Anda di halaman 1dari 9

Status Oxya spp.

(Orthoptera: Acrididae),
Sebagai Hama pada Pertanaman Padi dan Talas di Daerah Bogor
Dini Yuliani1, Khairatun Napisah2, dan Nina Maryana3
1
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Jl. Raya IX Sukamandi Subang 41256
2
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan
Jl. Panglima Batur Barat No. 4 Banjarbaru 70711
3
Institut Pertanian Bogor, Jl. Kampus IPB Darmaga Bogor 16680
E-mail: diniyuliani2010@gmail.com

Abstrak

Oxya spp. (Orthoptera: Acrididae) ditemukan menginfestasi tanaman padi dan talas pada tahun
2003 di daerah Bogor. Imago belalang menyisipkan telurnya pada pelepah daun talas dengan
membuat lubang-lubang yang melengkung ke dalam pelepah. Pada saat telur Oxya spp. menetas,
nimfa instar awal memakan daun talas pada bagian tengah. Nimfa instar 3 hingga menjelang stadia
imago mulai menyerang pertanaman padi yang berdekatan dengan tanaman talas. Serangan pada
tanaman padi berupa robekan daun pinggir hingga tulang daun. Belalang ini selain menyerang
tanaman padi juga dapat menyerang berbagai tanaman seperti tebu, kentang, sayur-sayuran, buah-
buahan, tembakau, tanaman air, dan gulma. Selain kisaran inangnya yang beragam, Oxya spp. juga
mempunyai daerah sebaran yang cukup luas meliputi Cina, India, Asia Tenggara, Jepang dan
Australia. Di Indonesia, Oxya spp. merupakan hama sekunder, namun suatu saat dapat menjadi
hama utama seiring dengan perubahan iklim global yang dapat memicu ledakan apabila tidak
diantisipasi dengan baik. Penelitian mengenai belalang Oxya spp. di Indonesia belum banyak
dilakukan baik dari segi kelimpahan populasi, gejala serangan, bioekologi, siklus hidup, musuh
alami, dan aspek biologi lainnya.

Kata kunci: Bogor, Oxya spp., Padi, Talas.

Pendahuluan

Untuk mencapai kembali swasembada beras di Indonesia diperlukan berbagai usaha


peningkatan produksi padi. Berbagai kendala yang sering dihadapi dalam meningkatkan produksi
padi diantaranya serangan hama dan penyakit. Oxya spp. (Orthoptera: Acrididae) merupakan salah
satu hama yang menyerang pertanaman padi baik pada musim hujan maupun musim kemarau
(Anonim, 1983). Di Indonesia, Oxya spp. merupakan salah satu hama pada tanaman padi yang
dilaporkan menimbulkan kerugian yang cukup berarti (Willemse, 2001).
Warti (2006), melaporkan bahwa tanaman talas merupakan salah satu tanaman inang
alternatif bagi belalang selain padi. Indonesia juga merupakan negara produsen talas. Talas
merupakan makanan pokok pengganti beras di Mentawai (Propinsi Sumatera Barat) dan Sorong
(Propinsi Papua Barat). Talas yang dikenal di Indonesia dengan spesies Colocasia esculenta dan
C. gigantia. Jumlah produksi talas secara nasional belum tercatat, namun pada tahun 2008 Bogor
yang merupakan sentra produksi talas sudah mampu memproduksi lebih dari 57 ribu ton/tahun
(Kementerian Perdagangan, 2013).
Kalshoven (1981), melaporkan bahwa Oxya spp. yang ditemukan di Indonesia adalah O.
chinensis dan O. velox. Hama ini selain menyerang tanaman padi juga dapat memakan berbagai
tanaman seperti tebu, kentang, sayur-sayuran, buah-buahan, tembakau, tanaman air, dan gulma
(Kalshoven, 1981; CPC, 2000; Willemse, 2001). Selain kisaran inangnya yang beragam, Oxya spp.
juga mempunyai daerah sebaran yang cukup luas meliputi Cina, India, Indonesia, Malaysia,
Filipina, Srilanka, Myanmar, Vietnam, Jepang dan Australia (Willemse, 2001).

Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 801


Banjarbaru, 20 Juli 2016
Namun hingga saat ini, penelitian tentang kelompok belalang dan kerabatnya ordo
Orthoptera di Indonesia masih terbatas jumlah dan aspek penelitiannya (Kalshoven, 1981;
Erniwati, 2003). Rendahnya pengetahuan perilaku biologi, sebaran, dinamika populasi, dan cara-
cara pengendaliannya belum dipelajari secara intensif. Sejauh ini database pengetahuan biologi
dan dinamika populasi Oxya spp. sangat minim dan belum bisa dibuat prediksi ledakan
populasinya. Penelitian ekologi populasi termasuk monitoring fluktuasinya secara sistematis akan
dapat meramalkan terjadinya regulasi naik-turunnya populasi dan outbreak. Untuk memantau
keanekaragaman hayati perlu dilengkapi informasi kelimpahan dan fungsi atau peranannya pada
suatu habitat dan ekosistem (Oliver & Beatti 1996). Selain itu, kurangnya penelitian tentang
belalang Oxya spp. menyebabkan belum diketahuinya tingkat kerusakan serangan hama dan
pengaruhnya terhadap hasil panen. Tulisan ini untuk mendiskusikan arti penting Oxya spp., gejala
serangan, bioekologi Oxya spp., siklus hidup hama, kelimpahan populasi Oxya spp., dan musuh
alaminya.

Arti Penting Oxya spp.

Oxya spp. dapat mengkonsumsi 30 hingga 50% makanan dari berat tubuhnya per hari dan
selama hidupnya dapat mengkonsumsi sekitar 20 kali berat tubuh imago (Dysart, 1995). Menurut
Grist (1959), Oxya spp. dapat menyebabkan kerusakan serius pada tanaman padi di Korea
terutama pada saat suhu tinggi dengan sedikit hujan. Di Cina, infestasi O. chinensis umum
ditemukan dan kadang sangat merusak tanaman padi. O. chinensis merupakan salah satu hama
pertanian yang paling serius dan banyak ditemukan pada tanaman padi, tebu, jagung, graminae,
padang rumput, dan tanaman lainnya (Zheng 1993 dalam Mei-ling et al. 2011). Nimfa dan imago
O. chinensis menyebabkan kehilangan hasil tanaman padi (Hai-hua et al. 2005). O. chinensis di
daerah Cina menyebabkan kehilangan hasil di pertanaman padi sekitar 6,8 - 17,8% apabila
ditemukan 2 - 4 imago/m2 (CPC, 2000).
Di Pakistan, populasi Oxya hyla hyla paling banyak dijumpai sebanyak 27%, dan diikuti
oleh O. fuscovittata sebanyak 22,29% (Tamkeen et al. 2011). O. fuscovittata telah
menghancurkan ekosistem pertanaman di lembah Hissar dan menjadi hama yang dominan serta
tersebar luas di Tajikistan (Pokivailov, 2007). O. fuscovittata adalah spesies belalang yang tersebar
luas di India. Kemampuan berkembang biak, tingkat pertumbuhan dan bertahan hidup sangat
tinggi dan dapat dengan mudah dipelihara di kurungan kecil di laboratorium. Penelitian
laboratorium menunjukkan bahwa 84 imago betina dari O. fuscovittata mampu menghasilkan
sekitar biomassa kotor 1 kg selama 29-35 hari (Haldar et al. 1999).
Tanaman inang dari O. hyla hyla dan O. fuscovittata adalah Cymbopogon spp., C.
dactylon, P. pedicillatum, P. maximum (Vastrad et al. 1989). Di Sulawesi Utara, Oxya spp.
menyerang tanaman Zea mays dan Ipomea batatas pada tahun 1998 (Watung dan Pinaria, 2004).
Selain ditemukan pada tanaman yang dibudidayakan, Oxya japonica ditemukan pada gulma
Monochoria vaginalis. Oxya chinensis ditemukan pada tanaman Cesim, padi, kacang tanah, cabai
hijau, gulma Brachiria sp., Cyperus rotundus, Amaranthus spp., Alternanthera sessilis,
Echinocloa colonum, Tridax procumbens, Monochoria vaginalis, Burcharavia erecta, Euphorbia
hirta, Cynodon dactylon, Fimbristylis iliacea, Cyferus difformis, Limnocharis flava, Digitaria
sanguinalis, Phyllanthus niruri, Centrosema sp. Scirpus sp., dan Cyperus iria (Aminatun et al.
2011; Kandibane et al. 2004).

802 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian


Banjarbaru, 20 Juli 2016
Kondisi Pertanaman Padi dan Talas

Tanaman padi yang ditanam di daerah Bogor umumnya varietas IR64. Umur padi
umumnya masih fase vegetatif, kecuali di Bubulak pertanaman padi memasuki fase generatif. Di
Bogor, serangan Oxya spp. telah terasa merugikan bagi petani padi dan talas. Varietas talas yang
ditanam di daerah Bogor adalah varietas Bentul kecuali di Ciapus yaitu varietas Bogor. Varietas
Bentul berumur 4 hingga 5 bulan setelah tanam (BST). Pada saat ditanam umumnya bibit talas
berumur 1 bulan. Tanaman talas tidak dirotasikan dengan tanaman lain dan tidak dipupuk secara
kimiawi, tapi diberikan abu sekam. Kondisi lahan cukup bersih dan jarak tanam talas cukup rapat
(30 x 30 cm2) sehingga gulma jarang ditemukan (Yuliani, 2003). Untuk sistem monokultur, jarak
tanam yang umum diterapkan di Indonesia bervariasi antara 60 x 80 cm2 sampai 80 x 100 cm2.
Namun secara umum jarak tanam disesuaikan dengan karakteristik kultivar yang ditanam dan
tingkat kesuburan tanah (Prana dan Kuswara, 2002).
Di Ciapus petani lebih banyak menanam varietas Bogor dan tidak dijumpai varietas
Bentul yang berdekatan dengan pertanaman padi. Di Cibeureum, tanaman talas ditanam pada sisi-
sisi petakan tanaman padi. Di sekitar pertanaman talas terdapat pertanaman jagung dan kacang
panjang. Di Laladon, tanaman talas tidak langsung berdekatan dengan lahan padi dan ditanam
pada tanah agak berpasir sehingga tinggi tanaman tidak seragam. Varietas talas yang ditanam yaitu
Bentul dan berumur 4 hingga 5 BST. Tanaman talas diberi pupuk Urea dan pupuk kandang dengan
perbandingan 1:0,5. Di sekitar tanaman talas ditumbuhi banyak gulma diantaranya Micania
mikrantha dan Ageratum conyzoides (Compositae), Mimosa pigra dan Ottochloa nodusa
(Poaceae) (Yuliani, 2003).
Di Bubulak, lahan cukup gembur dan tanaman talas ditanam berdampingan dengan
tanaman padi, bengkuang dan cabai. Pada pertanaman talas jarang ditemukan gulma. Varietas talas
yang ditanam yaitu Bentul dan berumur 5 hingga 6 BST. Tanaman talas dipupuk Urea, KCl dan
TSP dengan perbandingan 2:1:1 sebanyak dua kali/musim tanam. Talas biasanya dirotasikan
dengan mentimun dan kacang panjang. Di Ciapus, pertanaman talas ditanam berdekatan langsung
dengan pertanaman padi. Varietas talas yang ditanam yaitu Bogor dan berumur 2 hingga 4 BST.
Untuk menanggulangi masalah hama dan penyakit, tanaman talas sering dirotasikan dengan
mentimun dan diaplikasikan Furadan pada pangkal pelepah daun talas. Tanaman talas
ditumpangsarikan dengan tanaman bengkuang dan cabai (Yuliani, 2003).
Keadaan lahan pertanaman talas di Situgede agak lembab dan tergenang air, selain itu
lahan ditumbuhi banyak gulma. Gulma-gulma yang ditemukan di lahan diantaranya Richardia
brassiliensis, Ageratum conyzoides, Commellina difusa, Paspalum conjugatum, Ottochloa nodusa,
dan Euphorbia hirta. Varietas talas yang ditanam yaitu Bentul dan berumur 6 hingga 7 BST.
Tanaman talas dipupuk Urea dan TSP dengan perbandingan 2:1 sebanyak dua kali (Yuliani, 2003).
Hama-hama yang menyerang tanaman padi di daerah Bogor yaitu Oxya spp., Nezara
viridula, Nephotettix virescens, dan Leptocorisa oratorius. Penyakit yang ditemukan pada tanaman
padi umumnya yaitu Tungro. Hama-hama yang menyerang tanaman talas selama pengamatan
yaitu selain Oxya spp. diantaranya adalah Spodoptera litura, Empoasca sp., dan Aphis gosypii.
Penyakit yang ditemukan pada tanaman talas yaitu layu fusarium dan hawar daun Phytophtora
berdasarkan gejala yang terlihat pada daun talas (Yuliani, 2003). Layu fusarium menyebabkan
daun menjadi layu, menguning kemudian mati. hawar daun Phytophtora membentuk nekrosis pada
daun yang melebar dan berakhir dengan rusaknya helaian daun secara keseluruhan dengan
pinggiran berwarna kuning atau oranye (Prana dan Kuswara, 2002).

Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 803


Banjarbaru, 20 Juli 2016
Gejala Serangan Oxya spp.

Oxya spp. meletakkan telur di dalam tanah atau pada batang padi dan gulma (Willemse,
2001). Menurut Yuliani (2003), di daerah Bogor Oxya spp. meletakkan telur pada pelepah daun
talas dengan gejala berlubang-lubang. Tanaman talas yang terserang belalang ini mengalami gejala
rautan pada permukaan daun oleh nimfa dan lubang-lubang pada pelepah daun talas karena
peletakan telur oleh imago (Gambar 1). Gejala peletakkan telur Oxya spp. paling banyak
ditemukan pada pelepah daun ketiga dan keempat dari pelepah daun termuda.

Gambar 1. Gejala peletakan telur Oxya spp. pada pelepah daun talas

Umumnya pada satu pelepah daun talas terdapat satu lubang atau satu kelompok telur.
Bila serangan tinggi, rata-rata pada satu pelepah daun terdapat 4 sampai 15 kelompok telur. Untuk
lima lokasi pengamatan di daerah Bogor, rata-rata jumlah telur per kelompok pada satu pelepah
daun talas yaitu 7,57 butir (Tabel 1). Jumlah telur per kelompok yang paling banyak ditemukan di
Situgede yaitu 8,46 butir. Nimfa instar awal yang baru keluar dari telur langsung menyerang daun
talas hingga instar dua, yaitu pada jaringan daun bagian atas (Yuliani, 2003).
Nimfa instar tiga hingga imago mulai menyerang tanaman padi. Gejala tanaman padi
yang terserang Oxya spp. berupa lubang gigitan yang kecil dan menyebar pada helai daun yaitu
bagian pucuk, tengah dan pangkal. Serangan yang cukup berat dapat menyebabkan hampir seluruh
tepi daun padi habis dimakan hingga pertulangan daun (Yuliani, 2003).

Tabel 1. Jumlah telur Oxya spp. per kelompok di daerah pengamatan


Daerah Pengamatan Jumlah kelompok Jumlah telur Jumlah telur per
telur kelompok
Cibeureum 117 829 7,08
Laladon 123 874 7,10
Bubulak 128 977 7,63
Ciapus 120 911 7,59
Situgede 115 973 8,46
Rata-rata ± SD 120,60 ± 5,13 912,8 ± 63,79 7,57 ± 0,56
Sumber: Yuliani, 2003.

Kelimpahan Populasi Oxya spp.

Populasi telur Oxya spp. tidak terlalu berfluktuasi, namun kenaikan populasi telur
tertinggi terjadi pada umur tanaman padi 6 dan 7 minggu setelah tanam (MST). Tingkat penetasan
telur Oxya spp. berkisar antara 87,65 hingga 100% (Nurwahyudi, 2003). Keberhasilan hidup Oxya
spp. cukup tinggi, apabila faktor pengendali populasi hama ini tidak tersedia terdapat
kemungkinan Oxya spp. dapat menjadi hama utama pada tanaman padi maupun talas di kemudian
hari.

804 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian


Banjarbaru, 20 Juli 2016
Populasi nimfa dan imago Oxya spp. pada tanaman padi mulai meningkat pada minggu 7
MST dan mencapai puncaknya pada 10 MST, yaitu pada saat padi memasuki perkembangan malai
hingga masak susu. Hal ini selaras dengan populasi telur tertinggi diperoleh pada umur tanaman
padi 7 MST. Populasi Oxya spp. terjadi penurunan pada 11 dan 12 MST, saat tanaman padi
memasuki fase masak penuh. Populasi Oxya spp. mengalami peningkatan pada 13 MST, saat
tanaman padi memasuki fase masak panen (Nurwahyudi, 2003).
Populasi Oxya spp. didominasi oleh nimfa instar tiga, karena nimfa instar satu dan dua
masih berkumpul pada daun talas untuk aktivitas makan dan bersifat gregarius. Fluktuasi populasi
Oxya spp. dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya persen penetasan telur yang tinggi dan
persen parasitisasi telur yang rendah serta keberadaan musuh alami (Nurwahyudi, 2003).

Bioekologi Oxya spp.

Telur-telur Oxya spp. diletakkan berkelompok di dalam pelepah daun talas. Satu
kelompok telur berkisar antara 7,08 hingga 8,46 telur (Tabel 1). Pada kelompok telur ditemukan
busa pelindung. Pada bagian luar pelepah daun talas terdapat gejala berlubang yang menandakan
tempat penusukan ovipositor imago betina. Apabila bagian pelepah daun talas yang berlubang
dibelah, maka posisi lubang pada awalnya membentuk sudut sekitar 45o dari permukaan luar.
Lubang kelompok telur bagian dalam pelepah daun talas membentuk posisi sejajar dengan
permukaan luar pelepah daun. Telur-telur Oxya spp. ditemukan pada lubang dengan posisi sejajar
dengan permukaan luar pelepah daun talas (Yuliani, 2003).
Menurut Sudarsono (2008), persentase peneluran belalang famili Acridadae dipengaruhi
oleh lama periode kering dan intensitas curah hujan. Persentase peneluran belalang semakin tinggi
pada tanah dengan intensitas curah hujan rendah, sedangkan periode inkubasi telur tergantung
pada lama periode kering. Namun waktu yang diperlukan untuk menetas setelah terjadinya hujan
yaitu 14 hingga 15 hari. Telur belalang L. migratoria akan bertahan di dalam tanah dan akan
menetas sekitar dua minggu setelah terjadinya hujan dengan intensitas yang sesuai. Hal ini
menjelaskan fenomena alam mengapa ledakan populasi belalang L. migratoria biasanya terjadi
setelah musim kemarau.
Telur Oxya spp. yang sehat berwarna kuning agak oranye dengan kulit yang transparan.
Beberapa hari kemudian telur agak membesar dan berwarna kuning pucat. Sekitar 4 sampai 5 hari
sebelum menetas, pada telur terlihat bakal mata dan ruas-ruas tubuh (Gambar 2). Telur biasanya
menetas setelah 19 hinga 20 hari dipelihara di laboratorium. Nimfa Oxya spp. akan meninggalkan
kulit telur yang tipis. Telur Oxya spp. yang tidak menetas dan bukan disebabkan oleh parasitoid
secara morfologi tidak berbeda dengan telur sehat. Umumnya pada telur tidak terbentuk bakal
mata, kulit telur Oxya spp. mengerut dan berwarna cokelat. Beberapa hari kemudian telur
mengeras dan berwarna hitam (Yuliani, 2003).

Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 805


Banjarbaru, 20 Juli 2016
Gambar 2. Telur Oxya spp.

Apabila telur Oxya spp. terparasit maka terlihat pada bagian luar telur berwarna kuning
kecoklatan dan bagian dalam tampak berwarna kuning. Pada bagian dalam posterior telur terdapat
mekonium berupa larutan pekat berwarna kuning keputihan (Gambar 3). Beberapa hari kemudian
kulit telur berwarna cokelat keemasan dan parasitoid mulai terlihat berwarna hitam. Imago
parasitoid akan keluar dengan melubangi bagian anterior telur dan meninggalkan kulit telur. Pada
dasar posterior bagian dalam telur tertinggal cairan pekat (Yuliani, 2003).

Gambar 3. Parasitoid Oxya spp.

Siklus Hidup Oxya spp.

Telur Oxya spp. berbentuk panjang dan silindris dengan lekukan di bagian tengah. Telur
berwarna kuning atau coklat kekuningan dan ditutupi cairan pekat yang berasal dari imago betina.
Menurut Kalshoven (1981), telur akan menetas 4 minggu setelah diletakkan dan sebagian besar
penetasan telur terjadi pada pagi hari. Nurwahyudi (2003), melaporkan bahwa telur Oxya spp
berukuran rata-rata panjang 5,04 mm dan lebar 1,12 mm.
Nimfa terdiri dari lima instar yang masing-masing dapat dibedakan dari ukuran dan
warna tubuh Oxya spp. Ukuran instar satu dengan rerata 7,40 mm berwarna hitam mengkilap
kehijauan dengan mata majemuk abu-abu keperakan. Instar dua rerata 11,30 mm dengan warna
hitam memudar. Instar tiga rerata 15,17 mm, berwarna coklat kehijauan dan sudah terbentuk bakal
sayap. Instar empat rerata 18,87 mm, berwarna hijau kecoklatan dengan bakal sayap mencapai
mesotoraks dan metatoraks. Instar lima rerata 22,67 mm, bakal sayap mencapai abdomen ruas
ketiga (CPC, 2000; Nurwahyudi, 2003). Stadium nimfa instar satu berkisar antara 5 hingga 6 hari
dengan rataan 5,65 hari. Instar dua berkisar antara 5 hingga 6 hari dengan rataan 5,45 hari. Instar
tiga berkisar antara 5 hingga 10 hari dengan rataan 6,45 hari. Instar empat berkisar antara 7 hingga
15 hari dengan rataan 9,40 hari, dan instar lima berkisar antara 10 hingga 13 hari dengan rataan
11,75 hari (Nurwahyudi, 2003).

806 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian


Banjarbaru, 20 Juli 2016
Lama hidup imago O. chinensis rata-rata 73,1 hari dengan kisaran antara 59 hingga 106
hari (CPC, 2000). Imago yang baru berganti kulit dari nimfa instar lima berwarna kehijauan.
Bagian dorsal imago Oxya spp. berwarna hijau terang, bagian lateral berwarna coklat kehitaman
dan pada bagian toraks terdapat garis kuning memanjang, tungkai berwarna hijau kekuningan.
Imago jantan berukuran lebih kecil dari imago betina. Imago jantan berukuran antara 20,1 hingga
27,9 mm dengan rataan 24,43 mm, sedangkan imago betina berukuran antara 23,8 hingga 33,6 mm
dengan rataan 30,18 mm (Nurwahyudi, 2003).
Pengendalian belalang saat ini menitikberatkan pada penggunaan insektisida sintetis.
Namun, mulai tumbuh kesadaran mengenai isu-isu lingkungan terkait pengendalian belalang serta
tingginya biaya pengendalian. Strategi pengendalian terpadu dengan intervensi dini akan
mengurangi biaya keuangan dan pencemaran lingkungan terkait dengan pengendalian hama skala
besar. Perkembangan terbaru dari formulasi spora Metarhizium anisopliae di Afrika, Australia,
dan Brasil membuka kemungkinan baru untuk pengendalian ramah lingkungan. Biopestisida M.
anisopliae mematikan 70 hingga 90% dari belalang, namun tidak berdampak terhadap organisme
non-target. Strategi manajemen hama terpadu dengan penggunaan M. anisopliae yang
menggabungkan penggunaan pestisida kimia secara rasional dengan pengendalian biologis seperti
mikrosporidia Nosema locustae dan parasitoid telur Scelio spp. telah menjadi pilihan yang realistis
(Lomer et al. 2001).

Kesimpulan dan Saran

1. Oxya spp. merupakan hama sekunder pada tanaman padi di Indonesia, namun banyak
ditemukan di daerah Bogor karena agroekosistem yang mendukung yaitu pertanaman padi
yang berdekatan dengan tanaman talas sebagai inang peletakan telur.
2. Gejala serangan Oxya spp. pada pelepah daun talas berupa lubang-lubang akibat tusukan
ovipositor imago betina untuk peletakan telur, sedangkan gejala serangan pada tanaman padi
berupa robekan yang tidak beraturan bekas gigitan imago Oxya spp.
3. Kelimpahan populasi nimfa dan imago Oxya spp. pada tanaman padi mulai meningkat pada
minggu 7 MST dan mencapai puncaknya pada 10 MST, yaitu pada saat padi memasuki
perkembangan malai hingga masak susu.
4. Siklus hidup Oxya spp. dari telur hingga imago berkisar antara 119 hingga 184 hari.
5. Hasil-hasil penelitian mengenai Oxya spp. belum memadai untuk menyusun teknologi PHT
belalang Oxya spp. Ke depan masih diperlukan penelitian terutama musuh alami, tanaman
perangkap, pestisida nabati, dan insektisida yang efektif dan efisien.

Daftar Pustaka
Aminatun T, E Martono, S Worosuprojo, SD Tandjung, dan J Memmott. 2011. Pola interaksi
serangga herbivor-gulma pada ekosistem sawah surjan organik dan konvensional dalam dua
musim tanam. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA.
Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta. Hal: 1-17.
Anonim. 1983. Permasalahan lapang tentang Padi di Daerah Tropika. International Rice Research
Institute.
CPC (Crop Protection Compendium). 2000. 2nd ed. Commonwealth Agricultural Bureau (CAB).
Dysart RJ. 1995. New Host Records for North American Scelio spp. (Hymenotera: Scelionidae),
Parasitic in Grasshopper Eggs (Orthoptera: Acrididae). Journal of the Kansan
Entomological Society 68 (1): 74-79.

Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 807


Banjarbaru, 20 Juli 2016
Erniwati. 2003. Belalang (Orthoptera) dan kekerabatannya. Di dalam: Amir M, Kahono S (ed.).
Serangga Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Barat. Biodiversity Conservation
Project. Hal. 63-76.
Grist DH. 1959. Rice. 3rd. Great Britain: Western Printing Services Ltd.
Hai-hua, W, Y Mei-ling, G Ya-ping, and M En-bo. 2005. Comparisons of properties of
Acetylcholinesterase from two fields-collected populations of Oxya chinensis Thunberg
(Orthoptera: Acrididae) and the role of Acetylcholinesterase in the susceptibility to
malathion. Agicultural Science in China 4 (1): 47-53.
Haldar P, A Das, and RK Gupta. 1999. A laboratory based study on farming of an Indian
grasshopper Oxya fuscovittata (Marschall) (Orthoptera: Acrididae). Journal of Orthoptera
Research 8: 93-97.
Kalshoven LGE. 1981. Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta : PT
Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in
Indonesie.
Kandibane M, S Raguraman, and N Ganapathy. 2004. Diversity and relative abundance of
Orthoptera in an irrigated rice ecosystem in Madurai, India. International Rice Research
Notes 29 (1): 33-35.
Kementerian Perdagangan. 2013. Market brief: ubi kayu, ubi jalar & talas. Atase Perdagangan
Tokyo. 32 hal.
Lomer CJ, RP Bateman, DL Johnson, J Langewald, and M Thomas. 2001. Biological control of
locusts and grasshoppers. Annual Review of Entomology 46: 667-702.
Mei-ling Y, Y Kun, G Ya-ping, M En-bo, and Z Jian-zhen. 2011. A Photosensitivity Insecticide,
5-Aminolevulinic Acid, Exerts Effective Toxicity to Oxya chinensis (Orthoptera:
Acridoidea). Agricultural Sciences in China 10(7): 1056-1063.
Nurwahyudi, H. 2003. Dinamika populasi Oxya spp. (Orthoptera: Acrididae) pada pertanaman
padi di Desa Cibalumbang Lebak, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor. Jurusan Hama
dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Oliver L, and AJ Beatti. 1996. Invertebrate morphospecies as surrogates for species: a case of
study. Conservation Biology 10 (1): 99-109.
Pokivailov, A.A. 2007. Long-term dynamics of orthopteran assemblages (Orthoptera) of the
Hissar Valley (Tajikistan). Entomological Review 87 (4): 383-393.
Prana SM, dan T Kuswara. 2002. Budidaya Talas: Diversifikasi untuk Menunjang Ketahanan
Pangan Nasional. Bogor: Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI.
Sudarsono H. 2008. Pengaruh lama periode kering dan intensitas curah hujan terhadap penetasan
belalang kembara Locusta migratoria manilensis Meyen. Jurnal HPT Tropika 8 (2): 117-
122.
Tamkeen A, K Mahmood, Z Mahmood, and Z Rehman. 2011. Grasshopper Species Composition
in Mirpur Division of Azad Jammu and Kashmir, Pakistan. Pakistan J. Zool. 43(2):223-
227.
Vastrad AS, S Lingappa, and KA Kulkarni. 1989. Grasshoppers (Orthoptera: Acridoidea) of
Dharwad region and their hosts. J. Agric. Sci. 2 (1&2): 68-75.
Warti. 2006. Perkembangan hama tanaman padi pada tiga system budidaya pertanian di Desa
Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Watung JF, dan BAN Pinaria. 2004. Patogenisitas cendawan entomopatogen terhadap hama
belalang. Eugenia 10 (2): 190-194.

808 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian


Banjarbaru, 20 Juli 2016
Willemse LPM. 2001. Fauna Malesiana Guide to the Pest Orthoptera of the Indo-Malayan Region.
Netherlands: Blackhuys Publishers.
Yuliani D. 2003. Pengamatan serangga predator dan parasitoid Oxya spp. (Orthoptera: Acrididae)
pada pertanaman padi dan talas di daerah Bogor. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan.
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 809


Banjarbaru, 20 Juli 2016

Anda mungkin juga menyukai