Anda di halaman 1dari 17

I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat salah satunya dipenuhi oleh konsumsi

susu. Permintaan susu sangat tinggi, namun, produksi susu Indonesia hanya tumbuh
2%. Sapi perah Friesian Holstein merupakan salah satu jenis sapi perah yang

memiliki produksi susu yang tinggi dan banyak dipelihara di Indonesia. Populasi sapi

perah di Jawa Barat berada pada urutan ketiga terbanyak dengan jumlah 119.349 ekor

dari total 550.141 ekor sapi perah yang berada di Indonesia pada tahun 2018 (Badan

Pusat Statistik, 2019).

Perhatian dan ketelitian diperlukan dalam melakukan pemeliharaan pedet

karena kondisi pedet yang rentan terhadap kematian. Tingkat kematian pedet

khususnya pedet sapi perah dari lahir sampai umur 3 bulan memiliki rata-rata 20 %.

Bobot lahir pedet yang rendah, kondisi fisiologis yang tidak normal dan sistem

pemeliharaan yang kurang bagus merupakan salah satu penyebab kematian pedet.

Kebanyakan usaha sapi perah masih terkonsentrasi di daerah berdataran

tinggi. Daerah tinggi ini merupakan tempat konsentrasi usaha sapi perah yang relatif

padat. Namun masih terdapat peluang untuk mengembangkan usaha sapi perah di

dataran sedang. Peluang untuk mengembangan usaha sapi perah di daerah dataran

rendah akan terbuka apabila berbagai kendala yang menghambatnya dapat

ditanggulangi. Faktor suhu dan kelembapan merupakan salah satu masalah dalam
pengembangan usaha pengembangan sapi perah di dataran sedang. Suhu udara yang

relatif tinggi dengan kelembaban udara yang relatif rendah pada umumnya

memberikan dampak negatif terhadap kemampuan berproduksi susu sapi perah.

Tetapi selain faktor suhu dan kelembapan, faktor lingkungan seperti manajemen

pemberian pakan juga mempengaruhi produktivitas dari sapi perah.

Salah satu performa produksi yang dapat diukur adalah status faali, dimana

status faali ini merupakan suatu parameter yang digunakan untuk mengetahui kondisi
atau keadaan kesehatan suatu ternak yang dapat dilakukan dengan percobaan

langsung. Kondisi status faali ternak merupakan indikasi dari kesehatan dan adaptasi

ternak terhadap lingkungannya. Ternak akan selalu beradaptasi dengan lingkungan

tempat hidupnya, apabila lingkungan dengan suhu dan kelembapan yang tinggi dapat

menyebabkan stress (cekaman) karena sistem pengaturan panas tubuh dengan

lingkungannya menjadi tidak seimbang.

Manajemen pemberian pakan merupakan salah satu faktor lingkungan yang

menentukan keberhasilan peternakan sapi perah. Selain itu rekayasa nutrisi dari

manajemen pakan dapat mempengaruhi kondisi fisologis sapi perah. Pakan yang baik

merupakan pakan yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi ternak. Pakan komplit
merupakan bahan pakan ternak seperti rumput, legum, perdu, pohon-pohonan, serta

pakan sisa panen yang dapat disempurnakan untuk meningkatkan kualitas dari pakan

komplit. Pakan tambahan / feed suplement terkadang ditambahkan agar kandungan

nutrisi yang terkandung semakin lengkap dengan tujuan untuk meningkatkan

produksi ternak, membuat status faali ternak menjadi stabil, membantu proses

pencernaan dan absorpsi zat pakan, membantu proses metabolisme, untuk


pencegahan penyakit dan kesehatan ternak, serta memperbaiki kualitas produksi.

Feed suplement pada pakan komplit terdiri dari asam amino essensial bypass, asam

lemak essensial bypass, mineral Zn, Cu, Cr, dan Se organik.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka penulis melakukan penelitian mengenai

“Pengaruh Pemberian Feed Suplement dalam Ransum Lengkap terhadap Status Faali

Pedet Sapi Perah yang Dipelihara di Dataran Sedang”

1.2 Identifikasi Masalah

(1) Adakah pengaruh pemberian feed supplement dalam ransum lengkap

terhadap status faali pedet sapi perah yang dipelihara di dataran sedang.

(2) Perlakuan manakah yang memberikan pengaruh nyata terhadap status faali

pedet sapi perah yang dipelihara di dataran sedang.

1.3 Tujuan Penelitian

(1) Untuk mengetahui pengaruh pemberian feed suplement dalam ransum

lengkap terhadap status faali pedet sapi perah yang dipelihara di dataran

rendah.
(2) Untuk mengetahui perlakuan yang memberikan pengaruh nyata terhadap

status faali pedet sapi perah.

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi ilmiah bagi ilmuwan

dan praktisi peternakan mengenai pengaruh pemberian feed suplement dalam


ransum lengkap terhadap status faali pedet sapi perah yang dipelihara di dataran

rendah.

1.5 Kerangka Pemikiran

Sapi Friesian Holstein adalah sapi yang berasal dari Belanda. Menurut

Sudono dkk., (2003) sapi FH adalah sapi perah yang produksi susunya tertinggi

dibandingkan dengan sapi perah lainnya, disamping itu kadar lemak susunya
rendah. Bobot badan ideal betina dewasa mencapai 682 kg dan jantan dewasa bisa

mencapai 1 000 kg. Produksi rata-rata di Indonesia 10 L ekor-1 atau kurang lebih

30,50 kg laktasi-1 . Potensi produktivitas ternak pada dasarnya dipengaruhi faktor

genetik, lingkungan serta interaksi antara genetik dan lingkungan (Karnaen dan

Arifin 2009). Faktor genetik yang berpengaruh adalah bangsa ternak, sedangkan

faktor lingkungan antara lain pakan, iklim, ketinggian tempat, bobot badan,

penyakit, kebuntingan dan jarak beranak, bulan laktasi serta paritas (Epaphras et

al. 2009).

Potensi produktivitas ternak pada dasarnya dipengaruhi faktor genetik,

lingkungan serta interaksi antara genetik dan lingkungan (Karnaen dan Arifin,
2009). Faktor genetik yang berpengaruh adalah bangsa ternak, sedangkan faktor

lingkungan antara lain pakan, iklim, ketinggian tempat, bobot badan, penyakit,

kebuntingan dan jarak beranak, bulan laktasi serta paritas (Epaphras, et al., 2009).

Ketinggian tempat lokasi usaha peternakan dapat mempengaruhi

penampilan produksi sapi perah. Hasil penelitian Calderon, dkk. (2005)

menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara penampilan produksi


ternak di dataran sedang (daerah panas) dengan di dataran tinggi (daerah dingin).

Perbedaan produktivitas ini berkaitan erat dengan faktor suhu dan kelembaban

udara. Interaksi suhu dan kelembaban udara atau “Temperature Humidity Index”

(THI) dapat mempengaruhi kenyamanan hidup ternak. Sapi perah jenis Friesian

Holstein (FH) akan nyaman pada nilai THI di bawah 72. Apabila interaksi ini

melebihi batas ambang ideal hidup ternak dapat menyebabkan terjadinya

cekaman/stres panas (Dobson, dkk., 2003).


Sapi FH termasuk bangsa sapi yang mempunyai daya tahan terhadap panas

paling rendah, sehingga iklim di daerah pemeliharaan perlu dipertimbangkan.

Cekaman panas dapat mempengaruhi suhu tubuh dan metabolisme, sehingga dapat

menimbulkan terjadinya penimbunan panas dalam tubuh ternak. Penimbunan

panas yang berlangsung terus-menerus akan membuat proses pernapasan tinggi

sehingga kebutuhan oksigen untuk metabolisme juga tinggi. Pakan yang cukup

diperlukan agar dapat mempertahankan pertumbuhan dan produksinya (Ungerer,

1985).

Performa produksi sapi perah tentunya bukan hanya dilihat dari bobot

badan saja, tetapi dapat dilihat dari kondisi fisiologisnya. Adapun salah satunya
adalah status faali, dimana status faali ini merupakan suatu parameter yang

digunakan untuk mengetahui kondisi atau keadaan kesehatan suatu ternak yang

dapat dilakukan dengan percobaan langsung. Pengukuran status faali ini meliputi

frekuensi pernafasan, frekuensi denyut jantung dan suhu tubuh.

Respirasi berfungsi sebagai parameter yang dapat dijadikan pedoman untuk

mengetahui fungsi organ tubuh bekerja secara normal, dimana fungsi utama pada
respirasi yaitu menyediakan oksigen bagi darah dan mengambil karbondioksida

dari darah untuk dikeluarkan (Schmidt, 1997). Dalam aktivitas yang tinggi akan

terjadi kenaikan frekuensi respirasi karena ternak akan mengeluarkan uap panas

melalui udara.

Denyut jantung dalam keadaan normal suaranya berirama, teratur, dan

tetap. Frekuensi detak jantung yang tinggi pada ternak menandakan ternak tersebut

dalam keadaan tidak normal (Akoso,1996). Dalam aktivitas tinggi, maka frekuensi
denyut jantung menjadi meningkat sehingga terjadi fasodilatasi dan pengaliran

darah menjadi lebih cepat.

Suhu tubuh merupakan hasil keseimbangan antara produksi panas dan

pelepasan panas tubuh. Indeks temperatur dalam tubuh dapat dilakukan dengan

memasukkan termometer ke dalam bagian rektum. Beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi temperatur tubuh antara lain bangsa ternak, aktivitas, kondisi

kesehatan, dan kondisi lingkungan ternak (Frandson, 1996).

Manajemen pemberian pakan dalam dalam usaha peternakan sapi perah,

berperan penting untuk peningkatan produksi susu, disamping itu pakan juga untuk

memenuhi kebutuhan hidup pokok (maintenance), pertumbuhan maupun untuk


produksi lainya (anak dan daging). Pemberian pakan dengan kandungan nutrien

yang tidak memadai sangat berpengaruh terhadap berubahnya reproduksi serta

produksi susu sapi perah. Selain itu, akan menyebabkan perubahan fisiologis dari

ternak itu sendiri seperti status faali, dianataranya denyut jantung, frekuensi

pernafasan dan suhu tubuh. (Wina dan Susana, 2013)


Ternak ruminansia yang mengonsumsi PK dengan kualitas baik serta tahan

dari degradasi oleh mikroba akan sangat bermanfaat bagi ternak ruminansia

tersebut. Hasil penelitian Brito dan Broderick (2007), konsumsi pakan dan

produksi susu meningkat secara signifikan dengan pakan mengandung protein

murni dan bukan urea, produksi susu, lemak, dan protein meningkat, masing-

masing sebesar 7,6, 0,22, dan 0,31 kg/hari dengan pemberian pakan protein murni.

Penggunaan protein oleh mikroba dalam rumen sangat tergantung dengan


ketersediaan energi. Kekurangan protein dapat menghambat perkembangan

reproduksi dan produktivitasnya (McDonald dkk., 2011). Protein mikroba rumen

dan protein pakan yang tidak terdegradasi akan masuk dalam usus kemudian

dicerna akan menghasilkan asam amino yang diserap dinding usus dan dibawa

oleh darah menuju ke hati, selanjutnya oleh darah disalurkan ke jaringan tubuh,

salah satunya kelenjar susu untuk membentuk protein susu. Produksi susu dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah faktor pakan (Herawati,

2003).

Kemudian beberapa mineral mikro seperti Zn, Cu, Se, dan Cr tidak kalah

pentingnya untuk ditambahkan sebagai upaya meningkatkan produktivitas sapi


perah. Penyediaan mineral mikro seperti Zn, Cu, Se, dan Cr harus diperhatikan.

Defisiensi Zn dapat menyebabkan parakeratosis pada jaringan usus yang akhirnya

produktivitas ternak menjadi rendah (Kincaid dkk., 1986). Fungsi dari Zn

merupakan kofaktor pada lebih dari 30 enzim yang berperan dalam proses

metabolisme asam nukleat, sistesis protein, dan metabolisme karbohidrat (NRC,

1988). Mineral Cu berperan dalam komponen beberapa enzim, yaitu oksidase


sitokrom, oksidase lisil, seruloplasmin, tironase, dan dismutase (NRC, 2001).

Selenium (Se) memiliki peran sebagai antioksidan, meningkatkan imunitas, dan

reproduksi. Kemudian Cromium (Cr) merupakan unsur mineral yang esensial

karena berhubungan dengan kerja insulin, terlibat dalam metabolism glukosa,

protein, dan lemak (Yang dkk., 1996). Salah satu upaya untuk penyediaan mineral

mikro yaitu penambahan mineral organik. Mineral organik memiliki ketersediaan

hayati lebih tinggi daripada bentuk anorganik (Schell dan Kornegay, 1996).
Suplementasi mineral organik dalam ransum lengkap sapi perah

menyebabkan perubahan respon fisiologis pada pedet sapi perah. Hasil penelitian

Hadziq Ahmad (2011) menunjukan bahwa pedet yang berumur 0-8 minggu dan

diberi suplementasi mineral organik mempunyai frekuensi denyut jantung 75,68 –

79,13 kali/menit. Nilai denyut jantung yang organik ini berada sedikit di bawah

normal yaitu 85-112 kali/menit (Choliq, 1992) . Hal ini menunjukkan bahwa pedet

berada dalam kondisi lingkungan normal dan didukung oleh kondisi fisiologis

yang normal.

Selanjutnya suplementasi mineral organik menyebabkan perubahan

terhadap frekuensi pernafasan pada pedet sapi perah. Hasil penelitian Hadziq
Ahmad (2011) menunjukan bahwa pedet yang berumur 0-8 minggu dan diberi

suplementasi mineral organik mempunyai frekuensi pernafasan 50,60 – 57,32

kali/menit pada pagi hari dan 58,88 – 59,11 kali/menit pada sore hari. Nilai

frekuensi pernafasan yang diberi mineral organik ini berada di kisaran normal

yaitu 48-64 kali/menit (Choliq, 1992).


Kemudian suplementasi mineral organik menyebabkan perubahan terhadap

suhu tubuh pada pedet sapi perah. Hasil penelitian Hadziq Ahmad (2011)

menunjukan bahwa pedet yang berumur 0-8 minggu dan diberi suplementasi
o o
mineral organik mempunyai suhu tubuh 39,40 C pada pagi hari dan 39,71 C

pada sore hari. Nilai frekuensi pernafasan yang diberi mineral organik ini berada

di atas kisaran normal pada sore hari dan berada pada kisaran normal pada pagi

hari yaitu 38,9 – 39,6 kali/menit (Choliq, 1992).


Berdasarkan uraian tersebut dapat diambil hipotesis bahwa pemberian feed

supplement dalam ransum lengkap sapi perah berpengaruh terhadap status faali

seperti denyut jantung, frekuensi pernafasan, dan suhu tubuh pada pedet sapi perah

yang dipelihara di dataran sedang.

1.6 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan …., bertempat di Laboratorium Nutrisi Ternak

Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak, Laboratorium Uji Fakultas Peternakan

Universitas Padjadjaran, serta Kandang Sapi Perah milik Bapak Mamat Di Desa

Haurgombong, Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Sumedang.


II

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

2.1 Bahan Penelitian

(1) Sapi Perah

Sapi perah yang akan digunakan merupakan pedet sapi perah jenis Friesian

berjumlah 20 ekor di Kandang Sapi Perah milik Bapak Mamat Di Desa


Haurgombong, Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Sumedang.Sapi ditempatkan

secara acak di kandang koloni tipe tail to tail. Setiap kandang dilengkapi dengan

tempat pakan dan minum.

(2) Protein By-pass (UDP)

Protein by-pass dibuat dengan cara mencampurkan serbuk tanin dengan

tepung ikan. Perbandingan tannin dan tepung ikan sebanyak 1 : 2. Proses pembuatan

protein by-pass dilakukan di Ruang Mikrobiologi Rumen, Laboratorium Nutrisi

Ternak Ruminansia dan Kimia Pakan

(3) Ca-PUFA

Kompleks Ca-PUFA merupakan sebuah produk yang dibuat melalui proses

saponifikasi dengan bahan dasar minyak kacang tanah dan Ca(OH)2, akan terbentuk

sebuah sabun kalsium. Sabun kalsium tersebut dicampur dengan onggok. Prinsip

pembuatan Ca-minyak menurut Tanuwiria, dkk (2011) adalah minyak dihidrolisis

oleh basa menjadi gliserol dan garam asam lemak (gugus COOH asam lemak diikat
oleh kation basa). Proses pembuatan Ca-PUFA dilakukan di Ruang Mikrobiologi

Rumen, Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Pakan.

(4) Mineral Organik

Mineral organik dibuat dengan cara mineral seng (Zn), tembaga (Cu),

Selenium (Se), dan Cromium (Cr) ditambatkan pada gugus karboksil asam amino dan

monosakarida melalui aktivitas Saccharomyces sp dan atau Rhyzophus oligosphorus

membentuk Zn, Cu, Se, dan Cr organik. Proses pembuatan mineral organik
dilakukan di Ruang Mikrobiologi Rumen, Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia

dan Kimia Pakan

(5) Ransum

Ransum yang digunakan terdiri atas hijauan, konsentrat, dan ampas tahu.

Hijauan yang digunakan adalah tebon jagung. Jumlah ransum yang diberikan

adalah hijauan 18 kg, ampas tahu 15 kg, dan konsentrat 6 kg. Bahan pakan yang

akan digunakan memiliki kandungan zat makanan yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Zat Makanan Ransum yang Digunakan

Tebon jagung 1) Ampas tahu 2) Konsentrat 3)


Kandungan Zat Makanan

Air (%) 20,00 89,22 10,27


Abu (%) 7,00 2,96 10,03
Protein Kasar (%) 9,00 21,00 14,09
Serat Kasar (%) 25,00 23,57 18,82
Lemak Kasar (%) 2,40 10,49 8,12
BETN (%) 70,36 44,50 48,94
TDN (%) 67,00 76,00 67,49
Energi Bruto (Kkal/kg) 3680 4730 3911
Ca (%) 0,50 0,53 0,97
P (%) 0,25 0,24 0,60
1)
Sumber : Preston (2006)
2)
Hernaman (2005)
3)
Laboratorium Nutrisi Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak Fakultas
Peternakan, Unpad (2018)

(6) Konsentrat Penelitian

Konsentrat penelitian yang digunakan pada tahap in vivo adalah konsentrat

komersial yang diproduksi oleh KPSBU disuplementasi dengan protein by-pass,

Ca-PUFA, dan mineral organik. Susunan konsentrat penelitian terdapat dalam

Tabel 2.
Tabel 2. Susunan Konsentrat Penelitian

Bahan Pakan Konsentrat Perlakuan


K0 K1 K2 K3
-------------------------------- % ---------------------------------
Konsentrat 100 97 95 93
Protein by-pass - 3 3 3
Ca-PUFA - - 2 2
Mineral Organik - - - 2

2.2 Alat Penelitian

(1) Pita rondo untuk mengukur lingkar dada pada sapi perah kemudian

dikonversikan untuk mengetahui bobot badan sapi perah.

(2) Seperangkat alat pemeliharaan sapi perah (ember pakan konsentrat, karung

pakan hijauan dan timbangan digital).

(3) Seperangkat alat pembuatan protein by-pass (timbangan digital, ember,

sprayer, dan oven).

(4) Seperangkat alat pembuatan Ca-PUFA (timbangan digital, panci, kompor,

dan terpal).

(5) Seperangkat pembuatan mineral organik (toples kaca, oven, mesin giling,
dan autoclave.

(6) Thermometer untuk menghitung suhu tubuh pedet sapi perah

(7) Stetoskop untuk menghitung denyut jantung pedet sapi perah

2.3 Metode Penelitian

2.3.1 Prosedur Penelitian

(1) Tahap Persiapan Ternak Penelitian


Sapi perah ditempatkan secara acak serta dialokasikan ke dalam 4 macam

konsentrat perlakuan dengan 5 kali ulangan pada kandang tipe tail to tail. Setiap

kandang dilengkapi dengan label perlakuan.

(2) Tahap Persiapan Pakan

Semua bahan pakan atau ransum yang digunakan terdiri dari hijauan tebon

jagung, ampas tahu, konsentrat, dan pakan suplemen (protein by-pass, Ca-PUFA,

mineral organik) disiapkan. Adapun prosedur pembuatan protein by-pass, Ca-


PUFA, dan mineral organik terlampir.

(3) Tahap Perlakuan dan Pengamatan

Masa adaptasi ransum dilakukan selama dua minggu. Ternak akan diberi

ransum sesuai dengan perlakuan penelitian. Pada periode adaptasi akan diketahui

kemampuan ternak mengkonsumsi ransum (hijauan dan konsentrat penelitian).

Setelah itu Denyut jantung, frekuensi pernafasan dan suhu rektal diukur setiap

minggu. Pengukuran denyut jantung dilakukan selama satu menit pada pagi dan

sore hari dengan cara meletakkan stetoskop pada bagian dada sebelah kiri dekat

jantung. Pengukuran frekuensi pernafasan dilakukan selama satu menit pada pagi

dan sore hari dengan cara melihat bagian paru-paru atau melihat pergerakan
kembang kempis perut pedet. Suhu rektal diukur pada pagi dan sore hari dengan

cara memasukkan termometer rektal digital pada anus pedet. Penelitian dilakukan

selama 3 bulan dengan diberi ransum sehari 2 kali.

2.3.2 Parameter yang diukur

(1) Denyut jantung


(2) Frekuensi pernafasan

(3) Suhu tubuh

2.3.3 Rancangan Percobaan dan Analisis Statistik

Metode yang dilakukan adalah metode eksperimental. Rancangan yang

digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan lima

kali ulangan sehingga didapatkan 20 unit percobaan, adapun perlakuan penelitian

sebagai berikut :
R0 = 55% hijauan + 45% K0

R1 = 55% hijauan + 45% K1

R2 = 55% hijauan + 45% K2

R3 = 55% hijauan + 45% K3

Data yang diperoleh diuji dengan sidik ragam (analysis of variance/ ANOVA).

Model matematika yang digunakan sebagai berikut.

Yij = µ + αi + εij

Keterangan : Yij = Respon hasil pengamatan karena perlakuan ke-i dan ulangan

ke-j

µ = Rataan umum
αi = Pengaruh perlakuan ke-i

εij = Pengaruh komponen galat dari perlakuan ke-i, ulangan ke-j

i = Perlakuan ke-i (1,2,3,4)

j = Ulangan ke-j (1,2,3,4,5)

Hipotesis yang akan diuji adalah :


H0 : R0 = R1 = R2 = R3 , H0 diterima, memberikan pengaruh yang sama pada
semua perlakuan terhadap perfomans pedet sapi perah yang dipelihara di dataran
sedang.

H1 : R0 ≠ R1 ≠ R2 ≠ R3 , H1 diterima, paling sedikit terdapat satu perlakuan yang


memberikan pengaruh terhadap status faali pedet sapi perah yang dipelihara di
dataran sedang.

Tabel 3. Daftar Sidik Ragam


Sumber Keragaman DB JK KT 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙(0,05)
Perlakuan t-1 JKP KTP
KTP/KTG
Galat t(r-1) JKG KTG

Total tr-1 JKT - - -

Sumber: Gaspersz (1995)

Keterangan:

Db = Derajat bebas

JK = Jumlah kuadrat

KT = Kuadrat tengah

t = Perlakuan

r = Ulangan

Kaidah keputusan:

1. Jika 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 ≤ 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 (0,05) artinya tidak berbeda nyata (non signifikan), maka

terima H0 dan tolak H1.

2. Jika 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 (0,05) artinya berbeda nyata (signifikan), maka terima H1

dan tolak H0.


Apabila hasil sidik ragam berbeda nyata, maka untuk mengetahui perbedaan

antar perlakuan dilakukan uji Jarak Berganda Duncan dengan rumus sebagai berikut :

S𝑥̅ = √𝐾𝑇𝐺/𝑟

LSR 𝛼 = SSR α . S𝑥̅

Keterangan :

S𝑥̅ = Simpangan Baku


KTG = Kuadrat tengah galat

LSR = Least Significant Range / Jarak Beda nyata Terkecil

r = Ulangan

𝜶 = Selisih rata-rata antar perlakuan

Beda selisih antar perlakuan (d) dibandingkan dengan LSR, kaidah

keputusannya sebagai berikut (Gasperz, 2006):

1. Bila d ≤ LSR, tidak berbeda nyata.

2. Bila d ˃ LSR, berbeda nyata.

Anda mungkin juga menyukai