1. Pengertian
Human Imunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis retrovirus yang termasuk
dalam family lintavirus, retrovirus memiliki kemampuan menggunakan RNA nya dan
DNA penjamu untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama masa inkubasi yang
panjang. Seperti retrovirus lainnya HIV menginfeksi dalam proses yang panjang (klinik
laten), dan utamanya penyebab munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan
beberapa kerusakan sistem imun dan menghancurkannya. Hal ini terjadi dengan
menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit untuk mereplikasikan diri. Dalam proses itu,
virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit (Nursalam 2007).
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang
berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang
disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi
diri dari serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau
merusak sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis
penyakit lain (Yatim, 2006).
Aids adalah penyakit yang disebabkan oleh virus HIV yang ditandai dengan
syndrome menurunnya sistem kekebalan tubuh, sehingga pasien AIDS mudah diserang
oleh infeksi bakteri oportunistik dan kanker.
Tuberkolusis paru adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh hasil
Microbakterium tubercolusis yang merupakan salah satu penyakit saluran pernapasan
bagian bawah yang sebagian besar basil tuberkolusis masuk kedalam jaringan paru
melalui airbone infection dan selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai focus
primer dari ghon.
Sepsis adalah sindroma respons inflmasi sistemik (systemic inflammatory
response syndrome) dengan etiologi mikroba yang terbukti atau dicurigai. Bukti
klinisnya berupa suhu tubuh abnormal (>38ºC atau < 36ºC): takikardi, asidosis
metabolik, biasanya disertai dengan alkalosis respiratorik terkompensasi dan takipneu,
dan peningkatan atau penurunan jumlah sel darah putih. Sepsis juga dapat disebabkan
oleh infeksi virus atau jamur. Sepsis berbeda dengan septikemia. Septikemia (nama lain
untuk blood poisoning) mengacu pada infeksi darah, sedangkan sepsis tidak hanya
terbatas pada darah, tapi dapat mempengaruhi seluruh tubuh, termasuk organ-organ.
Syok septik adalah infasi aliran darah oleh beberapa organisme mempunyai
potensi untuk menyebabkan reaksi pejamu umum toksin. Hasilnya adalah keadaan
ketidakadekuatan perfusi jaringan yang mengancam kehidupan.
2. Etiologi
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut human immunodeficiency
virus (HIV). HIV pertama lai ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan disebut
HIV-1. Pada tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-
2. HIV-2 dianggap sebagai virus kurang pathogen dibandingkan dengan HIV-1, maka
untuk memudahkan keduanya disebut HIV.
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :
1. Periode jendela. Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala
2. Fase infeksi HIV primer akut. Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu likes illnes.
3. Infeksi asimtomatik. Lamanya 1-15 atau lebih tahun dengan gejala tida ada
4. Supresi imun simtomatik. Diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat mlam hari,
BB menurun, diare, neuropati, lemah, rash, limfadenopati, lesi mulut.
5. AIDS. Lamanya bervariasi antara 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama klai
ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai system
tubuh, dan manifestasi neurologist.
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi, pria maupun wanita.
Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah :
1. Bakteri gram negative seperti escheria coli, klebsiella sp, pseudomonas sp,
Bacteroides sp, dan proteus sp. Bakteri gram negarive mengandung lipopolisakarida
pada dindning selnya yang disebut endotoksin. Apabila dilepas dan masuk kedalam
aliran darah, endotoksin menghasilkan beragam perubahan-perubahan biokimia yang
merugikan dan mengaktivasi imun dan mediator biologis lainnya yang menunjang
syok septc.
2. Organisme gram positif : stafilokokus, streptococus, dan pneumokuos juga terlibat
dalam timbulnya sepsis
3. Organisme gram positif melepaskan eksotoksin yang berkemampuan untuk
mengarahkan mediator imun dengan cara yang sama dengan endotoksin.
4. Selain itu infeksi viral, fungal, dan riketsia dapat mengarah kepada timbulnya syok
sepsis dan syok septik.
3. Manifestasi Klinis
Menurut WHO
Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu demam,
takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi hipontensi pada kondisi
vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik atau hangat degan muka kemerahan
dan hangat menyeluruh serta peningkatan curah jantung) atau vasokontriksi perifer
(renjatan sptik hipodinamik atau dingin degan anggota gerak yang biru atau putih
dingin). Pada pasien dengan manifestasi klinis ini dan gambaran peeriksaan fisik yang
konsisten dengna infeksi, diagnosis mudah ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara
dini.
Tanda klinis septik syok sangat bervariasi diantara pasien. Pasien yang diketahui
infeksinya dan pasien yang sangat disupresi kekebalannya sehingga berada pada risiko
terhadap syok harus dipantau tanda vitalnya secara rutin dan diawasi. Pada keadaan
tertentu, perawat harus menyadari tanda-tanda :
1. Demam
2. Takikardia (>90 denyut/menit)
3. Takipnea (>20 kali/menit)
4. Adanya kekurangan perfusi organ atau disfungsi dalam bentuk
a. Perubahan status mental
b. Hipoksemia bila diukur dengan gas darah arteri
c. Peningkatan kadar laktat
d. Haluaran urine (<30ml/jam)
5. PaCO2 < 32 mmHg
6. WBC > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3
Meskipun proses syok septik mungkin sangat cepat, khususnya bila dikaitkan
dengan organisme gram-negatif, pemberian antibiotik intravena yang dini, penggantian
cairan, vasopresor, dan oksigen adalah komponen esensial dalam penatalaksanaan pasien
ini.
Gejala syok septik yang mengalami hipovolemia sukar dibedakan dengan syok
hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi perifer, produksi urin < 0.5 cc/kg/jam, tekanan
darah sistolik turun dan menyempitnya tekanan nadi). Pasien-pasien sepsis
dengan volume intravaskuler normal atau hampir normal, mempunyai gejala takikardia,
kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal, dan tekanan nadi yang melebar.
4. Komplikasi
1. Oral Lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis
Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi,
penurunan berat badan, keletihan dan cacat.
2. Neurologik
a. Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung HIV pada sel saraf, berefek
perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan
isolasi sosial.
b. Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala,
malaise, demam, paralise, total / parsial.
c. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik, dan maranik
endokarditis.
d. Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan HIV
3. Gastrointestinal
a. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan
sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam,
malabsorbsi, dan dehidrasi.
a. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal,
alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.
b. penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang
sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-
gatal dan siare.
4. Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas pendek, batuk, nyeri, hipoksia,
keletihan, gagal nafas.
5. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis,
reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,gatal,rasa
terbakar,infeksi skunder dan sepsis.
6. Sensorik
a. Pandangan : Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
b. Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran
dengan efek nyeri
A. Stadium TBC
1. Kelas 0
Tidak ada jangkitan tuberkulosis, tidak terinfeksi (tidak ada riwayat terpapar,
reaksi terhadap tes kulit tuberkulin negative)
2. Kelas 1
Terpapar tuberkulosis, tidak ada bukti terinfeksi (ada riwayat pemaparan, reaksi
tes tuberkulosis negative)
3. Kelas 2
Ada infeksi tuberkulosis, tidak timbul penyakit (reaksi tes kulit tuberkulin positif,
pemeriksa bakteri negative, tidak bukti klinik, bakeriologik atau radiografik TB
aktif).
4. Kelas 3
Tuberkulosis aktif secara klinis (Mycobacterium tuberculosis ada dalam biakan,
selain itu reaksi kulit tuberkulin bermakna dan atau bukti radiografik tentang
adanya penyakit). Lokasi penyakit : paru, pleura, limfatik, tulang dan atau sendi,
kemih kelamin, diseminata (milier), meningeal, peritoneal dan lain-lain.
5. Kelas 4
Tuberkulosis saat ini tidak aktif secara klinis (ada riwayat mendapat pengobatan
pencegahan tuberkulosis atau adanya temuan radiografi yang stabil pada orang
yang reaksi tes kulit tuberkulinnya positif, pemeriksaan bakteriologis, bila
dilakukan negative.Tidak ada bukti klinik tentang adanya penyakit pada saat ini).
6. Kelas 5
Tersangka tuberkulosis paru. (Sylvia A.Price dan Marry P.Standridge,2005)
5. Patofisiologi
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah sel-sel
yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi dikelenjar
limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi
sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian
yaitu antigen grup 120. Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka
Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan
reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga dipengaruhi respon imun sel killer
penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi.
Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan pemograman
ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded DNA.
DNA ini akan disatukan kedalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian
terjadi infeksi yang permanen. Enzim inilah yang membuat sel T4 helper tidak dapat
mengenali virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus HIV didalam tubuh
tidak dihancurkan oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV yang menghancurkan sel
T4 helper. Fungsi dari sel T4 helper adalah mengenali antigen yang asing, mengaktifkan
limfosit B yang memproduksi antibodi, menstimulasi limfosit T sitotoksit, memproduksi
limfokin, dan mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi sel T4 helper
terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak menimbulkan penyakit akan memiliki
kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan penyakit yang serius.
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara
progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T
penolong. Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap
tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini,
jumlah sel T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi
mencapai sekitar 200-300 per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan jamur
oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru
akan menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah.
Mikroorganisme pnyebab berkembangbiak dan menimbulkan penyakit, bakteri yang
masuk ke saluran pernapasan dan menginfeksi alveoli akan menimbulkan bercak
konsolidasi pada paru. Apabila terdapat proses konsolidasi tidak dapat berlangsung
dengan baik, akan terjadi edema dan terdapatnya eksudat. Pada alveoli membrane kapiler
akan mengalami kerusakan yang mengakibatkan gangguan proses difusi oksigen dan
karbondioksida pada alveoli serta terjadi penurunan jaringan efektif paru. Hal tersebut
akan berdampak pada penurunan kadar oksigen yang dibawa oleh darah sehingga secara
klinis penderita mengalami pucat hingga sianosis. Terdapatnya tekanan cairan purulent
pada alveoli dapat mengakibatkan tekanan dari paru dan menurunkan kemampuan
mengambil oksigen dari luar berakibat juga berkurangnya kapasitas paru. Penderta akan
melawan tingginya tekanan tersebut menggunakan otot-otot bantu pernapasan yang
menimbulkan peningkatan retraksi dada dan sesak napas. Hipoventilasi dan hipoksi pun
terjadi. Hal ini mnyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas pada klien tb paru dan
bila tidak segera diatasi dapat mengancam jiwa.
6. Pemeriksaan penunjang
1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
- ELISA
- Western blot
- P24 antigen test
- Kultur HIV
2. Tes untuk deteksi gangguan system imun.
- LED
- Hematokrit
- CD4 limfosit
- Rasio CD4/CD limfosit
- Serum mikroglobulin B2
- Hemoglobulin
Pemeriksaan penunjang untuk Tb paru
- Sputum Culture : Positif untuk mycobacterium tuberkulosa pada stadium
aktif.
- Ziehl Neelsen (Acid-fast Staind applied to smear of body fluid) : positif
untuk BTA.
- Skin Test (PPD, Mantoux, Tine, Vollmer Patch) : reaksi positif (area indurasi
10 mm atau lebih, timbul 48 – 72 jam setelah injeksi antigen intradermal)
mengindikasikan infeksi lama dan adanya antibodi tetapi tidak
mengindikasikan penyakit sedang aktif.
- Chest X-Ray : dapat memperlihatkan infiltrasi kecil pada lesi awal di bagian
paru-paru bagian atas, deposit kalsium pada lesi primer yang membaik atau
cairan pada effusi. Perubahan mengindikasikan TB yang lebih berat dapat
mencakup area berlubang dan fibrous.
- Histologi atau Culture jaringan (termasuk kumbah lambung, urine dan CSF,
biopsi kulit) : positif untu mycobacterium tuberkulosa.
- Needle Biopsi of Lung Tissue : positif untuk granuloma TB, adanya sel-sel
besar yang mengindikasikan nekrosis.
- Elektrolit : mungkin abnormal tergantung dari lokasi dan beratnya infeksi;
misalnya hiponatremia mengakibatkan retensi air, mungkin ditemukan pada
TB paru kronik lanjut.
- ABGs : mungkin abnormal, tergantung lokasi, berat dan sisa kerusakan paru.
- Bronchografi : merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat kerusakan
bronchus atau kerusakan paru karena TB.
- Darah : lekositosis, LED meningkat.
- Test Fungsi Paru : VC menurun, Dead Space meningkat, TLC meningkat dan
menurunnya saturasi oksigen yang merupakan gejala sekunder dari
fibrosis/infiltrasi parenchim paru dan penyakit pleura.
pemeriksaan penunjang syok septik
Pengumpulan spesimen urin, darah, sputum. Pantau kadar darah (kadar
antibiotik, BUN (Blood Urea Nitrogen), kreatinin, jumlah sel darah putih,
Rontgen.
Cara kerja, potensi dan dosis OAT utama dapat dilihat pada tabel berikut:
5. Etambutol (E)
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian
keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali
terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan
3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa
minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak
karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi
Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan resusitasi
yang perlu dilakukan sesegera mungkin. Resusitasi dilakukan secara intensif
dalam 6 jam pertama, dimulai sejak pasien tiba di unit gawat darurat. Tindakan
mencakup airway: a) breathing; b) circulation; c) oksigenasi, terapi cairan,
vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan. Pemantauan dengan kateter
vena sentral sebaiknya dilakukan untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-
12 mmHg, tekanan arteri rata-rata (MAP)>65 mmHg dan produksi urin >0,5
ml/kgBB/jam.
1. Oksigenasi
Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat
disfungsi atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun
perfusi. Transpor oksigen ke jaringan juga dapat terganggu akibat keadaan
hipovolemik dan disfungsi miokard menyebabkan penurunan curah jantung.
Kadar hemoglobin yang rendah akibat perdarahan menyebabkan daya
angkut oleh eritrosit menurun. Transpor oksigen ke jaringan dipengaruhi
juga oleh gangguan perfusi akibat disfungsi vaskuler, mikrotrombus dan
gangguan penggunaan oksigen oleh jaringan yang mengalami iskemia.
Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya meningkatkan
saturasi oksigen di darah, meningkatkan transpor oksigen dan memperbaiki
utilisasi oksigen di jaringan.
2. Terapi cairan
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian cairan
baik kristaloid maupun koloid. Volume cairan yang diberikan perlu
dimonitor kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Secara klinis
respon terhadap pemberian cairan dapat terlihat dari peningkatan tekanan
darah, penurunan ferkuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan
ekstremitas, produksi urin, dan membaiknya penurunan kesadaran. Perlu
diperhatikan tanda kelebihan cairan berupa peningkatan tekanan vena
jugular, ronki, gallop S3, dan penurunan saturasi oksigen.
Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl) disertai tekanan
hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu
diberikan. Transfusi eritrosit (PRC) perlu diberikan pada keadaan
perdarahan aktif, atau bila kadar Hb rendah pada keadaan tertentu misalnya
iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada
sepsis dipertahankan pada 8-10 g/dl.
3. Vasopresor dan inotropik
Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi
dengan pemberian cairan secara adekuat, tetapi pasien masih mengalami
hipotensi. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis rendah secara titrasi
untuk mencapai MAP 60 mmHg, atau tekanan sistolik 90 mmHg. Untuk
vasopresor dapat digunakan dopamin dengan dosis >8 mcg/kg/menit,
norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8 mcg/kg/menit atau
epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Inotropik yang dapat digunakan adalah
dobutamin dosis 2-28 mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mc/kg/menit, epinefrin
0,1-0,5 mcg/kg/menit atau inhibitor fosfodiesterase (amrinon dan milrinon).
4. Bikarbonat
Secara empirik, bikarbonat dapat diberikan bila pH <7,2 atau serum
bikarbonat <9 meq/l, dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan
hemodinamik.
5. Disfungsi renal
Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis
maupun hemofiltrasi kontinu (continuous hemofiltration). Pada
hemodialisis digunakan gradien tekanan osmotik dalam filtrasi substansi
plasma, sedangkan pada hemofiltrasi digunakan gradien tekanan
hidrostatik. Hemofiltrasi dilakukan kontinu selama perawatan, sedangkan
bila kondisi telah stabil dapat dilakukan hemodialisis.
6. Nutrisi
Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam lemak, cairan,
vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan pemberian
secara enteral dan bila tidak memungkinkan beru diberikan secara
parenteral.
7. Kortikosteroid
Saat ini terapi kortikosteroid diberikan hanya pada indikasi insufisiensi
adrenal, dan diberikan secara empirik bila terdapat dugaan keadaan
tersebut. Hidrokortison dengan dosis 50mg bolus intravena 4 kali selama 7
hari pada pasien renjatan septik menunjukkan penurunan mortalitas
dibanding kontrol.
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
A. PENGKAJIAN
Berisi tentang nama, usia, pekerjaan, agama, suku bangsa, alamat, no registrasi,
tanggal MRS.
b. Keluhan Utama
Hal yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan biasanya
berhubungan dengan gangguan pernafasan yang terjadi selama beberapa minggu,
batuk yang tidak kunjung sembuh, dan nyeri dada yang menurunkan kemampuan
ekspansi dada selama proses respirasi.
Pengkajian mengenai riwayat penyakit yang sedang diderita pasien. Mulai dari pasien
merasakan gejala awal penyakit hingga saat pengkajian berlangsung.
Kaji adanya penyakit terdahulu yang pernah terjadi pada pasien yang berhubungan
dengan penyakit pasien saat ini, misalnya AIDS, pneumonia. Kaji riwayat penggunaan
obat yang pernah dikonsumsi oleh klien. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung
pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji
lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
Kaji tingkat kesehatan pada keluarga akan adanya penyakit yang sama atau mirip pada
keluarga terdahulu, atau merupakan penyakit bawaan.
g. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Biasanya keadaan pasien lemah
2. Tanda-Tanda Vital
Biasanya terdapat takikardia
3. Pemeriksaan Fisik
a. B1 (Breathing)
Biasanya ditemukan peningkatan frekuensi nafas cepat dan dangkal, serta
adanya retraksi sternum dan intercostal space (ICS). Nafas cuping hidung pada
sesak berat, didapatkan batuk produktif disertai dengan danya peningkatan
produksi sekret dan sekresi sputum yang purulent, dan bunyi nafas tambahan
ronkhi basah pada sisi yang sakit.
b. B2 (Blood)
Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum, denyut nadi perifer
melemah, takikardia.
c. B3 (Brain)
Terjadi penurunan kesadaran, didapatkan sianosis perifer apabila gangguan
perfusi jaringann berat. Wajah klien tampak meringis, menangis, merintih,
meregang, dan menggeliat.
d. B4 (Bladder)
Adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok.
e. B5 (Bowel)
Biasanya mengalami mual, muntah, penurunan nafsu makan, turgor kulit
memburuk, bising usus yang hiperaktif dan penurunan berat badan.
f. B6 (Bone)
Kelemahan dan kelelahan fisik secara umum sering menyebabkan
ketergantungan klien terhadap bantuan orang lain dalam melakukan aktivitas
sehari-hari.
4. Pola Fungsi Kesehatan
1. Pola Persepsi Pemeliharaan Kesehatan
Meliputi riwayat kesehatan pasien, tentang bagaimana respon klien terhadap
penyakit yang dideritanya.
2. Pola Nutrisi Metabolisme
Biasanya tidak nafsu makan, mual/muntah, disfagia. penurunan berat badan
yang progresif, adanya bising usus hiperaktif, turgor kulit buruk, distensi
abdomen.
3. Pola Istirahat Tidur
Pada umumnya pasein, sulit tidur, sore atau malam berkeringat dingin,
4. Pola Eliminasi
Diare yang intermiten, terus menerus, sering atau tanpa disertai kram
abdominal. Nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi. Perubahan dalam jumlah,
warna, sdan karakteristik urine.
5. Pola Aktifitas
Biasanya terdapat kelemahan dan kelelahan, sesak napas saat bekerja.
6. Pola Hubungan dan Peran
Biasanya kehilangan karabat/orang terdekat, isolasi social, perubahan pada
interaksi keluarga/ orang terdekat.aktivitas yang tak terorganisasi, perubahan
pola hidup.
7. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Biasanya cemas, pasrah, depresi, hilang interest pada lingkungan sekitar,
gangguan proses pikir, hilang memori, gangguan atensi dan konsentrasi,
halusinasi dan delusi.
8. Pola Sensori dan Kognitif
Biasanya sakit kepala. Perubahan status mental, tidak mampu
mrngingat/konsentrasi menurun, perubahan ketajaman penglihatan.
9. Pola Reproduksi Seksual
Biasanya riwayat perilaku beresiko tinggi yakni mengadakan hubungan seksual
dengan pasangan yang positif HIV, pasangan seksual multipel, aktivitas seksual
yang tidak terlindung, dan seks anal. Menurunnya libido, terlalu sakit untuk
melakukan hubungan seks, penggunaan kondom yang tidak konsisten.
10. Pola Penanggulangan Stress
Biasanya cemas, pasrah, depresi.
11. Pola Tata Nilai dan Kepercayaan
Meliputi agama dan ritualitas.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d peningkatan produksi sekret ditandai dengan
suara nafas tambahan
2) Hiperthermi b.d suhu tubuh diatas normal
3) Nyeri b.d nadi meningkat
4) Gangguan pertukaran gas b.d takikardia
5) Ketidakseimbangan cairan kurang dari kebutuhan tubuh b.d
evaporasi cairan tubuh akibat peningkatan suhu tubuh.
6) Ketidakefektifan pola nafas b.d proses inflamasi pada paru
yang ditandai dengan hiperventilasi.
7) Defisit nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1) bersihan jalan nafas tidak efektif b.d suputum berlebih
Tujuan :
Seteleh diberikan askep selama ...x 30 menit, pasien akan menunjukkan tanda-tanda
kepatenan jalan napas
Kriteria Hasil :
1. Frekuensi pernapasan pasien normal (16-20 kali per menit)
2. Pasien tidak merasa sesak lagi, tidak ada PCH dan penggunaan otot bantu napas.
3. Tidak ada bunyi napas tanbahan, misalnya wheezing..
4. Tidak terdapat tanda-tanda sianosis dan saturasi oksigen pada ambang normal.
5. Pasien merasa nyaman dan mudah untuk bernapas
Intervesi :
1. kaji frekuensi, kedalaman napas klien
R/ Biasanya meningkat jika terjadi bronkokontriksi karena terjadi ketidak patenan
jalan
2. Catat upaya pernapasan, termasuk pengguanaan otot bantu/ pelebaran masal.
R/ Dispnea dan terjadi peningakatan kerja napas. Ekspansi dada terbatas yang
berhubungan dengan atelektasis atau nyeri dada pleuritik.
3. Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas adventisius seperti
krekels, mengi, gesekan pleura.
R/ bunyi napas menurun/ tak ada bila jalan napas obstruksi sekunder terhadap
pendarahan, bekuan/ kolaps jalan napas kecil (atelektasis). Ronci dan mengi
menyertai obstruksi jalan napas/ kegagalan pernapasan.