ini masih >75%, dan 63% kabupaten dengan rasio pengeluaran
pangan/non pangan antara 65-75%.

6. Lingkungan :

Kajian kesehatan lingkungan dilakukan dari data Susenas 1996, 1999, dan 2003 dengan menghitung
proporsi rumah tangga yang mempunyai akses air bersih, rumah tangga dengan lantai tanah, dan rumah
tangga tanpa sanitasi. Figure 22 menunjukkan tidak terjadi perubahan yang menyolok dari tahun 1996
ke tahun 2003 hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Pada umumnya rumah tangga di daerah
Indonesia Timur mempunyai kondisi yang lebih buruk dibanding Sumatera dan Jawa. Hampir 40%
rumahtangga di NTB, NTT, Maluku, Papua, dan Sulawesi berkondisi tanpa sanitasi yang memadai. Hanya
di Sumatera ada peningkatan 13% rumah tangga dari tahun 1999 ke tahun 2003 yang mempunyai akses
air bersih.

7. Kependudukan :

Tingginya angka penyakit infeksi yang berkaitan dengan sanitasi, lingkungan, dan pelayanan kesehatan
yang tidak memadai, disertai dengan cakupan imunisasi yang masih belum universal. Penyakit infeksi
penyebab kurang gizi pada balita antara lain ISPA dan diare. Hasil SDKI tahun 1991, 1994 dan 1997
prevalensi ISPA tidak menurun yaitu masing-masing 10%, 10% dan 9%. Bahkan hasil SKRT 2001
prevalensi ISPA sebesar 17%. Sedangkan prevalensi diare SDKI 1991, 1994 dan 1997 juga tidak banyak
berbeda dari tahun ketahun yaitu masing-masing 11%, 12% and 10%; dan hasil SKRT 2001 adalah
sebesar 11%.

5
8. Pelayanan kesehatan :

Cakupan program perbaikan gizi pada umumnya rendah, banyak Posyandu yang tidak berfungsi.
Pemantauan pertumbuhan hanya dilakukan pada sekitar 30% dari jumlah balita yang ada.

Rendahnya pembiayaan untuk kesehatan baik dari sektor pemerintah dan non-pemerintah (tahun 2000:
Rp 147.0/kapita/tahun), demikian juga pembiayaan untuk gizi (tahun 2003: Rp 200/kapita/tahun).

PENYEBAB KEP

Malnutrisi primer adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh asupan protein maupun energi yang
tidak adekuat

Malnutrisi sekunder adalah malnutrisi yang terjadi karena kebutuhan yang meningkat, menurunnya
absorpsi dan/atau peningkatan kehilangan protein maupun energi dari tubuh.

2.3 INDIKATOR KURANG ENERGI PROTEIN (KEP)

KEP berdasarkan kriteria KMS dibedakan menjadi tiga yaitu: (1) KEP ringan, bila berat badan menurut
umut (BB/U) 70%-80% baku median WHO-NCHS dan atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB)
70%-80% baku median WHO-NCHS. (2) KEP sedang, bila berat badan menurut umur (BB/U) 60%-70%
baku median WHO-NCHS dan atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) 60%-70% baku median
WHO-NCHS. (3) KEP berat, bila berat badan menurut umur (BB/U) < 60% baku median WHO-NCHS dan
atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) < 60% baku standar WHO-NCHS.

Manifestasi KEP klinis (WHO,2000):

Manifestasi KEP klinis dapat dibedakan menjadi tiga yaitu marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-
kwashiorkor. Marasmus terjadi bila gizi utama yang kurang adalah kalori atau karbohidrat, sedangkan
kwashiorkor terjadi bila gizi utama yang kurang adalah protein. Sementara itu, marasmic-kwashiorkor
merupakan kombinasi keduanya, yaitu kekurangan kalori dan protein. Adapun gejala klinisnya (KEP
berat) yakni sebagai berikut:

Marasmus

Kwashiorkor

Marasmus-Kwashiorkor

sangat kurus, tampak tulang terbungkus kulit

6
wajah seperti orang tua

cengeng dan rewel

kulit keriput

jaringan lemak sumkutan minimal/tidak ada

sering disertai diare kronik dan penyakit kronik ,tekanan darah dan jantung serta pernafasan kurang.

Edema yang dapat terjadi di seluruh tubuh,

wajah sembab dan membulat

mata sayu

rambut tipis, kemerahan seperti rambut jagung, mudah dicabut dan rontok

cengeng, rewel dan apatis

pembesaran hati, otot mengecil (hipotrofi), bercak merah ke coklatan di kulit dan mudah terkelupas
(crazy pavement dermatosis)

sering disertai penyakit infeksi terutama akut, diare dan anemia.

Gabungan dari marasmus dan kwashiorkor

Gejala klinis KEP ringan

- Pertumbuhan mengurang atau berhenti

- BB berkurang, terhenti bahkan turun

- Ukuran lingkar lengan menurun

- Maturasi tulang terlambat

- Rasio berat terhadap tinggi normal atau menurun

- Tebal lipat kulit normal atau menurun

- Aktivitas dan perhatian kurang

- Kelainan kulit dan rambut jarang ditemukan

2.4 EPIDEMIOLOGI KURANG ENERGI PROTEIN

7
Masalah KEP (Kekurangan Energi dan Protein) di Sulawesi Selatan masih menjadi masalah gizi utama
yang perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius. Menurut hasil Susenas tahun 2003 prevalensi gizi
kurang tingkat nasional adalah 19,19% dan gizi buruk 8,31%. Hasil Survei Gizi Mikro tingkat Sulawesi
Selatan Tahun 2006 menunjukkan balita yang menderita gizi kurang 24,4% dan gizi buruk 9,6% (Dinas
Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, 2006 a). Data dasar kegiatan TGP (Tenaga Gizi Pendamping) tahun
2006 menunjukkan bahwa balita yang menderita gizi kurang sebanyak 18,8% dan gizi buruk 9,7% (Dinas
Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, 2006 b). Jumlah balita yang menderita KEP di Kecamatan
Mangarabombang Takalar tahun 2006 mencapai 33,7%, yaitu gizi buruk 12,5% dan gizi kurang 22,2%
(Dinas kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, 2006).

Negara Gizi kurang

(BB/U <-2SD) (%)

Gizi(pendek-normal)

(TB/U < -2SD) (%)/BBLR(%)

Bangladesh 47.8 44.8 30.0

India 47.0 45.6 25.5

Cambodia 45.9 46.0 8.9

Pakistan 38.2 – 21.4

Myanmar 36.0 37.2 16.0

Vietnam 33.1 36.4 8.9

Srilangka 33.0 17.0 17.0

Indonesia 26.1 45.6 7.7

Thailand 18.6 16.0 7.2

Malaysia 18.3 – –

China 9.6 16.7 5.9

Prevalensi nasional Gizi Buruk pada Balita adalah 5,4%, dan Gizi Kurang pada Balita adalah 13,0%. Secara
nasional, 10 kabupaten/kota dengan prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang pada Balita tertinggi
berturut-turut adalah :

Aceh Tenggara (48,7%), Rote Ndao (40,8%), Kepulauan Aru (40,2%), Timor Tengah Selatan (40,2%),
Simeulue (39,7%),Aceh Barat Daya (39,1%), Mamuju Utara (39,1%), Tapanuli Utara (38,3%), Kupang
(38,0%), dan Buru (37,6%). Sedangkan 10 kabupaten/kota dengan prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang
pada Balita terendah adalah : Kota Tomohon (4,8%),Minahasa (6,0%), Kota Madiun (6,8%), Gianyar

8
(6,8%), Tabanan (7,1%), Bantul (7,4%), Badung (7,5%), Kota Magelang (8,2%), Kota Jakarta Selatan
(8,3%), dan Bondowoso (8,7%).

2.5 PENCEGAHAN KURANG ENERGI PROTEIN

Pelayanan gizi balita KEP pada dasarnya setiap balita yang berobat atau dirujuk ke rumah sakit dilakukan
pengukuran berat badan, tinggi badan dan lila untuk menentukan status gizinya, selain melihat tanda-
tanda klinis dan laboratorium. Penentuan status gizi maka perlu direncanakan tindakan sebagai berikut :

Balita KEP ringan, memberikan penyuluhan gizi dan nasehat pemberian makanan di rumah (bilamana
pasien rawat jalan, dianjurkan untuk memberi makanan di rumah (bayi umur < 4 bulan) dan terus diberi
ASI sampai 3 tahun.

Balita KEP sedang; (a) Penderita rawat jalan : diberikan nasehat pemberian makanan dan vitamin serta
teruskan ASI dan pantau terus berat badannya. (b) Penderita rawat inap : diberikan makanan tinggi
energi dan protein, dengan kebutuhan energi 20-50% diatas kebutuhan yang dianjurkan (angka
kecukupan gizi/AKG) dan diet sesuai dengan penyakitnya.

Balita KEP berat : harus dirawat inap di RS dan dilaksanakan sesuai pemenuhan kebutuhan nutrisinya.

Kegiatan penanggulangan KEP balita meliputi :

Penjaringan balita KEP yaitu kegiatan penentuan ulang status gizi balita beradsarkan berat badan dan
perhitungan umur balita yang sebenarnya dalam hitungan bulan pada saat itu.Cara penjaringan yaitu
balita dihitung kembali umurnya dengan tepat dalam hitungan bulan, balita ditimbang berat badannya
dengan menggunakan timbangan dacin, berdasarkan hasil perhitungan umur dan hasil pengukuran BB
tersebut tentukan status gizi dengan KMS atau standar antropometri.

Kegiatan penanganan KEP balita meliputi program PMT balita adalah program intervensi bagi balita yang
menderita KEP yang ditujukan untuk mencukupi kebutuhan zat gizi balita gar meningkat status gizinya
sampai mencapai gizi baik (pita hijau dalam KMS), pemeriksaan dan pengobatan yaitu pemeriksaan dan
pengobatan untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit penyerta guna diobati seperlunya
sehingga balita KEP tidak semakin berat kondisinya, asuhan kebidanan/keperawatan yaitu untuk
memberikan bimbingan kepada keluarga balita KEP agar mampu merawat balita KEP sehingga dapat
mencapai status gizi yang baik melalui kunjungan rumah dengan kesepakatan keluarga agar bisa
dilaksanakan secara berkala, suplementasi gizi/ paket pertolongan gizi hal ini diberikan untuk jangka
pendek. Suplementasi gizi meliputi : pemberian sirup zat besi; vitamin A (berwarna biru untuk bayi usia
6-11 bulan dosis 100.000 IU dan berwarna merah untuk balita usia 12-59 bulan dosis 200.000 IU); kapsul
minyak beryodium, adalah larutan yodium dalam minyak berkapsul lunak, mengandung 200 mg yodium
diberikan 1x dalam setahun.

9
Balita KEP ringan, memberikan penyuluhan gizi dan nasehat pemberian makanan di rumah (bilamana
pasien rawat jalan, dianjurkan untuk memberi makanan di rumah (bayi umur < 4 bulan) dan terus diberi
ASI sampai 3 tahun.

Balita KEP sedang;

Penderita rawat jalan : diberikan nasehat pemberian makanan dan vitamin serta teruskan ASI dan
pantau terus berat badannya.

Penderita rawat inap : diberikan makanan tinggi energi dan protein, dengan kebutuhan energi 20-50%
diatas kebutuhan yang dianjurkan (angka kecukupan gizi/AKG) dan diet sesuai dengan penyakitnya

1.JANGKA PENDEK

Upaya pelacakan kasus melalui penimbangan bulanan di Posyandu

Rujukan kasus KEP dengan komplikasi penyakit di RSU

Pemberian ASI Eksklusif untuk bayi usia 0-6 bulan

Pemberian kapsul Vit A

Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pemulihan bagi balita gizi buruk dengan lama pemberian 3 bulan

Memberikan makanan Pendamping ASI (MP-ASI) bagi balita keluarga miskin usia 6-12 bulan

Promosi makanan sehat dan bergizi

2. JANGKA MENENGAH

Revitalisasi Posyandu

Revitalisasi Puskesmas

Revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi

3. JANGKA PANJANG

Pemberdayaan masyarakat menuju Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi)

Integrasi kegiatan lintas sektoral dengan program penanggulangan kemiskinan dan ketahanan pangan

2.6 PENANGGULANGAN KURANG ENERGI PROTEIN

Untuk KEP tanpa gejala klinis, secara umum cukup memperbaiki intake makanan yang masuk kedalam
tubuh. Untuk KEP dengan gejala klinis (Marasmus, Kwashiorkor, dan Marasmus-Kwashiorkor) dapat
ditangulangi dengan penatalaksanaan sebagai berikut :

10
Prosedur tetap pengobatan dirumah sakit :

1. Prinsip dasar penanganan 10 langkah utama (diutamakan penanganan kegawatan)

1.1. Penanganan hipoglikemi

1.2. Penanganan hipotermi

1.3. Penanganan dehidrasi

1.4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit

1.5. Pengobatan infeksi

1.6. Pemberian makanan

1.7. Fasilitasi tumbuh kejar

1.8. Koreksi defisiensi nutrisi mikro

1.9. Melakukan stimulasi sensorik dan perbaikan mental

1.10. Perencanaan tindak lanjut setelah sembuh

2. Pengobatan penyakit penyerta

1. Defisiensi vitamin A

Bila ada kelainan di mata, berikan vitamin A oral pada hari ke 1, 2 dan 14 atau sebelum keluar rumah
sakit bila terjadi memburuknya keadaan klinis diberikan vit. A dengan dosis :

* umur > 1 tahun : 200.000 SI/kali

* umur 6 – 12 bulan : 100.000 SI/kali

* umur 0 – 5 bulan : 50.000 SI/kali

Bila ada ulkus dimata diberikan :

· Tetes mata khloramfenikol atau salep mata tetrasiklin, setiap 2-3 jam selama 7-10 hari

· Teteskan tetes mata atropin, 1 tetes 3 kali sehari selama 3-5 hari

· Tutup mata dengan kasa yang dibasahi larutan garam faali

11
2. Dermatosis

Dermatosis ditandai adanya : hipo/hiperpigmentasi, deskwamasi (kulit mengelupas), lesi ulcerasi


eksudatif, menyerupai luka bakar, sering disertai infeksi sekunder, antara lain oleh Candida.

Tatalaksana :

1. kompres bagian kulit yang terkena dengan larutan KmnO4 (K-permanganat) 1% selama 10 menit

2. beri salep atau krim (Zn dengan minyak kastor)

3. usahakan agar daerah perineum tetap kering

4. umumnya terdapat defisiensi seng (Zn) : beri preparat Zn peroral

3. Parasit/cacing

Beri Mebendasol 100 mg oral, 2 kali sehari selama 3 hari, atau preparat antihelmintik lain.

4. Diare melanjut

Diobati bila hanya diare berlanjut dan tidak ada perbaikan keadaan umum. Berikan formula
bebas/rendah lactosa. Sering kerusakan mukosa usus dan Giardiasis merupakan penyebab lain dari
melanjutnya diare. Bila mungkin, lakukan pemeriksaan tinja mikroskopik. Beri : Metronidasol 7.5
mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari.

5. Tuberkulosis

Pada setiap kasus gizi buruk, lakukan tes tuberkulin/Mantoux (seringkali alergi) dan Ro-foto toraks. Bila
positip atau sangat mungkin TB, diobati sesuai pedoman pengobatan TB.

3. Tindakan kegawatan

1. Syok (renjatan)

Syok karena dehidrasi atau sepsis sering menyertai KEP berat dan sulit membedakan keduanya secara
klinis saja.

Syok karena dehidrasi akan membaik dengan cepat pada pemberian cairan intravena, sedangkan pada
sepsis tanpa dehidrasi tidak. Hati-hati terhadap terjadinya overhidrasi.

Pedoman pemberian cairan :

12
Berikan larutan Dekstrosa 5% : NaCl 0.9% (1:1) atau larutan Ringer dengan kadar dekstrosa 5% sebanyak
15 ml/KgBB dalam satu jam pertama.

Evaluasi setelah 1 jam :

§ Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi dan pernapasan) dan status hidrasi ® syok
disebabkan dehidrasi. Ulangi pemberian cairan seperti di atas untuk 1 jam berikutnya, kemudian
lanjutkan dengan pemberian Resomal/pengganti, per oral/nasogastrik, 10 ml/kgBB/jam selama 10 jam,
selanjutnya mulai berikan formula khusus (F-75/pengganti).

§ Bila tidak ada perbaikan klinis ® anak menderita syok septik. Dalam hal ini, berikan cairan rumat
sebanyak 4 ml/kgBB/jam dan berikan transfusi darah sebanyak 10 ml/kgBB secara perlahan-lahan
(dalam 3 jam). Kemudian mulailah pemberian formula (F-75/pengganti)

2. Anemia berat

Transfusi darah diperlukan bila :

Hb < 4 g/dl

Hb 4-6 g/dl disertai distress pernapasan atau tanda gagal jantung

Transfusi darah :

Ø Berikan darah segar 10 ml/kgBB dalam 3 jam.

Bila ada tanda gagal jantung, gunakan ’packed red cells’ untuk transfusi dengan jumlah yang sama.

Ø Beri furosemid 1 mg/kgBB secara i.v pada saat transfusi dimulai.

Perhatikan adanya reaksi transfusi (demam, gatal, Hb-uria, syok). Bila pada anak dengan distres napas
setelah transfusi Hb tetap < 4 g/dl atau antara 4-6 g/dl, jangan diulangi pemberian darah.

13
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Kurang energy protein merupakan keadaan kuang gizi yang disebakan oleh rendahnya konsumsi energi
dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (Depkes 1999).
KEP itu sendiri dapat digolongkan menjadi KEP tanpa gejala klinis dan KEP dengan gejala klinis. Secara
garis besar tanda klinis berat dari KEP adalah Marasmus, Kwashiorkor, dan Marasmus-Kwashiorkor. Ada
banyak faktor yang menyebabkan terjadinya KEP diantaranya Penyebab langsung adalah asupan gizi dan
penyakit infeksi.

Penyebab tidak langsung adalah ketahanan pangan tingkat keluarga, pola pengasuhan anak, serta
pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Indikator KEP dapat dibedakan berdasarkan klasifikasi
BB/U, TB/BB dan TB/B dalam Z skor.Hasil Survei Gizi Mikro tingkat Sulawesi Selatan Tahun 2006
menunjukkan balita yang menderita gizi kurang 24,4% dan gizi buruk 9,6% (Dinas Kesehatan Provinsi
Sulawesi Selatan, 2006. Berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan juga telah digalakkan.

3.2 SARAN

Untuk meminimalisir kejadian kurang energi protein maka diperlukan kerja sama lintas sektor
misalnya dinas kesehatan dan dinas ketahanan pangan untuk saling bekerja sama ataupun melakukan
fortifikasi pangan sehingga energi protein dapat dipenuhi oleh setiap orang. Kemudian pihak orang tua
sebaiknya selalu memantau kondisi pertumbuhan anaknya dan menerapkan program kadarzi (keluarga
sadar gizi).

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier,S.Prinsip Dasar Ilmu Gizi.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Ariesta.2010.Malnutrisi.http://ariestaqyu.student.umm.ac.id/2010/01/29/malnutrisi/. Diakses 8 oktober


2011

Aritonang,Evawany.2004.Kurang Energy Protein.FKM USU. Sumatra Utara

14
Dara Ayu, Sri.2008. Pengaruh program pendampingan gizi Terhadap pola asuh, kejadian infeksi dan
Status gizi balita kurang energi protein.FKM undip. Semarang

Departemen Kesehatan RI. Pedoman Tatalaksana Kekurangan Energi Protein pada Anak di Rumah Sakit
Kabupaten/Kota. Jakarta, 1998.

Kristijono,Anton.2002. Karakteristik Balita Kurang Energi Protein (KEP) yang Dirawat Inap di RSU Dr.
Pirngadi Medan Tahun 1999 – 2000

Saputra, Edwin. 2009. Kejadian KEP. FKM UI. Jakarta

Umiyarni,Dyah.2009.KurangEnergiProtein.http://umiyarni.KEP(kurangenergiproteint/2009/01/29/prese
ntasi/.diakses 8 Oktober 2011

15

Anda mungkin juga menyukai